Karyadi , seorang purnawirawan berpangkat komisaris besar polisi,

intelijen harus mampu memutus jaringan seperti ini. Anggota Intelijen Detasemen 88 Antiteror, sebagai alat negara dalam mencegah dan menanggulangi terorisme diharapkan untuk berbuat dan bertindak mengacu sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku karena jika tidak sesuai dengan aturan yang ada maka akan bisa menjadi boomerang bagi lembaga Kepolisian sendiri sendiri terutama Detasemen 88 Antiteror pada khususnya, jangan sampai salah tangkap dan harus mengingat azas Praduda tak bersalah presumption of innocence dan seringkali mereka tidak mengindahkan azas ini sehingga sering muncul permasalahan.

M. Karyadi , seorang purnawirawan berpangkat komisaris besar polisi,

dalam bukunya, Intelijen: Pengawas Keselamatan Negara, membagi intelijen ke dalam 2 jenis : 24 4. Intelijen terbuka open intelligence; Ia menjelaskan bahwa kegiatan intelijen terbuka dilakukan secara terang-terangan, misalnya membaca dan mempelajari buku- buku dan kesusasteraan mengenai persoalan tertentu; membaca, mempelajari, dan mengikuti secara terus-menerus pengumuman- pengumuman resmi pemerintah negara lain; membaca dan mempelajari berita-berita dalam surat kabar atau media elektronik; mendengarkan, mencatat, dan mempelajari siaran-siaran radio luar dan dalam negeri, pemerintah maupun swasta, juga radio gelap; membaca dan mempelajari dokumen-dokumen, statistik-statistik, dan 24 http:wisnusudibjo.wordpress.com20080328intelijen-spionase-alat-lain-imperialisme-barat Universitas Sumatera Utara sebagainya; melihat, memperhatikan, dan mempelajari dengan tajam segala sesuatu yang dialami pada waktu mengadakan peninjauan di suatu tempat atau daerah. 5. Intelijen rahasia secret intelligance. Intelijen rahasia merupakan intelijen yang melakukan kegiatannya secara tertutup, seperti mencari dan mengumpulkan bahan-bahan keterangan dan data-data secara tidak terang-terangan; membinasakan atau mengurangi kekuatan material lawannya dengan jalan sabotase dan lain-lain secara tersembunyi; merusak jiwa atau moral lawan dengan jalan propaganda yang menjelek-jelekkan; mengacau, membunuh, menculik, membakar dan sebagainya bukan dengan jalan terang-terangan. Bagi agen rahasia, penyusupan ke negeri-negeri target dengan menjadikan rakyat sebagai sasaran sangatlah efektif dengan tujuan mempengaruhi alam berpikirnya sehingga muncul rasa tidak percaya kepada pemimpinnya; mereka pun menjadi bingung, panik, takut, serta saling mencurigai dan saling menuduh. Jauh lebih efektif apabila agen rahasia itu dapat mendekati dan mempengaruhi opinion leader pemuka pendapat, baik yang formal maupun yang tidak formal, sehingga pendapat opinion leader inilah yang mampu secara massif mempengaruhi opini publik. Dengan begitu, opini publik dapat dengan mudah dikendalikan. Konsep inilah yang telah dan sedang dipraktikkan intelijen Barat terhadap Dunia Islam. Universitas Sumatera Utara Dibanding organisasi - organisasi lainnya di sektor keamanan, badan intelijen memang memiliki keunikan yang menyulitkan pengendalian dan permintaan pertanggunjawaban dari badan tersebut. Kerumitan utama dari suatu badan intelijen adalah kebutuhannya untuk menjaga kerahasiaan agar dapat berfungsi secara efektif. Bila lembaga intelijen membuka kegiatan-kegiatannya kepada publik maka tindakannya itu sama dengan membongkar rahasianya kepada target-target operasinya. Lembaga intelijen harus menjaga kerahasiaan anggaran, operasi serta hasil maupun prestasi kerjanya. Karena itu pekerjaan lembaga intelijen tidak diperdebatkan secara terbuka atau di parlemen seintensif perdebatan tentang bagian-bagian fungsi pemerintah lainnya yang diawasi secara cermat oleh media. Tingkat kerahasiaan tentang masalah-masalah intelijen selalu dijaga dalam tubuh pemerintahan dan hal ini menimbulkan konflik yang tak terselesaikan dengan gagasan demokrasi. Akibatnya lembaga intelijen tetap menjadi identitas yang paling sulit dan paling sedikit dikendalikan. Dalam negara demokrasi, badan intelijen harus berusaha untuk bekerja secara efektif, netral dan non-partisan serta mematuhi etika profesional dan beroperasi sesuai dengan mandat legalnya selaras dengan norma-norma legal- konstitusional serta praktek-praktek negara demokrasi. 25 25 Gill, Peter. 2003. Democratic and Parliamentary Accountability of Intelligence Services after September 11th. Geneva, January 2003. Geneva Centre for the Democratic Control of the Armed Forces. Working Paper No. 103. Syarat yang harus dipenuhi agar pengawasan demokratis dapat berjalan adalah pengetahuan yang mendalam tentang tujuan, peranan, fungsi dan misi badan intelijen. Pengetahuan dan pemahaman seperti itu juga dibutuhkan untuk membuat intelijen lebih cerdas Universitas Sumatera Utara dan agar reformasi apapun menyangkut badan intilejen dilakukan sesuai dengan norma dan standar demokrasi. Dapat dilihat dari kasus Bank CIMB dimana Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri BHD menegaskan, komplotan perampok Bank CIMB Niaga yang terjadi 18 Agustus 2010 silam terkait dengan jaringan terorisme. Penegaskan itu disampaikan Kapolri dalam keterangan pers, di Mapolda Sumut, Medan, Senin 209, menyusul penangkapan oleh Densus 88 di Tanjung Balai, Belawan Sumut dan Lampung. Kelompok ini juga memiliki kaitan dengan gebong teroris Dulmatin yang sudah mati ditembak. Tertangkapnya gembong Fadli Sadama yang berperan sebagai otak perampokan Bank CIMB Medan beberapa bulan lalu, dilakukan oleh pihak tim densus 88 yang dibantu dengan adanya beberapa informasi yang didapat dari tersangka yang berhasil ditangkap yaitu Abah alias Abu jihad, wakilnya Emir Mustaqim yang tergabung dalam kelompok Al-Qaeda Aceh. Dari informasi yang diberikan oleh Abah alias Abu Jihad inilah maka tim densus 88 segera bertindak cepat untuk menangkap tersangka yang lain. Informasi yang diterima berupa laporan dari pihak intelijen yang sangat rahasia sehingga tim bertindak cepat. Laporan intelijen dilakukan secara rahasia dikarenakan tersangka yang dicari yaitu seorang teroris, dimana teroris dinegara manapun sangat dikecam tindakannya. Dilakukan secara rahasia dikarenakan agar tidak terjadi kebocoran informasi oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab. Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas Universitas Sumatera Utara terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga seluruh anggota PBB termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota PBB untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya. Aparat penegak hukum harus bertindak tegas terhadap penanganan dan pengungkapan suatu tindak kejahatan para pelaku tindak pidana terorisme lewat lembaga peradilan. Melalui lembaga peradilan ini, penegak hukum tindak pidana terorisme selain menerapkan Undang- undang Nomor 15 Tahun 2003 Jo. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tidak kalah pentingnya dengan penerapan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. KUHAP mengatur sistem peradilan pidana yang terdiri dari beberapa subsistem, singkatnya, dalam berperkara melalui proses acara pidana perlu ditempuh beberapa tahapan antara lain penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, putusan, dan eksekusi. Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaKUHAP, penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Universitas Sumatera Utara Hukum Acara PidanaKUHAP menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukt i Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi: 26 1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen. 2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri. 3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 tiga hari. 4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan. 26 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Op. cit., Penjelasan pasal 26. Universitas Sumatera Utara Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh KetuaWakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu prosesmekanisme pemeriksaan Hearing secara tertutup. Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaKUHAP. Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dokumen yang terkait

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Penyidikan di Polresta Medan dan Kejari Medan)

1 56 134

Tinjauan Kriminologis Dan Hukum Pidana Terhadap Peranan Kepolisian Dalam Menangani Pelaku Tindak Pidana Akibat Pengaruh Narkoba Suntik Di Kota Medan (Studi Di Polresta Medan)

0 73 111

Tingginya Tindak Pidana Penganiayaan Di Kota Medan Dan Upaya Penanggulangannya (Studi Di Polresta Medan)

4 39 92

Tingginya Tindak Pidana Penganiayaan Di Kota Medan Dan Upaya Penanggulangannya (Studi Di Polresta Medan)

2 42 87

Peranan laboratorium forensik POLRIdalam pemeriksaan barang bukti guna kepentingan penyidikan tindak pidana penyalahgunaan PSIKOTROPIKA

0 4 95

PENGGUNAAN FOTOGRAFI FORENSIK OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN POLRESTA SURAKARTA DALAM PENYIDIKAN Penggunaan Fotografi Forensik Oleh Penyidik Kepolisian Polresta Surakarta Dalam Penyidikan Tindak Pidana ( Studi Kasus Di Polresta Surakarta ).

0 4 19

SKRIPSI Penggunaan Fotografi Forensik Oleh Penyidik Kepolisian Polresta Surakarta Dalam Penyidikan Tindak Pidana ( Studi Kasus Di Polresta Surakarta ).

0 5 13

PENDAHULUAN Penggunaan Fotografi Forensik Oleh Penyidik Kepolisian Polresta Surakarta Dalam Penyidikan Tindak Pidana ( Studi Kasus Di Polresta Surakarta ).

0 6 19

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Peranan Laboratorium Forensik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Polri Cabang Semarang).

0 2 11

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Peranan Laboratorium Forensik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Polri Cabang Semarang).

1 3 17