Dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang

• Pasal 106 tentang separatisme atau usaha memisahkan diri dari negara kesatuan Indonesia dan menundukkan diri pada negara lain objek dalam pasal ini adalah kedaulatan negara; • Pasal 107 tentang usaha menggulingkan pemerintahan dengan maksud ingin menggantikan posisi orang yang digulingkan; • Pasal 108 tentang melawan terhadap pemerintahan yang sah tanpa maksud ingin menggantikan posisi dan perlawanan ini menggunakan senjata; dan • Pasal 110 tentang konspirasi. Otomatis dalam hal pembuktian tindak pidana terorisme sebelum adanya UU No.15 tahun 2003, masih mengacu pada unsur – unsur yang terdapat pada pasal – pasal tersebut di atas.

B. Dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang

Hukum Acara Pidana Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak dijelaskan secara eksplisif mengenai pengertian pembuktian dalam pasal-pasal tertentu, namun mengenai pengertian pembuktian ini tersebar pada satu bab khusus mengenai pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu yang terdapat di dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 202 KUHAP. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pentingnya pembuktian didalam penyelesaian suatu perkara pidana di Indonesia. Universitas Sumatera Utara Suatu pembuktian menurut hukum merupakan suatu proses menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang dalam hubungannya didalam perkara pidana. Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian. Indonesia sekarang ini telah mempunyai landasan hukum untuk tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang mulai berlaku tanggal 18 Oktober 2002. Dan Perpu ini telah disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Rancangan Undang - Undang Intelijen Negara mempunyai semangat untuk memaksimalkan peran badan intelijen dalam upaya melakukan pencegahan untuk mengamankan negara, namun dalam praktik seringkali mempunyai semacam benturan-benturan dengan hak asasi manusia dan akses publik. Perpu No 1 Tahun 2002 ini menuai kritik berbagai pihak lantaran dipandang memberikan kekuasaan berlebihan kepada negara sehingga cenderung mengancam masyarakat sipil dan tidak memberikan efek korektif terhadap lemahnya perangkat dan institusi hukum selama ini. Pemerintah dipandang memberikan reaksi berlebihan untuk menghindari dampak politik di tingkat internasional lantaran mayoritas korban dalam tragedi tersebut adalah warga negara asing, padahal frekuensi kasus-kasus serupa meningkat tajam paska 1997- 1998 dan tidak mendapat perhatian serius. Perpu No 1 Tahun 2002 tersebut Universitas Sumatera Utara akhirnya ditetapkan menjadi Undang - Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. Sebagaimana Perpu No 1, pemerintah juga membuat Undang - Undang No.16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang - Undang. Begitu pun halnya dengan Rancangan Undang - Undang Rahasia Negara, dapat berpengaruh cukup banyak terhadap badan intelijen, sehingga informasi yang bersifat publik yang ada padanya tertutup atau sangat sedikit dapat diakses oleh publik. Maraknya aksi tindak pidana terorisme, seperti yang terjadi di Bali beberapa tahun lalu dan belum tuntasnya penangkapan tokoh-tokoh teroris yang selama ini dicari, semakin menguatkan pendapat bahwa badan intelijen di Indonesia kurang bertenaga. Kurang bertenaganya badan intelijen, karena akibat terbatasnya kewenangan, sebab tidak memiliki kekuasaan untuk menangkap, memeriksa, dan menahan orang yang dicurigai merencanakan atau pun pelaku teror. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan pada masa dahulu, dimana pelaksanaan intelijen oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Kopkamtib sangat kuat dengan kekuasaan menangkap, memeriksa dan menahan. Perubahan rezim dan orientasi masalah nasional maupun regional memang mengubah cara pandang terhadap intelijen. Intelijen tidak lagi dianggap suatu lembaga yang begitu dengan mudah menyimpang dari hukum dan hak asasi Universitas Sumatera Utara manusia. Intelijen harus selaras dengan prinsip prinsip negara demokrasi yang menjamin hak asasi manusia dan akses publik. Dalam kerangka inilah akuntabilitas terhadap publik dan hak publik harus terjamin. Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Kitab Undang- Undang Hukum Acara PidanaKUHAP. Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaKUHAP. Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP. Apabila memang diperlukan suatu Universitas Sumatera Utara penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan- ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut. Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaKUHAP, penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaKUHAP menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 menyatakan : 1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. Universitas Sumatera Utara 2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri. 3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 tiga hari. 4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan arbitrary detention pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal ini seperti Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Pasal 183 KUHAP menjelaskan tentang apa apa yang diharuskan di dalam suatu pembuktian perkara pidana di Indonesia diantaranya perlunya minimal dua alat bukti yang sah yang memperoleh keyakinan hakim bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya, hal ini sangat penting karena Universitas Sumatera Utara menjadi patokan dalam proses pembuktian di Indonesia, gunanya adalah tidak lain dari untuk mencari suatu kebenaran materil. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum acara pidana yang antara lain dapat dibaca didalam pedoman pelaksanan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman sebagai berikut : 18 Prinsip batas minimal pembuktian yang terdiri sekurang-kurangnya dua alat bukti, bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi di tambah satu alat bukti yang lain, hal ini merupakan batasan pembuktian yang lebih ketat dari pada dahulu yang di atur di dalam HIR yaitu pada Pasal 292 sampai dengan Pasal 322 tentang permusyawaratan, bukti dan putusan hakim, hal ini sangat berdampak pada suasana penyidikan yang tidak lagi main tangkap dulu baru nanti di pikirkan pembuktian, namun metode kerja penyidik menurut KUHAP haruslah di balik yaitu lakukan penyidikan dengan cermat dengan teknik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan bukti yakni alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 “ Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelangaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwakan itu dapat di persalahkan.” 18 Andi hamza, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika. Universitas Sumatera Utara KUHAP dan termasuk bukti lain yang berasal dari barang-barang bukti hasil kejahatan. Dari bukti bukti tersebut baru dilakukan pembuktian. Mengenai barang-barang bukti yang dimaksud yaitu diatur didalam Pasal 39 KUHAP tentang apa apa yang dapat dikenakan tidakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara yang dapat dikatakan sebagai barang bukti. Di pengadilan barang bukti tersebut dipergunakan pada saat pemeriksaan barang bukti guna dilakukanya pengesahan terhadap barang bukti tersebut yang dilakukan dengan cara memperlihatkan langsung kepada terdakwa maupun saksi, lalu diberikan pertanyaan baik kepada terdakwa maupun saksi yang berhubungan dengan barang bukti yang dihadirkan didalam persidangan guna terang dan ditemukannya fakta-fakta mengenai kesalahan terdakwa atau ketidaksalahan tedakwa sendiri guilty or not guilty. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pentingnya adanya pemeriksaan barang bukti di pengadilan guna mengungkapkan suatu peristiwa pidana. Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran suatu peristiwa tersebut. Dalam proses acara pidana sangat diperlukan adanya pembuktian yang memegang peranan penting didalam sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Bahwa di dalam Pasal 183 KUHAP ini diisyaratkan pula bahwa segala pembuktian haruslah didasarkan atas adanya keyakinan hakim terhadap minimum alat bukti yang diatur di dalam undang-undang ini. Pembuktian ini juga diatur di dalam aturan yang dahulu diatur HIR pada Pasal 294 yaitu sebagai berikut “Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain Universitas Sumatera Utara jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu.” Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa didalam sistem pumbukt ian di Indonesia baik dahulu yang di atur di dalam HIR maupun sekarang yang diatur di dalam KUHAP mengisyaratkan pentingnya keyakinan hakim dalam pembuktian perkata pidana. Pasal 187 KUHAP menegaskan bahwasanya Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lainnya. Universitas Sumatera Utara Jadi, print out SMS hanya dapat dijadikan alat bukti dipersidangan pidana bilamana print out tersebut diperkuat oleh sumpah dari pihak yang menerbitkan print out tersebut tanpa diperkuat sumpah, maka fhotocopy print out SMS tersebut hanya berlaku sebagai alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud dan di atur Pasal 188 KUHAP sebagai berikut : 1 Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 2 Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan Terdakwa. 3 Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana Universitas Sumatera Utara pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme 19 , Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Perpu nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP, merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena : 20 1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di 19 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No.15 tahun 2003, LN. No.45 tahun 2003, TLN. No.4284, Konsiderans. 20 Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 1990 Universitas Sumatera Utara masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana. 2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu. 3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya. 4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.

C. Sistem Pembuktian, Beban Pembuktian, Alat Bukti Dalam Undang-undang

Dokumen yang terkait

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Penyidikan di Polresta Medan dan Kejari Medan)

1 56 134

Tinjauan Kriminologis Dan Hukum Pidana Terhadap Peranan Kepolisian Dalam Menangani Pelaku Tindak Pidana Akibat Pengaruh Narkoba Suntik Di Kota Medan (Studi Di Polresta Medan)

0 73 111

Tingginya Tindak Pidana Penganiayaan Di Kota Medan Dan Upaya Penanggulangannya (Studi Di Polresta Medan)

4 39 92

Tingginya Tindak Pidana Penganiayaan Di Kota Medan Dan Upaya Penanggulangannya (Studi Di Polresta Medan)

2 42 87

Peranan laboratorium forensik POLRIdalam pemeriksaan barang bukti guna kepentingan penyidikan tindak pidana penyalahgunaan PSIKOTROPIKA

0 4 95

PENGGUNAAN FOTOGRAFI FORENSIK OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN POLRESTA SURAKARTA DALAM PENYIDIKAN Penggunaan Fotografi Forensik Oleh Penyidik Kepolisian Polresta Surakarta Dalam Penyidikan Tindak Pidana ( Studi Kasus Di Polresta Surakarta ).

0 4 19

SKRIPSI Penggunaan Fotografi Forensik Oleh Penyidik Kepolisian Polresta Surakarta Dalam Penyidikan Tindak Pidana ( Studi Kasus Di Polresta Surakarta ).

0 5 13

PENDAHULUAN Penggunaan Fotografi Forensik Oleh Penyidik Kepolisian Polresta Surakarta Dalam Penyidikan Tindak Pidana ( Studi Kasus Di Polresta Surakarta ).

0 6 19

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Peranan Laboratorium Forensik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Polri Cabang Semarang).

0 2 11

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Peranan Laboratorium Forensik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Polri Cabang Semarang).

1 3 17