1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah: - Bagaimana pengaruh pemberian madu terhadap gambaran basophilic
stippling eritrosit mencit setelah diberi Pb asetat?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Mengetahui pengaruh pemberian madu terhadap gambaran basophilic
stippling eritrosit mencit setelah diberi Pb asetat
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Melihat gambaran basophilic stippling eritrosit mencit yang diberi Pb
asetat dan pemberian madu.
2.
Menilai perbedaan gambaran basophilic stippling eritrosit mencit antara kelompok P1 yaitu mencit yang diberi Pb asetat dan kelompok
P2 yaitu mencit yang diberi Pb asetat dan madu.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Pengetahuan atau informasi tentang sejauh mana perubahan sekaligus
perbedaan gambaran basophilic stippling eritrosit mencit setelah pemberian Pb asetat dan pemberian Pb asetat bersamaan dengan
pemberian madu. 2. Masukan dan tambahan rujukan untuk instansi dan mahasiswa yang akan
melakukan penelitian lainnya. 3. Menambah dasar ilmiah tentang penggunaan madu sebagai terapi herbal.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Timbal Pb 2.1.1. Gambaran umum timbal Pb
Timbal Pb merupakan suatu logam berat yang lunak berwarna kelabu kebiruan dengan titik leleh 327 ºC dan titik didih 1.620 ºC. Pada suhu 550– 600
ºC timbal menguap dan bereaksi dengan oksigen dalam udara membentuk timbal oksida. Walaupun bersifat lentur, timbal sangat rapuh dan mengkerut pada
pendinginan, sulit larut dalam air dingin, air panas dan air asam. Timbal dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat. Bentuk oksidasi yang
paling umum adalah timbal II dan senyawa organometalik yang terpenting adalah timbal tetra etil TEL: tetra ethyl lead, timbal tetra metil TML : tetra
methyl lead dan timbal stearat. Merupakan logam yang tahan terhadap korosi atau karat, sehingga sering digunakan sebagai bahan coating Saryan, 1994.
Palar, 2004 dalam Suciani, 2007.
Keterlibatan aktivitas manusia terutama dalam proses industrialisasi di abad 19 dan 20 telah mengakibatkan pencemaran lingkungan. Penggunaan logam
timbal dalam industri menghasilkan polutan yang bersifat merugikan kehidupan biologik. Sumber utama polusi timbal pada lingkungan berasal dari proses
pertambangan, peleburan dan pemurnian logam tersebut, hasil limbah industri, dan asap kendaraan bermotor Darmono, 2001 dalam Kurniawan 2008.
Menurut WHO 1995 asupan yang diperkenankan dalam seminggu Acceptable Daily Intake ADI untuk timbal direkomendasikan bagi orang
de wasa 50 μgkg berat badan dan bayi atau anak-anak 25 μgkg berat badan.
Di alam, timbal terdapat dalam dua bentuk yaitu gas dan partikel. Timbal yang terbanyak di udara adalah timbal anorganik dan terutama berasal dari
pembakaran tetraethyl Pb TEL dan tetramethyl Pb TEMEL yang terdapat dalam bahan bakar kendaraan bermotor. Selain sumber-sumber di atas, logam
berat ini juga terdapat pada gelas, pewarna, keramik, pipa, pelapis kaleng tempat makanan, beberapa obat tradisional dan kosmetik Todd et al, 1996 dalam
Universitas Sumatera Utara
Anggraini, 2008. Pakar lingkungan sependapat bahwa timbal merupakan kontaminan terbesar dari seluruh debu logam di udara Winarno, 1993 dalam
Anggraini, 2008. Beberapa penelitian mengenai timbal pernah dilakukan antara lain:
penelitian Ferdiaz 1992 melaporkan bahwa polusi timbal yang terbesar berasal dari pembakaran bensin. Menurut Wade, dkk., 1993 timbal organik seperti TEL
dan MTL banyak digunakan sebagai bahan aditif bensin, tetapi penggunaannya berkurang secara drastis di Amerika Serikat mulai tahun 1970-an sedangkan di
Mexico TEL dan TML digunakan sebagai bahan aditif bensin sejak 5 tahun yang lalu. Meskipun populasi yang terpapar timbal mengalami penurunan, keracunan
yang bersifat kronis masih menjadi masalah kesehatan umum di Meksiko dan seluruh dunia yang berdampak jutaan anak-anak dan orang dewasa Todd, dkk.,
1996; Bodgen, dkk., 1997. Timbal yang diabsorpsi diangkut oleh darah ke organ–organ tubuh
sebanyak 95, timbal dalam darah diikat oleh eritrosit. Sebagian timbal plasma dalam bentuk yang dapat berdifusi dan diperkirakan dalam keseimbangan dengan
pool Pb tubuh lainnya yang dibagi menjadi dua yaitu ke jaringan lunak sumsum tulang, sistem saraf, ginjal, hati dan ke jaringan keras tulang, gigi, kuku,
rambut. Pajanan melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan terutama oleh Pb karbonat dan Pb sulfat. Masukan timbal 100 hingga 350 μghari dan 20
μghari diabsorbsi melalui inhalasi uap timbal dapat menimbulkan gangguan
kesehatan. Maka sejalan dengan lama dan tingkat pemaparan terhadap partikel timbal, maka hal tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan salah satunya
adalah gangguan profil darah Palar; 1994.
2.1.2. Keracunan Timbal Pb
Ukuran keracunan suatu zat ditentukan oleh kadar dan lamanya pemaparan. Keracunan dibedakan menjadi keracunan akut dan keracunan kronis.
Keracunan akut yaitu keracunan yang terjadi sebagai akibat pemaparan yang terjadi dalam waktu relatif singkat dapat terjadi dalam waktu 2-3 jam, dengan
kadar yang relatif besar. Keracunan akut yang disebabkan oleh timbal biasanya
Universitas Sumatera Utara
terjadi karena kecelakaan misalnya: peledakan atau kebocoran yang tiba-tiba dari uap logam timbal. Kerusakan sistem ventilasi di dalam ruangan. Keracuan yang
kronis yaitu terjadi karena absorbsi timbal dalam jumlah kecil, tetapi dalam jangka waktu yang lama dan terakumulasi dalam tubuh. Durasi waktu dari
pemulaan terkontaminasi sampai terjadi gejala atau tanda-tanda keracunan mungkin di dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun Ariens, 1978.
Keracunan yang disebabkan oleh timbal dalam mempengaruhi berbagai jaringan dan organ tubuh. Organ-organ tubuh yang menjadi sasaran dari keracunan timbal
adalah sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem urinaria, sistem reproduksi, sistem endokrin dan jantung Palar, 1994.
2.1.3. Bentuk-Bentuk Utama Keracunan timbal Pb
Adapun bentuk-bentuk utama keracunan timbal adalah:
1 Keracunan timbal anorganik
a. Keracunan akut Keracunan akut timbal anorganik sekarang jarang terjadi, keracunan ini
biasanya disebabkan oleh inhalasi timbal oksida dalam jumlah besar di industri atau pada anak kecil yang disebabkan karena tertelannya cat yang mengandung
timbal dalam dosis besar. Bila absorbsi timbal lebih lambat, maka kolik abdomen dan ensefalopati dapat ditemukan dalam beberapa hari. Gangguan yang
menyerupai keracunan timbal yaitu appenditis, ulkus peptik dan pankreatitis. b. Keracunan kronis
Manifestasi keracunan kronik timbal yang paling sering adalah kelemahan, anoreksia keguguran, tremor, turunnya berat badan, sakit kepala dan gejala-gejala
saluran pencernaan. Hubungan nyeri abdomen yang berulang dan kelemahan otot penggerakan tanpa nyeri menunjukkan kemungkinan adanya keracunan timbal.
Gejala neurologik paling khas yang ditemukan pada keracunan kronik timbal adalah wristdrop pergelangan tangan terkulai. Diagnosis keracunan timbal
Universitas Sumatera Utara
ditegaskan dengan mengukur kadar timbal dalam darah dan mengidentifikasikan kelainan metabolisme porfirin.
2 Keracunan Pb organik
Keracunan timbal organik biasanya disebabkan oleh Pb tetraetil atau tetrametil, yang digunakan sebagai zat anti-knock dalam bensin. Pb organik sangat
mudah menguap dan larut dalam lemak. Jadi zat ini dapat dengan mudah di absorbsi melalui kulit dan saluran pernafasan. Keracunan Pb organik yang berat
dapat menimbulkan gangguan akut sistem saraf pusat. Hal ini dapat berkembang dengan cepat, menimbulkan halusinasi, imsomnia, sakit kepala, dan iritabilitas
mirip gejala putus alkohol berat.
Tabel 2.1. Tingkat keracunan Pb dalam darah pada anak-anak Kelompok
Kadar Pb di darah Efek pada anak- anak
1 10 μgdL
Gangguan Belajar
Gangguan Pendengaran 2a2b
10- 14 μgdL 15-19
μgdL Pertumbuhan lamban,
masalah belajar Sakit kepala,
berat badan
menurun 3
20- 44 μgdL
gangguan system saraf 4
45- 69 μgdL
Anemia, nyeri perut yang hebat
5 69 μgdL
Kerusakan otak
mengakibatkan kematian
Sumber: Center For Disease and Prevention, 2000
Universitas Sumatera Utara
Pb organik relatif sedikit menimbulkan kelainan hematologi. Pb tetraetil dan tetrametil dimetabolisme oleh hati menjadi Pb trialkil dan anorganik. Pb
trialkil berperan penting pada sindrom keracunan akut. Kebanyakan pemaparan Pb organik terjadi pada waktu pembersihan tangki penyimpanan bensin atau
terhisapnya bensin yang mengandung Pb. Pemaparan Pb organik yang masif menimbulkan kejang-kejang yang dapat berakhir dengan koma dan kematian.
Kadar Pb dalam darah dan urine relatif tidak dapat dipercaya pada keracunan Pb tetapi dapat dievaluasi ke depan setelah bekerja 10 tahun tetapi tergantung dari
jumlah paparan dan lama bekerja Katzung, 1984.
2.1.4. Efek timbal Pb pada darah
Kira-kira 90 Pb yang masuk ke dalam sirkulasi darah menuju ke eritrosit, ada juga yang ke albumin darah, α-globulin dan protein lain. Plumbum
mempengaruhi sistem peredaran darah dengan berbagai cara: a. Dengan memperlambat pematangan normal sel darah merah dalam
sumsum tulang, hal ini menyebabkan terjadinya anemia. b. Mempengaruhi kelangsungan hidup sel darah merah. Sel darah merah
yang diberi perlakuan dengan timbal, memperlihatkan peningkatan tekanan osmosis dan kelemahan pergerakan. Selain
itu juga
memperlihatkan penghambatan Na-K-ATPase yang meningkatkan kehilangan kalium intrasel. Pengaruh ini menjelaskan bahwa kejadian
anemia pada peristiwa keracunan plumbum keracunan plumbum disertai oleh penyusutan waktu hidup sel darah merah.
c. Menghambat biosintesis hemoglobin dengan cara menghambat aktivitas enzim δ-ALAD dengan enzim ferrokelatase WHO, 1997.
Pada gangguan awal dari biosintesis hem belum terlihat adanya gangguan klinis, gangguan hanya dapat terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Pada
kadar timbal darah 10 μgdL timbal menghambat aktivitas enzim δ-aminolevulinat dehidratase ALAD dalam eritroblas sumsum tulang dan eritrosit. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kada r δ-aminolevulinat δ-ALA dalam serum dan
Universitas Sumatera Utara
kemih. Kelompok-kelompok ribosom dapat dilihat pada sel berbintik basofilik sebagai basofil pungtata meskipun tidak ada anemia. Kadar ALAD yang tinggi
dapat menimbulkan aksi neurotoksik Adnan, S. 2001. Timbal menyebabkan 2 macam anemia, yang sering disertai dengan
eritrosit berbintik basofilik. Dalam keadaan keracunan timbal akut terjadi anemia hemolitik, sedangkan pada keracunan timbal yang kronis terjadi anemia
mikrositik hipokromik, hal ini karena menurunnya masa hidup eritrosit akibat interfensi logam timbal dalam sintesis hemoglobin dan juga terjadi peningkatan
korproporfirin dalam urin ATSDR, 2003. Menurut Adnan, kadar timbal dalam darah yang dapat menyebabkan
anemia klinis adalah sebesar 70 μgdL atau 0,7 mgL. Sedangkan menurut US Department of Health and Human Services kadar timbal dalam darah yang dapat
menimbulkan gangguan terhadap hemoglobin adalah sebesar 50 μgdL atau sebesar 0,5 mgL.
Pada pematangan eritrosit, timbal menyebabkan defisiensi enzim G-6PD dan penghambatan enzim pirimidin-5’-nukleotidase sehingga terjadi akumulasi
degradasi RNA pyrimidine nucleotides serta ribosom eritrosit yang ditandai dengan ditemukannya Basophilic Stippling terdapat bintik biru atau bintik
basofilik pada eritrosit.
Gambar 2.1. Gambaran eritrosit basophilic stippling Harald et al, 2004
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menyebabkan turunnya masa hidup eritrosit dan meningkatnya kerapuhan membran eritrosit, sehingga terjadi penurunan jumlah eritrosit Ganiswara, et al
1995 dalam Nelma, 2008. Pada penelitian ini ditemukan pada kelompok mencit yang diberikan perlakuan timbal asetat 20mgkgBB secara intraperitoneal selama
2 hari. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Kurniawati 1996 menyebutkan bahwa penelitian larutan timbal dapat menyebabkan kerusakan eritrosit
Kurniawati, 1996. Hal ini juga didukung oleh penelitian Wahyuni, 2000 yang menyatakan pemberian larutan timbal dapat menurunkan nilai volume padat
eritrosit PCV packed cell volume. Pb dalam sirkulasi
Sumsum tulang
Sel stem hematopoetik
Eritroblast Basophilic Stippling Skema 2.1. Efek plumbum pada sel stem hematopoetik Mugahi, 2000
2.1.5. Radikal bebas
Timbal merupakan unsur yang dapat meningkatkan pembentukan radikal bebas dan menurunkan kemampuan antioksidan tubuh sehingga dapat
menyebabkan kerusakan organ. Suatu radikal bebas dapat dinyatakan sebagai spesies yang terdiri dari satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal
bebas ini dapat bereaksi dengan berbagai cara. Salah satunya adalah apabila dua radikal bertemu maka elektron yang tidak berpasangan tadi akan bergabung
membentuk ikatan kovalen Halliwel, 1987.
Universitas Sumatera Utara
Radikal bebas ditemukan baik melalui faktor eksogen maupun endogen serta mempengaruhi kehidupan sel. Radikal terpenting dalam tubuh adalah radikal
derivat dari oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif reactive oxygen spesies ROS Arief, 2006 dalam Nelma, 2008.
Radikal bebas diproduksi dalam sel yang secara umum melalui reaksi pemindahan elektron, menggunakan mediator enzimatik atau non-enzimatik.
Produksi radikal bebas dalam sel dapat sel dapat terjadi secara rutin maupun sebagai reaksi terhadap rasangan Superoksida terbentuk karena adanya proses
auto oksidasi Hb yang besarnya 3 auto oksidasi per hari menjadi methemoglobin. Superoksida secara spontan mengalami dismutase sehingga
terbentuk H
2
O
2
dan O
2
. Akan tetapi, kecepatan reaksi akan mengalami peningkatan yang luar biasa akibat kerja enzim superoksida dismutase bila
terdapat suatu rangsangan timbal Retnogitawati, 1995. Eritrosit dilengkapi antioksidan berupa enzim seperti copper-zink-
superoxide dismutase CuZn-SOD, glutation peroksidase GSH-Px, katalase Cat dan glutation reduktase Suryohudoyono, 2000.
Sintesis antioksidan yang berupa enzim dalam eritrosit yang berupa enzim dalam eritrosit ini terjadi selama eritropoesis. Sedangkan pada eritrosit dewasa,
enzim-enzim ini tidak disintesis lagi, hal ini berkaitan dengan hilangnya inti sel pada eritrosit dewasa sebagai peredam dampak negatif ROS Surohudoyono,
2000.
2.2. Hemoglobin 2.2.1. Gambaram umum hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu senyawa protein dengan Fe yang dinamakan protein terkonjugasi. Sebagai intinya Fe dan dengan rangka protoporphyrin dan
globin tetra phirin yang menyebabkan warna darah merah. Oleh karena itu hemoglobin dinamakan juga zat warna darah. Bersama-sama dengan eritrosit Hb
dengan karbondioksida menjadi karboxyhemoglobin dan warnanya merah tua.
Universitas Sumatera Utara
Kadar hemoglobin dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur, jenis kelamin, kehamilan, menstruasi, asupan makanan, kebiasaan minum teh atau
kopi dapat menurunkan penyerapan besi, kebiasaan merokok dan penyakit infeksi. Selain itu ada beberapa masalah klinis yang menyebabkan penurunan
kadar hemoglobin seperti anemia, kanker, penyakit ginjal, pemberian cairan intravena berlebihan dan penyakit atau infeksi kronis; juga pemberian obat-obatan
dalam waktu yang lama seperti antibiotika, aspirin, sulfonamide, primaquin, kloroquin. Kurangnya asupan makanan yang mengandung Fe juga dapat
menyebabkan penurunan kadar hemoglobin. Tingkat absorbsi Fe dipengaruhi oleh faktor penunjang seperti vitamin C serta faktor penghambat seperti tanin, asam
fitat dan serat Easter N, 1997. Kadar normal hemoglobin pada laki-laki 13 – 16 gdL dan pada perempuan 12 – 14 gdL Gibson, 2005.
2.2.2. Fungsi Hemoglobin
Adapun fungsi-fungsi dari hemoglobin berupa: a. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-
jaringan tubuh. b. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-
jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar. c. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil
metabolisme ke paru-paru untuk dibuang Hematologi, Pusat Pendidikan tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan.
2.2.3. Biosintesis Hemoglobin
Hemoglobin adalah konjugasi antara protein dan heme suatu kompleks protoporfirin dengan besi. Biosintesis porfirin berasal dari derivate ko-enzim A
dari asam suksinat pada siklus Krebs dalam mitokondria dan dari asam amino glisin. Hasil kondensasi antara glisin dengan suksinil-ko A adalah asam alfa
amino beta ketoadipat yang dengan cepat dikarboksilasi menjadi asam delta aminolevulenat. Sintesis tersebut terjadi di dalam mitokondria.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sitoplasma, dua molekul delta-aminolevulenat akan dikatalisir oleh enzim delta-aminolevulinic acid dehydratase membentuk 1 molekul porfirinogen
dan 2 molekul air. Kemudian, 4 unit porfirinogen mengalami kondensasi membentuk polimer siklik yaitu uroporfirinogen. Ada 2 isomer uroporfibilinogen,
yaitu isomer tipe I dan isomer tipe III. Heme berasal dari isomer tipe III. Uroporfirinogen III diubah menjadi koproporfirinogen III. Reaksi tersebut
dikatalisir oleh uroporfirinogen dekarboksilase.
Gambar 2.2. Biosintesis hemoglobin Murray et al, 2003
Universitas Sumatera Utara
Koproporfiriinogen III memasuki mitokondria, selanjutnya diubah menjadi protoporfirinogen. Dari 15 kemungkinan isomer hanya satu yang
dibentuk, yaitu protoporfirinogen IX. Proto porfirinogen IX dioksidasi oleh enzim protoporfirinogen oksidase menghasilkan protoporfirin IX. Oksidasi ini
mengahasilkan ikatan rangkap terkonjugasi yang merupakan ciri porfirin. Tahap akhir pembentukan heme adalah pemasukan ion ferro ke dalam protoporfirin yang
dikatalisir oleh enzim ferrokatalase Murray et al, 2003.
Gambar 2.3. Biosintesis hemoglobin Murray et al, 2003
2.2.4. Pematangan eritrosit
Sel matang adalah sel yang telah berdiferensiasi mencapai tahap saat sel tersebut telah memiliki kemampuan untuk melaksanakan segala fungsi khususnya.
Proses dasar pematangan adalah sintesis hemoglobin dan pembentukan suatu badan kecil, berbentuk bikonkaf tanpa inti, yakni eritrosit. Selama pematangan
eritrosit, terjadi beberapa perubahan besar. Volume sel berkurang, dan anak inti mengecil sampai tidak tampak dengan mikroskop cahaya. Garis tengah inti
berkurang dan kromatinnya tampak makin padat sampai inti terlihat piknotik dan akhirnya didorong keluar dari sel. Terjadi perubahan jumlah poliribosom sifat
basofilik berkurang yang diikuti secara bersamaan oleh peningkatan jumlah
Universitas Sumatera Utara
hemoglobin protein asidofilik di dalam sitoplasma. Mitokondria lain berangsur menghilang. Terdapat tiga sampai pembelahan sel di antara proeritroblas dan
eritrosit yang matang. Perkembangan eritrosit semenjak sel pertama yang dapat dikenali sampai terjadinya pelepasan retikulosit ke dalam darah membutuhkan
waktu sekitar 7 hari. Hormone eritropoeitin dan zat-zat seperti besi, asam folat, dan sianokobalamin vitamin B
12
penting untuk produksi eritrosit Juncqueira L C Carneiro J. H M Djauhari, 2003.
Gambar 2.4. Pematangan Eritrosit . Juncqueira L C Carneiro J. H M Djauhari, 2003
2.2.5. Diferensiasi eritrosit
Diferensiasi dan maturasi eritrosit melibatkan pembentukan berturut- turut proeritroblas, eritroblas basofilik, eritrosit polikromatofilik, eritroblas
ortomatofilik normoblas, retikulosit, dan eritrosit. Sel pertama yang dapat dikenali dalam seri eritroid adalah proeritroblas.
Proeritroblas adalah sel besar dengan kromatin berupa anyaman longgar, dan anak inti yang terlihat jelas; sitoplasma sel ini bersifat basofilik. Tahap selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
adalah eritrosit basofilik, dengan sitoplasma basofilik kuat dan inti padat tanpa terlihat anak intinya. Sifat basofilia kedua jenis sel ini desebabkan oleh banyaknya
poliribosom yang terlihat dalam sintesis hemoglobin. Selama tahap berikutnya poliribosom berkurang dan sitoplasma mulai dipenuhi hemoglobin. Pada tahap
ini, pemulasan menghasilkan berbagai warna dalam sel-eritroblas kromatofilik. Pada tahap berikutnya, inti terus memadat, dan tidak ada sitoplasma basofilik,
yang menghasilkan suatu sitoplasma basofilik, yang menghasilkan suatu sitoplasma asidofilik-eritroblas ortokromatofilik. Pada suatu saat, sel ini
menjulurkan suatu rangkaian penonjolan sitoplasma dan mendorong keluar intinya yang terbungkus selapis tipis sitoplasma. Sisa sel masih mempunyai
sedikit poliribosom yang, bila dipulas dengan pewarna “brilliant cresyl blue” pulasan supravital, akan beragragsi membentuk jalinan terpulas. Inilah sel
retikulosit, yang segera kehilangan poliribosomnya dan berubah menjadi eritrosit matang Juncqueira L C Carneiro J. H M Djauhari, 2003.
Gambar 2.4. Gambaran eritrosit normal pada mencit dengan pulasan Giemsa Islamulhayati, Keman, S., Yudhastuti, R., 2005.
2.3. Madu
2.3.1. Gambaran Umum Madu
Madu adalah cairan manis yang berasal nektar tanaman yang diproses oleh lebah menjadi madu dan tersimpan dalam sel-sel sarang lebah. Madu merupakan
hasil sekresi lebah, karena madu ditempatkan dalam bagian khusus di perut lebah yang disebut perut madu yang terpisah dari perut besar. Nektar yang dihisap madu
Universitas Sumatera Utara
mengandung 60 air sehingga lebah harus menurunkan menjadi 20 atau lebih rendah lagi untuk membuat madu. Penurunan kadar air ini melalui proses fisika
dan kimia. Proses fisika penurunan kadar air mulai terjadi saat lebah menjulurkan lidahnya proboscis untuk memindahkan madu dari perut madu ke sarang lebah,
di sarang kadar air terus diturunkan melalui putaran sayap-sayap lebah yang menyirkulasikan hawa hangat ke dalam sarang lebah. Sedangkan proses kimianya
terjadi di dalam perut lebah dimana enzim invertase mengubah sukrosa disakarida menjadi glukosa dan fruktosa yang keduanya merupakan
monosakarida Hariyati, 2010. Di Indonesia jenis lebah yang paling banyak digunakan sebagai penghasil
madu adalah lebah lokal Apis cerana, lebah hutan Apis dorsata dan lebah Eropa Apis melifera. Ada banyak jenis madu menurut karakteristiknya.
Karakteristik madu dapat dibedakan berdasarkan sumber nektar, letak geografi, dan teknologi pemrosesannya. Jenis madu berdasarkan sumber nektarnya dapat
dibagi menjadi dua, yaitu monoflora dan poliflora. Madu monoflora merupakan madu yang diperoleh dari satu tumbuhan utama. Madu ini biasanya dinamakan
berdasarkan sumber nektarnya, seperti madu kelengkeng, madu rambutan dan madu randu. Madu monoflora mempunyai wangi, warna dan rasa yang spesifik
sesuai dengan sumbernya. Madu monoflora juga disebut madu ternak, karena madu jenis ini pada umumnya diternakkan. Sedangkan madu poliflora merupakan
madu yang berasal dari nektar beberapa jenis tumbuhan bunga. Lebah cenderung mengambil nektar dari satu jenis tanaman dan baru mengambil dari tanaman lain
bila belum mencukupi. Contoh dari madu jenis ini adalah madu hutan. Madu hutan adalah madu yang diproduksi oleh lebah liar. Madu ini berasal dari lebah
liar yang bernama Apis dorsata. Sumber pakan dari lebah ini adalah tumbuh- tumbuhan obat yang banyak tumbuh di dalam hutan hujan tropis di Indonesia.
Madu hutan juga sangat baik untuk kesehatan karena mengandung antibiotik alami yang diproduksi oleh lebah-lebah liar Hariyati, 2010.
2.3.2. Kandungan dan Khasiat Madu sebagai Antioksidan
Madu merupakan salah satu nutrisi alami sumber energi. Satu kilogram madu mengandung 3.280 kalori atau setara dengan 50 butir telur ayam, 5,7 liter
Universitas Sumatera Utara
susu, 25 buah pisang, 40 buah jeruk, 4kg kentang dan 1,68 kg daging Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010.
National Honey Board 2005 mengungkapkan salah satu kelebihan madu yaitu sebagai sumber antioksidan. Penelitian menunjukkan bahwa madu kaya
akan antioksidan. Jumlah dan kandungan antioksidan sangat tergantung pada sumber nektarnya. Madu yang berwarna gelap seperti madu manuka terbukti
memiliki kadar antioksidan yang lebih tinggi daripada madu yang berwarna terang seperti madu akasia Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010.
Table 2.2. Komposisi Madu
Kandungan Rata-rata
Kisaran Deviasi Standar
FruktosaGlukosa 1,23
0,76-1,86 0,126
Fruktosa 38,38
30,91-44,26 1,77
Glukosa 30,31
22,89-44,26 3,04
Maltose 7,3
2,7-16,0 2,1
Sukrosa 1,31
0,25-7,57 0,87
Gula 83,27
Mineral 0,169
0,020-1,028 0,15
Asam bebas 0,43
0,13-0,92 0,16
Nitrogen 0,041
0,000-0,133 0,026
Air 17,2
13,4-22,9 1,5
Ph 3,91
3,42-6,01 -
Total keasaman meqkg
29,12 8,68-59,49
10,33
Protein mg100g 168,6
57,7-56,7 70,9
Suranto, 2007, dalam Dewi, 2010 Ahli dari Universitas Illinois yang meneliti 19 sampel madu yang berasal
dari 14 sumber tumbuhan yang berbeda semakin mengukuhkan bahwa tiap madu memiliki efek antioksidan yang berbeda. Sebuah penelitian yang dilakukan di
University of Zagreb Croatia menemukan bahwa konsumsi madu bisa menghentikan perkembangan tumor dan penyebarannya Suranto, 2007 dalam
Dewi, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Kandungan Vitamin dan Mineral dalam Madu
Nutrisi Unit
Jumlah Rata- rata dalam 100
gr Madu Rekomendasi
Kebutuhan sehari RDA
Kalori Kkal
304 2.800
Vitamin : A
IU -
5.000 B1 thiamin
Mg 0,004-0,006
1,5 B2 riboflavin
Mg 0,002-0,06
1,7 Asam
nikotinat niasin
Mg 0,11-0,36
20 B6 piridoksin
Mg 0,008-0,32
2,0 Asam pantotenat
Mg 0,02-0,11
10 Asam folat
Mg -
0,4 B12
sianokobalamin Mg
- 6
C IU
2,2-2,4 60
D IU
- 400
E tokoferol -
30 Biotin
- 0,3
Mineral : Kalsium
Mg 4-30
1.000 Klorin
Mg 2-20
- Tembaga
Mg 0,01-0,12
Yodium Mg
- 0,15
Besi Mg
1-3,4 18
Magnesium Mg
0,7-13 400
Fosfor Mg
2-60 1,00
Kalium Mg
10-470 -
Natrium Mg
0,6-40 -
Seng Mg
0,2-0,5 15
Suranto, 2007, dalam Dewi, 2010
Universitas Sumatera Utara
Madu berperan sebagai antioksidan sehingga dapat mencegah kerusakan hepar. Manifestasinya adalah terjadi peningkatan nitrit oxide NO dalam jaringan
hati yang berfungsi dalam mengeliminasi radikal bebas Erguder, 2008 dalam Dewi, 2010.
Kandungan vitamin E telah banyak diteliti yang berfungsi sebagai penghambat tumor hati dan uterus, mempertahankan berat badan tikus yang
disakiti, jumlah eritrosit dan leukosit, kadar Hb, menghambat patofisiologi tumor indung telur dan endometriosis Hanim dkk, 1998, dalam Dewi, 2010.
Beberapa penelitian mengungkapkan efek antioksidan yang bermacam- macam yang terkandung pada madu. Antioksidan merupakan senyawa penetral
radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang tidak stabil yang terus- menerus menyerang tubuh dari luar seperti sinar matahari, polusi dan asap rokok
maupun yang menyerang tubuh dari dalam seperti metabolisme dan kehidupan normal. Molekul ini mengalami suatu reaksi berantai yang menimbulkan jutaan
radikal bebas baru yang merusak protein, sel, jaringan dan organ tubuh. Radikal bebas ini menyebabkan penuaan, perubahan degeneratif, radang, dan penyakit
yang membuat lama hidup menjadi singkat. Radikal bebas bisa merusak sel melalui proses oksidasi, apabila berlangsung lama dapat menyebabkan berbagai
penyakit kronis seperti penyakit jantung dan kanker IPTEKnet, 2005 dalam Dewi, 2010.
Konsumsi madu untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah 1-2 kalihari 1 sendok makan. Sedangkan untuk menyembuhkan suatu penyakit,
dianjurkan untuk minum lebih banyak yaitu 3-4 kalihari 1 sendok makan Suranto, 2007.
Proteksi madu terhadap kerusakan eritrosit Blasa, 2007
Ekstrak fenol dari madu telah dibuktikan memberikan efek inhibisi kepada kerusakan oksidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas pada eritrosit. Selain itu,
flavonoid dari kandungan madu juga menghambat hemolisis yang diakibatkan oleh radikal-radikal bebas tertentu. Efek proteksi dari madu dikarenakan flavonoid
yang bersifat lipofilik berikatan dengan membran sel eritrosit, dan akan berfungsi sebagai pelindung terhadap radikal-radikal bebas.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Konsep Pemikiran
Pb dalam sirkulasi darah
Sumsum tulang Madu
Eritroblast Basophilic Stippling
Sel stem hematopoetik Radikal bebas
Ekstra fenol, flavonoid, berbagai vitamin dan
mineral yang berfungsi sebagai Antioksidan
Hasil: Pengurangan jumlah Erythrocyte
Basophilic Stippling pada gambaran hapusan darah mencit
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
KERANGKA KONSEP dan DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
3.2. Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1. Variabel Independen
- Adapun variabel-variabel independen, antara lain:
a. Pemberian Pb asetat b. Pemberian Pb asetat dan madu
3.2.2. Variabel Dependen -
Adapun variabel-variabel dependen, antara lain: a. Basophilic stippling pada eritrosit mencit
Kelompok I Kontrol
- Pemberian air putih
Eritrosit basophilic
stippling Kelompok II
-
Pb asetat 100mgkghari
Kelompok III - Pb asetat 100 mgkghari
- madu 0,04 ml20 gr mencithari
Universitas Sumatera Utara
3.2.3. Definisi Operasional -
Adapun definisi operasional, antara lain: a. Pemberian Pb asetat: Pb asetat yang akan diberikan pada mencit dengan
dosis 100mg kgBB hari. b. Pemberian Pb asetat madu: Pb asetat 100mgkgBBhari yang
diberikan bersamaan dengan madu 0,04 mL madu20 gram mencithari yang diencerkan hingga 0,2 cc.
c. Gambaran morfologi sel-sel darah merah: Eritrosit normal mencit berbentuk cakram dengan ukuran tebal 1,5–
2,5 μm diameter 5–
7 μm. Dengan pewarnaan Wright Giemsa, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Eritrosit
normal tidak berinti, berbentuk bulat dan tipis, bagian tengah lebih tipis daripada bagian tepinya Bijanti et al., 1997. Sel muda lebih besar dari sel
dewasa dengan inti sel relatif besar. Makin dewasa inti sel dari eritrosit semakin kecil selanjutnya menghilang. Inti sel muda warna selnya lebih
merah. d. Kelainan morfologi sel darah merah yang akan diamati berupa:
Basophilic stippling pada sel-sel darah merah berhubungan dengan degradasi mitokondria, ribosom dan RNA yang berakibat penyatuan dan
pengendapan ribosom yang bersifat basofilik Robbins dan Kumar, 1995. Kriteria normal: bila tidak dijumpai Basophilic Stippling pada eritrosit
mencit Derajat keparahan dihitung dalam 1000 eritrosit:
0= tidak dijumpai Basophilic Stippling 1= dijumpai 1 - 30 Basophilic Stippling dari 1000 eritrosit
2= dijumpai 31 - 60 Basophilic Stippling dari 1000 eritrosit 3= dijumpai 61 - 100 Basophilic Stippling dari 1000 eritrosit
3.3. Hipotesis
Ada pengaruh pemberian madu terhadap basophilic stippling eritrosit mencit setelah pemberian Pb asetat.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan pendekatan post test only group design tiga kelompok
hewan percobaan mencit jantan Mus musculus yang terdiri atas satu kelompok kontrol dan dua kelompok yang diberi intervensi. Hasil yang diperoleh kemudian
akan dilakukan analisis untuk melihat adanya perbedaan. Tidak dilakukan pretest pada seluruh kelompok eksperimen, kelompok eksperimen I langsung diberi
paparan Pb timbal asetat, dan pada kelompok eksperimen II bersamaan
diberikan Pb asetat dan madu. 4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini memerlukan waktu selama 8 minggu. Untuk perawatan dan pemberian perlakuan pada hewan percobaan dilaksanakan di Laboratorium
Biologi FMIPA USU, dan dilanjutkan dengan pembuatan hapusan darah dan pembacaan hasil yang dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas
Kedokteran USU.
4.3. Populasi Penelitian