Gambaran Kecemasan Ayah Dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassaemia Ditinjau dari Peran Ayah

(1)

Gambaran Kecemasan Ayah Dalam Menghadapi Anak Penderita

Thalassaemia Ditinjau dari Peran Ayah

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

CITRA DWI FAURISKA

051301030

FAKULTAS PSIKOLOGI


(2)

GENAP, 2011/2012

Kecemasan Ayah dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassemia Ditinjau dari Peran Ayah

Citra Dwi Fauriska ABSTRAK

Thalassaemia sebenarnya merupakan kondisi kelainan yang dialami anak melalui penurunan sifat genetik dari orangtua, namun orang lebih banyak menyebutnya sebagai penyakit. Thalassemia tidak dapat disembuhkan karena merupakan kelainan genetik darah yang akan dibawa seumur hidup dan penderitanya hidup bergantung pada proses transfusi secara berkala.

Kasus Thalassaemia banyak dijumpai pada masyarakat dari status sosial ekonomi menengah ke bawah yang sangat terbatas dalam akses informasi, tingkat pendidikan yang kurang, dan kondisi keuangan yang tidak mendukung. Gambaran umum kecemasan ayah dari penderita tallasemia diperoleh melalui Wawancara awal , konsultasi dengan tenaga medis terkait, dan telaah literatur.

Dalam penelitian ini dipaparkan kecemasan ayah sebagai kepala keluarga yang memiliki peran sentral dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Kekhawatiran ayah tentang semakin parahnya penyakit yang diderita anak, kecemasan tidak mampu mengupayakan pengobatan dan perawatan yang layak, serta rasa takut kehilangan anak.


(3)

Father s Anxiety In Facing Thalassemia Child Judging From The Role Of Father

Citra Dwi Fauriska ABSTRACT

Thalassaemia is a condition of disorder experienced by the child through genetic inheritance from parents, but more people are calling it a disease. Thalassemia is incurable because it is a genetic disorder of blood that will be taken for whole life and sufferers of life depends on regular transfusion process.

Thalassaemia cases are often found in people of middle socioeconomic status under very restriscted information access, less educational level, and limited financial conditions. General description of the father of patient anxiety tallasemia obtained through 'initial interview', consultation with relevant medical personnel,

and literature review.

This study concerns the father as head of the family who has a central role in fulfilling the needs of families. Father worries about the worsening illness of children, anxiety can not afford to seek treatment and appropriate care, as well as the fear of losing child.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanallahu Wata ala yang terlah memberikan begitu banyak rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Unibversitas Sumatera Utara dengan judul Gambaran Kecemasan Ayah Dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassaemia Ditinjau Dari Peran Ayah

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mami tercinta, Drg. Hj.Wan Fauziah; dan Papi tersayang Drg. H. Asmulian Dwi Djaya, atas segala cinta, kasih sayang, do a yang tak pernah putus, semangat dan dorongan yang tiada henti, serta dukungan baik moril dan materil yang selalu menyertai langkah penulis serta maaf dari penulis karena sebagai anak telah lama dalam menyelesaikan studi. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia dan di akhirat, amin. Tak lupa pula kepada Abang dan Kakak iparku Dr.Fauriski Febrian Prapiska dan Dr. Fathia Meirina juga adik


(5)

satu-satunya Ratna Tri Riskiana yang selalu memberikan kekuatan, bantuan, sindiran positif dan penghiburan di saat-saat penuh kejenuhan dan rintangan. Semoga kita selalu berada dalam lindungan-Nya dan menjadikan keluarga kita selalu harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Psi, psikolog, selaku dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih telah bersedia meluangkan waktu dan menjadi pembimbing bagi penulis dengan penuh kesabaran, pengertian dan semangat dalam memberikan masukan, arahan, saran dan kritikan yang bagi penulis merupakan suatu bimbingan yang sangat membantu dalam memahami dan menemukan esensi dari sebuah penelitian dan pada akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini meskipun berada di tengah-tengah kesibukan yang sangat padat dan rintangan yang sangat berat. 3. Ibu Medriani Ayu Siregar, M.Kes dan Kak Rahma Yuliar selaku dosen

Penguji Skripsi. Terima kasih atas segala perhatian, waktu dan masukan, nasehat dan bimbingannya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Dra. Sri Supriyantini, M.Si, psikolog selaku dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian, bimbingan, masukan dan nasehat ibu dari awal masa perkuliahan sampai saat ini.


(6)

5. Kepada Ayah Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, Sp.A (K) dan Bunda Lila Ywalita, S.Psi selaku wali orangtua, terima kasih telah meluangkan waktu sibuknya untuk memberikan arahan, bimbingan, semangat dan tidak pernah putus untuk menanyakan kondisi perkuliahan penulis sampai saat ini.

6. Terima kasih kepada Mama Afriana Isfandiari di Jakarta untuk selalu menyemangati penulis, menjadi tempat curahan hati ketika tidak ada tempat untuk berbagi cerita dan ketakutan yang dialami penulis, terima kasih banyak, ma. Juga almarhumah mbah tersayang Hj. Ani Asiah, terima kasih untuk do a mbah selama ini, maaf baru bisa menyelesaikan semua ini disaat ragamu tidak dapat aku peluk lagi...

7. Rizky Destriadi yang telah menjadi salah satu dari banyak hal yang berharga bagi diri penulis dimana telah memberikan sindiran yang membangun karena dengan pujian tidak akan membantu, maka sindiran adalah jalan satu-satunya untuk mendongkrak semangat penulis.

8. Semua om dan tante ( Om Andi/ Tante Ina, Tante Bebi/Om Syaf, Ucu Nali/ Ucu Lolom) untuk dukungan dan semangat. Juga kepada semua abang, kakak dan adik sepupu yang selalu perhatian dengan penulis, terkhusus untuk Mbak Mpy yang sudah mengenalkan dunia psikologi dan selalu menyemangati disaat penulis hampir putus asa dengan apa yang sedang dijalani.


(7)

9. Sahabat-sahabatku RNC (Rizky dan Nuri), C3 (Novita Sari, Masitah Musri, Megawati, Diah Purnama, Febrita Khoiriah, Meinisa) untuk dukungan, semangat, do a, marah-marah, pengertian serta kritik untuk penulis. Untuk Almarhumah Nur Anzelima, terima kasih untuk persahabatan selama ini,your still in my heart njel...

10. Teman-teman seperjuangan Retno Suryani, Risdawati, Nidya, Vicky serta semua teman-teman Psikologi 2005 yang masih menyemangati penulis sampai saat ini, Maria, Faradiah, Qorinna, Dini Swasty, Dessy Agustina dan lainnya. Sahabat-sahabat SMP ku Iqrina, Yola, Emir, Syahrul. Teman-teman SMA ku, Rian Arizona, Nurdiana, Putri Arida yang masih memberikan dorongan semangat dan saran yang membangun.

11. Ketiga responden dan keluarganya yang tanpa kesediaan mereka maka skripsi ini akan menjadi lebih lama lagi untuk selesai. Penulis novel ibu Pipiet Senja sebagai inspirator yang menggugahkan hati penulis untuk mengangkat thalassemia sebagai tema skripsi penulis dan pihak-pihak terkait lainnya.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semuanya. Dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua. Amin.

Medan, Juli 2011


(8)

DAFTAR ISI

COVER HALAMAN DALAM ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN... iii

ABSTRAK... iv

ABSTRACT... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR DIAGRAM DINAMIKA... xv

DAFTAR TABEL... xvi

LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Kecemasan... 10


(9)

2. Gejala-gejala Kecemasan ... 11

3. Faktor-faktor Kecemasan ... 13

B. Peran Ayah ... 15

1. Pengertian Peran Ayah ... 15

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Ayah ... 17

C. Thalassaemia ... 19

1. Pengertian Thalassaemia ... 19

2. Penyebab Thalassaemia ... 19

3. Jenis-jenis Thalassaemia... 21

4. Kriteria Diagnostik Thalassaemia... 23

5. Dampak Thalassaemia bagi Perkembangan Anak ... 23

D. Perkembangan Masa Kanak-kanak ... 24

E. Gambaran Kecemasan dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassaemia... 26

F. Paradigma Penelitian ... 29

BAB III METODE PENELITIAN A. Penelitian Kualitatif ... 30


(10)

B. Metode Pengambilan Data ... 31

1. Wawancara... 32

2. Observasi... 33

C. Responden Penelitian ... 34

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 34

2. Jumlah Responden Penelitian ... 35

3. Prosedur Pengambilan Pengambilan Responden Penelitian... 35

D. Alat Pengumpulan Data ... 36

1. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 36

1.a. Alat Perekam ... 36

1.b. Pedoman Wawancara ... 36

E. Prosedur Penelitian ... 37

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 37

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 38

3. Tahap Pencatatan Data... 39

4. Kredibilitas Penelitian... 40

F. Metode Analisis Data ... 41

BAB IV ANALISA DATA DAN INTRPRETASI A. Deskripsi Data ... 44


(11)

B. Analisa dan Interpretasi Data ... 44

1. Responden I... 35

2. Responden II ... 72

3. Responden III... 99

C. Diskusi ... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 108

1. Saran Praktis ... 108

2. Saran Penelitian Selanjutnya... 109 DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN


(12)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram I Paradigma Berpikir BAB II 29

Diagram II Dinamika Kecemasan pada Responden I 66 Diagram III Dinamika Kecemasan pada Responden II 92 Diagram IV Dinamika Kecemasan pada Responden III 115


(13)

GENAP, 2011/2012

Kecemasan Ayah dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassemia Ditinjau dari Peran Ayah

Citra Dwi Fauriska ABSTRAK

Thalassaemia sebenarnya merupakan kondisi kelainan yang dialami anak melalui penurunan sifat genetik dari orangtua, namun orang lebih banyak menyebutnya sebagai penyakit. Thalassemia tidak dapat disembuhkan karena merupakan kelainan genetik darah yang akan dibawa seumur hidup dan penderitanya hidup bergantung pada proses transfusi secara berkala.

Kasus Thalassaemia banyak dijumpai pada masyarakat dari status sosial ekonomi menengah ke bawah yang sangat terbatas dalam akses informasi, tingkat pendidikan yang kurang, dan kondisi keuangan yang tidak mendukung. Gambaran umum kecemasan ayah dari penderita tallasemia diperoleh melalui Wawancara awal , konsultasi dengan tenaga medis terkait, dan telaah literatur.

Dalam penelitian ini dipaparkan kecemasan ayah sebagai kepala keluarga yang memiliki peran sentral dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Kekhawatiran ayah tentang semakin parahnya penyakit yang diderita anak, kecemasan tidak mampu mengupayakan pengobatan dan perawatan yang layak, serta rasa takut kehilangan anak.


(14)

Father s Anxiety In Facing Thalassemia Child Judging From The Role Of Father

Citra Dwi Fauriska ABSTRACT

Thalassaemia is a condition of disorder experienced by the child through genetic inheritance from parents, but more people are calling it a disease. Thalassemia is incurable because it is a genetic disorder of blood that will be taken for whole life and sufferers of life depends on regular transfusion process.

Thalassaemia cases are often found in people of middle socioeconomic status under very restriscted information access, less educational level, and limited financial conditions. General description of the father of patient anxiety tallasemia obtained through 'initial interview', consultation with relevant medical personnel,

and literature review.

This study concerns the father as head of the family who has a central role in fulfilling the needs of families. Father worries about the worsening illness of children, anxiety can not afford to seek treatment and appropriate care, as well as the fear of losing child.


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan dizaman modern semakin hari semakin kompleks. Berbagai jenis faktor seperti lingkungan, situasi dan kondisi saat ini sangat berpengaruh bagi mudahnya berbagai penyakit berbahaya mengintai. Suatu penyakit dapat menyerang siapa saja, baik laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak sekalipun. Sudah merupakan hal yang wajar ketika para orangtua mendambakan memiliki anak-anak yang sehat baik secara fisik dan psikis, mampu melewati tahapan perkembangan yang normal, bermain, dan menikmati setiap alur kehidupan yang lazimnya dijalani oleh anak-anak lainnya. Namun, tidak semua orangtua dikaruniakan anak yang sehat. Beberapa diantaranya merupakan penyakit-penyakit yang serius, seperti penyakit Leukemia, atau penyakit kelainan darah Thalassaemia (Kusumawardani, 2010).

Thalassaemia merupakan kelainan genetik yang paling sering ditemui dan juga suatu penyakit yang banyak dialami orang Amerika keturunan Italia (Tim Penulis Fakultas Kedokteran UI, 1985). BerdasarkanNational Academy of Sciences, terdapat lebih dari 100.000 bayi diseluruh dunia yang lahir dengan keadaan dan kondisi yang berat dari Thalassaemia seperti, kulit pucat kekuningan, muka thalassaemia dan sebagainya (Cooley s Anemia Foundation, 2006). Jumlah penderitanya di Indonesia sudah mencapai 20.000 orang penderita dari jumlah 200 juta orang penduduk Indonesia secara keseluruhan (Kompas, 2009).

Sampai saat ini penyebab berkembangnya penyakit Thalassaemia masih belum dapat diketahui selain dari turunan genetik kedua orangtua penderita. Hampir serupa dengan isu fenomena penyakit HIV/AIDS yang merupakan fenomena gunung es, begitu juga dengan Thalassaemia yang di perkirakan jumlahnya penderitanya lebih banyak yang tidak terdata dibandingkan jumlah penderita yang terdata (Jawa Pos, 2008). Dalam harian Suara Merdeka (2009)


(16)

menyebutkan Thalassaemia merupakan kelainan darah yang disebabkan oleh kurangnya haemoglobin sehingga diperlukannya transfusi darah secara rutin.

Tamam (2009) menyebutkan sebagian besar orangtua yang mempunyai anak penderita Thalassaemia merasakan beban yang berat baik beban moral maupun material. Hal ini disebabkan selain harus terus memonitor tumbuh kembang si anak, biaya yang dibutuhkan untuk transfusi darah juga tergolong sangat mahal, bisa menghabiskan jutaan rupiah tiap bulannya. Selain biaya yang menjadi masalah, yang menjadi persoalan lainnya adalah penyakit ini adalah penyakit yang diidap seumur hidup, artinya penyakit ini merupakan penyakit yang tidak dapat sembuh. Tindakan medis yang dilakukan selama ini bukan menyembuhkan akan tetapi sebagai supportif dan bersifat sementara untuk mempertahankan hidup (Lanni, 2008).

Hal diatas cukup membuat siapa saja mengalami beban pikiran seperti kecemasan dan stress, terutama pada orangtua yang memiliki anak dengan penyakit Thalassaemia tersebut. Masalah biaya dan resiko paling parah yang akan dihadapi oleh anak merupakan faktor utama kecemasan orangtua. Hawari (2000) menyebutkan bahwa kecemasan dapat menjadi reaksi emosional yang normal di beberapa situasi lainnya. Misalnya kecemasan orangtua ketika menghadapi anak yang sakit, bukan hanya sakit yang kronik, sakit demam biasa pun hampir setiap orangtua sering tidak dapat tidur di malam hari sampai panas tubuh anaknya dapat di kontrol atau berubah menjadi suhu tubuh yang normal, demikian pula dengan anak yang harus menghadapi transfusi darah setiap satu sampai dua kali per bulan (Wahidiyat, 2009).

Brewis (1995) mengatakan bahwa dari beberapa penelitian menunjukkan adanya rasa cemas pada orangtua selama perawatan anak di rumah sakit terutama pada kondisi sakit anak yang kritis karena takut akan kehilangan anak yang dicintainya dan adanya perasaan berduka. Kecemasan menurut Keable (1997) merupakan suatu rangsangan emosional yang berlebihan, yang meliputi kognitif dan perilaku. Hal-hal lain yang menyebabkan orangtua cemas adalah ketika orangtua mendapatkan informasi-informasi buruk


(17)

tentang diagnosis medik anaknya, adanya perawatan yang tidak direncanakan, dan pengalaman perawatan di rumah sakit sebelumnya yang dirasakan menimbulkan suatu trauma tertentu (Supartini, 2002). Selanjutnya, Hawari (2000) juga menjelaskan bahwa trauma tersebut dapat berupa ketidakmampuan orangtua menemani anak menjalankan serangkaian pengobatan langsung seperti melihat anak disuntik atau diberikan obat secara langsung dan sebagainya.

Ada beberapa hal yang membuat orangtua menjadi cemas ketika anak-anak mereka diberikan perawatan di rumah sakit. Selain para orangtua mengkhawatirkan proses medis yang harus dilewati oleh anak-anaknya, juga keharusan untuk mampu menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa proses medis dan perawatan tersebut harus mereka lewati, seperti halnya menjelaskan informasi mengenai penyakit yang mereka alami, treatment yang harus dilewati, dan mencoba menghilangkan ketakutan anak-anak mereka. Kecemasan lain yang dirasakan orangtua selama anak dalam masa perawatan adalah ketika anak tersebut merasakan nyeri atau sakit, namun tidak dapat mengutarakannya (Sarafino, 2006).

Ayah mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap seluruh anggota keluarganya, akan tetapi selama ini perannya kurang mendapat sorotan. Dagun (2002) menyebutkan bahwa peran ayah selama ini kurang mendapat perhatian dan cenderung mendapat pengabaian. Dalam teori klasik Marlina (2009) mengatakan bahwa seorang ayah sering digambarkan sebagai seorang yang tidak ikut terlibat langsung dalam perkembangan anak, ayah hanya diposisikan sebagai pencari nafkah. Ayah sering dianggap tidak perlu terlibat dalam urusan rumah tangga karena kondisi kehidupan masyarakat memaklumi juga beberapa pandangan atau ideologi akan ikut mempengaruhi tentang cara pandang mengenai peran penting seorang ayah.

Tugas seorang ayah secara tradisional adalah melindungi keluarga dan mencari nafkah, namun kemudian diperluas dalam hal-hal yang menyangkut child management dan pendidikan. Ayah biasanya menegakkan disiplin bagi anaknya (Hawadi, 2001). Ayah yang kurang berperan dalam menjalankan


(18)

fungsi keayahannya akan membawa berbagai dampak yang buruk bagi anak-anaknya. Berbagai masalah dan hambatan siap menghadang tugas ayah dalam menjalankan perannya. Diantaranya adalah kurangnya kesempatan bagi ayah untuk hadir dalam kehidupan pribadi anaknya. Tiada lain seorang ayah yang hidup dalam zaman ini memerlukan komitmen ekstra kuat untuk menyediakan waktu bagi anak-anaknya (Elia, 2000).

Menurut Sutedja (2009) kehadiran ayah yang tangguh diperlukan setiap anak-anak untuk menjadi kuat dan tabah. Ayah adalah role model untuk anaknya dan semua anak memerlukan figur ayah yang positif. Ayah yang mudah menyerah akan membuat anak-anaknya lebih mudah putus asa dan menjadi tidak tabah dalam kehidupannya yang akan datang. Masih menurut Sutedja, perkataan yang positif yang dikeluarkan dari mulut ayah akan menjadi motivasi besar buat anak-anaknya dibandingkan perkataan berupa cercaan dan cemoohan.

Friedman (1998) menyebutkan bahwa ayah merupakan sosok yang kuat dan tegar yang dapat memberikan dorongan kepada angota keluarga yang lain bila ada masalah, sehingga kecemasan yang ditampilkan ayah kurang dapat terlihat secara kasat mata. Peran ayah yang biasa disebut sebagai fatheringlebih merujuk kepada pengertianparenting,hal ini karena fathering dapat dijelaskan sebagai suatu peran yang dimainkan seorang ayah dalam kaitannya dengan tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri di masa kedewasaannya, baik secara fisik maupun biologis. Seperti yang dipaparkan oleh seorang responden berikut yang merupakan ayah dari seorang anak penderita Thalassaemia yang berjenis kelamin laki-laki berikut ini:

Ya... mungkin ini memang kehendak Tuhan saya memiliki anak yang menderita kelainan darah. Yang penting sekarang adalah bagaimana anak ini bisa tetap sehat. Saya sebenarnya juga ga kuat liat dia di jarum seperti itu, saya aja ga sanggup untuk disuntik, sekarang anak sekecil itu harus ngerasain jarum setiap bulan... saya sih berusaha kuat supaya istri saya juga seperti itu, karena sejak didiagnosa anak kami menderita Thalassaemia, mamanya jadi sering nangis... (Komunikasi Personal, Mei 2010).


(19)

Pemaparan yang ditunjukkan ayah yang meninggalkan pekerjaannya demi menemani anaknya yang sakit ditunjukkan dalam wawancara berikut ini:

Sejak anak saya di vonis oleh dokter menderita penyakit ini saya sering ga kerja. Saya sering khawatir kalo meninggalkan dia sama ibunya. Ibunya bilang sama saya kalo ga kuat ngeliat anaknya disuntik-suntik tiap bulan kaya gini jadi kadang saya lebih milih saya sendiri yang nganterin anak saya berobat, biar ibunya aja yang dirumah. Kalo proses transfusinya cepat saya bisa kembali kerja, tapi kalo sampe siang ya saya ga kerja hari itu. (Komunikasi Personal, 21 Oktober 2010).

Pemaparan diatas menunjukkan bagaimana seorang ayah dapat mendampingi anaknya menjalani rutinitas perjalanan medis, perawatan, dan sebagainya, serta menanggulangi berbagai macam emosi yang timbul saat mendampingi anaknya. Sutedja (2009) mengatakan ketika seorang ayah dihadapkan dengan situasi anak yang mengalami kecelakaan tiba-tiba mereka (ayah) akan mengalami kebingungan terutama ketika istri atau pasangan mereka tidak benar-benar ada disamping mereka. Beberapa ayah yang memiliki anak laki-laki yang mengalami sakit, mereka akan mendampingi anak laki-lakinya, menemani dan berusaha untuk membangkitkan semangat anaknya kembali. Dagun (2002) menyebutkan ayah yang memiliki anak perempuan akan lebih banyak melarang dan lebih protektif kepada anak perempuannya dibandingkan dengan ayah yang memiliki anak laki-laki, mereka cenderung membiarkan anak laki-lakinya untuk mandiri walaupun tetap memantaunya secara efisien.

Ayah yang mempunyai anak dalam kondisi sakit akan merasa khawatir ketika sakit tersebut membuat anaknya trauma pada hal-hal tertentu. Mereka akan berusaha memompa semangat anak-anaknya untuk dapat melawan ketakutan anak-anaknya, menenangkan anak-anaknya, serta mencoba memberikan contoh-contoh agar anak-anaknya menjadi lebih kuat (Sutedja, 2009).

Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka peneliti ingin meneliti tentang kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita Thalassaemia. B. Perumusan Masalah


(20)

Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui bagaimana gambaran kecemasan seorang ayah dalam menghadapi anak penderita Thalassaemia dan peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yang mencakup:

1. Bagaimana peran ayah dalam menghadapi anak penderita Thalassaemia?

2. Bagaimana gambaran kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita Thalassaemia ditinjau dari perannya sebagai ayah?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kecemasan ayah yang memiliki anak penderita Thalassaemia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran kecemasan yang dirasakan oleh seorang ayah yang memiliki anak thalassaemia ditinjau dari peran ayah.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat menambah khasanah di bidang ilmu psikologi perkembangan mengenai gambaran kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita Thalassaemia.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang apa yang menjadi motivasi untuk mengatasi kecemasan orangtua laki-laki (ayah) yang memiliki anak penderita Thalassaemia. Bagi kalangan Pemerintah dan masyarakat umum, diharapkan dapat membuka wacana mengenai bagaimana realita sebenarnya tentang kecemasan orangtua laki-laki (ayah) dalam menghadapi anak yang menderita Thalassaemia.


(21)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah:

Bab I: Pendahuluan berisi mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II: Landasan teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian

Bab III: Metode penelitian berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang menjelaskan mengenai identifikasi variable penelitian, definisi operasionak variable, populasi, sampel dan pengambilan sampel penelitian, metode pengumpulan data, validitas dan realiabilitas penelitian, dan metode analisis data penelitian.

Bab IV: Analisa Data dan Interpretasi berisi pendeskripsian data responden, analisa dan interpretasi data yang dperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan dan diskusi.

Bab V : Kesimpulan, dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Maramis (1980) dalam bukunya Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa mengatakan kecemasan sebagai hal yang mengganggu dan mengancam ketenangan setiap orang. Kecemasan juga dapat menghilangkan rasa aman dan merupakan suatu tanda bahaya seperti halnya timbul rasa was-was, khawatir akan terjadi sesuatu, tegang terus-menerus, dan tidak mampu berlaku santai.

Freud (dalam Effendi & Praja, 1984) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan. Menurut Freud, kecemasan melibatkan persepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya.

Bayle dan Leinster (1987) mengungkapkan bahwa kecemasan adalah fenomena fisiologis dan tidak dapat dipandang sebagai abnormal, kecuali kalau derajatnya lebih besar dari seharusnya, berlangsung lama atau jika terjadi tanpa sebab. Sementara, Atkinson (1996) menyatakan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda.

Kecemasan yang diungkapkan oleh Keable (1997) merupakan suatu rangsangan emosional yang berlebihan, kognitif dan perilaku. Mereka juga dikaitkan dengan distres subyektif yang signifikan dan ketakutan.

Dari pendapat beberapa ahli tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan manifestasi emosi dan kognitif yang bercampur baur, berupa ketegangan, kegelisahan, gangguan perilaku dan kekhawatiran yang


(23)

dialami sebagai reaksi terhadap adanya ancaman, tekanan dan reaksi fisiologis yang mempengaruhi psikis individu tersebut.

2. Gejala-gejala Kecemasan

Maramis (1980) memberikan gambaran gejala-gejala orang yang mengalami kecemasan yang terbagi menjadi dua bagian yaitu secara psikologik, dan somatik. Komponen dari gejala psikologiknya adalah sebagai berikut:

a) khawatir, b) gugup, c) tegang,

d) rasa tak aman, e) takut,

f) lekas terkejut.

Sedangkan komponen somatik dari gejala kecemasan adalah: a) palpitasi,

b) keringat dingin pada telapak tangan, c) tekanan darah meningkat,

d) respon kulit terhadap aliran listrik galvanik berkurang, e) peristaltik bertambah,

f) dan lekositosit.

Gejala-gejala kecemasan yang diungkapkan oleh Keable (1997) Dalam The Management of Anxietyadalah sebagai berikut:

a) kelelahan yang berkepanjangan b) mulut kering

c) keringat berlebih d) mengalami pusing e) sakit kepala

f) pembengkakan di tenggorokan g) sulit bernapas


(24)

i) masalah pada buang air kecil/ besar.

Sementara itu Hawari (2001) mengemukakan gejala gejala orang yang mengalami kecemasan diantaranya:

a) Cemas, merasa khawatir, firasat buruk, takut dengan pikirannya sendiri, mudah tersinggung;

b) Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut; c) Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang; d) Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan; e) Gangguan konsentrasi dan daya ingat;

f) Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot tulang, pendengaran berdenging, berdebar-debar, sesak napas, gangguan Dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah ketegangan yang menimbulkan rasa gelisah, tidak tenang, kekhawatiran, rasa tidak aman, serta timbulya reaksi seperti gugup, takut merasa sendirian, gangguan pola tidur dan juga terdapatnya keluhan-keluhan somatik tertentu.

3. Faktor-faktor Kecemasan

Menurut Keable (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya kecemasan, yaitu:

a. pengaruh keluarga (misalnya, faktor neurobiologis dan kepribadian); kecemasan disini diartikan sebagai kecemasan yang disebabkan oleh adanya turunan sifat pencemas, dan atau mencemaskan salah seorang atau sekelompok orang di dalam keluarga yang mengalami sesuatu sehingga menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan serta timbul kekhawatiran.

b. trauma dari peristiwa-peristiwa psikologis tertentu; kecemasan timbul diakibatkan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan sehingga perasaan menjadi was-was dan terlalu protektif terhadap diri sendiri maupun orang lain.

c. Stress; tekanan psikologis yang mampu membuat perasaan menjadi sangat gelisah, takut berkepanjangan, tidak tenang, gangguan pada


(25)

proses berpikir, sukar konsentrasi dan gangguan fisik seperti jantung yang berdebar-debar.

d. kegagalan dalam belajar; kecemasan yang disebabkan oleh kegagalan dalam belajar merupakan kecemasan yang disebabkan kurangnya daya atau kemampuan untuk menghadapi kejadian/peristiwa tertentu yang serupa (pernah terjadi) sehingga menimbulkan keresahan dan ketidakmampuan kontrol diri.

Sementara faktor-faktor kecemasan yang diungkapkan Carpenito (1998) adalah sebagai berikut:

a. Patofisiologis yaitu setiap faktor yang berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia akan makanan, air, kenyamanan, dan keamanan.

b. Situasional berhubungan dengan ancaman konsep diri terhadap perubahan status, adanya kegagalan kehilangan benda yang dimiliki dan kurang penghargaan dari orang lain.

b.1. Berhubungan dengan kehilangan orang terdekat karena perceraian kematian, tekanan budaya, perpindahan dan adanya perpisahan sementara;

b.2. Berhubungan dengan ancaman integritas biologis, yaitu penyakit;

b.3. Berhubungan dengan perubahan lingkungan misalnya pencemaran lingkungan misalnya pencemaran lingkungan, pensiun;

b.4. Berhubungan dengan perubahan status sosial ekonomi, misalnya pengangguran, pekerjaan baru, dan promosi jabatan.

b.5. Berhubungan dengan kecemasan orang lain terhadap individu.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada berbagai faktor kecemasan seperti pengaruh keluarga, adanya trauma dari peristiwa psikologis tertentu, stress, dan kegagalan dalam belajar yang menimbulkan


(26)

kecemasan, dipengaruhi oleh faktor patofisiologis dan situasional seperti 24epres yang berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia dan berhubungan dengan integritas biologis yaitu salah satunya adalah kehilangan orang terdekat.

B. Peran Ayah

1. Pengertian Peran Ayah

Setiap orangtua memiliki tugas masing-masing didalam rumah tangga, dimulai dengan memberikan pendidikan dan pengasuhannya sampai kepada menafkahi sudah merupakan peran yang masing-masing orangtua berikan pada semua anak-anaknya (Pasaribu & Pribadi, 1981). Sementara itu, Simanjuntak dan Pasaribu (1981) mengatakan bahwa didalam rumah tangga ayah juga memiliki peran dalam kepengurusan. Peran ayah disini diperlukan sebagai pengelola kerumahtanggaan. Maksudnya adalah ayah sebagai kepala keluarga ikut bersama-sama mengelola segala keperluan yang menyangkut banyak segi dan menjalankan keberfungsian manusia dalam lembaga sosial dalam hal ini adalah keluarga itu sendiri.

Yunawan (1983) menyebutkan bahwa peran sebagai orangtua dimulai ketika anak hadir ditengah kehidupan pasangan suami-istri. Melalui bermain dan komunikasi orangtua membentuk pengalaman hidup anak dan sebaliknya juga anak mempengaruhi perilaku orangtua ketika berinteraksi dengan anak.

Lazimnya sebagai seorang ayah adalah memiliki tugas dan tanggung jawab seperti bekerja untuk menafkahi keluarga, menjaga dan memastikan kondisi keluarga dalam keadaan yang baik dan siap dalam situasi apapun (Kompas, 2000). Selanjutnya, ayah sebagai pemimpin keluarga berperan sebagai pengendali jalannya rumah tangga dalam keluarga. Sebagai pemimpin keluarga orangtua wajib mempunyai pedoman hidup yang mantap, agar jalannya rumah tangga dapat berjalan dengan lancar menuju tujuan yang telah dicita-citakan. Selain ayah sebagai pemimpin keluarga, ayah memiliki peran sebagai pencari nafkah. Penghasilan yang cukup dalam keluarga mempunyai dampak yang baik sekali dalam keluarga. Kuat atau lemahnya ekonomi


(27)

keluarga tergantung pada pengahasilan ayah. Untuk itu seorang ayah harus mempunyai pekerjaan yang hasilnya dapat dipegunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Peran lainnya yang dimiliki dan seharusnya dijalankan oleh seorang ayah adalah sebagai pendidik dan tokoh atau modal identifikasi anak. Peran sebagai pendidik dan tokoh ini menyangkut pada perkembangan peran dan pertumbuhan pribadi anak. Ayah sebagai pendidik terutama menyangkut yang bersifat rasional. Sedangkan ayah berperan sebagai tokoh atau modal identifikasi anak adalah dalam rangka membentuk super ego yang ideal. Super ego merupakan fungsi kepribadian yang memberikan pegangan hidup yang benar, susila dan baik. Untuk itu diperlukan ayah yang memiliki pribadi yang kuat, karena pribadi yang kuat akan memberikan makna bagi pembentukan pribadi anak (Gunarsa, 1995).

Menurut uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ayah pun memiliki banyak peran dalam kehidupan berkeluarga (rumah tangga), antara lain sebagai pengendali jalannya rumah tangga dalam keluarga, sebagai pencari nafkah, sebagai pendidik anak-anaknya, sebagai tokoh dan model identifikasi, serta pemberi pegangan hidup yang benar, pemberi pegangan susila dan baik. Agar dapat melaksanakan peran-peran ini maka seharusnya seorang ayah dituntut untuk bekerja keras dan berpengetahuan yang memadai. Pengetahuan ini diperlukan karena persoalan-persoalan dalam kehidupan semakin hari-semakin kompleks.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Ayah

Faktor-faktor yang mempengaruhi peran keayahan adalah adanya kewajiban dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, seperti yang diungkapkan Gunarsa (1995), yaitu:

a. Ayah sebagai pencari nafkah

Tugas ayah sebagai pencari nafkah adalah tugas yang sangat penting dalam keluarga. Penghasilan yang cukup dalam keluarga


(28)

mempunyai dampak yang baik dalam keluarga. Kuat-lemahnya ekonomi keluarga bergantung pada penghasilan ayah.

b. Ayah sebagai suami yang penuh pengertian dan pemberi rasa aman Ayah sebagai suami yang memberikan keakraban dan kemesraan bagi sang istri. Terkadang hal ini sering tidak diperhatikan, padahal istri sebagai ibu, bila tidak mendapat dukungan serta perhatian dari suami istri dapat menjadi jemu, terhadap semua kegiatan rumah tangga, mengurus keluarga dan peran serta tugas seorang ibu lainnya. Karena itu patut menjadi perhatian dan agar suasana terpelihara dengan baik, maka perlu terciptanya suasana yang baik antara suami dan istri.

c. Ayah yang berpartisipasi dalam pendidikan anak

Dalam hal pendidikan peranan ayah sangat penting. Terutama pada anak laki-laki ayah menjadi model, teladan untuk perannya kelak sebagai seorang laki-laki. Bagi anak perempuan, fungsi ayah adalah sebagai pelindung kepada putrinya. Ayah yang memberi perlindungan kepada putrinya memberi peluang bagi anaknya kelak memilih serorang pria sebagai pendamping, pelindungnya. d. Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana,

mengasihi keluarga

Seorang ayah adalah pelindung dan tokoh otoritas dalam keluarga, dengan sikapnya yang tegas dan penuh wibawa, menanamkan pada anak sikap-sikap patuh terhadap otoritas dan disiplin. Ayah dengan sikap wibawanya sering menjadi wasit dalam memelihara suasana keluarga, sehingga mencegah timbulnya keributan akibat perselisihan dan pertengkaran dalam keluarga.

C. Thalassaemia


(29)

Thalassaemia berasal dari bahasa Yunani yaitu Talasa yang artinya Laut dan Emia yang artinya terkait dengan darah dan dalam sejarahnya banyak ditemukan di daerah Mediterania (Weatherall, 1977 & Yaish 2007).

Menurut hukum Mendel (dalam Latief dkk, 1985) Thalassaemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya.

Rizkiani (2009) menyebutkan Thalassaemia merupakan penyakit dimana sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari), sehingga penderita akan mengalami anemia.

Thalassaemia, khususnya Thalassaemia-beta merupakan suatu kelainan 27eprese yang paling sering ditemukan di dunia, termasuk di Indonesia. Jenis penyakit Thalassaemia adalah penyakit hemolitik yang diderita seumur hidup sejak umur kurang dari 1 tahun, penyakit ini menimbulkan baik masalah dari segi medis maupun sosial. Penderita Thalassaemia membutuhklan transfuse darah seumur hidup. Frekuensi gen Thalassaemia di Indonesia berkisar antara 3-10%, dan diperkirakan lebih dari 2000 kasus baru dilahirkan setiap tahun di Indonesia (IDAI, 2004).

2. Penyebab Thalassaemia

Eleftheriou (2003) menjelaskan Thalassaemia adalah sekelompok heterogen gangguan genetik di mana produksi hemoglobin normal adalah sebagian atau seluruhnya ditekan karena cacat sintesis dari satu atau lebih rantai globin. Eleftheriou juga menjelaskan tidak ada diagnosis thalassaemia pada anak yang lahir dengan thalassaemia menunjukkan tanda-tanda adanya penyakit ini.

Thalassaemia berkembang akibat adanya ketidakseimbangan dalam rantai protein globinalfa dan beta yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin dalam darah, yang disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Selain itu, Thalassaemia disebabkan oleh sel-sel darah didalam tubuh yang yang tidak mengandung cukup Hemoglobin, kelainan hemoglobin ini disebabkan


(30)

karena adanya perubahan pada salah satu bagian gen hemoglobin (Kusumawardani, 2010).

Kembali menurut Eleftheriou (2003), jika seseorang dilakukan tes laboratorium akan muncul adanya kemungkinan gagal tes untuk ditemukannya thalassaemia, terutama jika orang tua belum dilakukan tes yang sama, tidak ada tes prenatal dilakukan anak yang terkena dampak lain di dalam keluarga. Alasannya adalah sangat sulit untuk mendiagnosis pada tahap awal, kehadiran dalam jumlah yang cukup hemoglobin janin (HbF) memastikan keseimbangan dalam jumlah rantai globin dan yang membentuk HbF. Thalassemia dapat didiagnosis pada usia dini dengan menggunakan teknik molekuler yang mengidentifikasi mutasi bahwa anak telah mewarisi dari orang tua masing-masing. Namun, tes ini hanya mungkin dilakukan apabila timbul kecurigaan spesifik misalnya, di mana program skrining bayi baru lahir dengan baik pertimbangkan juga, tes diagnostik yang terlibat dalam identifikasi thalassemia utama incoclusive pada tahap awal . Namun, deteksi mungkin digunakan dalam mendiagnosis adanya varian HbE atau HbS.

Dalam kebanyakan kasus, thalassaemia mayor dan dapat didiagnosis sebelum usia 2 tahun. Pada Thalassemia intermedia, dapat tetap terdiagnosis untuk waktu yang lebih lama dan dilakukan tes untuk mengetahuinya.

3. Jenis- jenis Thalassaemia

Menurut Jurnal e-medicine (2006), Thalassaemia terbagi menjadi dua jenis besar yaitu Thalassaemia-alpha ( ) dan Thalassaemia-beta ( ). Dan Secara klinis Thalassaemia dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Thalassaemia Minor, biasanya tidak memberikan gejala klinis, dan 2. Thalassaemia Mayor, memberikan gejala klinis yang khas.

Dalam thalassaemia minor diketahui bahwa anak atau orang yang menderita thalassaemia tersebut hanya memiliki 1 gen cacat dalam tubuhnya sedangkan thalassaemia mayor adalah orang yang memiliki 2 gen cacat. 1 gen cacat yang dimiliki penderita memungkinkan ia mengalami anemia yang lebih ringan daripada iorang yang memiliki 2 gen cacat. Orang yang memiliki hanya


(31)

1 gen cacat akan mengalami anemia lebih ringan dan tanpa disertai gejala, hal ini banyak ditemui pada orang yang berada di daerah Mediterania dan Asia Tenggara (Kusumawardani, 2010).

a. Thalassaemia-alpha ( )

Thalassaemia terdapat empat genes (pembawa sifat) yang mengontrol produksi dari globin-alpha. Ada 5 hal yang menunjukkan tahapan Thalassaemia-alpha menuju tingkat yang parah, yaitu:

1. Silent Carrier

2. Alpha-Thalassaemia minor 3. Penyakit Hemoglobin H

4. Munculnya Hemoglobin H-Constant, dan 5. Alpha Thalassaemia major.

b. Thalassaemia-beta ( )

Thalassaemia adalah jenis Thalassaemia yang paling sering ditemukan di Indonesia (Kusumawardhani, 2010). Ada 3 tahapan yang membentuk Thalassaemia-beta menjadi Thalassaemia-beta mayor, yaitu

1. Thalassaemia Minor

2. Thalassaemia Intermedia, dan 3. Thalassaemia Major.

Bentuk dari thalassaemia ini lebih heterogen dibandingkan dengan thalassaemia alpha. Thalassaemia ini memberikan bentuk klinis yang khas seperti anemia berat, gangguan pertumbuhan, anoreksia, muka thalassaemia, serta hepar dan limpa yang membesar. Dalam buku kuliah kesehatan anak (1985) disebutkan bahwa pada keadaan yang lebih lanjut, dapat ditemukannya bentuk lain seperti kelainan tulang, fraktura dan warna kulit yang kelabu yang disebabkan karena penimbunan zat besi dalam tubuh. Anak dengan kelainan ini biasanya meninggal pada usia muda sebelum dewasa disebabkan oleh gagal jantung dan infeksi.


(32)

4. Kriteria Diagnostik Thalassaemia Mayor

Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang khas adalah anak-anak yang terlihat sehat ketika lahir. Walaupun demikian selama setahun hingga dua tahun pertama kehidupan, mereka terlihat pucat, sering pusing dan kurang nafsu makan. Pertumbuhan menjadi lambat dan sering terdapat warna kuning pada mata dan kulit (disebut dengan Jaundice) (Cooley s Anemia Foundation, 2006).

5. Dampak Thalassaemia Mayor bagi Perkembangan Anak

Eleftheriou (2003) menjelaskan bahwa beberapa penderita Thalassaemia mengalami beberapa masalah baik secara psikis maupun fisik. Dampak psikis yang dialami bisa berupa depresi, kegelisahan, kecemasan, ketakutan baik ketakutan akan kematian, ketakutan akan rasa sakit, merasa terisolasi, mistrust, helplessness, grief, dan sebagainya. Sedangkan dampak fisik yang dapat dirasakan bisa berupa lemas, lesu, mudah lelah, memiliki pantangan makanan-makanan yang berlemak, sesak, dan sebagainya. Dampak Psikososial yang diderita anak adalah kemungkinan untuk putus sekolah lebih besar, karena kesulitan untuk berada di lingkungan yang aktifitas fisiknya lebih besar, tidak memiliki teman akrab, merasa terisolasi, dan sebagainya. D. Perkembangan Masa Kanak-kanak

Secara umum diketahui bahwa dalam perkembangan anak perlu dipenuhi berbagai kebutuhan, yaitu kebutuhan primer, pangan, sandang dan perumahan serta kasih sayang, perhatian penghargaan terhadap dirinya dan peluang mengaktualisasikan dirinya.

Semiawan (2002) mengungkapkan bahwa kebutuhan anak secara universal pada umumnya dilukiskan seperti berikut ini:


(33)

Organisme memerlukan makanan, minuman dan pakaian yang cukup. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan terjadi rasa frustasi.

2. Rasa aman terjamin (security and safety),

Manusia hidup dengan berusaha. Usaha merupakan sebuah bentuk dari eksplorasi dunia sekitarnya. Hal ini membuktikan bahwa ia ingin memberikan arti yang mengundangnya untuk bergerak. Ia menyelidiki, memilih, mencipta, mengubah, dan menemukan. Dunia yang terkesan terbuka untuk dirinya dan diperlukan menjelajahi daerah yang tidak dikenal, sehingga ia harus merasa dirinya aman dan terjamin dalam melakukan eksplorasi tersebut. 3. Rasa kasih sayang dan dihargai (love and esteem),

Kasih sayang merupakan komunikasi seseorang yang ditandai oleh adanya suasana, sehinga antara orang tua dan anak terjadi pertemua batin. Demikian juga dengan kasih sayang akan menunjukkan penghargaan-penghargaan terhadap prestasi yang telah dicapai, sehingga dapat membentuk dan membentuk harga diri anak tersebut.

4. Penjelmaan diri (self actualization),

Seorang anak akan memilih pengaruh yang sesuai dengan kebutuhannya, menolak yang tidak dikehendaki, dan hasilnya adalah anak tersebut akan berkembang memenuhi kemampuan, sifat dan sikap sendiri.

Tumbuh kembang seorang anak harus selalu diamati berdasarkan dimensi perkembangannya, dapat juga diteropong melalui fase-fase tertentu (Semiawan, 2002). Tiga fase dalam kehidupan yaitu masa progresif (usia 0 20 tahun), masa stabil (usia 21 70 tahun) dan masa regresif (usia >70 tahun).

Anak-anak yang memiliki kedua orangtua yang carier Thalassaemia akan besar kemungkinannya terinfeksi penyakit Thalassaemia mayor. Thalassaemia


(34)

mayor selanjutnya juga dapat diturunkan kepada keturunan selanjutnya pada salah seorang anaknya meskipun pasangannya tidak atau bukan carier (pembawa sifat) penyakit tersebut.

Gandhi (dalam Aceh Forum, 2009) menyebutkan bahwa seorang anak yang Thalassaemia biasanya memiliki tubuh yang lemah, mudah lelah, pucat, tidak bersemangat, dan bisa diketahui sejak usia yang sangat muda (biasanya masa tumbuh usia 2 tahun atau kurang). Selain itu konsumsinya terhadap makanan-makanan tertentu juga harus dibatasi, tidak dapat beraktivitas seperti anak-anak lainnya, dan sebagainya.

E. Gambaran Kecemasan Ayah dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassaemia

Thalassaemia merupakan penyakit menahun atau kronis yaitu penyakit yang diderita dalam jangka waktu lama dan atau sering kali kambuh. Penyakit menahun dapat menimbulkan kecemasan, stress, pada keluarga dalam jangka waktu yang lama pula, bahkan seumur hidup. Akibat dari situasi ini kadang tidak terlalu jelas, bahkan kadang juga tidak terlihat terutama pada orang tua dalam hal ini ayah (Tamam, 2009).

Penyakit akut maupun penyakit kronis 32epr mengakibatkan ketidakmampuan fisik maupun mental yang mempengaruhi kehidupan anak yang mengalami sakit atau seluruh anggota keluarga (Coloroso, 2010). Ayah memiliki peran besar didalam keluarga terutama ketika ada anggota keluarga yang sedang sakit. Selain sebagai pencari nafkah, ayah juga berperan sebagai pemberi dukungan dan juga motivasi kepada anggota keluarganya (Sutedja, 2009). Herbert (1995) menemukan bahwa ada perbedaan penggunaan strategi antara ayah dan ibu dalam berespon terhadap anak yang mengalami suatu penyakit. Ayah dengan anak yang memiliki suatu penyakit memiliki lebih banyak masalah dalam beradapatasi dengan keadaan anak dibandingkan dengan kaum ibu.


(35)

Emosi negatif dan positif yang dialami oleh orang tua juga dapat merasa bertanggung jawab atau bersalah bagi kesehatan anak-anak mereka, kebanyakan mereka terkejut ketika anak pertama kali didiagnosis. Di negara -negara dengan sedikit atau tanpa pengetahuan tentang penyakit dan pengobatannya, orang tua juga tidak siap untuk perawatan intensif terhadap anak-anak mereka di rumah merupakan elemen penting dari prognosis jangka panjang dari anak mereka. Diagnosis thalassaemia juga dapat menempatkan sebuah regangan besar pada hubungan pasangan, kadang-kadang mengarah ke perpisahan atau perceraian. Di sisi lain, penyakit ini juga dapat mengumpulkan kerabat, bertekad untuk melindungi dan mendukung anak mereka. Namun, jika hal ini terjadi pada ayah, banyak ayah yang dapat memfokuskan perhatian mereka pada perawatan anak yang didiagnosis dengan thalassaemia, 33epr menekan anggota keluarga lainnya, terutama anak-anak lain (Eleftheriou, 2003).

Ayah memiliki sedikit kesempatan menolong anak dalam perawatan anak, dan ayah juga kurang mendapatkan banyak dukungan dalam hal pengasuhan anak yang sedang sakit (Shonkoff, dalam Cunningham, 1996). Pada anak-anak yang melakukan perawatan kesehatan, kehadiran seorang ayah diperlukan untuk anak-anak tersebut menjadi tabah dan kuat (Sutedja, 2009). Sementara itu, masih menurut Sutedja (2009) ketika seorang ayah dihadapkan dengan situasi anak yang gawat secara tiba-tiba, mereka (ayah) akan mengalami kebingungan dan semakin bingung ketika pasangan atau istri mereka tidak berada didekatnya.

Ayah yang mempunyai anak dalam kondisi yang sakit akan merasa cemas ketika sakit tersebut membuat anaknya trauma pada hal-hal tertentu. Dalam keadaan tersebut mereka juga harus berusaha untuk memompa semangat anak-anaknya untuk melawan ketakutan, dan menenangkan anak-anak-anaknya (Sutedja, 2009).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat kecemasan pada ayah dalam menghadapi anak Thalassaemia bila dilihat dari


(36)

kesempatan dan dukungan serta adaptasi yang dirasakan oleh ayah dalam pengasuhan dan pemeliharaan anaknya yang sedang sakit.


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia (Catherine Marshal, 1995). Poerwandari (2007) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain sebagainya.

Definisi di atas menunjukkan beberapa kata kunci dalam penelitian kualitatif, yaitu: proses, pemahaman, kompleksitas, interaksi, dan manusia. Proses dalam melakukan penelitian merupakan penekanan dalam penelitian kualitatif oleh karena itu dalam melaksanakan penelitian, peneliti lebih berfokus pada proses dari pada hasil akhir.

Proses yang dilakukan dalam penelitian ini memerlukan waktu dan kondisi yang berubah-ubah maka definisi penelitian ini akan berdampak pada desain penelitian dan cara-cara dalam melaksanakannnya yang juga berubah-ubah atau bersifat fleksibel.

Sasaran penelitian kualitatif utama ialah manusia karena manusialah sumber masalah, artefak, peninggalan-peninggalan peradaban kuno dan lain sebagainya. Intinya sasaran penelitian kualitatif ialah manusia dengan segala kebudayaan dan kegiatannya.


(38)

Penelitian kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui dinamika gambaran kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Poerwandari (2007) bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kekompleksitasannya sebagai makhluk subjektif adalah pendekatan kualitatif. Kecemasan adalah hal yang bersifat subjektif yang dapat dirasakan setiap individu, dengan hal tersebutlah diharapkan dapat memberikan gambaran yang luas mengenai gambaran kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia. Oleh karena itu peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam meneliti kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia, sehingga hasil yang didapat dari peneliti ini dapat memeberikan gambaran yang luas tentang kecemasan ayah yang menghadapi anak sebagai penderita thalassaemia. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

B. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, hal ini disebabkan karena sifat dari penelitian kualitatif terbuka dan luwes, tipe dan metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti.

Jika diperhatikan, metode yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif adalah metode wawancara dan observasi. Maka dengan itu, penelitian yang akan dilakukan ini pun menggunakan metode yang sama yaitu metode wawancara. Alasan dipilihnya metode wawancara dalam penelitian ini adalah karena didalam penelitian ini, informasi yang diperlukan adalah berupa kata-kata yang diungkapkan subjek secara langsung, sehingga dapat dengan jelas menggambarkan perasaan subjek penelitian dan mewakili kebutuhan informasi dalam penelitian.

Wawancara

Banister, dkk (dalam Poerwandari, 2007) mengungkapkan wawancara adalah percakapan dan proses tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai


(39)

tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Menurut Stewan dan Cash (2000), wawancara adalah suatu proses komunikasi interaksional antara dua orang, setidaknya satu diantaranya memiliki tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, dan biasanya melibatkan pemberian dan menjawab pertanyaan.

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam yaitu wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak seketat wawancara terstruktur. Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum, yaitu pedoman wawancara yang harus mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Purwandari, 2001). Adapun aspek yang ingin diungkap peneliti melalui wawancara dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia yang ditinjau dari perannya sebagai ayah. Meliputi, gambaran kecemasan ayah, penyebab dari kecemasan ayah, faktor yang mempengaruhi kecemasan ayah, dan peran ayah dalam menghadapi anak penderita thalassemia.

C. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada ciri-ciri tertentu. Dalam penelitian ini akan diambil tiga orang responden. Adapun ciri-ciri responden tersebut adalah ayah dari anak yang menderita Thalassaemia yang anaknya didiagnosa menderita thalassaemia, baik perempuan maupun laki-laki.


(40)

Alasan peneliti untuk mengikutsertakan responden dengan ciri di atas adalah ingin melihat adanya kemungkinan bagi orangtuanya, khususnya bagi ayah sangat mengkhawatirkan kondisi anaknya sampai menjadi kecemasan terhadap kondisi anak yang didiagnosa thalassaemia, oleh sebab itu peneliti mengikutsertakan responden penelitian dengan karakteristik seperti diatas.

2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Jumlah responden penelitian ini adalah tiga orang ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia. Alasan utama pengambilan jumlah responden tersebut adalah adanya keterbatasan dari peneliti sendiri baik itu waktu, biaya, maupun kemampuan peneliti sendiri.

3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/ operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sample sungguh-sungguh mewakili (bersifat representative terhadap) fenomena yang dipelajari.

D. Alat Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2001), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu.


(41)

1. a. Alat perekam

Alat perekam digunakan sebagai alat bantu agar tidak ada informasi yang terlewatkan dan selama wawancara peneliti dapat berkonsentrasi pada apa yang ditanyakan tanpa harus mencatat. Alat perekam ini juga memudahkan peneliti mengulang kembali hasil wawancara agar dapat diperoleh data yang utuh, sesuai dengan apa yang disampaikan responden dalam wawancara. Hal ini berguna untuk meminimalkan bias yang sering terjadi karena keterbatasan dan subjektivitas peneliti. Alat perekam ini digunakan dengan seizin responden.

b. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus digali, serta apa yang sudah atau balum ditanyakan. Adanya pedoman wawancara juga kan memudahkan peneliti membuat kategorisasi dalam melakukan analisis data. Dalam penelitian tentang gambaran kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia dan hal-hal yang akan digali dalam wawancara meliputi aspek-aspek seperti: gambaran kecemasan ayah, penyebab dari kecemasan ayah, faktor yang mempengaruhi kecemasan ayah, dan peran ayah dalam menghadapi anak penderita thalassemia.

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti akan melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam penelitian.

a) Mengumpulkan data yang berhubungan dengan penyebab kecemasan pada ayah dalam menghadapai anak berpenyakit serius. Peneliti mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi dan sekumpulan teori-teori yang berhubungan dengan kecemasan, terutama yang berkaitan dengan penyakit thalassaemia, dan selanjutnya menentukan responden yang akan diikut sertakan dalam penelitian.


(42)

b) MembangunRaportpada responden

Menurut Moleong (2002),rapport adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian subjek dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan peneliti atau memberi informasi kepada peneliti.

c) Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun pedoman wawancara yang didasari oleh kerangka teori yang ada, guna menghindari penyimpangan dari tujuan penelitian yang dilakukan.

d) Persiapan untuk pengumpulan data

Mengumpulkan informasi tentang responden penelitian. Setelah mendapatkan informasi tersebut, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan mengenai penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediannya untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian yang akan dilakukan.

e) Menentukan jadwal wawancara

Setelah mendapat persetujuan dari responden, peneliti meminta responden untuk bertemu mengambil data. Hal ini dilakukan setelah melakukan raport terlebih dahulu. Kemudian, peneliti dan responden mengatur dan menyepakati waktu untuk melakukan wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.

1. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden.


(43)

2. Melakukan wawancara sesuai dengan pedoman wawancara

wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara, hal ini berujuan agar peneliti tidak kehabisan pertanyaan.

3. Memindahkan rekaman hasil wawancara kedalam bentuk transkip verbatim

setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara dan observsi kedalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan coding, yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Coding dimasukkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2001).

4. Melakukan analisis data

bentuk transkip yang telah selesai, kemudia dibuat salinannya dan diserahkan kepada pembimbing. Pembimbing mendapatkan verbatim untuk mendapatkan gambaran yang jelas.

5. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

setelah analisi data selesai dilakukan, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian peneliti meneruskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian, kesimpulan data dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memindahkan proses pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu, agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Sebelum wawancara dimulai, meneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Hasil wawancara yang dilakukan akan ditranskripkan kedalam bentuk verbatim untuk dianalisa.


(44)

4. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan merupakan interaksi berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, yaitu dengan:

1. Melakukan pemilihan sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan faktor-faktor kecemasan yang meliputi timbulnya kecemasan yang dipengaruhi oleh keluarga (faktor neurobiologis, dan kepribadian), adanya trauma dari peristiwa-peristiwa psikologis tertentu, stress, serta adanya kegagalan dalam belajar.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.

4. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data dilapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapat informasi yang lebih banyak tentang subjek penelitian.

5. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.


(45)

6. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan setelahnya.

F. Metode Analisa Data

Penelitian kualitatif tidak memiliki rumus atau aturan absolute untuk mengolah dan menganalisis data (Poerwandari, 2001). Beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif menurut Poerwandari, 2001 yaitu :

1. Organisasi data

Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, menjadi kewajiban peneliti untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah proses sebagainya (transkip wawancara), data yang sudah ditandai/ dibubuhi kode-kode dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

2. Coding dan analisis

Langkah penting pertama sebelum sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Coding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan membuat sistematis data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian pada gilirannya peneliti dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Semua peneliti kualitatif menganggap coding adalah tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dan yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya penelitilah yang berhak dan bertanggung jawab memilih cara coding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya.


(46)

Dugaan adalah kesimpulan wawancara. Dengan mempelajari data, kita mengembangkan dugaan-dugaan dan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang berrkmbang tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya.

4. Strategi analisis

Patton dan Poerwandari (2001) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban-jawaban atau kata-kata responden sendiri (indegenous concept) maupun konsep-konsep yang dikembangkan atau dipilih peneliti untuk menjelaskan yang dianalisis (sensitizing concept). Kata-kata kunci dapat diambil dari istilah yang dipakai oleh responden sendiri, yang oleh peneliti dianggap benar-benar tepat dan dapat mewakili fenomena yang dijalaskan.

5. Tahap interpretasi

Meskipun dalam penelitian kualitatif istilah analisis dan interpretasi sering digunakan bergantian, Kvale dalam Poerwandiri (2001) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki pespektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut.


(47)

BAB IV

INTERPRETASI DATA 2. Responden II

a. Gambaran Umum Responden II

TABEL 3. IDENTITAS RESPONDEN

Identitas Responden Responden I Istri Responden I Nama Inisial Usia Usia Perkawinan Agama Pendidikan Pekerjaan Suku Bangsa Jumlah anak

Jumlah Anak Thalassaemia

Identitas Responden: SA 35 tahun 10 tahun Islam

-Tidak Tetap/ Jelas Jawa

1 orang

Saat ini hanya memiliki anak tunggal

Identitas Istri Responden: YT 33 tahun 10 tahun Islam -Buruh Pabrik Jawa 1 orang

Saat ini hanya memiliki anak tunggal

Identitas Anak Responden Nama Samaran Jenis Kelamin Usia Agama Pendidikan Dhoni Laki-laki 9 tahun Islam SD


(48)

Pekerjaan Suku Bangsa Diagnosa penyakit

Siswa SD kelas III Jawa

Dhoni pertama kali didiagnosa menderita thalassaemia ketika ia masih bayi berumur tiga bulan. Saat itu Dhoni yang masih bayi demam dan kulitnya berwarna kuning. Ketika di bwa berobat ke Puskesmas, ia hanya di beri obat penambah darah, yang kemudian oleh responden II di bawa pergi berobat ke dokter spesialis anak dan kemudian dari dokter tersebut di sarankan merujuk ke Rumah Sakit Umum. Setelah pemeriksaan yang intensif dengan pemeriksaan laboratorium dan BMP, hasil yang diberikan dokter adalah Dhoni menderita thalassaemia yang sifat penyakitnya diturunkan oleh kedua orangtuanya.

a.1. Hasil Observasi Responden II

Pada pengamatan yang dilakukan pada responden saat wawancara diperoleh data observasi mengenai responden II, yaitu; responden II memiliki tubuh yang cenderung kurus, tidak terlalu tinggi, sedikit berkumis, dan rambut yang sedikit lurus. Wawancara pertama dilakukan di rumah sakit umum Haji Adam Malik Medan, saat itu beliau seperti halnya pada responden I ikut menghadari pertemuan antara para orangtua penderita thalassaemia dan para dokter yang menangani pasien-pasien thalassaemia. Beliau datang memang dalam rangka pertemuan tersebut dan tidak ada agenda jadwal transfusi darah anaknya dan beliau datang hanya seorang diri.

Wawancara selanjutnya selalu dilakukan di kediaman beliau di jalan Marindal, kecamatan Patumbak, Deli Serdang dan berlangsung sampai lima puluh menit hingga satu jam lamanya dalam setiap sesi wawancara.


(49)

Wawancara yang dilakukan di ruang tamu rumah responden, antara responden dan iter duduk berseberangan. Saat wawancara berlangsung responden II menjawab dan memberikan respon baik dan terlihat tenang dalam memberikan jawaban atau respon dari setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Pada pertemuan terakhir wawancara anak responden II terlihat lebih banyak menemani responden dengan bermain mobil-mobilannya di tempat berlangsungnya wawancara.

Pada saat wawancara berlangsung, responden juga beberapa kali terlihat bersemangat dalam merespon apa yang ditanyakan oleh peneliti. Kesehariannya ayah yang akan memiliki anak kedua ini menghabiskan waktu lebih banyak di rumah ketimbang istrinya, hal ini karena ia memiliki pekerjaan yang tidak tetap berbeda dengan istrinya yang bekerja sebagai buruh pabrik di sebuah pabrik yang tidak begitu jauh dari pemukiman tempat tinggal mereka. Responden II mengaku bahwa ia bekerja sesuai dengan borongan suatu perusahaan, jika ada panggilan kerja biasanya berada di luar kota Medan dan akan berada di daerah tersebut selama beberapa hari sampai pekerjaannya selesai dan kemudian pulang kembali. Masih menurutnya, uang hasil bekerjanya masih belum dapat memenuhi keperluan dan kebutuhan dirinya dan keluarganya, hal itulah yang membuat istri dari responden II ini untuk ikut membantu mencari nafkah sebagai tambahan penghasilan keluarga. Sebagai tambahan lainnya, responden II juga pernah menerima mengerjakan tempahan box speaker atau membuat kusen rumah, akan tetapi karena alasan kesehatan ia tidak lagi mengerjakan hal tersebut.


(50)

Hunian yang di tempati oleh responden II bersama keluarganya merupakan hunian yang sederhana, dan menurut pengakuan responden II rumah tersebut merupakan rumah orangtua responden II. Terdapat teras depan, ruang tamu, beberapa kamar, ruang makan yang bersatu dengan ruang keluarga, serta dapur di bagian belakang ruang tamu yang merangkap sebagai ruang makan, dan pekarangan di belakang rumah.

a.2. Riwayat Penyakit Anak Responden II

Dhoni merupakan anak laki-laki tunggal dari responden II dan istrinya YT. Usianya 9 tahun yang di diagnosa sejak ia masih bayi berumur 3 bulan. Pemeriksaan dilakukan terhadap Dhoni karena pada saat itu ia mengalami demam tinggi dan kulitnya berwarna kuning kepucat-pucatan. Dhoni yang pertama kali dibawa ke Puskesmas terdekat mendapat pertolongan obat penambah darah, kemudian pulang ke rumah, baru dua hari, kondisi kembali sama. Responden II sebagai ayah kemudian membawa Dhoni yang masih bayi berobat ke dokter spesialis anak yang terdekat. Kemudian dokter tersebut memberi surat rujukan untuk berobat secara intensif di Rumah Sakit Umum H. Adam Malik Medan. Di rumah sakit tersebut, responden II di sarankan agar Dhoni melakukan pemeriksaan laboratorium dan BMP, yang kemudian hasil yang diberikan dokter bahwa Dhoni menderita thalassaemia. Sejak di diagnosa menderita thalassaemia, maka setiap bulannya menjalani transfusi bahkan sampai saat ini.


(51)

Saat ini Dhoni sudah 9 tahun menjalankan hidupnya sebagai orang dengan thalassaemia. Jika iter memperhatikan ciri fisik Dhoni, ia memiliki ciri fisik yang sehat, meskipun kulitnya berwarna pucat hitam-kekuningan, badan yang cenderung kurus, yang menandakan ciri khas dari seorang penderita thalassaemia, namun ekspresi Dhoni terlihat segar, dan tidak terlihat seperti seseorang yang menderita sakit apapun. Menurut responden II, Dhoni di transfusi apabila ia sudah terlihat lemas, lesu dan pucat. Sama seperti halnya Hani, putri dari responden I, Dhoni di transfusi setiap bulan namun tidak selalu sama setiap tanggalnya. Pada saat kondisinya menurun menjadi lemas dan lesu, maka responden II selalu menanyakan terlebih dahulu dengan Dhoni apakah bersedia jika dibawa ke rumah sakit atau tidak. Menurut responden II hal itu penting dilakukan karena jika tanpa persetujuan anaknya tersebut ketika sudah sampai di rumah sakit pun ia bisa saja tidak mau melakukan perawatan. Ia cenderung mudah mengamuk dan mengambek jika kurang sesuai dengan kehendaknya.

Responden II hanya memiliki Dhoni sebagai anak yang menderita thalassaemia. Dhoni yang anak tunggal responden II dan istrinya ini menurutnya merupakan anak yang aktif. Dhoni mempunyai banyak teman, teman sepermainannya tidak hanya orang yang seumurannya saja, akan tetapi yang usianya lebih tua juga ikut bermain bersamanya. Dalam arti kata Dhoni merupakan anak yang mudah bergaul

Responden II sendiri sebenarnya tidak mengetahui dengan jelas apa dan bagaimana penyakit thalassaemia pada saat pertama kali anaknya di diagnosa.


(52)

Responden II menyatakan bahwa di keluarga besar ia dan istrinya tidak ada seorang pun yang mengalami penyakit thalassaemia tersebut. Setelah ia banyak belajar dan mencari tahu tentang penyakit tersebut, untuk melakukan perawatan dan pengobatan dan juga bertemu dengan sesama orangtua pasien penderita thalassaemia, barulah ia menerima banyak informasi mengenai apa itu thalassaemia, dan bagaimana merawat serta menjaga anak yang menderita thalassaemia. Sama halnya dengan yang diutarakan responden I, responden II mengatakan bahwa keberadaan kumpulan dari orangtua pasien penderita thalassaemia sangat menolong bagi dirinya dan mereka-mereka yang mengalami hal yang serupa.

b. Peran Ayah

b.1. Peran Ayah sebagai Pencari Nafkah

Seperti yang sudah di singgung di atas, responden II merupakan seorang wiraswasta yang pekerjaannya tidak tetap dan menunggu panggilan pekerjaan dari perusahaan yang memakai jasanya. Penghasilan yang ia peroleh untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya juga dirasa sangat minim. Namun menurutnya, segala sesuatu harus di syukuri karena itu merupakan rezeki. Meskipun ia mahir dalam membuat box speaker sebagai penghasilan tambahan, akan tetapi tidak dapat dilakukan dalam waktu yang lama, hal tersebut dikarenakan pembuatan kusen rumah atau box speaker tersebut menghasilkan banyak serbuk kayu halus yang mudah terhirup, dan itu dapat mengganggu pernapasannya. Saat iter menanyakan apakah responden II


(53)

memiliki keahlian lain yang dapat digunakan sebagai pencari pengahasilan tambahan, ia mengatakan tidak memiliki keahlian lain. Oleh karena itu, jika tidak memiliki kegiatan yang berarti lainnya, ia lebih sering membantu pekerjaan rumah dengan membereskan rumah jika istri responden II ini sedang pergi bekerja.

Ya wiraswasta lha mbak, mocok-mocok gitu, kalo ada panggilan dari perusahaan saya kerja. Kalo ga dipanggil ya ga ada kerjaan. Mocok-mocok lha...

(R2.W1.b.28-31.h.19)

Dulu saya buat box speaker, tapi udah enggak lagi. Serbuknya itu halus banget... bikin sesak napas.

(R2.W1.b.88-90.h.20)

Wah ga bisa mbak, serbuknya halus-halus dan tipis kali, masih bisa nembus kalo pake masker hidung kaya dokter-dokter itu... Kena mata juga, jadi ga pernah lagi nerima tempahan buat box speaker...

(R2.W1.b.95-100.h.20)

Itulah mbak buat kusen rumah gitu... ambil borongan... Kalo kerja kan juga borongan gitu tapi sama perusahaan...

(R2.W1.b.102-104.h.20)

Penghasilan yang diperoleh responden II jika dibandingkan dengan istrinya dirasakan memiliki perbedaan yang jauh. Hal tersebut ia utarakan ketika iter menanyakan hal tersebut, namun responden II ini juga mengatakan, jika pekerjaan borongan yang ia kerjakan bersama teman-temannya memiliki waktu yang lama dan banyak, maka penghasilan yang ia dapatkan juga tidak sedikit, bahkan bisa dua kali lebih banyak. Penghasilan yang ia terima paling minim adalah sekitar lima ratus ribuan.

ya enggak tentulah mbak. Kalo di panggil kerja terus agak lama kerjanya ya agak banyaklah upahnya.


(54)

Tapi paling ga ada lah lima ratusan sebulan... ya segitulah mbak... (tersenyum simpul)

(R2.W1.b.38-40.h.19)

Meskipun penghasilan yang ia hasilkan tidak tetap dan cenderung lebih rendah dari istrinya yang lebih memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang tetap pula, namun baginya hidupnya sudah memiliki banyak kemudahan. Untuk tempat tinggal ia dan keluarga kecilnya masih bisa menumpang tinggal di rumah ibu kandung responden II, hal tersebut dilakukan karena ibu dari responden II sudah usia tua dan tidak memiliki teman di rumah tersebut karena ayah dari responden II sudah menikah lagi dan memilih untuk pindah dan meninggalkan rumah yang sekarang mereka tempati. Kemudian kebutuhannya untuk makan sehari-hari tidak kekurangan. Sedangkan ketika iter menanyakan bagaimana dengan keuangan jika anak sakit, responden II dengan tenang mengatakan bahwa rumah sakit tempat ia dan anaknya berobat selama ini sudah dirasakan banyak memberi bantuan, karena mulai dari pengobatan biasa, transfusi, rawat inap, infus dan lain sebagainya semua di tanggung oleh pihak rumah sakit.

Disini rumah orangtua saya. Karena ibu saya tinggal sendiri jadi saya tinggal disini, sekalian ngejagain, kan beliau udah tua...

(R2.W1.b.78-80.h.20)

kalo perawatannya bayar ya ga sanggup lha mbak, mungkin pun dia ga bisa berobat. Alhamdulillah rata-rata perawatannya gratis jadi agak mendinglah. Kalo pas borongan lagi rame ya lumayanlah, tapi kalo lagi sepi bisa ngepas banget. Kalo dibilang cukup ya ga cukup juga lah mbak, tapi ya di putar-putarlah uangnya, untungnya istri juga kerja, mbak...

(R2.W1.b.110-119.h.21)


(55)

Ayah yang hebat adalah ayah yang dapat memberikan perasaan aman dan perlindungan. Peran lainnya yang dilakukan ayah adalah memberikan perasaan yang nyaman, aman, dan melindungi setiap anggota keluarganya. Responden II mengatakan bahwa lingkungan tempat ia dan keluarganya tinggal merupakan tempat yang aman dan sudah tentu terlindungi dari berbagai macam gangguan. Hal tersebut ia sampaikan bahwa karena lingkungan mereka tinggal mayoritas di tempati oleh sanak keluarga. Hampir rata tetangga adalah saudara dan kerabat dekat. Jadi menurutnya tidak ada yang perlu di khawatirkan dan dicemaskan mengenai lingkungan tempat tinggal.

aman mbak, soalnya disini juga ga banyak gangguan. Kan rata-rata yang tinggal di sini keluarga semua. Di jalan mbak masuk tadi itu, rata-rata keluarga saya semua... (nunjuk ke arah luar rumah). Jadi ga ada gangguan,

(R2.W1.b.129-134.h.21)

Responden II juga menceritakan bagaimana kondisi aman dari hubungan keluarganya, jika ada masalah terjadi antara suami dan istri merupakan hal yang wajar dalam sebuah rumah tangga. Baginya tidak mungkin ada keluarga yang akur tanpa ada ribut kecil dalam berumahtangga, namun bagaimana hal yang jadi masalah bisa diselesaikan dan tidak menjadi permasalahan yang besar. Kasih sayang tercurahkan penuh kepada anak yang semata wayang yang juga menderita thalassaemia, Dhoni. Hal tersebut karena memang hanya Dhoni anak mereka satu-satunya. Responden II mengatakan bahwa sayang yang ia dan istrinya berikan bagi anaknya Dhoni adalah hal yang biasa orangtua lakukan ke anaknya.


(56)

ya gimana ya, kami ini saya rasa aman-aman aja berumah tangga, jadi ga ada bermasalah yang seriusan gitu, mbak. Tetangga kiri-kanan kan hampir rata sodara semua makanya aman, karena semua juga dekat. Orangtua istri saya juga tinggalnya juga di dekat sini, mbak.. (sambil nunjuk-nunjuk kebeberapa rumah tetangga)...

(R2.W1.b.138-146.h.21)

Biasa lha mbak sayang... Namanya anak, dan dia kan masi sendiri satu-satunya anak kami, jadi semua kasih sayang tercurahkan ke dia aja mbak... (R2.W1.b.149-152.h.21)

b.3. Peran Ayah sebagai Pemberi Perhatian dalam Pendidikan

Seorang ayah memiliki peran sebagai pemberi perhatian dalam pendidikan putra dan putrinya. Begitu pula yang dilakukan oleh responden II. Menurutnya ia menyayangi Dhoni dan akan memberikan yang terbaik bagi anak yang saat ini semata wayang. Terutama dalam hal pendidikan. Responden II mengatakan bahwa pendidikan penting bagi anak, ia juga turut memperhatikan perkembangan sekolah anaknya.

Iter bertanya pada responden II seberapa sering ia menemani anaknya belajar di rumah, dan responden II mengatakan ia lebih sering menemani anaknya belajar, hal tersebut lantaran istrinya merupakan ibu yang tidak sabar dalam menemani anak belajar, sehingga ia lebih sering mengisi posisi tersebut ketimbang istrinya. Alasan lain adalah, karena istrinya sudah terlalu lelah bekerja dari pagi hingga sore hari untuk bisa membantu Dhoni belajar mengerjakan tugas-tugas dari sekolahnya.

Penting mbak, itu kan modal anak untuk masa depannya, biar bisa lbh maju dari orangtuanya, pekerjaannya lebih bagus lagi.


(1)

Peran ayah yang dimaksudkan disini adalah ayah sebagai pencari nafkah, ayah sebagai pemberi rasa aman dan perlindungan, dan ayah sebagai pemberi perhatian dalam pendidikan anak-anaknya. Dalam peran ini mencakup hal-hal kecil yaitu ayah yang ikut berperan dalam perawatan dan pengobatan anaknya yang menderita thalassaemia. Pada responden III tidak begitu terlibat dalam mengurus anaknya pada saat perawatan dan pengobatan, karena ia sebagai satu-satunya pencari nafkah bekerja dari pagi sampai siang hari, dimana kondisi perawatan dan pengobatan yang rutin dilakukan di rumah sakit di jadwalkan pagi hari.

2. Kecemasan Ayah dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassaemia Masing-masing responden merasakan kecemasan memiliki anak yang menderita thalassaemia baik dari sisi keuangan, kesehatan anak yang bisa tiba-tiba menurun drastis, prosedur perawatan dan pengobatan yang janggal dan lain sebagainya. Meskipun dari pengakuan ketiga responden smeua biaya perawatan dan pengobatan di gratiskan, akan tetapi jika terjadi hal-hal seperti kehabisan stok darah maka, mau tidak mau mereka harus membeli darah dengan menjadi pasien umum ke Palang Merah Indonesia (PMI) dan biaya untuk satu kantong darah tidak sedikit, sedangkan mereka memerlukan paling tidak dua sampai tiga kantong darah.

Kecemasan lain yang dirasakan adalah kondisi kesehatan anak yang tiba-tiba menurun. Usia anak-anak merupakan usia yang aktif untuk bergerak dan melakukan banyak aktifitas, bagi anak yang menderita


(2)

thalassaemia disarankan untuk tidak terlalu banyak aktifitas fisik yang dapat membuat mereka lelah. Oleh sebab itu, jika hal tersebut tidak terkontrol dan mereka (anak-anak penderita thalassaemia) mengalami kondisi yang menurun sehingga Hb darah menurun drastis akan menimbulkan kecemasan bagi para orangtua, khususnya bagi ayah. Karena tubuh anak-anaknya tidak dapat memproduksi darah baru yang baik, maka harus disegerakan untuk dibawa ke rumah sakit untuk melakukan transfusi darah secepatnya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Ayah yang Memiliki Anak Penderita Thalassaemia.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia adalah adanya ketakutan akan kehilang anak selamanya, penyakit yang di derita oleh anak akan semakin parah, ketidak-mampuan ayah sebagai kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan perawatan dan pengobatan anak yang menderita thalassaemia. B. Saran

1. Saran Praktis

a. Bagi ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia bahwa setiap masalah pasti menemukan pemecahannya, termasuk masalah kesehatan. Hal itu dikarenakan para dokter dimanapun selalu melakukan penelitian baik untuk penyakit yang ringan sampai yang berat. Meskipun sampai saat ini thalassaemia masih belum ada obat


(3)

penyembuhnya, selalu optimis bahwa dengan perawatan dan mengikuti saran dokter kondisi anak akan selalu sehat.

b. Bagi pihak keluarga dari ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia agar dapat mendukung penuh dan tulus untuk membantu menghilangkan pikiran negatif yang berujung pada kecemasan individu dengan cara memberikan dukungan secara emosional dan mengerti kondisi yang dialami.

c. Bagi masyarakat sebaiknya bisa ikut memahami, mencari informasi mengenai thalassaemia, mensosialisasikan serta ikut berpartisipasi pada setiap acara donor darah, dan juga memberikan dukungan secara psikologis.

2. Saran penelitian selanjutnya

a. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan pengambilan data tambahan seperti kroscek data terhadap istri responden atau keluarga terdekatnya untuk kelengkapan data yang lebih akurat

b. Penelitian selanjutnya dilakukan dengan tema yang sama dengan karakteristik yang sedikit berbeda (ayah yang bukan dari golongan ekonomi menengah kebawah) agar memperoleh data perbandingan yang lebih baik.

c. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan tatap muka lebih dari tiga kali agar lebih mampu memberikan gambaran yang lebih utuh terhadap kecemasan ayah yang terjadi. Serta disarankan agar peneliti


(4)

selanjutnya lebih perlu lagi meningkatkan kemampuan membina

rapport dan wawancara mendalam agar lebih dapat menghayati penghayatan responden.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Atkison, R.L. Atkinson, R.C. And Hilgard, E.R. (1996). Pengantar Psikologi. Jakarta : Erlangga.

Coloroso, Barbara. (2010). Membantu Anak Menghadapi: Perceraian, Kematian, Sakit, Putus Asa, Kesedihan, dan Kehilangan. Tangerang. Penerbit Buah Hati (IKAPI).

Cooley s Anemia Foundation. (2006). USA.

Dagun, S.M., (2002). Psikologi Keluarga: Peran Ayah dalam Keluarga.Jakarta : Rineka Cipta

Eleftheriou, Androulla. (2003).About Thalassaemia. Nicosia, Cyprus.

Elia, Heman. (2000). Peran Ayah dalam Mendidik Anak. Jurnal Veritas. Volume 1, No.1.

Gunarsa, S.D. (2008). Pendekatan Psikologi Terhadap Anak yang dirawat dan Sikap Orangtua. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Hawari, D. (2000). Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Keable, Diana. (1997). The Management of Anxiety. New York. Churchill Livingstone.

Kusumawardhani, Endah. (2010). Waspada Penyakit Darah Mengintai Anda. Yogyakarta. Hanggar Kreator.

Kompas. (2000). Keluarga, Kunci Sukses Anak. Jakarta. PT.Kompas Media Nusantara.

Krohne, Heinz. W. Laux, Lothar. (1982). Achievement, Stress, and Anxiety. USA. Hemisphere Publishing Corporation.

Maramis, W.F. (1980). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.

Marlina, Elly. (2009). Psikologis Keluarga dan Pengasuhan: Pentingnya Ayah Sebagai Figur dalam Keluarga dan pengasuhan. Jurnal Irsyad, Volume 2, No 1.

Moleong, L.J., (2005).Metodologi Penelitian Kualitatif.Cetakan ke duapuluh satu. Bandung: PT Remaja Rodakarya Offset


(6)

Pratama, A.G. Peran Ayah dan Ibu Tidak Lagi dibedakan. www.wanitamuslimah//pikiranrakyat Diakses 28 Desember 2009.

Poerwandari, K., (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia.

Sarafino. E.P. (2006). Health Psychology Biopsychososial Interaction (5th ed). USA : John Willey & Sons.

Semiawan, Conny. (2002). Pendidikan Keluarga dalam Era Global. Jakarta. Prehallindo.

Sutedja, Andy Budi Janto. (2009). Ayah Sukses, Anak Sukses Rahasia Para Ayah Menjadikan Anak Sukses. Yogyakarta. Andi Offset

Sunarto. (1996).Diagnostik Thalassemia dengan Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta.

Tamam, Moedrik. (2009). Bagaimana Mencegah Thalassaemia pada Keturunan Kita?. www.SuaraMerdeka.com. Diakses 12 Maret 2010.

Tim Penulis Fakultas Kedokteran UI, (1985). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Universitas

Indonesia.

Weatherall, D.J. The Thalassemias. Dalam: William W.J., Beutler E., Ersley.A.J., Raundles R.W. Penyunting. Hematology. Second Edition. New York: McGraw-Hill; (1977). Hlmn 391-410.

Yaish, H.M. Thalassemia. Department of Pediatries. Primary Childern s Medical Centre. University of Utah; 06 agustus 2007. Hlmn 1-30. www.emedicine//thalassemia/article/hasan.