D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini adalah murni dan benar – benar berasal dari pemikiran penulis dan pertanyaan - pertanyaan yang timbul dari dalam diri penulis
bahwa terhadap judul diperlukannya suatu pembahasan yang lebih dalam, keaslian penulisan ini dapat dibuktikan karena sebelum penulisan ini berlangsung penulis
telah melakukan pengecekan terhadap judul ini terlebih dahulu ke Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara apakah mengenai judul ini telah
dibahas sebelumnya atau tidak, hasil dari pengecekkan tersebut adalah penulis telah mendapatkan persetujuan dari pihak perpustakaan dan jurusan bahwasanya
judul ini dapat dilanjutkan penulisannya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Definisi Terorisme
Terorisme adalah The use or threat of violance to intimidate or
cause panic, esp. as a means of affecting political conduct.
5
5
http:www.thefreedictionary.comterror
Terjemahan bebasnya adalah, penggunaan atau upaya kekerasan untuk mengintimidasi
atau menyebabkan kepanikan, khususnya dengan membawa dampak
politik. Tindak Pidana Terorisme adalah, segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Teror atau Terorisme tidak
selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror,
tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan
Universitas Sumatera Utara
intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme
seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang
mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik.
Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem
loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang
menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian
masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.
6
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni,
ahli Hukum Pidana Internasional, bahwatidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secarauniversal
sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut.
Sedangkanmenurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan
6
http:id.wikipedia.orgwikiDefinisi_terorisme
Universitas Sumatera Utara
pandangan yang subjektif, hal manadidasarkan atas siapa yang memberikan batasan pada saat dan kondisi tetentu.
7
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan
hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi
Pencegahan dan Penghukuman Terorisme Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism, dimana Konvensi ini mengartikan
terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism ECST tahun 1977 di Eropa, makna
Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes
against State termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya, menjadi Crimes against Humanity,
dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights Pelanggaran
HAM Berat yang dilakukan sebagai bagian yang meluassistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah Public by innocent, sebagaimana terjadi di Bali.
8
7
http:definisi-pengertian.blogspot.com200912definisi-dan-pengertian-terorisme_31.html
8
http:activis.wordpress.com20091023sejarah-tentang-terorisme
Universitas Sumatera Utara
Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai
individu.” Dengan adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah
merampas hak asasi orang lain tentang rasa aman. Di sini kita bisa melihat bahwa sasaran utama terorisme bukan lagi sekadar kejahatan terhadap
negara atau kelompok atau individu, melainkan kejahatan terhadap HAM. Terorisme disebut banyak orang sebagai sebuah kejahatan yang
extraordinary, karenanya terorisme pun harus diperlakukan secara extraordinary.
9
2. Terorisme dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP Namun, apakah cukup manusiawi apabila penanganan
terhadap kasus terorisme harus dilakukan dengan memperlakukan para tersangka teroris secara tidak manusiawi? Ataukah justru sebaliknya,
masyarakat akan merasa sangat puas ketika melihat aparat keamanan berhasil ‘menghabisi’ para tersangka teroris?
Di Indonesia, berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme, seseorang yang dicurigai sebagai anggota terorisme,
polisi hanya berkenan menahan selama tujuh hari tanpa surat perintah penahanan. Ini masih terlalu ringan bilamana dibandingkan dengan negara
tetangga seperti Malaysia atau Singapura.
9
http:www.docstoc.comdocs48436101PENEGAKAN-HUKUM-DAN-HAK-ASASI- MANUSIA-DALAM-PEMBERANTASAN-TERORISME
Universitas Sumatera Utara
Di Malaysia dan Singapura misalnya, pelaku terorisme diperlakukan dengan sangat ketat. Untuk pelaku terorisme diberlakukan
prosedur hukum yang tidak biasanya seperti pada kejatahan-kejahatan biasa. Umpamanya, untuk penangkapan, polisi tidak perlu menggunakan
surat perintah penangkapan maupun surat perintah penahanan. Begitu pula tenggang waktu penahanan serta lamanya penahanan. Semuanya dilakukan
secara ekstra ketat, sehingga adakalanya si pelaku diperlakukan di luar sistem due process of law. Tidak heran pelaku terorisme ditahan hingga
bertahun-tahun tanpa proses. Secara hukum positif, Indonesia pun mengenal pembatasan hak-
hak yang relatif itu sebagaimana diatur di dalam UU No 3 Drt Tahun 1959 mengenai keadaan bahaya atau public emergency. Sekalipun demikian,
walaupun hak-hak absolut non derogable rights seperti right to life tetap harus pula dijunjung tinggi, tetapi juga social rights tidak boleh terabaikan
sebagai bagian dari pemeliharaan generasi.
10
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP belum
mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk
membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
10
http:www.docstoc.comdocs48436101PENEGAKAN-HUKUM-DAN-HAK-ASASI- MANUSIA-DALAM-PEMBERANTASAN-TERORISME
Universitas Sumatera Utara
Perpu nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP, merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan,
mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di
dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap
bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu
perundang-undangan Hukum Pidana. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap
perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan Undang-Undang yang telah ada dianggap
memakan banyak waktu. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera
menanganinya. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Universitas Sumatera Utara
Kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara,
seperti:
11
a. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal
KUHP. b.
Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
c. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP
tentang kejahatan terorisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus
dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk
memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut
adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab
yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, Pasal 103 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana KUHP menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang
11
http:www.scribd.comdoc41074702Terorisme-Di-Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Hukum Pidana KUHP selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tersebut tidak mengatur lain.
3. Terorisme dan Alat Bukti Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana KUHAP
Dalam hukum acara pidana Indonesia KUHAP, sistem administrasi peradilan pidana sangatlah tidak memadai apabila ketentuan
ini diterapkan untuk pelaku terorisme karena penahanan berdasarkan Pasal 21 KUHAP, ketentuan ini sangatlah mudah dan biasa-biasa saja untuk
sebuah kejahatan luar biasa seperti terorisme. Oleh sebab itulah, sangat dimungkinkan aparat penegak hukum khususnya aparat kepolisian
menyimpang dari prinsip-prinsip tentang due process of law, atau equality before the law yang terdapat dalam ICCPR International Covenant on
Civil and Political Rights yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Pembatasan terhadap prinsip-prinsip tersebut dapat dilakukan karena
undang-undang pun mengenal apa yang disebut derogable rights, hak-hak yang bersifat relatif.
12
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga
terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHPKitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana KUHAP lex specialis derogat lex generalis. Keberlakuan
12
http:advokathandal.wordpress.comperlindungan-hak-asasi-tersangkaterdakwa-dalam- pemberantasan-terorisme-di-indonesia
Universitas Sumatera Utara
lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi criteria bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan
oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang. Pasal-pasal KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa diatur didalam Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP yang menyatakan
Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan suatu alat bukti saja umpamanya
dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah, akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan
demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dan arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang
demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau ditimbulkan dari dari alat-alat bukti yang sah.
Sedangkan yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang diterangkan di dalam Pasal 184 KUHAP sebagai
berikut : a.
Keterangan saksi; b.
Keterangan ahli; c.
Surat; d.
Petunjuk;
Universitas Sumatera Utara
e. Keterangan terdakwa.
Seperti diketahui bahwa didalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak absolut. Bahwa semua pengetahuan
kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan, dan pemikiran tentang sesuatu yang selalu tidak pasti benar. Jika
diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka sebagian besar dari pelaku tindak pidana tidaklah dapat di
hukum, pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu- satunya yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah
adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang telah di dakwakan sedangkan
ketidaksalahannya walaupun selalu ada kemungkinan merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima.
Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang selalu yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak
pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah dalam hal tersebut yang bersalah guilty, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang
sah dan meyakinkan.
13
13
http:arisirawan.wordpress.com20100218peranan-barang-bukti-dalam-pembuktian-perkara- pidana-menurut-pasal-183-k-u-h-a-p
Dan dalam hal pembuktian pidana kita mengenal istilah yang berbunyi : “Tidak dipidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa
Belanda :“Geen straf zonder schuld” disinilah letak pelunya pembuktian
Universitas Sumatera Utara
tersebut apakah seseorang benar-benar bersalah menurut apa yang diatur dalam Undang-undang yang ditujukan kepadanya.
Dalam hal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas
alat-alat bukti yang tidak mencukupi. Umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi saja ataupun karena keyakinan tentang tindak pidana itu
sendiri tidak ada. Maka haruslah ketentuan yang menjadi keharusan didalam Pasal 183 KUHAP tersebut terpenuhi keduanya. Hakim tidak
boleh memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang diketahui dari luar persidangan. Tetapi haruslah memperoleh dari bukti
yaitu dari alat-alat bukti yang sah dan adanya tambahan dari keterangan barang bukti yang terdapat di dalam persidangan, sesuai dengan syarat-
syarat yang di tentukan Undang-undang, umpama dalam hal terdakwa tidak mengakui dari atau dengan kesaksian sekurang-kurangnya dua orang
saksi yang telah di sumpah dengan sah dimuka pengadilan.
4. Pengertian Fungsi Intelejen dan Definisi Laporan Intelejen
Intelejen merupakan pilar penting bagi kelangsungan hidup suatu pemerintahan, rejim, dan Negara, atau siapaun juga yang mewarisi
mahkota sebagai “yang berdaulat” the sovereign. Di Negara pasca kolonial atau otoriter, fungsi intelejen yang dilakukan oleh dinas polisi
rahasia, agen rahasia danatau mata – mata spies merupakan instrument yang lebih berpihak kepada kekuasaan dari pada rakyat. Di Negara
Universitas Sumatera Utara
demokrasi, termasuk Amerika Serikat, etos intelejen mungkin saja berpihak kepada pelayanan publik namun realitas politik birokrasi acapkali
menyebabkan intelejen berpihak kepada kepentingan politik. Kegiatan-kegiatan intelijen negara di tataran strategik, operasional
dan taktis dilakukan oleh banyak lembaga yang diberi mandat oleh negara untuk menjalankan fungsi intelijen. Seluruh lembaga yang menjalankan
fungsi intelijen harus bergabung dalam suatu mekanisme koordinasi terpadu antar elemen komunitas intelijen nasional. Komunitas intelijen
nasional terdiri dari lima tipe organisasi:
14
a. Intelijen nasional yang menjalankan fungsi-fungsi intelijen
untuk mengantisipasi ancaman keamanan dalam negeri yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu Badan Intelijen Negara
BIN; b.
Intelijen kriminal dan yustisia yang dilakukan oleh intelijen kepolisian, intelijen bea cukai, intelijen imigrasi, serta intelijen
kejaksaan.; c.
Intelijen pertahanan dan luar negeri yang menjalankan fungsi intelijen strategik untuk mengatasi ancaman keamanan yang
bersifat eksternal yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu Badan Intelijen Strategis BIS yang berada di bawah
Departemen Pertahanan;
14
http:www.propatria.or.idloaddownPaper20DiskusiRationale,20Hakikat20dan20Pengat uran20Fungsi20Intelijen20-20Kusnanto20Anggoro.pdf
Universitas Sumatera Utara
d. Intelijen-intelijen tempur yang melekat pada satuan-satuan
tempur yang diwakili oleh asisten-asisten intel di Mabes TNI dan angkatan; dan
e. Lembaga-lembaga pemerintahan yang fungsinya dan atau
terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional seperti Lembaga Sandi Negara, Badan SAR Nasional, Badan
Narkotika Nasional, Badan Meteriologi dan Geofisika , Badan Pusat Statistik BPS, lembaga-lembaga yang menjalankan
fungsi pengintaian dan pengindraan Surveillance and reconnaissance, Lembaga Elektronika Nasional, Lembaga
Antariksa dan Penerbangan Nasional, serta Badan Tenaga Atom Nasional.
Dalam perkembangannya fungsi peringatan dini dan perkiraan akhirnya menjadi fungsi intelijen. Meletakkan fungsi ini kepada intelijen
bukan hasil suatu proses akademik dan intelektual tetapi lebih kepada hasil pengalaman sejarah dan kecenderungan manusia untuk menghindar dari
beban berat ketika peristiwa besar itu terjadi. Apa pun prosesnya, nampaknya harus sepakat bahwa fungsi peringatan dini dan perkiraan
menjadi fungsi intelijen dan intelijen harus siap menaggung beban dan konsekuennya. Dalam kalimat yang lebih arif dirumuskan bahwa fungs
iintelijen nadalah menyampaikan fakta-fakta dan meyakinkan para pengambil keputusan.
F. Metode Penelitian