Penghayatan Grief Pada Ayah Yang Menghadapi Kematian Anak

(1)

PENGHAYATAN GRIEF

PADA AYAH YANG MENGHADAPI KEMATIAN ANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

YOLAND DOROTHY S.

051301119

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Penghayatan Grief pada Ibu yang Menghadapi Kematian Anak

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana penghayatan grief pada ibu yang menghadapi kematian anak. Kematian adalah sesuatu hal yang pasti dialami oleh setiap orang. Ibu memiliki hubungan yang intim dengan anak yang dimulai sejak ia mengandung. Anak adalah harapan dan masa depan orangtua, sehingga kehilangan anak dapat diartikan sebagai kehilangan harapan dan masa depan orangtua. Grief harus dijalani oleh setiap orang saat menghadapi kematian orang yang dicintai, demikian juga oleh ibu. Grief memiliki 5 fase, yaitu shock, awareness to loss, conservation/withdrawal, healing, dan renewal, dan setiap fase akan dilewati ketika menghadapi kematian orang yang dicintai.

Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan konstruk operasioanal (theory based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara menadalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah 3 orang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ketiga responden menjalani grief dengan waktu yang berbeda-beda. Responden I menjalani grief sampai sekitar 2 tahun, responden II menjalani grief dalam waktu 2 bulan, dan responden III menjalani grief dalam waktu sekitar 2-3 tahun. Faktor yang mempengaruhi bagaimana ketiga responden menjalani grief adalah hubungan interpersonal responden dengan anak, dan latar belakang keagamaan/filosofis responden.


(3)

Grief of Mother who was have Death Child

ABSTRACT

The aim of this research is to discover how grief of mother that was have ding child. Death is a something that every people faced. Mother have a close relationship with her child begin she is pregnant. Child is a hope and future of parent, so when parent lose his/her child, they lose his/her hope and future. Grief must having when someone face a death of his/her loved.

For this research used approach qualitative method.The technique that used to gain respondent is theory based/ operational construct sampling. This research used in-depth interview method to collecting data. Respondents of this research were three mother who was have a death child.

The result of this research showed that all of three respondents having grief in different time and different way. The first respondent was having grief in 2 years, the second respondent was having grief in 2 months, and the third respondent was having grief in 2-3 years. Some factors that impact the respondent’s grief are close relationship with her child and religion/spirituality of respondent.


(4)

KATA PENGANTAR

Terima kasih serta Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, oleh karena rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Proposal penelitian ini berjudul “Penghayatan Grief Pada Ibu Yang Menghadapi Kematian Anak”. Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Aprilia Fadjar Pertiwi, M.Si, Psikolog, selaku dosen pembimbing, yang telah menyediakan waktu, tenaga, kritik, saran, dan perhatian kepada penulis selama proses penyusunan penelitian ini.

2. Keluarga penulis yang selalu mendukung, memberikan semangat dan perhatian penuh, dan senantiasa mendoakan penulis, sehingga penulis dapat tetap berusaha dan berjuang untuk menyelesaikan penelitian ini.

3. Para sahabat penulis, baik yang ada di kost, kampus, kepanitiaan, dan organisasi yang telah memberikan dukungan maupun saran demi kelancaran penelitian ini.

Akhir kata, penulis memohon maaf bila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penelitian ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Terima kasih.

Medan, Desember 2009


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Grief ... 11

1. Definisi Grief ... 11

2. Karakteristik Grief ... 11

B. Fase Grief ... 12

1. Fase Pertama: Shock ... 12

2. Fase Kedua: Awareness of Loss... 15

3. Fase Ketiga: Conservation and the Need to Withdraw ... 16

4. Fase Keempat: Healing ... 17

5. Fase Kelima: Renewal ... 19

C. Faktor-faktor Psikologis yang Mempengaruhi Reaksi Grief... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

A. Pendekatan Kualitatif ... 22

B. Metode Pengumpulan Data ... 23

C. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 25

1. Tape Recorder (Alat Perekam) ... 25

2. Pedoman Wawancara ... 25

D. Partisipan ... 26

1. Prosedur Pengambilan Partisipan ... 26


(6)

3. Karakteristik Partisipan ... 27

E. Prosedur Penelitian ... 27

1. Tahap Persiapan ... 27

2. Tahap Pelaksanaan ... 28

3. Tahap Analisis Data dan Interpretasi Data ... 28

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI ... .... 51

A. Responden I ... .... 51

1. Analisa Data .... ... ...51

a. Deskripsi identitas diri responden I . ... ...51

b. Latar belakang responden I ... .... 52

c. Data observasi umum responden I ... .... 54

1. Data Hasil Wawancara ... 56

2. Interpretasi Data ... 78

B. Responden II ... 84

1. Analisa Data ... 84

a. Deskripsi identitas diri responden II ... 84

b. Latar belakang responden II ... 85

c. Data obsevasi mum responden II... 86

1. Data Hasil Wawancara ... 89

2. Interpretasi Data ... 105

C. Responden III ... 112

1. Analisa Data ... 112

a. Deskripsi identitas diri responden III... 112

b. Latar belakang responden III ... 113

c. Data observasi umum responden III ... 114

1. Data Hasil Wawancara ... 116


(7)

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 149

A. Kesimpulan ... 149

B. Diskusi ... 156

C. Saran ... 159

1. Saran Praktis... 159

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 160


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Gambaran Umum Responden I ... 51

Tabel 2 Waktu Wawancara Responden I ... 54

Tabel 3 Interpretasi Responden I ... 78

Tabel 4 Gambaran Umum Responden II ... 84

Tabel 5 Waktu Wawancara Responden II ... 86

Tabel 6 Interpretasi Responden II ... 105

Tabel 7 Gambaran Umum Responden III ... 112

Tabel 8 Waktu Wawancara Responden III ... 114

Tabel 9 Interpretasi Responden III ... 135


(9)

Penghayatan Grief pada Ibu yang Menghadapi Kematian Anak

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana penghayatan grief pada ibu yang menghadapi kematian anak. Kematian adalah sesuatu hal yang pasti dialami oleh setiap orang. Ibu memiliki hubungan yang intim dengan anak yang dimulai sejak ia mengandung. Anak adalah harapan dan masa depan orangtua, sehingga kehilangan anak dapat diartikan sebagai kehilangan harapan dan masa depan orangtua. Grief harus dijalani oleh setiap orang saat menghadapi kematian orang yang dicintai, demikian juga oleh ibu. Grief memiliki 5 fase, yaitu shock, awareness to loss, conservation/withdrawal, healing, dan renewal, dan setiap fase akan dilewati ketika menghadapi kematian orang yang dicintai.

Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan konstruk operasioanal (theory based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara menadalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah 3 orang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ketiga responden menjalani grief dengan waktu yang berbeda-beda. Responden I menjalani grief sampai sekitar 2 tahun, responden II menjalani grief dalam waktu 2 bulan, dan responden III menjalani grief dalam waktu sekitar 2-3 tahun. Faktor yang mempengaruhi bagaimana ketiga responden menjalani grief adalah hubungan interpersonal responden dengan anak, dan latar belakang keagamaan/filosofis responden.


(10)

Grief of Mother who was have Death Child

ABSTRACT

The aim of this research is to discover how grief of mother that was have ding child. Death is a something that every people faced. Mother have a close relationship with her child begin she is pregnant. Child is a hope and future of parent, so when parent lose his/her child, they lose his/her hope and future. Grief must having when someone face a death of his/her loved.

For this research used approach qualitative method.The technique that used to gain respondent is theory based/ operational construct sampling. This research used in-depth interview method to collecting data. Respondents of this research were three mother who was have a death child.

The result of this research showed that all of three respondents having grief in different time and different way. The first respondent was having grief in 2 years, the second respondent was having grief in 2 months, and the third respondent was having grief in 2-3 years. Some factors that impact the respondent’s grief are close relationship with her child and religion/spirituality of respondent.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelahiran seorang anak adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh orangtua di awal pernikahan, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas pernikahan (Hurlock, 1980). Anak menjadi begitu berharga bukan hanya disebabkan adanya hubungan darah, tetapi terdapat hubungan emosional yang lebih dalam. Ikatan emosional antara anak dan orangtua ini terbentuk sejak awal kehamilan, dimana orangtua mulai mencoba membayangkan dan menggambarkan anak mereka secara fisik, serta mulai mencari nama yang tepat bagi bayi mereka. Setelah anak lahir, ikatan antara anak dan orangtua semakin kuat. Orangtua mulai belajar bagaimana merawat anak dan tidak jarang mereka mengalami konflik dengan diri mereka sendiri dan pasangan saat mengasuh anak, seperti kurangnya waktu untuk beristirahat karena harus tetap siaga menjaga bayi mereka. Semakin sulit situasi yang harus dihadapi orangtua dalam merawat anak, maka hubungan emosional antara anak dan orangtua semakin kuat. Hal ini disebabkan karena orangtua semakin merasakan adanya dorongan untuk melindungi dan bertanggungjawab bagi anak mereka (Sanders, 1992).

Selain adanya ikatan emosional yang kuat anatara orangtua dan anak, Dimatteo (1991) mengatakan anak adalah harapan dan masa depan orangtua. Saat anak lahir, orangtua mulai melihat diri mereka pada anak dan mulai merencanakan masa depan anak yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan


(12)

berkembang pada anak. Selain itu, Sanders (1992) juga mengatakan anak membawa orangtua kepada suatu kontak sosial yang baru, melalui aktivitas, sekolah, dan peristiwa-peristiwa yang dialami anak sehari-hari.

Kehilangan anak menjadi peristiwa yang sangat sulit bagi orangtua karena harapan-harapan dan impian-impian mereka seakan lenyap seketika. Kehilangan anak dapat disebabkan karena anak lari dari rumah, adanya penculikan anak, atau kematian. Bagi orangtua, kehilangan anak tidak hanya diartikan sebagai hilangnya anak secara fisik, tetapi juga orangtua kehilangan aspek-aspek dari hidup mereka (Sanders, 1992).

Persepsi orangtua terhadap hilangnya anak kemudian menyebabkan terjadinya suatu proses reaksi psikologis, sosial, dan fisik. Kondisi seperti inilah yang disebut dengan grief. Grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik sebagai persepsi dari kehilangan. Grief merupakan reaksi yang normal terjadi saat orangtua kehilangan anak (Rando, 1984). Moules (2009) menambahkan bahwa grief adalah proses yang dialami seseorang untuk menarik diri dan memutuskan hubungan karena peristiwa kematian, kemudian memiliki keyakinan untuk keluar dari rasa kehilangan mereka dan belajar untuk mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mereka kasihi.

Menurut Sanders (1992), kematian anak merupakan grief yang sangat menyakitkan dan prosesnya berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Owen dkk (dalam Hoyer, Rybash, dan Roodin, 1996) melakukan suatu penelitian untuk membandingkan reaksi grief yang dikaitkan dengan tipe kehilangan (loss) yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa orangtua yang sedang berduka karena kematian anak lebih depresi dan memiliki reaksi grief yang secara umum lebih


(13)

kuat daripada orang yang berduka karena kematian pasangan hidup atau anak yang berduka karena kematian orangtuanya. Beberapa peneliti dan terapis yakin bahwa seseorang yang mengalami grief memerlukan waktu paling sedikit 1 tahun untuk pulih dari keadaannya (Hoyer, Rybash, & Roodin, 1996). Karena grief bersifat sangat individual (Attig & Storebe dalam Hoyer, Rybash, & Roodin, 1996), tentunya waktu yang diperlukan untuk menjalani proses grief juga berbeda-beda pada tiap orang.

Kliman (dalam Rando, 1984) menyatakan kehilangan anak menghadapkan orangtua pada banyak fakta. Orangtua merasa bahwa ada yang hilang dari diri mereka. Orangtua harus menghadapi kenyataan kehilangan anak, kehilangan mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang telah mereka tanamkan pada diri anak, dan orangtua juga harus kehilangan harga diri mereka sendiri karena merasa gagal untuk menjaga anak.

Sanders (1992) juga menyatakan kehilangan anak (parental grief) dapat menyebabkan orangtua menjadi putus asa, cemas, marah, merasa bersalah, dan stres. Perasaan seperti ini timbul karena orangtua merasa bertanggungjawab untuk menjaga anak dengan baik, membuat mereka aman, dan melindungi mereka dari bahaya (Dimatteo, 1991), sehingga kehilangan anak seakan-akan membuktikan bahwa orangtua telah gagal melakukan tanggung jawab tersebut. Orangtua juga mengalami frustasi karena kerinduan mereka yang begitu mendalam pada anak (Sanders, 1992). Hal ini juga sesuai dengan apa yang dialami oleh Wita (bukan nama asli):

“Aku sebenarnya belum bisa terima kalo anakku meninggal hanya karena dia demam biasa. Kalau seandainya saja dia cepat-cepat ku bawa ke rumah sakit malam itu, pasti bisa langsung ditangani sama dokter, jadi dia masih bisa disembuhin. Waktu itu aku mikirnya anakku itu cuma


(14)

demam biasa, jadi ku kasi obat demam aja. Tapi karna aku sepele dengan demamnya, pergilah dia jadinya.”

(Komunikasi Personal, 24 Oktober 2009)

Dalam penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Wijngaards-de Meiji dkk (dalam Keesee, Currier, & Neimeyer, 2008) pada 219 pasangan suami istri yang menghadapi kematian anak setelah 6, 13, dan 20 bulan, dikatakan bahwa penyebab kematian, jumlah anak yang masih hidup, dan usia anak yang meninggal memberikan variasi dan keunikan dalam pengalaman grief. Penelitian ini juga membuktikan bahwa seecara umum orangtua yang memiliki anak yang meninggal karena kecelakaan memiliki simptom grief yang lebih tinggi. Tetapi terlepas dari penyebab kematian anak, orangtua pasti merasakan bahwa kematian anak adalah suatu peristiwa yang sangat menyakitkan bagi mereka. Seperti yang telah diuraikan di atas, orangtua merasa kehilangan masa depan dan impian-impian mereka yang telah mereka rencanakan pada diri anak.

Ayah dan ibu memiliki pengalaman grief yang berbeda-beda saat kehilangan anak. Ini disebabkan karena adanya hubungan yang unik dengan anak, yang tidak terlepas dari bagaimana peran mereka terhadap anak (Sanders, 1992). Cacciatore (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) menyatakan perbedaan pengalaman grief ini juga disebabkan karena perbedaan kepribadian yang mendasar antara ayah dan ibu. Sebagian besar ayah melihat “secara umum” sedangkan ibu lebih detail. Ayah menekankan pada pikiran, sedangkan ibu menekankan pada perasaan. Ayah berpikir secara logika dan realistis, sedangkan ibu lebih intuitif dan idealis. Ayah mengatasi stres dan grief secara internal, sedangkan ibu secara eksternal. Dalam peristiwa kematian anak, masyarakat menganggap bahwa seorang ibu akan lebih berduka, karena ibu dipandang lebih berperan dalam


(15)

membesarkan anak dan memiliki kedekatan yang lebih dengan anak (Yayasan Pulih, 2008).

Secara khusus, ibu menganggap keluarga seperti sebuah lingkaran dimana ibu memiliki tanggung jawab secara emosional. Ibu berkomunikasi kepada setiap anggota keluarga dan membantu mereka berkomunikasi satu sama lain, baik antara ayah dengan anak, maupun antara anak yang satu dengan anak lainnya. Saat anak meninggal, ibu merasa lingkaran keluarga ini menjadi rusak, dan ia tidak bisa berperan seperti sebelumnya. Ibu tidak hanya mengalami grief karena kematian salah satu anaknya, tetapi juga karena kehilangan keseimbangan dalam sistem keluarga. Pada akhirnya, ibu merasa dirinya terisolasi dari lingkungan sosial, sulit memahami dan menerima perihal peristiwa kematian anaknya tetapi memiliki kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi untuk dirinya sendiri (Sanders, 1992).

Setiap individu memiliki caranya sendiri dalam menghayati grief dan melalui proses pemulihan. Proses ini sangat bergantung pada latar belakang budaya, kebiasaan, agama, serta dukungan dari orang terdekatnya (Rando, 1984).

Sanders (1992) menyatakan ada 5 (lima) fase yang dilewati seseorang selama ia berada dalam kondisi grief. Fase-fase tersebut adalah shock, awareness of loss, conservation and the need to withdraw, healing, dan renewal.

Menurut Shlain (dalam DiMatteo, 1991), proses grief mencakup pada perkembangan dari tidak percaya menjadi suatu penerimaan. Perubahan ini tidak terjadi begitu saja, tetapi membutuhkan suatu proses yang panjang dimana seseorang yang mengalami grief bisa saja kembali ke keadaan sebelumnya kemudian maju lagi ke fase berikutnya, dari menolak untuk berpikir tentang


(16)

kematian menjadi memiliki cara pandang yang lebih luas, dari menerima peristiwa kematian yang sudah lewat menjadi menenggelamkan diri pada dunia khayal dan mimpi-mimpi bahwa orang yang sudah meninggal sebenarnya masih hidup. Proses ini memakan waktu yang sangat lama sampai terbentuknya penerimaan secara emosional bahwa orang yang sangat dikasihi benar-benar sudah meninggal dunia. Proses ini secara normal terjadi antara 2 (dua) tahun sampai dua setengah tahun.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana ibu menjalani grief yang ia alami ketika menghadapi kematian anak dan bagaimana dampak fisik, psikologis, dan sosial grief tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penghayatan grief pada ibu dalam menghadapi kematian anak.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penghayatan grief pada ibu yang menghadapi kematian anak.


(17)

D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, maka dapat dilihat manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan masukan empiris dalam hal gambaran penghayatan grief pada ibu dalam menghadapi kematian anak.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan sumbangan informasi dan dorongan kepada para ibu lainnya yang juga menghadapi kematian anak, untuk dapat lebih mudah dalam menjalani grief.

b. Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran bagaimana grief yang dialami oleh ibu, sehingga pihak keluarga, saudara, sahabat, dan masyarakat dapat lebih memperhatikan kondisi ibu saat menghadapi kematian anak.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berisikan inti sari dari : Bab I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.


(18)

Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan permasalahan penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Berisi mengenai pendekatan penelitian yang digunakan, responden penelitian, metode pengumpulan data, alat pengumpulan data, dan prosedur penelitian.

Bab IV : Hasil dan Analisis Hasil Penelitian

Berisi mengenai deskripsi data responden penelitian dan analisa data wawancara yang dilakukan pada responden penelitian. Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Berisi tentang kesimpulan penelitian, diskusi, dan saran penelitian secara praktis dan untuk penelitian lanjutan.


(19)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. GRIEF 1. Definisi Grief

Menurut Rando (1984), grief merupakan proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss). Sanders (1998) menambahkan bahwa grief adalah penderitaan yang emosional yang kuat dan mendalam, yang dialami seseorang akibat peristiwa kehilangan seperti kematian orang yang dicintai. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa grief adalah proses psikologis, sosial, dan reaksi fisik seseorang sebagai akibat dari persepsi terhadap kehilangan. Dalam penelitian ini, kehilangan dimaksudkan pada kematian anak.

2. Karakteristik Grief

Menurut Rando (1984), ada beberapa karakteristik grief, yaitu: a. Diwujudkan dalam bagian-bagian psikologis, sosial, dan fisik.

b. Merupakan suatu perkembangan yang terus-menerus termasuk perubahan-perubahan yang terjadi selama proses tersebut berlangsung.

c. Terjadi secara alami, merupakan reaksi yang tidak diharapkan.

d. Merupakan reaksi terhadap pengalaman dari banyaknya jenis kehilangan (loss), tidak hanya kematian.

e. Bersifat unik, didasarkan pada persepsi individual terhadap kehilangan (loss) oleh seseorang yang mengalami grief. Hal ini berarti, tidak diperlukan


(20)

adanya pengakuan atau validasi dari orang lain terhadap kehilangan (loss) agar seseorang mengalami grief.

B. FASE GRIEF

Menurut Sanders (1992), ada 5 (lima) fase berbeda yang ada pada saat berduka. Fase ini tidak harus berawal dari satu titik, dan tidak harus melewati setiap proses secara berurutan. Individu bisa saja mengalami fase pertama, kemudian langsung mengalami fase keempat tanpa harus menjalani fase kedua dan ketiga. Individu juga bisa mengalami satu fase lebih dari satu kali. Tidak harus semua simptom dari fase tertentu dialami oleh individu, tetapi bisa saja hanya sebagian dari simptom tersebut. Dikatakan juga bahwa simptom dan intensitas grief berbeda pada tiap orang.

1. Fase Pertama: Shock

Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat pertama kali menyadari terjadinya kehilangan.

Shock secara umum digunakan untuk menggambarkan sejumlah trauma yang derita. Secara natural, trauma ini bergantung pada banyak hal: bagaimana, kapan, dan dimana kematian itu terjadi. Jika kematian digambarkan terjadi dengan sangat cepat dan tiba-tiba, shock yang dialami oleh anggota keluarga mungkin akan lebih kuat. Kondisi dimana kematian terjadi akan mempengaruhi tingkat keparahan dan panjangnya waktu yang dibutuhkan pada fase shock.


(21)

Fase shock memiliki beberapa karakteristik umum, yang dapat diidentifikasi sebagai:

a. State of Alarm

Ketika berada dalam keadaan shock, tubuh berada dalam keadaan tanda-tanda fisiologis yang kuat. Respon fisik ini adalah reaksi natural ketika perasaan aman sedang terancam. Ketika mengalami kehilangan (loss), reaksi yang dirasakan seperti perasaan takut dan kadang-kadang menjadi panik. Akibatnya, tubuh membentuk sebuah posisi pertahanan untuk melindungi diri.

b. Ketidakpercayaan

Ketidakpercayaan dan penolakan terjadi ketika dalam keadaan berduka karena kedua hal ini bertindak sebagai pertahanan. Kedua hal ini membantu untuk menjalani proses kehilangan (loss) yang sesungguhnya. Pada saat pertama kali mengalami grief, sangat tidak mungkin untuk berpikir tentang hal lain kecuali tentang kehilangan (loss).

c. Confusion

Mulai merasa kebingungan, tidak bisa mengingat apapun, sulit berkonsentrasi, menghilangkan benda-benda seperti kunci, kacamata, atau buku agenda, dan merasa sulit untuk mengambil keputusan. Reaksi ini sangat normal. Dunia seakan-akan telah hancur saat orang yang dicintai diambil.

d. Restlessness

Di awal masa duka, individu akan merasa resah dan gelisah. Meningkatnya tegangan pada otot-otot menyebabkan perpindahan tanpa


(22)

sadar dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Individu sering terlihat berjalan mondar-mandir dari suatu ruangan ke ruangan yang lain tanpa suatu tujuan yang jelas.

e. Feelings of Unreality

Merasa bahwa keadaan yang dialami saat itu bukanlah suatu hal yang nyata. Ini merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi situasi emosi yang sangat menyakitkan.

f. Helplessness

Individu merasa membutuhkan pertolongan, karena peristiwa kehilangan merupakan suatu kejadian dalam hidup yang dapat menyebabkan individu sulit mengontrol diri, dan tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan untuk mengembalikan orang yang dicintai. Individu merasa seperti anak-anak kembali, serta membutuhkan bantuan orang lain untuk mengontrol diri sehingga dapat menjalani hidup secara wajar.

2. Fase Kedua: Awareness of Loss

Fase kedua ini ditandai dengan emosi yang tidak menentu setiap harinya. Saat bangun pagi individu merasa cemas dan merasa takut saat akan beranjak dari tempat tidur. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Ada beberapa karakteristik dari fase ini:


(23)

Inidividu merasa takut akan bahaya, merasa tidak aman dan terjadi pergolakan batin dalam diri individu. Ada kecemasan yang berlebihan karena merasa kehilangan orang yang selama ini begitu dekat dan menjadi tempat individu bergantung baik secara fisik maupun psikologis.

b. Conflict

Rasa kehilangan dapat menimbulkan banyak konflik. Dari penelitian ditemukan bahwa banyak orang yang mengalami grief takut untuk tinggal sendiri tetapi juga ragu untuk tinggal dengan orang lain, disini terjadi konflik dalam diri orang tersebut. Konflik lain yang sering terjadi adalah antara adanya perasaan tidak rela akan kehilangan orang yang dicintai.

c. Acting Out Emotional Expectations

Orang yang mengalami grief, sering melakukan tindakan emosional secara tidak sadar, seperti marah tanpa alasan yang jelas. d. Prolonged Stress

Individu memilih cara untuk mengeluarkan emosinya, baik dengan menangis, berteriak, ataupun memilih untuk menahan kesedihannya.

3. Fase Ketiga: Conservation and the Need to Withdrawal

Fase ini adalah fase dimana individu lebih suka menyendiri dan menarik diri dari pergaulan. Di fase ini, individu merasa sangat kelelahan, dan memerlukan istirahat dan pemulihan kembali. Berikut adalah karakteristik dari fase ini:


(24)

Selama periode ini individu lebih suka menyendiri, menjauh dari teman-teman untuk dapat berpikir dan istirahat.

b. Despair rather than depression

Individu kehilangan harapan dan merasa putus asa karena menginginkan orang yang dicintainya dapat kembali seperti semula atau sebelumnya.

c. Diminished Social Support

Orang yang mengalami grief membutuhkan dukungan sosial sebanyak mungkin dan dalam jangka waktu yang lama untuk membantunya menjalani grief.

d. Helplessness/Loss of Control

Individu merasa membutuhkan pertolongan karena merasa tidak berdaya dan kehilangan kendali.

4. Fase Keempat: Healing

Pada fase ini, seseorang mulai mencoba keluar dari grief yang ia alami. Beberapa karakteristiknya adalah:

a. Reaching a Turning Point

Orang yang mengalami grief mulai memasuki proses pemulihan, tetapi sulit untuk menentukan kapan dan dimana seseorang mulai mengalami hal itu karena tidak ada peningkatan aktivitas secara tiba-tiba. Individu perlahan-lahan menyadari bahwa kekuatannya telah pulih dan ia melakukan lebih banyak kegiatan dan tidak mudah lelah seperti yang dialaminya pada waktu-waktu sebelumnya.


(25)

b. Assuming Control

Individu mulai dapat mengendalikan dirinya kembali setelah melewati peristiwa yang menakutkan, khususnya yang telah membuat perubahan secara drastis terhadap diri individu. Pada fase ini individu sangat takut untuk mengambil keputusan, terutama yang dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk sehingga ia lebih banyak diam dan tidak bertindak apapun.

c. Relinquishing Roles

Pembagian peran dalam keluarga, dimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda sehingga tercipta stabilitas dan keseimbangan dalam keluarga. Ketika keluarga ”kehilangan” salah satu anggotanya, terjadi perubahan keseimbangan sistem keluarga sehingga harus dilakukan penyesuaian kembali. Peranan itu harus digantikan anggota keluarga lain, misalnya: peran ayah diambil oleh anak laki-laki. Menyerahkan peran dan mendapat peran yang baru adalah hal yang paling berat yang dialami individu.

d. Forming a New Identity

Kematangan yang diperoleh ketika individu mampu untuk menerima tanggung jawab baru dan menjalani hidup yang berbeda yang lebih didasarkan pada keputusannya sendiri daripada pada keputusan yang diambil oleh orang lain.

e. Centering Ourselves

Individu tidak dapat memulai memperbaiki diri tanpa memusatkan perhatian pada dirinya terlebih dahulu. Tanpa proses pemusatan itu,


(26)

individu tidak mengetahui bagaimana perasaannya sebenarnya, apa yang ia butuhkan untuk dirinya atau apa yang ingin dilakukan. Memusatkan perhatian pada diri bukan berarti lebih mengutamakan ego atau self centered, melainkan individu mencari pusat stabilitas dirinya. Individu harus yakin bahwa ia dapat membut keputusan terhadap dirinya sendiri berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilainya sendiri, bukan karena orang lain.

5. Fase Kelima: Renewal

Pada fase ini, seseorang mulai beradaptasi, menerima, dan belajar untuk menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang ia kasihi yang sudah meninggal dunia. Karakteristik fase ini adalah sebagai berikut:

a. Renewing self awareness

Setelah peristiwa grief, terjadi suatu proses transisi yang membawa individu dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Individu membutuhkan waktu untuk memproses hal-hal yang telah dialaminya, sebelum ia mampu menerima suatu hal yang baru.

b. Accepting responsibility for ourselves

Individu bertanggungjawab atas hidup dan nasibnya sendiri. c. Learning to live without

Kehilangan anggota keluarga berarti adalah belajar untuk hidup tanpa mereka. Jika individu benar-benar ingin memulai suatu hidup yang baru, ia perlu mencari aktivitas lain untuk mengisi kekosongan di hidupnya.


(27)

C. FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI REAKSI GRIEF

Ada beberapa faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi reaksi grief menurut Rando (1984), yaitu:

1. Hubungan interpersonal antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang mengalami grief

Kelekatan akan selalu mempengaruhi grief seseorang. Semakin lekat hubungan antara orang yang mengalami grief dengan orang yang sudah meninggal, maka grief akan lebih sulit diatasi.

2. Peran dari orang yang telah meninggal di dalam keluarga

Setiap anggota keluarga memainkan berbagai macam peran dalam sebuah unit keluarga. Kehilangan dihasilkan karena adanya peran yang tidak lagi dilakukan oleh anggota keluarga yang sudah meninggal.

Adanya peran yang hilang di dalam keluarga, dan proses adaptasi terhadap peran dan tanggung jawab baru yang harus dijalani oleh orang-orang yang mengalami grief, adalah hal-hal yang mempengaruhi pengalaman grief seseorang.

3. Pengalaman masa lalu seseorang terhadap kehilangan dan kematian

Pengalaman masa lalu tidak hanya akan memberikan harapan, tetapi juga akan mempengaruhi strategi coping dan/atau mekanisme pertahanan yang digunakan oleh orang yang mengalami grief. Jika situasi yang sama terjadi sudah pernah terjadi sebelumnya, hal ini akan lebih mudah diatasi dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi pertama kali yang terasa asing. 4. Latar belakang sosial, budaya, etnik, dan keagamaan/filosofis seseorang


(28)

Respon seseorang terhadap kehilangan dan kematian secara umum menggambarkan norma, adat-istiadat, dan persetujuan dari lingkungan sosial-budaya. Keagamaan/filosofis seseorang secara signifikan mempengaruhi kepercayaan, makna, dan nilai yang dipegang oleh seseorang untuk hidup, mati, dan kehidupan setelah kematian.


(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengalaman-pengalaman subjektif individu ketika mengalami grief karena kematian anak, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton, dalam Poerwandari 2001).

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam dan detail, dan fakta berupa kumpulan data yang tidak dibatasi oleh kategori yang ditetapkan sebelumnya. Kelebihan metode kualitatif adalah prosedur yang khusus menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu dan kasus-kasusnya. Kelebihan lainnya adalah menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada peneliti untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran partisipan, perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkapkan dengan pendekatan kuantitatif.


(30)

B. Metode Pengumpulan Data

Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup adalah jenis pengumpulan data dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2001).

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara, yaitu wawancara mendalam (in-depth interviewing).

Wawancara mendalam merupakan satu bentuk wawancara, yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh partisipan penelitian. Wawancara mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background life” seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak diteliti. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu sesuai dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut. Hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif (Banister dkk, dalam Poerwandari 2001).

Dengan demikian, wawancara mendalam akan memungkinkan peneliti untuk mengungkap semua aspek-aspek yang ingin diungkap dalam penelitian ini dengan detail.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman wawancara sebagai panduan agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang terlewat dan penelitian tetap pada jalur yang direncanakan sesuai kerangka teori.


(31)

Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.

Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik funnelling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2001) yaitu memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum yang semakin lama semakin khusus.

Selama wawancara, peneliti juga melakukan observasi sebagai alat tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi partisipan, antara lain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, melihat bagaimana reaksi partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan dalam proses wawancara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan data tambahan selama wawancara berlangsung.

Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2001).

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai tetek bengek yang tidak relevan (Poerwandari, 2001).

C. Responden Penelitian


(32)

Karakteristik partisipan adalah seorang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia. Pada saat diwawancarai, anak sudah meninggal dunia minimal dua tahun lamanya. Menurut Shlain (dalam DiMatteo, 1991), seseorang akan pulih dari kondisi grief selama rentang waktu kurang lebih dua tahun sampai dua setengah tahun, meskipun hal ini tidak berlaku pada setiap orang. Hal ini menjadi acuan untuk pemilihan karakteristik subjek agar memungkinkan untuk melihat terjadinya 5 (lima) fase grief yang dialami oleh seseorang.

2. Jumlah responden penelitian

Partisipan dalam penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada dasarnya, jumlah partisipan dalam penelitian kualitatif tidak ditentukan secara tegas di awal penelitian (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007). Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Pada penelitian ini, jumlah partisipan yang direncanakan adalah sebanyak 3 orang dengan pertimbangan tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan memerlukan pendekatan yang mendalam terhadap subjek tentang grief yang dialami oleh ibu saat menghadapi kematian anak, dengan sumber daya dan waktu yang terbatas. Pendekatan maksimal dapat dilakukan dengan subjek yang tidak terlalu besar, dan jumlah


(33)

subjek tidak diambil satu orang saja, dengan alasan agar dapat dibandingkan antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dan dapat melihat perbedaan individual.

3. Prosedur pengambilan responden

Untuk mendapatkan partisipan yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka peneliti menggunakan prosedur pengambilan sampel yang berfokus pada intensitas, yaitu pengambilan partisipan yang diperkirakan mewakili (penghayatan terhadap) fenomena secara intens (Patton dalam Poerwandari, 2001).

Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai partisipan yang memiliki anak yang sudah meninggal dunia, sehingga partisipan telah mengalami (menghayati) grief karena kehilangan seorang anak.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian karena lokasi peneliti berada di daerah tersebut. Lokasi penelitian bisa berada dimana saja tergantung pada kenyamanan dan keinginan responden untuk diambil datanya.

E. Alat Bantu Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu pengumpul data, seperti:


(34)

Suatu wawancara tidak bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas, yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang mendukung penelitian. Menurut Poerwandari (2001), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata).

Agar peneliti tidak perlu sibuk untuk mencatat jalannya pembicaraan, maka peneliti menggunakan tape recorder. Tape recorder dapat membantu peneliti untuk tetap fokus kepada topik pembicaraan, sehingga memungkinkan peneliti juga untuk melakukan observasi yang dapat menambah data atau hal-hal yang mendukung sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Pedoman Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat semi struktur untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang dibicarakan, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) tentang aspek yang telah dan yang belum dibicarakan.

Pedoman wawancara berupa open ended question, disusun berdasarkan teori-teori dalam Bab II. Pada pelaksanaannya, pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku. Tidak tertutup kemungkinan bagi peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara, agar data yang dihasilkan lebih lengkap dan bervariasi.


(35)

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:

1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah seorang ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan fase-fase grief dan faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi grief. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.

3. Memperpanjang keikutsertaan responden dalam pengumpulan data di lapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapat informasi yang lebih banyak tentang subjek penelitian.

4. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.


(36)

5. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan setelahnya.

G. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan

a. Melakukan wawancara awal terhadap ibu yang memiliki anak yang telah meninggal dunia. Hal ini dilakukan pada tahap paling awal penelitian, yang bertujuan untuk melihat aspek psikologis apa yang dialami oleh ibu. Setelah itu, merumuskan permasalahan yang akan diteliti.

b. Mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan selama penelitian, seperti tape-recorder.

c. Peneliti menganalisa dan memilih teori-teori mengenai kondisi grief yang akan digunakan dalam penelitian ini.

d. Menyusun serangkaian pertanyaan untuk dijadikan sebagai pedoman wawancara yang didasarkan dari teori-teori yang dipakai.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Menghubungi calon partisipan yang sesuai dengan karakteristik partisipan.

b. Membuat janji pertemuan yang sesuai dengan waktu yang disepakati dengan partisipan yang bersedia memberikan informasi yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.


(37)

c. Informed consent, yaitu partisipan menyatakan persetujuannya untuk terlibat dalam penelitian, setelah ia mendapatkan informasi yang benar tentang penelitian yang melibatkannya tersebut (Kvale dan Neuman dalam Poerwandari, 2001).

d. Meminta izin partisipan untuk merekam pembicaraan pada tape recorder dari awal sampai akhir wawancara.

e. Wawancara terlebih dahulu diawali dengan percakapan-percakapan ringan sebelum melakukan wawancara mendalam. Hal ini bertujuan untuk membuat suasana wawancara menjadi rileks dan tidak kaku.

f. Wawancara dimulai dari pertanyaan-pertanyaan umum, yang kemudian makin lama makin khusus berdasarkan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

H. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data

Beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :


(38)

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendatail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggap paling efektif bagi data yang diperolehnnya (Poerwandari, 2007).

2. Organisasi data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

a. Memperoleh data yang baik,

b. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan,

c. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian peneliti. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagainya (transkip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.


(39)

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola tersebut tampil secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kulifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

4. Tahapan interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poewandari, 2007), yaitu : pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandah peneliti, melainkna dikembalikan pada pemahaman diri subjek penelitian, dilihat dari sudut pandangg dan pengertian penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (critical commnsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahamn subjek, bersifat krisis terhadap apa yang dikatakan subjek, baik dengan memfokuskan pada ”isi” pernyataan maupun pada subjek yang


(40)

membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap dapat ditempatkan dalam konteks penalaran umum : peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana subyek berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subyek ataupun penalaran umum.

5. Pengujian terhadap dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta yang tidak disadari oleh peneliti.


(41)

BAB IV

HASIL ANALISIS DATA

Penelitian ini melibatkan 3 (tiga) responden penelitian. Pada bagian ini akan dipaparkan hasil wawancara dengan ketiga responden penelitian (nama bukan sebenarnya) dan analisis dari data yang diperoleh. Tabel berikut adalah gambaran umum dari ketiga responden penelitian tersebut :

Tabel 1

Gambaran Umum Responden Penelitian

Responden 1 Responden 2 Responden 3

Nama Pipit Vira Ida

Usia 36 tahun 34 tahun 45 tahun

Agama Islam Islam Kristen

Pendidikan terakhir

SD D3 S1

Pekerjaan Pembantu Rumah Tangga

Karyawan Konveksi

Perawat

Suku Bangsa Karo-Sunda Melayu Karo

Jumlah anak 3 orang 2 orang 4 orang

Anak yang meninggal dunia

Anak ke 2 Anak ke 2 Anak ke 3

Nama anak yang meninggal dunia

Wibi Siti Rukun

Lama meninggal 9 tahun 2 tahun 11 tahun

Penyebab meninggal

Kanker mata Kelainan jantung sejak dalam

kandungan

Kecelakaan lalu lintas


(42)

1. Deskripsi Data

Pipit adalah anak ke 5 dari 7 bersaudara. Karena kondisi keuangan di dalam keluarga, Pipit hanya bisa mengecap pendidikan sampai ke jenjang SD saja. Pipit menikah muda. Di usianya yang masih muda, 18 tahun, Pipit sudah harus meninggalkan keluarganya dan memulai kehidupan yang baru bersama suaminya. Pipit bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pekerjaannya adalah menyuci dan menyetrika, kemudian pulang ke rumah pada siang atau sore hari. Selain itu, Pipit juga mencari tambahan uang dari keahliannya untuk mengusuk (mengurut) orang-orang yang meminta jasanya. Suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia mau mengerjakan pekerjaan apa saja yang bisa ia kerjakan.

Pipit memiliki 3 orang anak. Putra pertama bernama Ari, yang saat ini sudah menduduki kelas 3 SMP. Putra kedua bernama Wibi, sedangkan putra ketiga bernama Sandi, yang berusia 8 tahun dan belum bersekolah.

Wibi adalah putra Pipit yang sudah meninggal dunia 9 tahun yang lalu karena penyakit kanker mata. Setelah dilakukan pengobatan ke beberapa tempat, penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan, dan akhirnya Wibi meninggal dunia.

2. Data Observasi

Pipit memiliki tubuh yang tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, dengan berat badannya sekitar 50 kg dan tinggi badan sekitar 145 cm. Pipit berkulit putih bersih dan memiliki rambut sebahu. Ia tinggal di rumah yang setengahnya berdinding tembok, dan setengahnya lagi terbuat dari papan. Rumah ini hanya memiliki satu jendela di ruang tamu, dan sering tertutupi dengan jemuran kain yang terbuat dari bahan aluminium, sehingga rumah itu terasa


(43)

pengap dan udara hanya masuk melalui pintu depan. Rumah Pipit hanya berjarak sekitar 8 meter dengan rumah kakak-kakaknya.

Wawancara yang pertama dan kedua dilakukan di rumah Pipit. Pada wawancara yang pertama, Pipit memakai kaus berkerah berwarna hitam dan celana pendek putih, sehingga terkesan santai. Pipit menyambut peneliti dengan begitu bersahabat, bahkan sampai menyuguhkan makanan ringan dan minuman segar selama wawancara berlangsung. Pipit menjawab semua pertanyaan dengan mudah meskipun di beberapa saat Pipit tidak sanggup menahan air matanya ketika menceritakan tentang Wibi. Selama menceritakan bagaimana kejadian saat Wibi meninggal, Pipit terus-menerus memandangi foto Wibi yang juga ditunjukkan kepada peneliti. Di awal wawancara, Pipit mengaku bahwa ia sebenarnya tidak ingin ditanyakan tentang kematian anaknya, tetapi kalau cerita itu bisa membantu orang lain, ia akan menceritakannya dengan senang hati. Selama wawancara berlangsung, putra ketiga Pipit (Sandi) beberapa kali menyela percakapan dengan meminta minum atau makanan kepada ibunya. Sesekali Pipit harus keluar rumah menjemput Sandi karena tetangganya melaporkan bahwa putranya mengganggu anak tetangga. Hal ini membuat peneliti harus mengulang pertanyaan dan meminta Pipit menjelaskan kembali.

Pada wawancara kedua, Pipit memakai kaus berkerah berwarna ungu dan celana pendek putih. Pipit mengaku baru pulang dari rumah majikannya dan sedang menyiapkan makan siang untuk keluarganya, sehingga peneliti harus menunggu hingga makan siang selesai. Wawancara dilakukan di ruang tamu, dan selama wawancara berlangsung, putra pertama Pipit (Ari) dan Sandi ikut duduk di sebelah ibunya namun tidak mengganggu proses pengambilan data. Wawancara


(44)

sesekali terhenti karena Sandi sempat mencoba mengambil alat perekam yang diletakkan di antara peneliti dan Pipit. Diakui Pipit, Sandi memang sangat senang jika ada tamu yang datang ke rumahnya, sehingga Sandi akan mencoba mencari perhatian pada setiap tamu yang datang. Akibatnya, Pipit sering terganggu ketika akan menjawab pertanyaan karena harus menghentikan ulah Sandi, sehingga jawaban sering diberikan secara berulang-ulang. Rumah Pipit yang bersebelahan dan sangat rapat dengan rumah-rumah tetangganya mengakibatkan Pipit sering berkomunikasi dengan para tetangganya dengan suara yang keras, dan mereka sering mengobrol dari rumah ke rumah tanpa bertatap muka. Hal ini membuat wawancara harus dihentikan sementara karena Pipit harus menanggapi apa yang dikatakan oleh tetangganya, tetapi wawancara dapat dilanjutkan kembali dan bisa diatasi dengan mengulang pertanyaan.

Pipit cukup kooperatif selama pengambilan data. Setiap pertanyaan dijawab dengan panjang lebar dan jelas serta detail. Bahkan terkadang Pipit memberikan uraian yang panjang tanpa ditanya oleh peneliti.

3. Data Wawancara a. Proses Kematian Anak

Pipit sangat membanggakan almarhum Wibi dari kedua anaknya yang lain. Ia mengatakan bahwa putranya ini sangat ganteng, putih, dan pintar. Karena keramahannya, Wibi disukai banyak orang, khususnya oleh para tetangga Pipit. Proses melahirkan Wibi juga cukup mudah, tidak memerlukan waktu yang sangat lama untuk mengeluarkannya dari rahim. Sejak Pipit mengandung putra keduanya ini, ia mengaku tidak banyak memiliki keluhan seperti ibu-ibu hamil lainnya.


(45)

Selain berharap agar anak yang ia kandung ini dapat lahir dengan selamat dan sehat, ia juga mengharapkan agar anaknya kelak dapat bersekolah dan berprestasi, sehingga dapat membantu kedua orangtuanya.

Wibi lahir dengan keadaan yang normal, sama dengan anak-anak yang lainnya dan terlihat tidak ada kelainan yang mengkhawatirkan. Di umurnya yang kedua, barulah terlihat bahwa mata Wibi seperti tidak bersinar. Hanya saja Pipit menganggapnya sebagai hal yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang-orang pada umumnya.

“...Udah gitu pernah periksa kan, ”Bu, itu kok ga ada cahayanya Bu? Ibu coba periksa Bu” kata dokternya...”

(R1.W1/b.95-97/hal.4)

”... Ketauannya waktu dia berumur 2 tahun. Jadi orang bilang kok ga ada sinar di matanya. Kakak bilang, ’biasa itu, dia bisa ngeliat orang halus lho’.”

(R1.W1/b.84-87/hal.3)

” Iya. Dia memang bisa nampak. Cuma kita ga taulah kenapa ya kan...” (R1.W1/b.89-90/hal.3)

Semakin hari kondisi mata Wibi semakin parah. Ada semacam benjolan yang tumbuh di dekat telinganya, dan kalau ditekan, maka akan mengeluarkan cairan semacam selai. Cairan ini tidak hanya keluar melalui benjolan tersebut, tetapi juga melalui mata Wibi. Melihat ini, Pipit dan suaminya mencoba menutup mata anak mereka dengan perban, dan mencari bantuan ke kantor Lurah agar mereka dapat membawa Wibi ke rumah sakit tanpa harus dikenakan biaya, karena kondisi keuangan keluarga Pipit yang tidak memungkinkan. Setelah sebelumnya berkonsultasi dengan seorang dokter, Pipit dan suaminya akhirnya membawa Wibi untuk diperiksa di rumah sakit. Dokter menyarankan agar mata Wibi dioperasi, tetapi operasi belum bisa dilakukan karena pada waktu itu bertepatan


(46)

dengan akan datangnya Hari Raya Haji. Sebulan Pipit berada di rumah sakit untuk menunggu operasi dilakukan, sementara mata Wibi terus-menerus mengeluarkan cairan dan akhirnya biji matanya keluar. Sebelum dibawa ke rumah sakit, Wibi juga pernah dibawa ke pengobatan alternatif karena kondisi keuangan rumah tangga Pipit yang tidak mencukupi untuk membawa ke rumah sakit.

Menurut Pipit, semasa putranya ini masih hidup, ia sering bertanya-tanya di dalam hati kalau-kalau anaknya dipanggil oleh Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dirinya. Pikiran seperti ini muncul ketika ia sedang melihat anaknya.

”... Udah gitu kalo tidur, kakak sering bilang gini ’Ya Allah ya Tuhanku, anakku ini ganteng kali. Kalo diambil dariku, bisa gila aku ini. Misalnya tiba-tiba diambil, bisa gilalah aku’...”

(R1.W1/b.169-172/hal.6)

”... Kalo misalnya dia maen jungkit-jungkit kan, ada terpikir ’Panjang ga umur anakku ini ya’. Ada firasat kayak gitu...”

(R1.W1/b.174-177/hal.6)

Menjelang kematiannya, Wibi sering meminta hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Pipit. Ini membuat Pipit semakin merasa bahwa hidup anaknya tidak akan lama lagi. Perkataan dokter yang menyuruh ia memberikan apapun yang diminta oleh Wibi, membuatnya semakin sering berpikir tentang kematian anaknya.

”... Kata dokternya gini, ’Bu, nanti anak Ibu minta apa aja, kasi aja Bu. Tidak ada pantangan’ katanya. Dari situ kakak udah mikir gini, ’Ih, ya Allah ya Tuhanku, orang ini kok udah bilang gini ya? Apa anakku udah mau meninggal ya?’...”

(R1.W1/b.204-209/hal.7)

”... Biasanya ga mau dikasi roti, minta terus. Kakak kasi terus dia makan. Habis itu dibilangnya gini, ‘Bu, jangan jual TV ya Bu. Nanti Bibi mau nonton’. Trus datang kakak, bilang ‘Gapapalah Nak, dijual, biar untuk obat Wibi’. Jadi kakak sedih kali disitu, kenapa lah anakku ini bilang kekgini…”


(47)

Menjelang kematiannya, Wibi dipangku oleh ayah dan ibunya. Wibi meminta kepada ayah dan ibunya untuk membawa ia pulang, karena ia lebih suka meninggal di rumah daripada di rumah sakit. Karena sudah lama berada di rumah sakit, Wibi sering melihat bagaimana perlakuan dokter saat ada pasien disana yang meninggal dunia. Hal itu membuatnya takut untuk meninggal di rumah sakit karena ia takut mendapatkan perlakuan yang sama dengan yang pernah ia lihat sebelumnya. Pipit mengatakan bahwa pada waktu itu Wibi melihat malaikat dan tidak mau diajak pergi oleh malaikat itu. Setelah itu, Wibi pun akhirnya meninggal dunia.

b. Proses Grief 1) Fase-fase Grief a) Fase Shock

Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat pertama kali menyadari terjadinya kehilangan. Pipit mengalami state of alarm, saat ia tiba-tiba tidak sadarkan diri lalu pingsan lalu setelah siuman ia merasa tubuhnya sangat lemas. Pipit juga mengalami confusion, saat ia sulit menyadari tamu-tamu yang datang melayat. Fase pertama ini dilewati oleh Pipit seperti berikut :

Melihat Wibi yang sudah meninggal dunia, Pipit merasa badannya lemas dan langsung tidak sadarkan diri. Setelah sadar, pikirannya terasa kosong, sampai-sampai ia tidak bisa mengenali para tamu yang datang melayat.


(48)

“…Kakak udah pingsan-pingsan, udah ga sadar-sadar. Sementara orang datang bolak-balik, kakak ga tau, udah linglung. Kosong gitu pikirannya, ga tau siapa yang datang...”

(R1.W1/b.330-333/hal.11)

”... Ga sadar lah sebentar. Trus disuruh ngucap. Tapi waktu ngucap-ngucap itu, rasanya roh kita udah ga ada ya, kayak udah melayang gitu. Kayak hilang semangatnya. Lemes badan itu...”

(R1.W2/b.66-69/hal.17)

b) Fase Awareness of Loss

Pada fase ini individu mengalami emosi yang tidak menentu setiap harinya. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Pipit mengalami separation anxiety, ketika ia merasa hampa dan ingin membunuh dirinya sendiri ketika ia telah menyadari bahwa anaknya sudah tidak ada lagi. Prolonged stress juga dialami Pipit saat ia sering menangis saat ia karakoean di rumah, teringat dengan kegiatan yang sering ia lakukan bersama anaknya ketika masih hidup. Pipit juga mengalami conflict, ia melihat masa lalu saat melahirkan Wibi dan mencari-cari kesalahan yang ia lakukan yang mungkin menjadi penyebab kematian anaknya. Dari data yang diperoleh, Pipit juga mengalami fase ini.

Setelah Wibi meninggal dunia, Pipit merasa hidupnya hampa dan tidak memiliki keinginan untuk hidup lagi.

“Hampalah, hampa. Macam ada aja yang kehilangan. Ya kekmanalah, biasa kita nengok, biasa kita nampak dia...”

(R1.W1/b.241-243/hal.8)

Pipit sering merasa sangat merindukan anaknya saat ia melakukan kegiatan yang dulu sering ia lakukan bersama Wibi, seperti karaokean bersama


(49)

dengan anak-anaknya pada siang sampai sore hari. Kebiasaan ini biasanya mereka lakukan saat Pipit sudah pulang bekerja.

”... Dulu kakak suka karaoke ya, jadi kami sering nyanyi-nyanyi. Jadi kalo kakak udah nyanyi, orang ini udah tau. ’Itu lagi nyanyi itu, pasti dia teringat anaknya itu. Nanti ga terasa air matanya udah ngalir itu’. Itu lama. Sampai hamil besar adik ini lah. Sampai udah mau melahirkan...” (R1.W2/b.94-99/hal.18)

Pipit juga masih suka menebak-nebak penyebab mata almarhum anaknya seperti itu. Ia memperkirakan beberapa hal yang menyebabkan demikian.

”... Itu, sebelum dia meninggal, anakku itu pernah jatuh. Waktu magrib pernah jatuh, tertancap paku. Ayahnya lagi merantau, kakak sibuk jualanlah kan. Kakak cabut, sikit aja, tapi mungkin, mungkin, kena pembuluh darah mata ini ya kan. Gitu kakak ambil, langsung ngucur darahnya. Tapi memang naas ya, mungkin emang jalannya dia mati...” (R1.W1/b.359-366/hal.12)

”... Dulu dia masih kecil, masih umur 6 bulan. Orang banyak kali yang suka menggendong dia kesana kemari, kesana kemari. Tiba-tiba ada yang mau ngasi ke kakak, mutar-mutar, mutar-mutar, tiba-tiba jatuh. Bukannya tinggi kali. Rendahnya. Tapi ya itulah, langsung kejang. Mungkin ya, mungkin, ntah kena apanya gitu.”

(R1.W1/b.367-374/hal.12)

”... permulaannya tau, katanya kalo mata anak kita sakit, ditetesin air susu. Jadi kalo dia sakit mata, kakak tetesin air susu kakak. Itulah kata orang tua dulu. Tapi, ga semua bisa. Air susu kakak tajam. Kena aja sikit di kulit, udah luka. Suka kakak tetesin ke matanya. Waktu bayi dia, merah matanya, kakak tetesin. Sementara air susu awak tajam...”

(R1.W1/b.407-414/hal.14)

c) Fase Conservation and the Need to Withdrawal

Pada fase ini individu lebih suka menyendiri dan menarik diri dari pergaulan. Individu merasa sangat kelelahan, memerlukan istirahat dan pemulihan kembali. Pada fase ini, Pipit mengalami withdrawal and the need to rest, ia mulai menghindari rumah sakit dimana anaknya dulu pernah dirawat, ia juga menolak untuk mengobrol dengan tetangga-tetangganya seperti yang sering ia lakukan


(50)

dulu, bahkan ia juga menghindari untuk pergi melayat ke rumah tetangga yang anaknya meninggal dunia yang memiliki usia rata-rata sama dengan almarhum anaknya. Pipit juga mengalami despair rather than depression, ia mulai putus asa dan kehilangan selera makan, bahkan ia tidak lagi melakukan hal-hal yang sering ia lakukan dulu seperti berdandan. Selain itu, Pipit juga mengalami diminshed social support, dan ia mendapatkan dukungan sosial dari suami, keluarga besar, bahkan majikan tempat ia bekerja. Dari data yang diperoleh, fase ketiga ini dilewati Pipit seperti berikut:

Pipit mengaku sempat tidak sanggup melewati dari rumah sakit dimana Wibi pernah dirawat. Selain itu, Pipit juga sempat kehilangan selera makannya, sehingga harus disuapi agar ia mau makan.

”... Kakak kalo lewat dari Pirngadi itu, ga sanggup kadang-kadang. Teringat, teringat aja sama dia. Perasaannya hampa, kayaknya ga mau hidup lagi. Kayaknya mau ikut sama dia...”

(R1.W1/b.247-250/hal.8)

”... Ini kayak kosong, trauma, macam orang streslah. Kekmana orang stres. Ga mau bersolek, ga mau berdandan. Ya gitulah. Yang tadinya kita pesolek, males. Yang tadinya kita periang, agak murung...”

(R1.W1/b.391-395/hal.13)

”... Kalo dulu makan ga bisa, minum ga bisa. Pikiran kosong kali.” (R1.W1/b.418-419/hal.14)

Selain itu, ia juga tidak lagi sering mengobrol dengan para tetangga dan keluarganya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.

” Becakap pun malas. Ee..., kalo jumpa ya sekedar gitu aja. Apa ya, kayaknya hampa kali. Mau bicara, mau ketawa, itu terbatas. Biasa kita ketawa terpingkal-pingkal ya kan, ini ga lagi…”

(R1.W2/b.166-169/hal.20)

Selama masa berkabung, Pipit merasa bahwa keluarga besarnya sangat berperan besar untuk membuat dia kembali kuat dan tegar menghadapi kematian


(51)

Wibi. Mereka selalu memberikan semangat dan mengingatkan dia saat ia mulai menangis karena mengingat Wibi. Meskipun begitu, Pipit mengatakan bahwa yang paling ia butuhkan adalah perhatian dari suaminya.

”... Biarpun mertua kakak, biarpun ipar-ipar, biarpun kakak awak sendiri, ngasi semangatlah. Ngasi semangat, “Jangan gitu-gitu ajalah, udahlah, ikhlaskan”. Gitu. Itulah. Eceknya ngasi semangatlah, ditambah lagi orang itu datang ke rumah ya kan. jadinya senanglah...”

(R1.W2/b.157-162/hal.20)

”... Kami kan suka ngumpul di depan. Jadi orang itu suka manggil supaya kakak ikut gabung-gabung disana. Kami suka melucu-melucu. Trus nanti kami disitu ketawa-ketawa. Hilang jugalah rasa stres kita itu...”

(R1.W2/b.216-220/hal.21-22)

Sampai sekarang, Pipit tetap tidak bisa menutupi perasaan sedihnya jika mendengar ada anak orang lain yang meninggal dunia di usia 1 atau 2 tahun ke atas. Ia langsung teringat dengan kematian Wibi yang juga meninggal dunia di usia yang sama. Hal ini menyebabkan Pipit tidak pernah pergi melayat jika mendengar kabar seperti itu. Ia merasa takut dan stres.

”... Tapi ya, jujur kakak, jujur, kalo ada anak orang meninggal, kalo bayi kakak ga terlalu ini ya, anak meninggal umur 2 tahun ke atas atau setahun ke atas gitu kan, itu kakak sering nangis. Teringat sama anak kakak....” (R1.W2/b.375-379/hal.26-27)

”... Makanya kakak ga pernah pergi kalo ada anak orang meninggal, takut kakak, takut stres,sampai sekarang...”

(R1.W2/b.385-387/hal.27)

d) Fase Healing

Fase ini merupakan awal pemulihan dari peristiwa grief. Individu mulai mencoba keluar dari grief yang ia alami. Pada fase ini, Pipit mengalami reaching a turning point (mulai dapat beraktivitas kembali), assuming control (mulai dapat mengontrol dirinya untuk tidak terlalu bersedih karena kematian anaknya), relinquishing roles (mulai beradaptasi dengan hilangnya satu orang anggota


(52)

keluarga), forming a new identity (mulai dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri). Pada responden I hal ini dapat dilihat dari data wawancara yang diperoleh:

Sekitar 2 bulan yang dipakai Pipit setelah kematian Wibi untuk menenangkan dirinya sebelum ia memulai untuk bekerja kembali. Pada saat bekerja, Pipit sering mengeluarkan air mata saat ia teringat dengan anaknya. Pada siang hari saat Pipit sudah pulang bekerja, ia akan kembali menangis ketika mendapati bahwa anak yang akan dia tidurkan hanya ada satu orang, bukan dua orang lagi.

”... Itupun masih nangis-nangis aja. Teringat di rumah kalo lagi sendirian. Kalo kek gini-gini, pas waktu tidur siang kan, biasanya abang itu sama dia, kek ginilah, hidupin kaset, kakak tidur sama anak-anak, nanti tidur tu orang tu berdua. Jadi kalo kita tengok sekarang yang satu ga ada, ya sedih kali lah...”

(R1.W2/b.49-55/hal.16)

“...Pertamanya itu agak ga enaklah, tapi cukuplah itu 2 bulan nangis. Daripada kita di rumah-rumah aja, terbawa stres. Lebih bagus kita bekerjalah...”

(R1.W2/b.244-247/hal.22)

Setelah kematian Wibi, Pipit merasakan ada perubahan di dalam rumahnya dan ia harus beradaptasi dengan keadaan tersebut. Ia sangat merasakan ketidakhadiran Wibi dalam setiap kegiatan yang sering dilakukan secara bersama-sama, seperti saat makan, saat memberi uang jajan, ataupun saat menjelang Lebaran.

”... biasa kita makan berempat ya kan, trus kita makan tinggal bertiga. Itu satu ya kan. Udah gitu biasa minta kita untuk jajan ada dua ya, sekarang udah kehilangan satu. Itu yang kedua. Ketiga, waktu-waktu mau lebaran...”

(R1.W2/b.290-294/hal.24)


(53)

Pada fase ini individu mulai beradaptasi, menerima, dan belajar untuk menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang ia kasihi yang sudah meninggal dunia. Pipit mengalami renewing self awareness (kehadiran putra bungsunya menjadi awal pemulihan dari perasaan sedihnya), accepting responsibility for ourselves (ia mulai bisa kembali mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan istri), dan learning to live without (ia sudah bisa menerima dan belajar menjalani hidup tanpa kehadiran anaknya). Dari data wawancara, didapati bahwa Pipit juga mengalami fase ini, seperti yang diuraikan di bawah ini:

Pipit membutuhkan 2-3 tahun untuk akhirnya pulih dari perasaan sedihnya. Hal ini dikarenakan ia sudah melahirkan putra ketiganya yang dianggap sebagai pengganti Wibi. Putra ketiganya ini memiliki sifat yang hampir sama dengan Wibi. Selain itu, adanya dukungan dari keluarga dan doa yang terus ia panjatkan agar ia cepat dapat melupakan peristiwa yang menimpanya dan tidak berlama-lama berada dalam kesedihannya.

”... Lamalah. Berapa tahun la ya? Ya 2 tahunan atau 3 tahunan lah.” (R1.W2/b.372-373/hal.26)

”... Iyalah. Ditambah dengan berdoa. Kalo kita sedih tapi ga berdoa, untuk apa ya kan. Kita berdoa sama Yang di Atas...”

(R1.W2/b.418-420/hal.28)

2) Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi reaksi Grief

a. Hubungan interpersonal antara ibu dan anak yang sudah meninggal

Pipit banyak menghabiskan waktu bersama dengan anak-anaknya ketika ia sudah pulang dari tempat ia bekerja. Meskipun Pipit mengaku sangat cerewet dengan anaknya, tetapi ia tetap menyayangi mereka. Pipit dan Wibi sering


(54)

menghabiskan waktu dengan karaokean bersama di rumah pada sore hari. Kedekatan dan banyaknya waktu yang dihabiskan oleh Pipit dan Wibi membuat Pipit kerap menangis atau bersedih saat mengingat kenangan tersebut.

“... Kalo kek gini-gini, pas waktu tidur siang kan, biasanya abang itu sama dia, kek ginilah, hidupin kaset, kakak tidur sama anak-anak. Jadi kalo kita tengok sekarang yang satu ga ada, ya sedih kali lah....”

(R1.W2/b.50-55/hal.16)

“...Dulu kakak suka karaoke ya, jadi kami sering nyanyi-nyanyi. Jadi kalo kakak udah nyanyi, orang ini udah tau. ‘Itu lagi nyanyi itu, pasti dia teringat anaknya itu.’ Nanti ga terasa air matanya udah ngalir itu ..”

(R1.W2/b.94-98/hal.18)

b. Latar belakang keagamaan/filosofis

Pipit mengatakan bahwa dengan berdoa (sembahyang) kepada Tuhan dapat mengeluarkannya dari rasa kesedihannya, dan juga dapat melancarkan perjalanan Wibi di dunia akhirat. Keyakinan ini yang membuat Pipit tidak mau terlalu lama terlarut dalam kesedihan.

“...yang pasti berdoa supaya kesedihan itu jangan lama-lama yang pasti ya kan...”

(R1.W2/b.348-349/hal.26)

“...Ditambah dengan berdoa. Kalo kita sedih tapi ga berdoa, untuk apa ya kan. Kita berdoa sama Yang di Atas. Kalo muslim, sedih ajapun ga boleh. Nanti jalannya disana susah...”


(55)

Bagan Proses Grief Responden I

Fase I Shock

Fase III

Conservation/Withdrawal

Fase IV Healing Fase III

Conservation/Withdrawal

Fase V Renewal

Fase II Awareness of Loss

Fase II Awareness of Loss

Fase III

Conservation/Withdrawal

Fase IV Healing

Fase V Renewal

Fase III

Conservation/Withdrawal


(56)

B. Analisis Responden 2 (Vira) 1. Deskripsi Data

Vira adalah seorang karyawati di salah satu perusahaan konveksi di Medan. Sebelum bekerja sebagai karyawan, Vira sudah banyak mencoba jenis pekerjaan yang lain seperti menjual peyek, bekerja di perusahaan surat kabar, ataupun menjual bawang. Suami Vira tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia mengerjakan pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan.

Vira dikaruniai 2 orang putri. Putri pertamanya bernama Nisa, yang saat ini duduk di bangku SD kelas 2. Kemudian pada tahun 2008, Vira mendapatkan putri keduanya yang bernama Siti. Namun Vira tidak sempat lama menghabiskan waktu dengan Siti, karena putrinya sudah dipanggil Tuhan 16 jam setelah ia melahirkan.

2. Data Observasi

Vira memiliki tubuh yang agak berisi, kira-kira dengan berat badan sekitar 70 kg dan tinggi badan sekitar 145 cm. Sejak ditelepon untuk melakukan konfirmasi kepada Vira, ia menjawab telepon dengan cara yang bersahabat, bahkan terkadang lebih dulu bertanya tentang jadwal akan dilakukannya wawancara.

Vira adalah seorang wanita yang sibuk. Hal ini tampak dari padatnya jadwal Vira setiap harinya, sehingga sangat sulit untuk menentukan jadwal dilakukannya wawancara. Pada hari yang telah ditentukan untuk wawancara, Vira juga sempat memajukan waktu dari yang seharusnya, karena ia harus pergi untuk


(57)

membeli beberapa keperluan yang berkaitan dengan usaha yang saat ini sedang ia jalani.

Di wawancara pertama, Vira terlihat sangat ceria dengan memakai baju berwarna kuning kemerah-merahan yang dipadukan dengan celana panjang berwarna hitam. Saat wawancara dilakukan, Vira menjawab semua pertanyaan dengan baik, meskipun kondisi tempat dilakukannya wawancara sedikit berisik. Namun, Vira tetap fokus dalam wawancara yang sedang dilakukan, dan tidak terpengaruh dengan kondisi sekitar. Hanya saja, selama wawancara, terkadang Vira melirik suaminya yang berada sekitar 1 meter dari tempat duduk kami.

Pada saat ditanyakan tentang penyebab kematian anaknya, Vira menjawab dengan linangan air mata, sehingga ia tidak henti-hentinya menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Demikian juga ketika ia menceritakan tentang tekanan yang ia rasakan dari suaminya ketika ia mengandung putri keduanya itu.

Di wawancara kedua, Vira memakai kaus yang dipadukan dengan blezer berwarna coklat. Wawancara kedua dilakukan di tempat yang sama dengan wawancara pertama. Kali ini Vira membawa serta suami dan anaknya Nisa. Setelah kedatangan Vira, wawancara tidak dapat langsung dilakukan karena Nisa masih asyik bercakap-cakap dengan ibunya dan sesekali mengajak peneliti untuk ikut serta dalam pembicaraan mereka. Wawancara berlangsung dengan baik, meskipun Nisa terkadang menyela untuk meminta uang membeli makanan.


(58)

a. Proses Kematian Anak

Putri kedua Vira, Siti, meninggal dunia karena adanya kelainan jantung sejak berada di dalam kandungan. Hal ini memang sudah diperkirakan sebelumnya oleh dokter kandungan tempat Vira melakukan konsultasi. Setelah lahir, Siti dimasukkan ke dalam inkubator untuk membantu proses pernapasannya. Namun kondisi Siti yang semakin kritis membuatnya harus dimasukkan ke ruang ICU. Di ruang inilah Siti akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir, dan dalam waktu hidupnya yang singkat, ia tidak pernah bertemu dengan ibunya. Vira tidak pernah mengetahui kondisi anaknya setelah ia melahirkan. Dia hanya merasa bingung, kenapa anaknya belum juga diantarkan untuk diberikan ASI.

”... Nangislah dia pas lahir jam 9 pagi. Jadi sekitar jam-jam 12 dia dimasukkan ke inkubator. Cuma saya ga dikasitau, supaya saya ga sampe mengalami pendarahan. Tapi saya bingung, kenapa anak saya ini ga pernah saya susui…”

(R1.W1/b.49-53/hal.2)

“…Sampelah jam 12 malam dia di ruang ICU itu, disitulah meninggalnya. 16 jam ajalah dia hidup setelah lahir. Dia belum sempat saya susui dan belum sempat saya gendong.”

(R1.W1/b.64-67/hal.3)

b. Proses Grief 1) Fase-fase Grief a) Fase Shock

Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat pertama kali menyadari terjadinya kehilangan. Vira mengalami state of alarm (mengalami demam secara tiba-tiba), dan ketidakpercayaan (karena tidak bisa melihat anak


(59)

yang sudah ia kandung selama 9 bulan). Fase pertama ini dilewati oleh Vira seperti berikut:

Berita tentang kematian Siti membuat Vira sangat terkejut dan tubuhnya menjadi demam. Ia merasa seperti terkena sial karena kenyataan yang ia harus terima tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

” Demam saya dek. Pada waktu itu saya duduk, duduk saya, padahal saya masih lagi sakit itu.

(R1.W1/b.157-159/hal.6)

” Macamnya kayak ada petir di tengah malam. Ga nyangka gitu. Kenapa yang kuidamkan selama ini, yang kubanggakan selama ini, ga ada kedatangannya gitu. Jadi kayaknya kena sial. Kenapa kek gitu jadinya...” (R1.W1/b.144-148/hal.5)

b) Fase Awareness of Loss

Pada fase ini individu mengalami emosi yang tidak menentu setiap harinya. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Pada fase ini, Vira mengalami separation anxiety (saat mengetahui bahwa harapan hidup untuk bayinya sangat tipis), dan conflict (merasa penyebab kematian anaknya karena tekanan psikologis yang ia terima dari suami dan mertuanya). Dari data yang diperoleh, Vira juga mengalami fase ini.

Sebelum Vira melahirkan Siti, dokter memang sudah mengatakan bahwa harapan hidup janin ini sangat tipis, karena mengalami kelainan jantung sejak dalam kandungan. Dokter memperkirakan antara ibu dan anak ada yang tidak bisa bertahan hidup. Prediksi dokter ini membuat Vira hanya sedikit berharap untuk melahirkan anaknya dalam keadaan sehat dan tetap hidup.

” Pada waktu saya mengandung, memang harapan saya tipis. Karna memang ada kelainan waktu mengandung...”


(60)

(R1.W1/b.32-34/hal.2)

”...Jadi memang kata dokternya kan, kemungkinan diperkirakan kalo bukan ibunya yang ga selamat, anaknya ga selamat...”

(R1.W1/b.39-42/hal.2)

Kematian Siti tidak diketahui oleh Vira, dan yang memberitahunya tentang berita ini bukanlah suaminya tetapi abangnya yang juga pernah mengalami hal yang sama dengan Vira. Mendengar berita tentang kematian Siti membuat Vira sangat sedih dan merasa belum siap untuk kehilangan putrinya.

” ...Tapi itupun saya bukan dikasitau sama bapaknya, tapi dari abang saya yang juga udah pernah mengalami anak yang udah meninggal, cuma udah lama, udah ada sekitar 11 tahun yang lalu. Jadi saya disemangati karna kehilangan..”

(R1.W1/b.69-74/hal.3)

” ...Tapi ya saya belum siap, karna selama 9 bulan 10 hari saya kandung, saya tahan-tahan selama 9 bulan itu, belum lepaslah...”

(R1.W1/b.82-84/hal.3)

Ia belum pernah melihat dan menggendong anaknya dalam keadaan hidup. Harapan terakhir Vira sebelum Siti dimakamkan adalah ia ingin menggendong dan mencium anaknya, meskipun sudah dalam keadaan tak bernyawa. Pada saat jenazah Siti akan dibawa, Vira tidak diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit karena kondisinya yang masih lemah pasca operasi dan harus berada di bawah pengawasan para perawat. Kenyataan ini membuat kesedihan Vira semakin dalam, karena ia tidak akan pernah lagi melihat anak yang sudah ia kandung selama 9 bulan 10 hari.

“Tapi saya minta gini, waktu terakhir-terakhir, sebelum saya juga pulang ke rumah, saya minta gendong anak saya, saya cium, untuk terakhir. Karna kita ga pernah nengok dia lagi...”

(R1.W1/b.74-77/hal.3)

”... Jadi dibawalah si adik itu pulang, saya masih di rumah sakit. Jadi waktu dikebumikan pun saya ga liat, bapaknya lah yang liat.”


(1)

b. Saran Praktis

1. Pada dasarnya kehilangan seorang anak yang sangat dicintai akan menimbulkan kesedihan yang sangat mendalam kepada orangtua, baik ayah maupun ibu. Suami dan istri adalah orang yang paling mengerti dengan apa yang dirasakan oleh pasangannya masing-masing. Karena itu, dalam menghadapi kematian anak, sebaiknya ayah dan ibu dapat saling mendukung agar grief lebih mudah untuk dijalani.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aho, Anna Liisa; Tarkka, Marja-Terttu; Astedt-Kurki, Paivi; Kaunonen, Marja. (2006). Father’s Grief After The Death of a Child. Issues in Mental Health

Nursing, 27: 647-663. [On-line]. Available FTP: www.ebsco.com. Tanggal

akses: 20 September 2009.

Corr, Charles A.; Nabe, Clyde M.; Corr, Donna M. (2003). Death and Dying: Life

and Living. Fourth Edition. USA: Wadsworth Inc.

Dimatteo, M. Robin. (1991). The Psychology of Health, Illness, and Medical

Care: An Individual Perspective. California: Wadsworth Inc.

Gottman, J.; DeClaire, J. (1997). The Heart of Parenting: How to Raise an

Emotionally Intelligent Child. London: Bloomsbury Publishing Plc.

Hoyer, William J.; Rybash, John M.; Roodin, Paul A. (1995). Adult Development

and Aging. Fourth Edition. McGraw-Hill Companies Inc.

Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan

Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Keese, Nancy J.; Currier, Joseph M.; Neimeyer, Robert A. (2008). Predictors of Grief Following the Death of One’s Child: The Contribution of Finding Meaning. Journal of Clinical Psychology, Vol 64(10), 1145-1163.

[On-line]. Available FTP: www.ebsco.com. Tanggal akses: 20 September 2009.

Moules, Nancy. (2009). A Parent’s Worst Nightmare: Grief, Families, and The Death of a Child. Relational Child and Youth Care Practice. Volume 21

Number 4. [On-line]. Available FTP: www.ebsco.com. Tanggal akses: 20

September 2009.

Newman, Barbara M.; Philip R. Newman. (2006). Developmental Through Life: A

Psychosocial Approach. Ninth Edition. Thomson Learning Inc.

Poerwandari, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan

Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rando, T. (1984). Grief, Dying, and Death: Clinical Interventions for Caregivers.

Illinois: Research Press Company.

Sanders, Catherine M. (1992). Surviving Grief and Learning to Live Again. New York: John Wiley and Sons. Inc.


(3)

Sarafino, Edward P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions.

Fifth Edition. New York: John-Wiley and Sons. Inc.

Sigelman, Carol K.; Rider, Elizabeth A. (2003). Life-span Human Development.

Fourth Edition. Thomson Learning Inc.

Yayasan Pulih. (2008). Penguatan bagi Orang Tua: Pasangan yang Menghadapi

Kematian Anak. [On-line]. Available FTP: www.pulih.or.id. Tanggal akses:


(4)

(5)

PEDOMAN WAWANCARA

A. Informasi tentang kematian anak

1. Data diri subjek (nama, usia, alamat, suku bangsa, agama, pendidikan akhir, pekerjaan)

2. Bagaimana perasaan subjek ketika anak lahir (yang sudah meninggal dunia)

3. Apa harapan subjek terhadap anak tersebut ketika lahir (yang sudah meninggal dunia)

4. Anak keberapa yang meninggal dunia

5. Bagaimana hubungan subjek dengan anak yang meninggal dunia 6. Kapan anak tersebut meninggal dunia dan apa penyebabnya 7. Bagaimana proses terjadinya kematian anak tersebut

8. Hal-hal apa yang sering muncul dalam pikiran subjek selama masa grief (misalnya: keluarga, pekerjaan, dll).

B. Penghayatan subjek pada setiap fase-fase grief

1. Shock

• Bagaimana perasaan dan reaksi subjek ketika mengetahui bahwa anaknya meninggal

• Adakah perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi ketika mengetahui bahwa anaknya meninggal

2. Awareness of loss

• Apa yang dialami subjek setelah peristiwa kematian anak

• Bagaimana subjek mengekspresikan emosinya terhadap kondisi tersebut

3. Conservation/withdrawal

• Bagaimana hubungan subjek dengan suami (jika masih memiliki suami)

• Bagaimana hubungan subjek dengan anak-anak yang masih hidup

• Bagaimana hubungan subjek dengan keluarga besar

• Bagaimana hubungan interpersonal subjek dengan lingkungan pekerjaan atau lingkungan sekitar rumah sebelum dan setelah kematian anak

• Bagaimana tanggapan dan respon yang diperoleh subjek dari suami, anak-anak yang masih hidup, keluarga besar, rekan kerja, dan dari lingkungan sekitar

• Selain pekerjaan, apakah subjek mengikuti kegiatan-kegiatan di dalam organisasi atau lingkungan? Bagaimana perasaan subjek ketika kembali mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut?

• Apa yang sangat dibutuhkan subjek setelah kematian anak terjadi?

4. Healing

• Menurut subjek, adakah perubahan yang terjadi di dalam keluarga (misalnya: perubahan peran, tanggung jawab, dan tuntutan)? Bagaimana perasaan subjek tentang perubahan tersebut?


(6)

• Pada saat kapan subjek merasa bahwa kondisinya sudah mulai pulih?

5. Renewal

• Bagaimana subjek menjalani hidup setelah kematian anak

• Kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan subjek untuk mengisi hari-harinya setelah kematian anak

• Berapa lama waktu yang dibutuhkan subjek untuk bisa bangkit dari perasaan kesedihan

• Apakah subjek sudah mampu menerima kenyataan yang terjadi? Bagaimana akhirnya subjek mampu menerima keadaan tersebut?