BAB II
TINJAUAN YURIDIS BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA TERORISME
PADA TAHAP PENYIDIKAN
A. Sebelum Berlakunya Undang - Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
Usaha memberantas Terorisme telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Terorisme Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism, dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against
State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism ECST tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan
paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala
Negara atau anggota keluarganya, menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil.
17
17
Loebby Loqman, Op. cit., hal. 26.
Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights Pelanggaran HAM Berat yang
dilakukan sebagai bagian yang meluassistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada
jiwa-jiwa orang tidak bersalah Public by innocent, sebagaimana terjadi di Bali.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum adanya UU No.15 Tahun 2003, kejahatan terorisme di Indonesia masih dikategorikan sebagai tindak pidana makar. Makar merupakan kejahatan
terhadap keamanan negara dan termasuk kedalam delik politik. Kejahatan terhadap negara atau makar memiliki unsur yang sama dengan delik percobaan,
yakni dimulai dengan adanya niat dan permulaan pelaksanaan. Akan tetapi
didalam makar tidak ada alasan penghapus penuntutan, sedangkan pada percobaan apabila pelaku kejahatan membatalkan niat jahatnya oleh diri sendiri
maka hapuslah penuntutan pidana terhadap perbuatan tersebut. Perbedaan lain yang terdapat antara makar dengan percobaan adalah bahwa makar memiliki
kekhususan pada objeknya, karena objek dalam perbuatan makar hanyalah terhadap beberapa hal berikut ini, antara lain :
1. Terhadap Presiden dan Wakil Presiden;
2. Terhadap Kedaulatan Negara; dan
3. Terhadap Pemerintah.
Makar merupakan kejahatan politik yang mana hanya terdapat dua
kemungkinan dengan akibat yang berbeda. Pertama, jika makar berhasil dilakukan dalam artian perbuatan makar didukung oleh rakyat maka makar ini
dijadikan sumber hukum abnormal. Sedangkan, apabila makar ini gagal dilakukan maka pelaku-pelaku yang terlibat akan dijerat dengan pasal-pasal makar
sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni yang terdapat pada pasal-pasal berikut ini :
•
Pasal 104
tentang serangan terhadap presiden atau wakil presiden;
Universitas Sumatera Utara
•
Pasal 106 tentang separatisme atau usaha memisahkan diri dari negara
kesatuan Indonesia dan menundukkan diri pada negara lain objek dalam pasal ini adalah kedaulatan negara;
•
Pasal 107 tentang usaha menggulingkan pemerintahan dengan maksud
ingin menggantikan posisi orang yang digulingkan;
•
Pasal 108 tentang melawan terhadap pemerintahan yang sah tanpa
maksud ingin menggantikan posisi dan perlawanan ini menggunakan senjata; dan
•
Pasal 110 tentang konspirasi.
Otomatis dalam hal pembuktian tindak pidana terorisme sebelum adanya UU No.15 tahun 2003, masih mengacu pada unsur – unsur yang terdapat pada pasal –
pasal tersebut di atas.
B. Dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang