Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan dizaman modern semakin hari semakin kompleks. Berbagai jenis faktor seperti lingkungan, situasi dan kondisi saat ini sangat berpengaruh bagi mudahnya berbagai penyakit berbahaya mengintai. Suatu penyakit dapat menyerang siapa saja, baik laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak sekalipun. Sudah merupakan hal yang wajar ketika para orangtua mendambakan memiliki anak-anak yang sehat baik secara fisik dan psikis, mampu melewati tahapan perkembangan yang normal, bermain, dan menikmati setiap alur kehidupan yang lazimnya dijalani oleh anak-anak lainnya. Namun, tidak semua orangtua dikaruniakan anak yang sehat. Beberapa diantaranya merupakan penyakit-penyakit yang serius, seperti penyakit Leukemia, atau penyakit kelainan darah Thalassaemia Kusumawardani, 2010. Thalassaemia merupakan kelainan genetik yang paling sering ditemui dan juga suatu penyakit yang banyak dialami orang Amerika keturunan Italia Tim Penulis Fakultas Kedokteran UI, 1985. Berdasarkan National Academy of Sciences, terdapat lebih dari 100.000 bayi diseluruh dunia yang lahir dengan keadaan dan kondisi yang berat dari Thalassaemia seperti, kulit pucat kekuningan, muka thalassaemia dan sebagainya Cooley s Anemia Foundation, 2006. Jumlah penderitanya di Indonesia sudah mencapai 20.000 orang penderita dari jumlah 200 juta orang penduduk Indonesia secara keseluruhan Kompas, 2009. Sampai saat ini penyebab berkembangnya penyakit Thalassaemia masih belum dapat diketahui selain dari turunan genetik kedua orangtua penderita. Hampir serupa dengan isu fenomena penyakit HIVAIDS yang merupakan fenomena gunung es, begitu juga dengan Thalassaemia yang di perkirakan jumlahnya penderitanya lebih banyak yang tidak terdata dibandingkan jumlah penderita yang terdata Jawa Pos, 2008. Dalam harian Suara Merdeka 2009 Universitas Sumatera Utara menyebutkan Thalassaemia merupakan kelainan darah yang disebabkan oleh kurangnya haemoglobin sehingga diperlukannya transfusi darah secara rutin. Tamam 2009 menyebutkan sebagian besar orangtua yang mempunyai anak penderita Thalassaemia merasakan beban yang berat baik beban moral maupun material. Hal ini disebabkan selain harus terus memonitor tumbuh kembang si anak, biaya yang dibutuhkan untuk transfusi darah juga tergolong sangat mahal, bisa menghabiskan jutaan rupiah tiap bulannya. Selain biaya yang menjadi masalah, yang menjadi persoalan lainnya adalah penyakit ini adalah penyakit yang diidap seumur hidup, artinya penyakit ini merupakan penyakit yang tidak dapat sembuh. Tindakan medis yang dilakukan selama ini bukan menyembuhkan akan tetapi sebagai supportif dan bersifat sementara untuk mempertahankan hidup Lanni, 2008. Hal diatas cukup membuat siapa saja mengalami beban pikiran seperti kecemasan dan stress, terutama pada orangtua yang memiliki anak dengan penyakit Thalassaemia tersebut. Masalah biaya dan resiko paling parah yang akan dihadapi oleh anak merupakan faktor utama kecemasan orangtua. Hawari 2000 menyebutkan bahwa kecemasan dapat menjadi reaksi emosional yang normal di beberapa situasi lainnya. Misalnya kecemasan orangtua ketika menghadapi anak yang sakit, bukan hanya sakit yang kronik, sakit demam biasa pun hampir setiap orangtua sering tidak dapat tidur di malam hari sampai panas tubuh anaknya dapat di kontrol atau berubah menjadi suhu tubuh yang normal, demikian pula dengan anak yang harus menghadapi transfusi darah setiap satu sampai dua kali per bulan Wahidiyat, 2009. Brewis 1995 mengatakan bahwa dari beberapa penelitian menunjukkan adanya rasa cemas pada orangtua selama perawatan anak di rumah sakit terutama pada kondisi sakit anak yang kritis karena takut akan kehilangan anak yang dicintainya dan adanya perasaan berduka. Kecemasan menurut Keable 1997 merupakan suatu rangsangan emosional yang berlebihan, yang meliputi kognitif dan perilaku. Hal-hal lain yang menyebabkan orangtua cemas adalah ketika orangtua mendapatkan informasi-informasi buruk Universitas Sumatera Utara tentang diagnosis medik anaknya, adanya perawatan yang tidak direncanakan, dan pengalaman perawatan di rumah sakit sebelumnya yang dirasakan menimbulkan suatu trauma tertentu Supartini, 2002. Selanjutnya, Hawari 2000 juga menjelaskan bahwa trauma tersebut dapat berupa ketidakmampuan orangtua menemani anak menjalankan serangkaian pengobatan langsung seperti melihat anak disuntik atau diberikan obat secara langsung dan sebagainya. Ada beberapa hal yang membuat orangtua menjadi cemas ketika anak- anak mereka diberikan perawatan di rumah sakit. Selain para orangtua mengkhawatirkan proses medis yang harus dilewati oleh anak-anaknya, juga keharusan untuk mampu menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa proses medis dan perawatan tersebut harus mereka lewati, seperti halnya menjelaskan informasi mengenai penyakit yang mereka alami, treatment yang harus dilewati, dan mencoba menghilangkan ketakutan anak-anak mereka. Kecemasan lain yang dirasakan orangtua selama anak dalam masa perawatan adalah ketika anak tersebut merasakan nyeri atau sakit, namun tidak dapat mengutarakannya Sarafino, 2006. Ayah mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap seluruh anggota keluarganya, akan tetapi selama ini perannya kurang mendapat sorotan. Dagun 2002 menyebutkan bahwa peran ayah selama ini kurang mendapat perhatian dan cenderung mendapat pengabaian. Dalam teori klasik Marlina 2009 mengatakan bahwa seorang ayah sering digambarkan sebagai seorang yang tidak ikut terlibat langsung dalam perkembangan anak, ayah hanya diposisikan sebagai pencari nafkah. Ayah sering dianggap tidak perlu terlibat dalam urusan rumah tangga karena kondisi kehidupan masyarakat memaklumi juga beberapa pandangan atau ideologi akan ikut mempengaruhi tentang cara pandang mengenai peran penting seorang ayah. Tugas seorang ayah secara tradisional adalah melindungi keluarga dan mencari nafkah, namun kemudian diperluas dalam hal-hal yang menyangkut child management dan pendidikan. Ayah biasanya menegakkan disiplin bagi anaknya Hawadi, 2001. Ayah yang kurang berperan dalam menjalankan Universitas Sumatera Utara fungsi keayahannya akan membawa berbagai dampak yang buruk bagi anak- anaknya. Berbagai masalah dan hambatan siap menghadang tugas ayah dalam menjalankan perannya. Diantaranya adalah kurangnya kesempatan bagi ayah untuk hadir dalam kehidupan pribadi anaknya. Tiada lain seorang ayah yang hidup dalam zaman ini memerlukan komitmen ekstra kuat untuk menyediakan waktu bagi anak-anaknya Elia, 2000. Menurut Sutedja 2009 kehadiran ayah yang tangguh diperlukan setiap anak-anak untuk menjadi kuat dan tabah. Ayah adalah role model untuk anaknya dan semua anak memerlukan figur ayah yang positif. Ayah yang mudah menyerah akan membuat anak-anaknya lebih mudah putus asa dan menjadi tidak tabah dalam kehidupannya yang akan datang. Masih menurut Sutedja, perkataan yang positif yang dikeluarkan dari mulut ayah akan menjadi motivasi besar buat anak-anaknya dibandingkan perkataan berupa cercaan dan cemoohan. Friedman 1998 menyebutkan bahwa ayah merupakan sosok yang kuat dan tegar yang dapat memberikan dorongan kepada angota keluarga yang lain bila ada masalah, sehingga kecemasan yang ditampilkan ayah kurang dapat terlihat secara kasat mata. Peran ayah yang biasa disebut sebagai fathering lebih merujuk kepada pengertian parenting, hal ini karena fathering dapat dijelaskan sebagai suatu peran yang dimainkan seorang ayah dalam kaitannya dengan tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri di masa kedewasaannya, baik secara fisik maupun biologis. Seperti yang dipaparkan oleh seorang responden berikut yang merupakan ayah dari seorang anak penderita Thalassaemia yang berjenis kelamin laki-laki berikut ini: Ya... mungkin ini memang kehendak Tuhan saya memiliki anak yang menderita kelainan darah. Yang penting sekarang adalah bagaimana anak ini bisa tetap sehat. Saya sebenarnya juga ga kuat liat dia di jarum seperti itu, saya aja ga sanggup untuk disuntik, sekarang anak sekecil itu harus ngerasain jarum setiap bulan... saya sih berusaha kuat supaya istri saya juga seperti itu, karena sejak didiagnosa anak kami menderita Thalassaemia, mamanya jadi sering nangis... Komunikasi Personal, Mei 2010. Universitas Sumatera Utara Pemaparan yang ditunjukkan ayah yang meninggalkan pekerjaannya demi menemani anaknya yang sakit ditunjukkan dalam wawancara berikut ini: Sejak anak saya di vonis oleh dokter menderita penyakit ini saya sering ga kerja. Saya sering khawatir kalo meninggalkan dia sama ibunya. Ibunya bilang sama saya kalo ga kuat ngeliat anaknya disuntik-suntik tiap bulan kaya gini jadi kadang saya lebih milih saya sendiri yang nganterin anak saya berobat, biar ibunya aja yang dirumah. Kalo proses transfusinya cepat saya bisa kembali kerja, tapi kalo sampe siang ya saya ga kerja hari itu. Komunikasi Personal, 21 Oktober 2010. Pemaparan diatas menunjukkan bagaimana seorang ayah dapat mendampingi anaknya menjalani rutinitas perjalanan medis, perawatan, dan sebagainya, serta menanggulangi berbagai macam emosi yang timbul saat mendampingi anaknya. Sutedja 2009 mengatakan ketika seorang ayah dihadapkan dengan situasi anak yang mengalami kecelakaan tiba-tiba mereka ayah akan mengalami kebingungan terutama ketika istri atau pasangan mereka tidak benar-benar ada disamping mereka. Beberapa ayah yang memiliki anak laki-laki yang mengalami sakit, mereka akan mendampingi anak laki-lakinya, menemani dan berusaha untuk membangkitkan semangat anaknya kembali. Dagun 2002 menyebutkan ayah yang memiliki anak perempuan akan lebih banyak melarang dan lebih protektif kepada anak perempuannya dibandingkan dengan ayah yang memiliki anak laki-laki, mereka cenderung membiarkan anak laki-lakinya untuk mandiri walaupun tetap memantaunya secara efisien. Ayah yang mempunyai anak dalam kondisi sakit akan merasa khawatir ketika sakit tersebut membuat anaknya trauma pada hal-hal tertentu. Mereka akan berusaha memompa semangat anak-anaknya untuk dapat melawan ketakutan anak-anaknya, menenangkan anak-anaknya, serta mencoba memberikan contoh-contoh agar anak-anaknya menjadi lebih kuat Sutedja, 2009. Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka peneliti ingin meneliti tentang kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita Thalassaemia.

B. Perumusan Masalah