Pengertian Asas Oportunitas KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM PENGHENTIAN PENUNTUTAN

PERKARA PIDANA JIKA DIKAITKAN DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Pengertian Asas Oportunitas

Perkataan oportunitas berasal dari kata-kata latin. 76 Menurut kamus bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwardarminto, oportunitas berarti ketika atau kesempatan yang baik. 77 Sedangkan H. Kotslesen, mengartikan oportunitas sebagai “Geschte Gelegheid”. 78 Jadi, pada umumnya oportunitas berarti kesempatan yang tepat. Kesemuanya mengandung pengertian dalam hukum pidana adalah pengenyampingan perkara deponering. 79 Asas tersebut memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan berdasarkan pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan. 80 Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum dengan cara monopoli, artinya tiada badan lain yang dapat melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan Penuntut Umum. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya 76 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal. 151. 77 Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hal. 88. 78 Ibid. 79 Andi Hamzah, Loc.cit. 80 A. Zainal Abidin, Sejarah Perkembangan Masalah Oppurtunitas di Indonesia, Ujung Pandang: Prasaran Seminar, 1981, hal. 12. Lihat juga : Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 39 Universitas Sumatera Utara pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari Penuntut Umum. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, menjelaskan asas oportunitas sebagai berikut 81 “Opportuniteits Principle bahasa Belanda adalah suatu prinsip yang mengizinkan penuntut umum untuk tidak melakukan tuntutan terhadap seorang tersangka, pun dalam hal dapat dibuktikan kiranya bahwa tersangka benar telah melakukan suatu tindak pidana. Dikatakannyalah bahwa penuntut umum berhak mendeponir suatu perkara apabila kepentingan umum, menurut pendapatnya menghendaki pendeponiran itu”. : Menurut A. Zainal Abidin dalam memberikan perumusan asas oportunitas sebagai berikut :“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”. 82 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas oportunitas merupakan asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak wajib menuntut seseorang atau korporasi yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum baik dengan atau tanpa syarat. Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas, hanya dikatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan 81 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1971, hal. 79. 82 A. Zainal Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983, hal. 89. Universitas Sumatera Utara umum”. Apa artinya “kepentingan umum” dijelaskan dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah sebagai berikut:“....dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara, dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”. Pendapat tersebut di atas hampir mirip dengan pendapat Soepomo, yang mengatakan bahwa 83 “Baik di negeri Belanda maupun di negeri Hindia-Belanda, berlaku yang disebut asas opportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang untuk tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak oppurtuun, tidak guna kepentingan masyarakat”. : Sedangkan dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahaun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu 84 “Yang dimaksud dengan “kepentingan umum”adalah kepentingan bangsa dan negara danatau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. : Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada jaksa di bawah Jaksa Agung vide Penjelasan Pasal 77 KUHAP. 83 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 20. 84 Lihat : Penjelasan Pasal 35 huruf c. Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Universitas Sumatera Utara Dengan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana tersebut diatas, semakin tidak jelas pelaksanaan asas oportunitas tersebut. Dengan adanya frase“Setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Hal ini menjadi semakin kabur pengertiannya. Menjadi kabur karena badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut tidak jelas. Hal ini berarti wewenang oportunitas dibatasi secara remang-remang sehingga tidak ada kepastian hukum dalam penerapannya. Demikianlah sehingga dalam prakteknya menjadi sama dengan penerapan asas legalitas yang menjadi lawan arti asas oportunitas. 85 Asas legalitas yang dianut di negara Jerman, Austria, Italia dan Spanyol berarti semua perkara harus dilimpahkan ke pengadilan oleh Penuntut Umum. Namun, dalam praktek di Jerman, Jaksa dapat meminta izin kepada Hakim untuk tidak melakukan penuntutan dengan syarat tertentu. Pada negara Italia ada kecenderungan Jaksa yang mengulur-ulur perkara sehingga menjadi lewat waktu verjaard sehingga tidak dapat dilakukan penuntutan jika jaksa terhadap suatu perkara tidak dikirim ke Pengadilan. 86 Berbeda dengan asas oportunitas yang dikenal secara global yang merupakan wewenang semua Jaksa bukan oleh Jaksa Agung saja, untuk melaksanakan asas itu dengan pengertian: “Penuntut Umum dapat menuntut atau tidak menuntut dengan 85 “Laporan Tim Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana”, Jakarta: 2006, hal. 27-28. Lihat juga : Syafruddin Kalo, “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek”, Medan : Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, 2007, hal. 1. 86 Ibid ., hal. 28. Universitas Sumatera Utara syarat atau tanpa syarat suatu perkara ke pengadilan” the public prosecutor may decide-to make prosecution to court or not . Pada negara Norwegia, bahkan jaksa dapat mengenakan sanksi sendiri sebagai syarat untuk tidak dilakukan penuntutan ke pengadilan yang disebut patale unnlantese. 87 Hal ini untuk mencegah menumpuknya perkara di pengadilan dan membuat penjara menjadi penuh sesak. Sedangkan pada negara Nederland baru-baru ini terbit peraturan bahwa semua perkara yang diancam pidana di bawah 6 enam tahun penjara, jika kasusnya bersifat ringan, dengan memperhatikan keadaan pada waktu delik dilakukan, terdakwa telah berubah tingkah lakunya dikenakan afdoening yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan syarat terdakwa membayar denda administratif. 88 Pengertian kepentingan umum sebagaimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c.Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia diperluas dan mencakup kepentingan hukum. Hal ini dikarenakan bukan saja berdasarkan atas alasan-alasan hukum semata tetapi juga didasarkan atas alasan-alasan lain, antara lain: alasan kemasyarakatan; alasan kepentingan keselamatan negara; dan saat ini meliputi juga faktor kepentingan tercapainya pembangunan nasional. 89 Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilainnya, Jaksa Agung akan melihatnya pula dari segi kepentingan masyarakat luas, terutama dari segi falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan 87 Ibid. 88 Ibid. 89 Ibid. , hal. 13-14. Universitas Sumatera Utara keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai atau memperoleh kepentingannya. Jelas bahwa kebijakan penuntutan untuk kepentingan umum dipercayakan dan dipertanggungjawabkan pada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi, dan adanya asas oportunitas merupakan lembaga yang dibutuhkan dalam penegakan hukum demi menjamin stabilitas dalam suatu negara tertentu. 90 Selain itu, KUHAP juga memberi peluang mengenai keberlakuan asas oportunitas walaupun tidak diatur secara tegas seperti dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal-pasal mengenai penyampingan perkara tidak diatur sendiri melainkan tersebar pada ketentuan mengenai benda sitaan dan pra-peradilan. Pasal 46 ayat 1 huruf c. KUHAP menyatakan : “Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila : c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”. Dalam ketentuan tersebut tidak ada penjelasan sama sekali mengenai penyampingan perkara kecuali tentang benda sitaan. Namun dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP terdapat penjelasan yang lebih memadai mengenai wewenang penyampingan perkara yang berada di tangan Jaksa Agung. Penjelasan Pasal 77 KUHAP yang berbunyi: “Yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa 90 Ibid. , hal. 14. Universitas Sumatera Utara Agung”. Berdasarkan penjelasan Pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas. 91 Sebelum ketentuan diatas, dalam praktik telah dianut asas oportunitas tersebut. Dalam hal ini Lemaire, mengatakan bahwa : “Pada dewasa ini asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negara ini, sekalipun sebagai hukum tidak tertulis yang berlaku”. 92 Menurut Andi Hamzah, dengan berlakunya UUD 1945, maka Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang oportunitas kepada Presiden yang pada gilirannya Presiden mempertanggung-jawabkannya pula kepada rakyat.

B. Sejarah Penerapan Asas Oportunitas di Indonesia