Latar Belakang Perkembangan Sistem Pemerintahan Presidensial Pada Praktek Multi Partai Di Indonesia Pasca Amandemen Uud 1945

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu agenda Reformasi adalah perubahan UUD 1945, perubahan tersebut dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR dengan berlandaskan pada Pasal 37 UUD 1945 yang kemudian telah berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Amandemen pertama dilakukan pada sidang umum MPR tanggal 19 Oktober 1999, amandemen kedua dilakukan pada sidang umum MPR tanggal 7-18 Agustus 2000,amandemen ketiga berlangsung pada sidang tahunan MPR tanggal 9 November 2001 dan amandemen ketiga berlangsung pada sidang tahunan MPR tanggal 1-11 Agustus 2002. Tidak konsisten adalah salah satu kelemahan yang cukup elementer dalam UUD 1945. Hal ini telah menimbulkan dampak yang luas dalam proses penyelenggaraan Negara Indonesia. Saldi Isra mengatakan bahwa Inkonsistensi ini dapat dibuktikan sebagai berikut: 1 Pertama, sistem pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 adalah sistem Presidensial ini dapat dibuktikan bahwa menteri diangkat oleh Presiden. Tetapi dengan adanya ketentuan bahwa Presiden bertanggungjawab kepada MPR membuktikan bahwa model sistem parlementer juga dianut oleh UUD 1945. Majelis permusyawaratan rakyat dapat menjatuhkan Presiden dengan cara mengadakan sidang istimewa MPR. Apabila MPR menolak pertanggungjawaban maka Presiden akan diberhentikan oleh MPR. Pemberhentian ini akan berakibat pada pembubaran kabinet. 1 Saldi Isra, Reformasi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Padang: Andalas University, 2006, hlm. 4-5. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kedua, tidak konsisten dalam menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945 ada bentuk kedaulatan yaitu kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Negara. barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan Negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan Negara akan dengan mudah menjelma menjadi sistem yang otoriter karena Negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan roda pemerintahan. Berkaitan dengan upaya untuk mengontrol kekuasaan agar tidak terulang adanya pemerintahan yang otoriter sebagaimana sebelumnya, amandemen UUD 1945 berusaha memperjelas pembagian dan pemisahan kekuasaan yang ada dilembaga- lembaga pemerintahan. Mengingat masalah utama bagi adanya sentralisasi kekuasaan pada masa lalu adalah begitu besarnya kekuasaan pada eksekutif, dalam hal ini adlaah lembaga Kepresidenan, pada amandemen UUD 1945 terdapat upaya untuk memperjelas dan membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden. 2 Sebenarnya, adanya kekuasaan eksekutif yang besar itu bukan hanya khas Indonesia, hampir diseluruh negara-negara di dunia memberi kekuasaan yang besar terhadap eksekutif itu sekaligus menyandang predikat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Apalagi Indonesia menganut Presidensial di dalam sistem pemerintahannya yang memberi ruang kekuasaan cukup besar kepada Presiden untuk memimpin pemerintahan. Tetapi kekuasaan Presiden Indonesia yang terlalu luas menjamah kekuasaan legislatif dan yudikatif dalam sejarahnya telah melahirkan pemerintahan yang tidak demokratis. 3 Melalui amandemen UUD 1945, dominasi 2 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia:Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm.24. 3 Ibid. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA lembaga eksekutif terhadap lembaga-lembaga negara lainnya dikurangi dengan mengedepankan sistem checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia. Khusus mengenai lembaga Kepresidenan di Indonesia, sebelum amandemen UUD 1945 memiliki kekuasaan yang begitu dominan, seperti kekuasaan Presiden dalam membentuk Undang-Undang yang seharusnya menjadi kekuasaan DPR, terdapat di dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 berbunyi: 1 Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat; Kemudian mengenai pengisian jabatan Presiden yang sangat fleksibel disebutkan dalam UUD 1945, di dalam Pasal 7 yang berbunyi: “ Presiden dan wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dari bunyi Pasal tersebut, menimbulkan problematika yang menjadi sejarah buruk bagi pengisian jabatan Presiden di Indonesia. Presiden Soekarno memegang jabatan Presiden selama 20 tahun dibawah tiga undang-undang dasar yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950 dan itu sama dengan empat kali memegang jabatan Presiden. Di bawah konstitusi RIS, berdasarkan Pasal 69 ayat 2 pada tanggal 16 desember 1949, Ir. Soekarno terlah terpilih sebagai Presiden RIS. Kecuali dibawah Konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950 yang tidak menyatakan secara jelas tentang pemilihan dan pengangkatan Presiden, di bawah UUD 1945, Soekarno menjabat Presiden selama 12 tahun, yaitu dari tahun 1945- www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1949, 1959-1964 dan 1964-1967. Dari tahun 1959 sampai dengna tahun 1967, Presiden Soekarno menjabat selama 8 tahun tanpa melalui Pemilu dan sidang umum MPR. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945. 4 Sebagai akibat dan upaya dari pelanggengan kekuasaan tersebut, muncul suatu masalah konstitusional dalam rezim demokrasi terpimpin yaitu MPRS yang kekuasaan tidak terbatas itu dapat mengeluarkan Tap MPRS No.IIIMPRS1963 tentang pengangkatan pemimpin besar revolusi Indonesia, Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia seumur hidup. 5 Sejarah politik dan ketatanegaraan Indonesia telah mencatat, bahwa MPR yang memegang kedaulatan rakyat dan memegang kekuasaan negara yang tertinggi yang kekuasaannya tidak terbatas itu telah mengangkat Presiden Soekarno menjadi Presiden Indonesia seumur hidup yang berarti MPR dengan kekuasaan yang tidak terbatas itu secara absolut, menyampingkan dan melanggar konstitusi yaitu melanggar Pasal 7 UUD 1945. Dengan kekuasaan yang tidak terbatas pula, MPR memilih secara aklamasi Soeharto sebagai Presiden sebanyak 6 enam kali tanpa mengikutsertakan calon Presiden kandidat lain. Itu bearti, dengan kekuasaan yang tidak terbatas, MPR melanggar Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan, Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. MPR juga melanggar Pasal 2 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan segala putusan ditetapkan dengan suara terbanyak. Ini jelas-jelas merupakan sebuah pengingkaran terhadap 4 Jhon Pieris, Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI, Jakarta: Pelangi Cendikia, 2007, Hlm.16. 5 Ibid. Hlm.17. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA paham konstitusionalisme dan demokrasi konstitusional yang sebenarnya secara substansial dianut UUD 1945. 6 Semangat Pasal 6 ayat 2 UUD 1s945 baru terlihat pada pemilihan Presiden tahun 1999. Didalam pemilihan tersebut muncul tiga orang calon Presiden yang akan dipilih secara demokratis oleh MPR dengan suara terbanyak. Akan tetapi pada pemilu tahun 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-Perjuangan sebagai partai pemenang pemilihan umum gagal dalam mendapatkan kursi kepresidenan. Pemilu tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik, dan yang menembus electoral threshold hanya sekitar 12,5 persen partai yang relatif memiliki dukungan masyarakat. Sebelum Reformasi, di Era Orde Baru partai politik yang diakui hanya dua, yakni Partai Persatuan Pembangunan PPP, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-P dan ditambah satu Golongan Karya Golkar. Hanya saja, dimulai dari naiknya Soeharto menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soekarno, Golkar selalu menjadi partai pemenang pemilihan umum, dan kedua partai lainnya hanya sebagai pelengkap kebijakan politik orde baru. Pemilu tahun 1999 merupakan sebuah era munculnya banyak partai di Indonesia yang semuanya ingin berlaga di pemilihan umum. Tokoh-tokoh reformis mengambil ancang-ancang untuk mendirikan kendaraan politik untuk memperoleh legitimasi secara objektif dari masyarakat. KH.Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional 6 Ibid. hlm. 18. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PAN, K.H.Zainuddin MZ mendirikan Partai Bintang Reformasi, Yusril Iza Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang, ditambah lagi dengan tiga partai lama, PDI-P, Golkar, PPP berserta partai baru lainnya. Pada pemilihan umum tahun 1999 yang merupakan Pemilihan Umum pertama di era Reformasi, keran multi partai dibuka, pada saat itu ratusan partai muncul bak jamur di musim hujan. Dengan dibukanya keran pembentukan partai politik pada tahun 1999 sebenarnya secara yuridis tidak sah, karena undang-undang yang mengatur kepartaian yang berlaku saat itu adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang hanya mengenal dua partai PDI dan PPP dan satu Golongan Karya. 7 Meskipun pemerintahan yang dibangun oleh Pemilu 1999 bukanlah sistem parlementer sebagaimana pemilu 1955, pola koalisi antara partai yang satu dengan yang lain juga terjadi. PDIP yang memenangkan Pemilu 1999 gagal merebut kursi kepresidenan karena gagal membangun koalisi. Hal ini terjadi karena berdasar perolehan kursi yang dimilikinya sendiri, PDIP tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri tanpa dukungan dari partai lain. Sebaliknya, K.H. Abdurrahman Wahid Gus Dur yang hanya berbasis pada partai tengahan PKB bisa terpilih sebagai Presiden karena diboyong oleh koalisi yang lebih besar. Pola koalisi itu juga tercermin di dalam pergulatan politik sehari-hari karena DPR memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar 7 Suko Wiyono, Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan Presidensial Di Indonesia, Jakarta: Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Kerja Sama Dengan Pusat Kajian Konstitusi Universitas Wishnuwardhana, 2009, hlm.11. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA apabila dibandingkan sebelumnya. Didalam situasi seperti ini makna partai-partai kecil yang memiliki kursi diparlemen lalu menjadi lebih berarti. 8 Sebagai dampak tidak adanya Reformasi kelembagaan sebagai fondasi bagi arena politik lembaga demokrasi terutama Presiden, DPR, dan MPR. Pada pemilu 1999 mengahasilkan polarisasi kekuatan di DPR, sehingga tidak ada satu partai politikpun yang menguasai kursi di DPR secara mayoritas. Itulah sebabnya menghasilkan konsekuensi bahwa harus ada koalisi-koalisi partai dalam pemilihan Presiden di MPR agar dapat legitimasi politik yang kuat. Sementara pada saat yang sama, format kelembagaan yang ada memungkinkan sebagai format baru sistem multi partai. Dilemma politik pemilu tahun 1999 menghasilkan sistem Presidensial yang lemah karena kekuatan partai melalui parlemen dapat melakukan impeachment melalui MPR. Hal tersebut terjadi ketika pertanggungjawaban Presiden B.J.Habibie tidak diterima disidang MPR tahun 1999, dan Presiden K.H.Abdurrahmanwahid yang di impeachment oleh MPR karena Presiden berusaha untuk membubarkan DPR. Fenomena pemilu 1955 dan 1999 terulang kembali pada pemilu 2004. Konsentrasi perolehan suara lebih banyak menyebar ke partai-partai tertentu saja. Meskipun demikian, kalau dibandingkan dengan pemilu 1955 dan 1999, jumlah partai yang memperoleh dukungan cukup berarti itu lebih banyak lagi jumlahnya yaitu tujuh partai. Di samping lima partai sebelumnya, pemilu 2004 menghasilkan 8 Kacung Marijan, Op.Cit. hlm. 69. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dua partai tambahan yang memperoleh suara cukup berarti yaitu PKS dan Partai Demokrat. 9 Pada pemilu 2004, pemilihan Presiden dan wakil Presiden sudah tidak lagi melalui mekanisme di MPR, akan tetapi melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 6A ayat UUD 1945 : 1 Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; 2 Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum; 3 Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suaru dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan wakil Presiden; 4 Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan wakil Presiden; 5 Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Di dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 tersebut diatas, jelas terlihat bahwa pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden tidak lepas dari unsur partai politik, dimana partai politik merupakan sebuah kendaraan politik untuk mewujudkan sebuah pemerintah yang baik. Hanya saja dalam perjalannya, partai politik di Indonesia belum dapat mengimplementasikan keinginan rakyat sebagai basis dari partai politik. Amandemen UUD 1945 terhadap pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara 9 Ibid. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA langsung mengisyaratkan bahwa semangat sistem perpolitikan Indonesia telah menuju kearah politik sistem multi partai akan tetapi hal tersebut hanya tersirat dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Pemilu 2004 yang melaksanakan pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara langsung, tetapi mengingat pencalonan Presiden dan wakil Presiden melalui mekanisme partai yang memiliki suara dalam jumlah tertentu maka proses koalisi partai pun tidak dapat dihindari. Alhasil, dalam pemilu 2004, Partai Golkar mengusung pasangan calon Presiden Wiranto dengan K.H.Salahuddin Wahid, PDI-P menempatkan megawati Soekarno Putri dengan K.H.Hasyim Mujadi, partai Demokrat menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kalla dimana pemilu Presiden dan wakil Presiden langsung tersebut diadakan dengan dua kali putaran karena masing-masing pasangan belum dapat menembus lima puluh persen tambah satu dari jumlah suara terbanyak seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Pada Pemilihan Umum tahun 2004, partai politik yang lolos sebagai peserta Pemilihan Umum 24 dua puluh empat partai politik, dan yang berhasil memperoleh kursi di DPR ada 16 enam belas partai politik. Dalam Pemilihan Umum tahun 2009 yang baru saja dilaksanakan, partai politik yang dapat lolos mengikuti Pemilihan Umum berjumlah 38 tiga puluh delapan partai politik yang berskala nasional dan 6 enam partai politik berskala lokal di Aceh. Dari jumlah tersebut 9 sembilan partai politik berhasil memperoleh kursi di DPR. 10 10 Suko Wiyono, Op.Cit. hlm.12. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Melalui keputusan Komisi Pemilihan Umum KPU Nomor 98SKKPU2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan sebagai pemenang grand final pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004. 11 Berdasarkan hasil penghitungan suara manual, pasangan SBY-JK memperoleh suaru 69.266.350 suara atau 60,62 dari total suaru sah. Perolehan ini jauh meninggalkan pesaing mereka di grand final, pasangan Megawati Soekarno Putri dengan Hasyim Muzadi yang memperoleh 44.990.704 suara atau 39,38 dari total suara sah. Kalau hasil itu diletakkan di tingkat provinsi, SBY-JK unggul di 28 provinsi atau 88 dan pasangan Mega-Hasyim hanya menguasi 4 provinsi atau 12 dari jumlah provinsi yang ada. Jika dirinci lebih lanjut ke tingkat kabupaten kota, berdasarkan hasil rekapituilasi yang dioleh litbang kompas 07102004 SBY-JK menang di 339 atau 77 dan Mega-Hasyim menang di 101 atau 23 keseluruhan jumlah kabupatenkota. 12 Dari jumlah perolehan angka pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2004, maka jelas terlihat pasangan SBY-JK memiliki legitimasi yang kuat dari mekanisme pemilihannya, dengan demikian, seharusnya pemerintah SBY-JK dapat menjalankan pemerintahan dengan baik tanpa harus takut bayang-bayang impeachment di DPR. Partai politik peserta pemilu yang juga terlibat dalam pemilihan Presiden pastilah memiliki kepentingan atas calon yang diusungnya, partai demokrat sebagai partai baru yang mendapat legitimasi kepercayaan rakyat Indonesia sudah tentu 11 Saldi Isra, Reformasi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,Op.Cit. hlm. 139. 12 Ibid. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memiliki peran besar dalam pemerintahan SBY-JK. Untuk itu, diperlukan suatu politik hukum yang sejak awal sudah menentukan secara tegas kemungkinan bagi terbentuknya partai berkuasa dan partai oposisi yang bersifat permanen. Pengaturan hal ini dituangkan dalam ketentuan mengenai keikutsertaan dalam Pemilu yang harus mengelompok dalam dua atau tiga koalisi antar partai yang dibentuk sebelum Pemilu dan bersifat permanen hingga Pemilu berikut dilaksanakan, sehingga Pemilu menghasilkan adanya partai berkuasa dan partai oposisi. 13 Pemilu tahun 2004 menghasilkan konfigurasi politik yang khas, dimana parlemen diisi oleh kekuatan politik yang terfragmentasi dari 17 partai politik yang terbagi menjadi 550 kursi di DPR dan sebanyak tujuh partai besar yang menguasai hampir 91 kursi di parlemen tanpa ada kekuatan yang dominan. Berdasarkan Undang-Undang N0 31 tahun 2002 tentang Partai Politik dijamin adanya kebebasan berserikat dengan mendirikan Partai Politik berdasarkan sistem multi partai. Dalam Pemilu tahun 2004 yang pelaksanaannya didasarkan pada Undang Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, telah diikuti oleh berbagai partai politik, baik partai yang telah lama berdiri maupun partai politik yang baru beberapa waktu berdiri. Pengalaman Pemilu yang diikuti banyak partai pada tahun 1999 telah memperlihatkan hasil konstelasi politik yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. 14 13 Aidul Fitriciada Azhari, Reformasi Pemilu Dan Agenda Konsolidasi Demokrasi : Perspektif Ketatanegaraan, Makalah: Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004, hlm.187. 14 Khashadi, Implementasi Sistem Multi Partai Pada Pemilu Tahun 2004 di Jawa Tengah, Semarang : Tesis, Program Megister Ilmu Hukum Universitas Dipenegoro, 2008, hlm. 18. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pemerintah SBY-JK terbangun dalam sistem yang khas, karena amanat dari undang-undang yang mengharuskan terjadinya koalisi diantara partai politik dalam pemilu Presiden tahun 2004. Pemerintah SBY-JK yang memenangkan pemilu, kemudian dalam menyelenggarakan pemerintahannya membentuk kabinet dalam membantu Presiden dan Wakil Presiden menyelenggarakan pemerintahan dengan nama kabinet Indonesia bersatu yang kemudian melibatkan beberapa partai politik, yakni Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia , Partai Bulan Bintang. Pada tahun 2005, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, terpilih menjadi ketua umum Partai Golkar berakibat kepada semakin kuatnya barisan koalisi pemerintahan SBY-JK karena masuknya beberapa partai lain, seperti Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional. Praktek penyelenggaraan pemerintah SBY-JK ditahun 2004-2009 tidak semua partai koalisi secara konsisten mendukung kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Selain faktor di atas, lemahnya sistem pemerintahan Presidensialisme Indonesia juga didasari oleh tidak adanya pemisahan kekuasaan separation of power terjadi diantara cabang-cabang kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, misalnya kewenangan legislasi kekuasaan membuat undang-undang. Di negara-negara yang menerapkan konsep pemisahan kekuasaan Amerika Serikat, kewenangan menyusun undang-undang ada pada lembaga legislatif Congres atau Senate. Sedangkan kekuasaan eksekutif adalah menjalankan mandat atau www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengeksekusi Undang-Undang. Di Indonesia, kewenangan pembuatan UU ada bersama-sama di tangan DPR dan Presiden. Keadaan semacam ini, dalam berbagai referensi pemilu disebut sebagai pemerintahan yang didasarkan pada asas “convergence of power”, dimana terjadi suatu kolaborasi di antara cabang-cabang kekuasaan dalam hal ini antara Presiden dengan DPR untuk membuat UU. Secara konstitusional UUD 1945 adalah sistem pemerintahan Presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya adalah sistem pemerintahan parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan Presiden Republik Indonesia Tahun 2004-2009 Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla SBY-JK tidak berdaya menyusun kabinet secara mandiri karena harus mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan DPR. Oleh sebab itu, dari 38 anggota kabinet, 19 menteri berasal dari delapan partai politik. Kalau akomodasi partai dalam kabinet direfleksikan dalam kekuatan di DPR, partai yang ikut memerintah sebanyak 404 kursi sekitar 73 persen dan di luar pemerintah 146 kursi sekitar 23 persen. 15 Kombinasi sistem Presidensial dengan sistem kepartaian yang diterapkan di Indonesia ,dengan Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk pertama kalinya di Indonesia pada pemilu 2004, menyebabkan adanya perbedaan basis dukungan. Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla SBY-JK terpilih secara mayoritas lebih dari 60 pada Pemilihan Presiden putaran kedua, tetapi basis 15 J.Kristiadi, Artikel : Refleksi 2 Tahun Pemerintahan SBY-JK, hlm. 2, www.hukumonline.com, dalam M. Ilham Habibie, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial Indonesia, Semarang: Tesis, Program Megister Ilmu Hukum Universitas Dipenogoro, 2009, hlm.22. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dukungan politiknya di parlemen rendah. Koalisi Kerakyatan yang dibangun oleh calon Presiden SBY-JK hanya didukung oleh Partai yang memiliki suara pada Pemilu legislatif 2004 sekitar 38,3629, sementara Megawati-Hasyim Muzadi yang membentuk koalisi kebangsaan didukung hampir 55,75 partai yang memperoleh kursi diparlemen. Kenyataan inilah yang dikhawatirkan akan menyebabkan efek buruk bagi sistem Presidensial, karena antara Presiden yang dipilih oleh rakyat, belum tentu mereka memiliki dukungan politik yang cukup kuat di parlemen. 16 Pada Mei 2007, PBB sebagai Partai yang ikut berkoalisi pada kabinet SBY-JK menyatakan mundur dari koalisi, dan pada Januari 2008, PAN juga menyatakan menarik koalisi mendukung pemerintahan SBY-JK. Di kabinet SBY-JK yang menduduki posisi menteri berasal dari hasil koalisi partai dengan komposisi tiga meneri dari partai democrat, Lima Menteri dari Golkar, Tiga Menteri dari PKS, Satu Menteri dari PBB, tiga menteri dari PAN, dua menteri dari PKB, PKPI satu menteri dan terakhir PPP dengan dua menterinya di kabinet SBY-JK. Pengaruh konstelasi politik yang terjadi akibat komposisi DPR yang di isi oleh kekuatan partai politik yang banyak inilah yang kemudian akan mempengaruhi kewenangan Presiden karena membutuhkan persetujuan oleh DPR. Karena ada beberapa Pasal di dalam UUD 1945 yang masih menjadi perdebatan diantaranya Pasal 13 ayat 1: Presiden mengangkat duta dan konsul. Pasal 13 ayat 2: Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 16 Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti Penyunting, 2009, Sistem Presidensial Dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogayakarta, hlm. 2-3. dalam Ibid. hlm.23. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pasal 13 ayat 3: Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 17 Selain itu Pasal lain yang berpotensi menghambat pelaksanaan sistem Presidensil dalam UUD 1945 adalah Pasal 11 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa: 1 Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. 2 Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, danatau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara sendiri-sendiri, sistem multipartai dan sistem Presidensial secara potensial dapat merupakan sistem yang mendukung demokrasi yang stabil. Namun, jika dijadikan satu, kedua eleman tadi dapat menghancurkan demokrasi. Oleh sebab itu, bangsa perlu menentukan pilihannya. Apakah ingin mempertahankan sistem Presidensial murni sebagaimana tersurat dalam konstitusi, yang kedudukan Presiden dan DPR sama kuat sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Maka, yang harus dimodifikasi adalah sistem kepartaiannya agar menjadi multipartai terbatas. Namun, jika yang dipilih adalah sistem multipartai tak terbatas, sistem pemerintahan Presidensial harus dimodifikasi, misalnya sistem semi presidensial yang banyak dianut negara Amerika Latin. 18 17 Ibid. hlm. 24. 18 Ibid. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada Pemilihan Umum tahun 2009, yakni Pemilu terhadap DPR, DPD, dan DPRD baik Provinsi dan KabupatenKota, juga berlangsung Pemilu terhadap Presiden dan Wakil Presiden beserta Kepala Daerah. Khusus terhadap pemilihan Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia masa bhakti 2009-2014 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum pada tanggal 8 juli tahun 2009 berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 Tambahan Lembaran Negara RI.Nomor.4801. 19 Kedua undang-undang tersebut dimungkinkan dilakukannya koalisi multipartai yang dibangun oleh para Elite Politik, sebagian karena dipengaruhi oleh dan dari dorongan kepentingan politik masing-masing orang terhadap pengelompokkan politik dan sebagian lagi karena konfigurasi kekuatan kepentingan antar elite yang saling bersaing dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009. 20 Persaingan semakin ketat ketika masing-masing elite politik mulai membangun komunikasi politik pada masa kampanye dan setelah pemilu anggota legislatif yang berlangsung pada tanggal 9 April 2009. Maksud komunikasi politik 19 Abdul Latif, Pilpres Dalam Perspektif Koalisi Multi Partai, Makalah, dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Volume 6 Nomor 3, September 2009, Jakarta, hlm. 25. 20 Ibid. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang diperankan para elite politik adalah untuk memenuhi persyaratan penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 bahwa “ pasangan calon Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 dua puluh persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 dua puluh lima persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan wakil Presiden. 21 Pasal 6A UUD 1945 dalam hubungannya dengan UU Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden, yang substansinya mengatur mengenai sistem electoral law, electoral process, dan law enforcement. Sistem electoral law yang meliputi sistem pemilu Presiden dan wakil Presiden, pembagian daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, metode penentuan pemenangpenetapan calon terpilih dengan aplikasi sistem pemilu yang digunakan. Electoral process, mengatur mengenai organisasi dan peserta pemilu, dan tahapan penyelenggaraaan pemilu Presiden dan wakil Presiden. Sedangkan law enforcement khusus mengenai pengawasan pemilu dan penegakan hukum, menurut abdul latif sulit mencerminkan ke arah Pemilu Presiden dan wakil Presiden berdasarkan sistem Presidensial dengan suara mayoritas pilihan rakyat. 22 21 Ibid. hlm.25. 22 Ibid. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sembilan partai yang saat ini duduk di parlemen, hanya Demokrat 20,85 persen, Golkar 14,45 persen, dan PDI-P 14,03 persen. PKS 7,88 persen, PAN 6,01 persen, PPP 5,32 persen, PKB 4,94 persen, Gerindra 4,46 persen, dan Hanura 3,77 persen. 23 Melihat hasil Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2009 lalu, Susilo Bambang Yudhoyono masih dipercaya rakyat untuk memimpin bangsa ini sebagai Presiden dengan Boediono sebagai wakil Presiden. SBY-Boediono yang diusung oleh Partai Demokrat dengan beberapa partai koalisi lainya berhasil memenangkan pemilihan Presiden dan wakil Presiden hanya dengan sekali putaran, berarti lebih dari 50 tambah 1 suara berhasil direbut oleh pasangan tersebut. Hal tersebut membuktikan bahwa legitimasi SBY-Boediono sebagai Presiden dan wakil Presiden semakin kuat jika kita bandingkan dengan pemilu tahun 2004 yang harus berlangsung dua kali putaran, ditambah lagi, SBY untuk kedua kalinya dipercaya rakyat untuk memimpin bangsa Indonesia. Dalam menyelenggarakan pemerintahan periode kedua, Kabinet yang dibentuk SBY-Boediono tetap memaksa mereka untuk merangkul partai-partai lain untuk mendukung pemerintahannya baik di Parlemen, maupun dengan strategi peletakan sejumlah menteri di kabinet dengan wakil partai anggota koalisi. Salah satu barisan koalisi pemerintahan SBY Jilid Dua ini dapat dilihat dengan adanya Sekretariat Gabungan yang terdiri dari beberapa partai diantaranya, Partai Demokrat, 23 Lihat Asmar Oemar Saleh, Menyederhanakan Sistem Kepartaian, Opini Dalam Republika Tanggal 19 Januari 2011. www.nitropdf.com UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SIMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Partai Golkar, PKS, PKB, PAN dan lainya, sedangkan untuk PDIP, Gerindra, Hanura berada di barisan Oposisi pemerintahan SBY-JK. Di Parlemen, kekuatan Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu tidak serta merta menjadikan partai tersebut dapat duduk tenang di DPR, karena komposisi jumlah kursi yang didapat tidak mencapai 50 atau dapat dikatakan bahwa kursi- kursi di DPR, dibagi ke beberapa partai, yakni, Golkar, Hanura, PKB,PAN, PKS, Gerindra, dan PDI-P, serta PPP dengan kapasitas yang tidak dominan dimasing- masing partai. Hal tersebut memaksan partai yang duduk di parlemen untuk tetap berkoalisi antar partai guna melancarkan segala proses kerja di parlemen, maupun untuk menjaga stabilitas pemerintahan SBY-Boediono yang diusung oleh Partai Demokrat. Dari penjelasan di atas, dapat dilakukan sebuah penelitian dengan judul “Perkembangan Sistem Pemerintahan Presidensial Pada Praktek Multi Partai di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945“

B. Perumusan Masalah