Perkawinan Secara Shinto pada Masyarakat Jepang

BAB III PERKAWINAN TRADISIONAL SECARA SHINTO DI JEPANG

3.1. Perkawinan Secara Shinto pada Masyarakat Jepang

Perkawinan dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah kekkon atau kon’in. Istilah kekkon terdiri dari dua karakter kanji yaitu ketsu 結 yang berarti ikatan, dan kon 婚 yang berarti perkawinan. Sedangkan kon’in terdiri dari kon 婚 yang berarti perkawinan dan in 姻 yang juga berarti perkawinan. Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat tentang perkawinan yang berbeda dari negara lain. Perkawinan dan penyelenggaraan kehidupan berkeluarga di Jepang diatur oleh sebuah sistem keluarga. Pada umumnya perkawinan orang Jepang bersifat monogami, walaupun pergundikan juga dilakukan dan keturunannya diakui dalam masyarakat, namun dari segi pewarisan kekayaan maupun kedudukan dalam lingkungan sosial, status mereka lebih rendah dari istri sah anak - anaknya. Kira – kira sampai tahun 50 showa 1975 , sebagian besar wanita Jepang tidak memiliki pikiran untuk menikah. Hal itu menyebabkan pandangan mengenai perkawinan adalah kebahagian wanita mulai runtuh. Tetapi pada tahun 55 showa 1980 setelah diadakan penelitian, banyak wanita yang menjawab tentang harapan perkawinan yaitu perkawinan akan memberikan ketenangan bathin Hendry, 1987 : 234. Usia perkawinan orang Jepang sejak Zaman Meiji berkisar pada usia 26 27 tahun bagi pria dan 23 – 24 tahun bagi wanita. Sampai tahun 20 showa 1945, biasanya perbedaan umur suami dan isteri adalah 4 tahun, tetapi setelah tahun Universitas Sumatera Utara 1945, perbedaan umur suami dan isteri semakin dekat yaitu menjadi 3 tahun bahkan hanya 2 tahun pada tahun 1975. Penyebab tingginya usia perkawinan bagi wanita di Jepang menurut Martha 1995 : 4 adalah meningkatnya pendidikan, kemajuan dalam pekerjaan, sifat bebas dan mandiri serta kemajuan ilmu kedokteran. Cara bagaimana calon suami atau calon isteri dipilih ada dua macam, yaitu berdasarkan miai dipertemukan dalam konteks perkawinan memiliki pengertian dijodohkan dan ren’ai cinta . Perkawinan yang terjadi karena miai disebut miai kekkon, sedangkan ren’ai disebut ren’ai kekkon. Miai kekkon terlaksana dengan cara orang tua dari seorang anak yang telah dewasa meminta bantuan perantara yang disebut Nakoodo untuk mempertemukan kedua belah pihak. Ie , yang banyak diungkapkan dengan katakana イエ adalah sekelompok orang yang tinggal di sebuah lingkungan rumah, memiliki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota khususnya di bidang kepercayaan pemujaan, ekonomi dan moral Situmorang, 2000:98. Peranan Nakoodo sangat penting sebagai perantara Ie dengan Ie dalam perkawinan di Jepang. Nakoodo adalah orang yang bertugas mencarikan pasangan calon pengantin. Fungsi Nakoodo menurut Martha 1995 : 5 adalah mengatur perkawinan, termasuk memperkenalkan pihak – pihak yang berminat untuk mencari calon suami atau calon isteri. Menurut Wibowo 2005 : 18 , Nakoodo adalah orang yang bertindak sebagai perantara pada awal perundingan sebelum perkawinan, memimpin upacara perkawinan dan mengurus hubungan yang berlangsung terus - menerus setelah perkawinan, termasuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara pasangan itu. Universitas Sumatera Utara Ren’ai kekkon yaitu perkawinan yang didasari oleh cinta, semakin banyak terjadi terutama sejak zaman Meiji, dimana pemikiran – pemikiran barat banyak diserap dalam segala aspek kehidupan orang Jepang, bahkan dewasa ini banyak perkawinan yang berdasarkan cinta kasih dan didahului dengan pacaran. Di bawah undang-undang 1898, perkawinan di Jepang di atur secara besar- besaran dalam satu Ie, yang dikontrol oleh seorang koshu kepala keluarga. Jadi, perkawinan menyangkut satu kelompok yang meninggalkan Ie-nya. Sebagai seorang Yome menantu perempuan atau Muko menantu laki-laki untuk menjadi bagian dari Ie yang lain. Supaya tercapai hal ini, maka persetujuan di antara kedua kepala keluarga sangat diperlukan. Setelah perkawinan terbentuk, kedua pasangan dipanggil dengan satu nama keluarga. Berdasarkan pasal 75 Undang-undang perdata, Myooji nama keluarga dapat dipakai dari nama suami atau nama isteri. Namun demikian, 98,9 isteri di Jepang mengubah nama keluarganya dengan nama keluarga suaminya atau dengan kata lain pihak wanita ikut pihak keluarga pria. Perkawinan secara Shinto dianggap sebagai pernikahan tradisional Jepang. Perkawinan Shinto yang pertama diadakan pada tahun 1908. Pada tahun 1992, 63 perkawinan dilakukan secara Shinto. Alasan-alasan dilaksanakan perkawinan secara Shinto adalah karena upacaranya yang sederhana dan meskipun prosedurnya sederhana upacara ini penuh dengan suasana khidmat. Perkawinan Shinto diadakan di sebuah altar Shinto. Upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta Shinto. Perkawinan seperti ini biasanya dihadiri oleh anggota keluarga dari kedua mempelai dan teman dekat dari pasangan yang akan menikah dan juga nakoodo mak comblang. Universitas Sumatera Utara

3.2. Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Jepang