Perkawinan Tradisional Secara Shinto Pada Masyarakat Jepang.

(1)

NIHON NO SHINTOU NO DENTOUTEKI NA KEKKON

SHIKI

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

EVI CINRA SAGALA NIM : 082203019

PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG DIII FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini guna melengkapi syarat untuk mencapai gelar Ahli Madya pada Universitas Sumatra Utara. Adapun judul kertas karya ini adalah

“Perkawinan Tradisional Secara Shinto Pada Masyarakat Jepang”.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurnah. Baik dari pengkajian kalimat, penguraian materi, dan pembahasan masalah. Tetapi berkat bimbingan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah banyak membantu terutama kepada:

1. Bapak Dr.Syahron Lubis ,M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Zulnaidi SS. M,Hum, selaku ketua program studi Bahasa Jepang D-3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Hj. Muhibbah SS ,selaku Dosen Pembimbing yang dengan ikhlas telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis hingga selesainya kertas karya ini.

4. Bapak Drs.Nandi .S, Selaku Dosen pembaca


(3)

6. Seluruh staf pengajar jurusan bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan.

7. Keluarga yang kukasihi, ayahanda tercinta Wadin Sagala dan Ibunda Rukia Situmorang serta kakak dan abang-abang ku; kak Eva, bang Vandes, bang Asrul, bang Alven, bang Lahi, kak Wirma, kak Rippi, serta seluruh keluarga yang selama ini memberikan dukungan, baik secara moril, maupun materi kepada penulis. Terima kasih atas doa dan dukungan kalian. Tak akan bisa aku melangkah sendiri.

8. Rekan-rekan mahasiswa program studi Bahasa Jepang stambuk 2008 khususnya kelas A.

9. Buat semua rekan anggota Hinode dan Aotake.

10. Sahabat terbaikku Desminita Surbakti dan Prisdo Sinaga. Teman yang selalu ada disaat suka dan duka. Terima kasih buat pengertian, doa, dan motivasinya selama ini.

11. Teman-teman ku, Ratih, Yessi, Wanri, bang Jefri, kak Heny, Eko, iban Nael, Hartawan, bang Yuddi, yang tak bosan-bosannya menanyakan gimana perkembangan TA. Terima kasih buat semua perhatiannya.

12. Buat Frengky, bang Sakban, Hery Bath, Evi Sri, Alvy, Ami, Nina Pandia, Putri, thanks dah mau jadi teman touring dikala jenuh menghadapi semua. 13. Special thanks buat si busuk “Leo Mansen” yang selalu ada memotivasi.

Semua perhatian dan saran-saran darimu menjadi inspirasi buat aku.

14. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, terima kasih buat dukungannya.


(4)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kertas karya ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan masukan untuk kesempurnaan kertas karya ini sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua .

Medan , Juni 2011 Penulis

Evi Cinra Sagala 082203019


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2. Tujuan Peulisan ... 3

1.3. Pembatasan Masalah ... 3

1.4. Metode Penulisan ... 3

BAB II GAMBARAN UMUM NEGARA JEPANG 2.1. Letak Geografis ... 5

2.2. Penduduk ... 6

2.3. Mata Pencaharian ... 6

2.4. Agama ... 7

BAB III PERKAWINAN TRADISIONAL SECARA SHINTO DI JEPANG 3.1 Perkawinan Secara Shinto Pada Masyarakat Jepang ... 10

3.2 Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Jepang ... 13

3.3 Tahapan Upacara perkawinan Secara Shinto di Jepang ... 14

3.3.1. Pelaksanaan Pertunangan ... 14

3.3.2. Tahapan Menjelang Upacara Perkawinan ... 15

3.3.3. Upacara Pelaksanaan Perkawinan ... 16

3.4. Resepsi Pernikahan (Hiroen) Dan Bulan Madu ... 19

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan ... 23

4.2. Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 26 ABSTRAK


(6)

ABSTRAK

Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang mana didalamnya mengandung unsur-unsur ritual dan nilai-nilai. Di Jepang bentuk perkawinan sangat erat kaitannya dengan bentuk keluarga. Dalam masyarakat Jepang ada dua buah bentuk keluarga yaitu Kazoku dan Ie.

Kazoku adalah hubungan suami istri, hubungan orang tua dan anak, dan

diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut. Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie.

Ie, yang banyak diungkapkan dengan katakana (イエ) adalah sekelompok

orang yang tinggal di sebuah lingkungan rumah, memiliki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota khususnya di bidang kepercayaan (pemujaan), ekonomi dan moral.

Pada masyarakat tradisional Jepang, perkawinan yang sering terjadi adalah Miai kekkon (perjodohan) dan ren’ai kekkon (atas dasar cinta). Miai kekkon yaitu perkawinan yang dijodohkan oleh pihak ketiga yang disebut nakoodo. Fungsi nakoodo adalah mengatur perkawinan, termasuk memperkenalkan pihak-pihak yang berminat untuk mencari calon suami atau calon istri. Tujuan miai kekkon adalah meneruskan keturunan sistem Ie.

Upacara perkawinan di Jepang dibedakan menjadi tiga macam, yaitu Butsuzen Kekkonshiki (perkawinan berdasarkan agama Buddha), Kirisutokyoo kekkonshiki (perkawinan berdasarkan agama kristen) dan Shinzen kekkonshiki


(7)

(perkawinan berdasarkan agama Shinto). Shinzen kekkonshiki sangat dipengaruhi agama Shinto. Dalam perkawinan tradisional secara Shinto, setelah pasangan calon pengantin memutuskan untuk meneruskan hubungan ke jenjang perkawinan maka akan diadakan acara pertunangan yang disebut yuinoo, dimana dilakukan pertukaran barang-barang pihak pria dan wanita. Barang-barang yang biasanya diberikan adalah berupa uang sebanyak tiga bulan gaji pria kepada pihak wanita.

Perkawinan tradisional secara Shinto berlangsung secara sederhana tetapi sangat khidmat. Perkawinan Shinto diadakan disebuah altar Shinto. Upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta Shinto yang dihadiri oleh anggota keluarga, mak comblang (nakoodo) dan teman dekat dari kedua mempelai.

Urutan upacara perkawinan Shinto yaitu, pendeta akan memimpin upacara, ia berdoa di depan altar, kemudian pengantin pria akan mengucapkan janji pernikahan. Setelah itu akan diadakan upacara San-San-Ku-Do untuk meneguhkan mereka sebagai suami istri. Di altar kuil Shinto terdapat persembahan seperti nasi, air, garam, buah-buahan, sayur-sayuran, sake, beberapa surume dan konbu. Dua ekor ikan Tai (sejenis ikan Kakap berwarna putih keperakan), cincin nikah dan sake yang dipersembahkan kepada Dewa Shinto. Bagian lainnya dari persembahan adalah pemurni (Hara) dan pendoa (Norito) yang semuanya memiliki makna khusus dalam Shinto. Setelah selesai upacara kemudian diadakan upacara minum sake bersama dan resepsi pernikahan (Hiroen). Hal ini dimaksudkan untuk memberitahukan kepada masyarakat luas tentang pernikahan mereka.


(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Biasanya pada usia dewasa dan sudah memiliki pekerjaan, manusia akan memikirkan tentang perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting dimana hubungan persaudaraan berubah dan diperluas. Perkawinan juga merupakan rencana untuk meneruskan keturunan yaitu untuk menjaga kesinambungan satu keluarga. Secara umum, perkawinan adalah penggabungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk sebuah rumah tangga.

Dalam pelaksanaan sebuah perkawinan, diperlukan tata cara tertentu yang mengatur individu-individu yang bersangkutan. Sistem, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang mengatur masyarakat sehubungan dengan perkawinan disebut dengan pranata perkawinan (Rifai Abu, 1984:51).

Koentjaraningrat (1997:92), mengatakan bahwa hampir setiap masyarakat, hidupnya dibagi-bagi ke dalam tingkat-tingkat. Tingkatan tersebut dinamakan tingkat-tingkat sepanjang daur hidup yang meliputi: masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa, masa sesudah menikah, masa kehamilan dan masa tua. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya, biasanya diadakan pesta atau upacara yang sifatnya universal.


(9)

Secara umum yang dimaksud dengan upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang mana didalamnya mengandung unsur-unsur ritual dan nilai-nilai.

Upacara perkawinan adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilazimkan dalam usaha mematangkan, melaksanakan dan menetapkan suatu perkawinan (Depdikbud;1978/1979:10).

Bagi suku bangsa yang memiliki adat budaya, perkawinan merupakan suatu hal yang amat penting dalam daur kehidupan dan dilaksanakan dalam satu upacara yang terhormat serta mengandung unsur sakral dan religi didalamnya.

Salah satu suku bangsa didunia yang memiliki adat tersendiri dalam melaksanakan perkawinan adalah bangsa Jepang. Upacara perkawinan di Jepang dibedakan menjadi tiga macam, yaitu Butsuzen kekkonshiki, yaitu upacara pernikahan berdasarkan agama Buddha. Kirisutokyoo kekkonshiki, yaitu upacara pernikahan berdasarkan agama kristen. Dan Shinzen kekkonshiki, yaitu upacara perkawinan berdasarkan agama Shinto. Nilai-nilai budaya leluhur sangat dijunjung tinggi, sehingga upacara perkawinan yang dijalankan juga kebanyakan masih mengikuti adat tradisional. Meskipun saat sekarang ini sudah banyak perkawinan yang dilaksanakan secara modern.

Meskipun Jepang dikenal sebagai negara yang bertekhnologi canggih dengan masyarakat yang sangat modern, orang Jepang tetap mempunyai kesadaran untuk berkeluarga serta tetap taat pada adat istiadat warisan leluhur. Masyarakat Jepang memiliki adat dan istiadat tentang perkawinan yang berbeda dari negara lain. Penyelenggaraan kehidupan berkeluarga di Jepang di atur oleh


(10)

sistem keluarga (Martha, 1995:2). Untuk itulah penulis memilih judul “PERKAWINAN TRADISIONAL SECARA SHINTO DI JEPANG”.

1.2. Tujuan Penulisan

Kekayaan warisan budaya yang diinventarisasikan dan didokumentasikan secara baik, akan sangat besar gunanya bagi pembinaan bangsa, negara, dan warga negara. Oleh karena itu mengumpulkan dan menyusun bahan tentang Adat dan Upacara Perkawinan di Jepang adalah sangat penting artinya.

Adapun tujuan kertas karya ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perkawinan dan proses pelaksanaan Perkawinan secara Shinto di Jepang

2. Untuk menambah wawasan pembaca tentang budaya Jepang

3. Sebagai salah satu syarat kelulusan dari program diploma III jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

1.3. Batasan Masalah

Pengaruh luar terhadap adat dan upacara perkawinan itu adalah diterimanya unsur-unsur kebudayaan luar (asing) yang mempengaruhi adat di dalam upacara perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara perkawinan. Demikian hal nya di Jepang, tidak tertutup kemungkinan mereka menerima pengaruh kebudayaan luar itu sehingga di Jepang saat sekarang ini sudah banyak yang melakukan perkawinan modern. Tetapi dalam hal ini, penulis membatasi pembahasan perkawinan tradisional secara Shinto di Jepang.


(11)

1.4. Metode penulisan

Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada pembaca. Untuk itu penulis menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktifitas yang sangat penting dalam penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek perlu dicari dan diteliti meliputi: masalah, teori, konsep, dan penarikan kesimpulan (Nasution, 1946:14). Dengan kata lain studi kepustakaan adalah pengumpulan dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan.

Teknik penelitian yang digunakan adalah meneliti data berupa buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Jadi teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research. Selain itu penulis juga memanfaatkan koleksi pribadi, dan berbagai informasi dari situs-situs internet yang membahas tentang masalah yang akan dibahas untuk melengkapi data-data dalam penelitian ini.


(12)

BAB II

GAMBARAN UMUM NEGARA JEPANG

2.1. Letak Geografis

Kepulauan Jepang yang terletak lepas pantai timur benua Asia, membentang seperti busur yang ramping sepanjang 3.800 KM. Luas totalnya adalah 377.815 KM persegi-sedikit lebih luas dari Inggris. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau utama, honshu, hokkaido, kyushu, dan shikoku (berurut dari besar sampai kecil), sejumlah gugusan pulau, dan sekitar 3.900 pulau yang lebih kecil lagi. Pulau honshu memiliki luas lebih dari 60% dari seluruh kepulauan Jepang.

Jepang mengenal empat musim yaitu musim panas (natsu) Juni, Juli, Agustus. Musim gugur (aki) September, Oktober, dan november. Musim dingin (fuyu) Desember, Januari, dan Februari. Musim semi (haru) bulan Maret, April, dan bulan Mei.

Tokyo, ibukota Jepang, terletak pada garis lintang yang hampir sama dengan Athena, Los Angeles dan Teheran. Kota ini menikmati musim dingin yang tidak terlampau dingin, kelembaban udara yang rendah dan sekali-sekali turun salju, berlainan dengan kelembaban dan suhu udara yang tinggi pada bulan-bulan musim panas. Curah hujan yang tinggi dan iklim yang sedang di sebagian besar dari kepulauan ini menyebabkan pertumbuhan hutan yang lebat dan vegetasi yang rimbun di seluruh daerah pedalaman.


(13)

2.2. Penduduk

Jumlah penduduk di Jepang hingga akhir Maret 2009 melebihi 127 juta jiwa. Naik dibandingkan pada bulan yang sama tahun 2008. Naiknya jumlah penduduk dipengaruhi oleh banyaknya perusahaan Jepang yang mengurangi kegiatan bisnis di luar negeri akibat dari merosotnya perekonomian dunia. Karena situasi ini, jumlah penduduk Jepang yang kembali ke Jepang lebih banyak dibandingkan yang pergi ke luar negeri.

Banyaknya jumlah penduduk Jepang yang kembali dari luar negeri serta karena beberapa faktor lainnya, berhasil mengimbangi penurunan jumlah penduduk akibat tingkat kematian yang melebihi tingkat kelahiran tahun 2009 yaitu sebanyak 45,914 jiwa. Berdasarkan data dari kementerian dalam negeri, jumlah keseluruhan penduduk Jepang (belum termasuk warga asing) sekarang mencapai 127,076,183 jiwa. Meningkat sebanyak 10,005 jiwa dibandingkan tahun 2008.

Sekitar 76% rakyat Jepang hidup di kota-kota besar. Dari populasi kota ini, hampir 60% memadati empat kawasan metropolitan terbesar Jepang, yang mencakup 16 prefektur yang berpusat pada Tokyo, Osaka, Nagoya, dan Kita Kyushu.

2.3. Mata Pencaharian

Jepang termasuk negara industri terbesar di dunia, dari barang keperluan sehari hari seperti sumpit, sampai industri berat seperti pembuatan kapal. Oleh karena itu, banyak orang Jepang yang bekerja sebagai karyawan. Para karyawan perusahaan banyak menghabiskan waktu di kantor, dan seringkali banyak yang


(14)

menempuh jarak yang jauh dari rumah ke tempat kerjanya. Sama seperti di Indonesia, terkadang perusahaan mengalih tugaskan karyawannya ke cabang di kota lain.

Meskipun perindustrian sudah sangat maju, masyarakat Jepang tidak meninggalkan mata pencaharian primer seperti pertanian dan perikanan. Selain itu ada juga banyak bisnis kecil seperti usaha milik keluarga, sanggar seni, restoran kecil, serta toko di lingkungan perumahan. Bisnis demikian acapkali merupakan bisnis keluarga yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi.

Banyak ibu rumah tangga dan orang orang yang sudah pensiunan yang melakukan pekerjaan paruh waktu misalnya sebagai petugas kebersihan, penjaga toko, kasir dan sebagainya. Ada juga siswa SMA yang bekerja paruh waktu namun tidak banyak karena kesibukan sekolah.

2.4. Agama

Di Jepang, kebebasan agama dijamin bagi semua orang berdasarkan Undang-Undang Dasar. Pasal 20 menyatakan bahwa “tidak satupun organisasi agama dapat menerima hak istimewa dari negara, dan tidak satupun dapat mempunyai wewenang politik apapun. Tidak seorangpun dapat dipaksa mengambil bagian dalam kegiatan, perayaan, upacara, atau praktek agama. Negara dan instansinya harus membatasi diri tidak melakukan pendidikan agama dan kegiatan agama apapun.

Agama yang terbesar di Jepang dewasa ini ialah agama Buddha, yang pada akhir tahun 1985 mempunyai 92 juta pemeluk. Agama Kristen juga bergiat, pada tahun 1985 di jepang terdapat 1,7 juta orang Kristen. Di antara agama-agama lain,


(15)

orang muslim berjumlah sekitar 155.000, termasuk orang bukan Jepang yang bermukim sementara di negeri ini.

Agama asli Jepang ialah Shinto, yang berakar pada kepercayaan animis orang Jepang kuno. Shinto berkembang menjadi agama masyarakat dengan tempat pemujaan setempat untuk dewa-dewa rumah tangga, dan pada dewa-dewa pelindung setempat. Pahlawan dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang terkemuka didewakan dari generasi ke generasi, dan arwah nenek moyang juga di sembah.

Mitos mengenai asal keturunan dewa Keluarga Kaisar pernah menjadi salah satu prinsip dasar Shinto, dan pada awal abad kesembilanbelas, gerakan patriotik Shinto mulai maju. Setelah restorasi meiji pada tahun 1868, dan khususnya selama Perang Dunia II, Shinto diangkat oleh penguasa menjadi agama negara. Namun, berdasarkan Undang-Undang Dasar, peran Shinto tidak lagi diberi dukungan resmi ataupun hak khusus, walaupun masih memegang peran pada upacara penting dalam berbagai segi kehidupan Jepang.

Shinto berdampingan dengan agama Buddha dan kadang-kadang bertumpang tindih dengan agama Buddha dalam pemikiran rakyat. Banyak orang Jepang dewasa ini mengikuti upacara Shinto pada pernikahan dan upacara agama Buddha bila meninggal. Agama Buddha mempunyai 84 juta orang pengikut di Jepang dan Shinto sekitar 92 juta. Angka-angka ini merupakan bukti dari kecenderungan orang Jepang memeluk lebih dari satu kepercayaan agama sekaligus.

Agama Kristen masuk ke jepang pada tahun 1549 dibawa oleh pastor Jesuit spanyol dan disiarkan secara resmi pada tahun 1589. Larangan ini


(16)

kemudian dicabut dalam masa Meiji. Dewasa ini terdapat sekitar 840.000 orang Kristen Jepang, dengan jumlah yang seimbang antara Katolik dan Protestan. Akhir-akhir ini timbul berbagai bentuk baru seperti sekte-sekte buddhis (terutama dari garis Hokke, atau Lotus Sutra), dan sekte-sekte campuran yang memadukan Buddha dan Shinto.


(17)

BAB III

PERKAWINAN TRADISIONAL SECARA SHINTO DI JEPANG

3.1. Perkawinan Secara Shinto pada Masyarakat Jepang

Perkawinan dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah kekkon atau

kon’in. Istilah kekkon terdiri dari dua karakter kanji yaitu ketsu(結)yang berarti

ikatan, dan kon (婚)yang berarti perkawinan. Sedangkan kon’in terdiri dari kon

(婚) yang berarti perkawinan dan in (姻) yang juga berarti perkawinan.

Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat tentang perkawinan yang berbeda dari negara lain. Perkawinan dan penyelenggaraan kehidupan berkeluarga di Jepang diatur oleh sebuah sistem keluarga.

Pada umumnya perkawinan orang Jepang bersifat monogami, walaupun pergundikan juga dilakukan dan keturunannya diakui dalam masyarakat, namun dari segi pewarisan kekayaan maupun kedudukan dalam lingkungan sosial, status mereka lebih rendah dari istri sah anak - anaknya.

Kira – kira sampai tahun 50 showa ( 1975 ), sebagian besar wanita Jepang tidak memiliki pikiran untuk menikah. Hal itu menyebabkan pandangan mengenai perkawinan adalah kebahagian wanita mulai runtuh. Tetapi pada tahun 55 showa (1980) setelah diadakan penelitian, banyak wanita yang menjawab tentang harapan perkawinan yaitu perkawinan akan memberikan ketenangan bathin (Hendry, 1987 : 234).

Usia perkawinan orang Jepang sejak Zaman Meiji berkisar pada usia 26 27 tahun bagi pria dan 23 – 24 tahun bagi wanita. Sampai tahun 20 showa ( 1945), biasanya perbedaan umur suami dan isteri adalah 4 tahun, tetapi setelah tahun


(18)

1945, perbedaan umur suami dan isteri semakin dekat yaitu menjadi 3 tahun bahkan hanya 2 tahun pada tahun 1975. Penyebab tingginya usia perkawinan bagi wanita di Jepang menurut Martha ( 1995 : 4 ) adalah meningkatnya pendidikan, kemajuan dalam pekerjaan, sifat bebas dan mandiri serta kemajuan ilmu kedokteran.

Cara bagaimana calon suami atau calon isteri dipilih ada dua macam, yaitu berdasarkan miai (dipertemukan) dalam konteks perkawinan memiliki pengertian dijodohkan dan ren’ai (cinta ). Perkawinan yang terjadi karena miai disebut miai

kekkon, sedangkan ren’ai disebut ren’ai kekkon.

Miai kekkon terlaksana dengan cara orang tua dari seorang anak yang telah

dewasa meminta bantuan perantara yang disebut Nakoodo untuk mempertemukan kedua belah pihak. Ie , yang banyak diungkapkan dengan katakana (イエ) adalah

sekelompok orang yang tinggal di sebuah lingkungan rumah, memiliki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota khususnya di bidang kepercayaan (pemujaan), ekonomi dan moral (Situmorang, 2000:98). Peranan Nakoodo sangat penting sebagai perantara Ie dengan Ie dalam perkawinan di Jepang. Nakoodo adalah orang yang bertugas mencarikan pasangan calon pengantin. Fungsi

Nakoodo menurut Martha (1995 : 5) adalah mengatur perkawinan, termasuk

memperkenalkan pihak – pihak yang berminat untuk mencari calon suami atau calon isteri. Menurut Wibowo ( 2005 : 18 ), Nakoodo adalah orang yang bertindak sebagai perantara pada awal perundingan sebelum perkawinan, memimpin upacara perkawinan dan mengurus hubungan yang berlangsung terus - menerus setelah perkawinan, termasuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara pasangan itu.


(19)

Ren’ai kekkon yaitu perkawinan yang didasari oleh cinta, semakin banyak

terjadi terutama sejak zaman Meiji, dimana pemikiran – pemikiran barat banyak diserap dalam segala aspek kehidupan orang Jepang, bahkan dewasa ini banyak perkawinan yang berdasarkan cinta kasih dan didahului dengan pacaran.

Di bawah undang-undang 1898, perkawinan di Jepang di atur secara besar-besaran dalam satu Ie, yang dikontrol oleh seorang koshu (kepala keluarga). Jadi, perkawinan menyangkut satu kelompok yang meninggalkan Ie-nya. Sebagai seorang Yome (menantu perempuan) atau Muko (menantu laki-laki) untuk menjadi bagian dari Ie yang lain. Supaya tercapai hal ini, maka persetujuan di antara kedua kepala keluarga sangat diperlukan.

Setelah perkawinan terbentuk, kedua pasangan dipanggil dengan satu nama keluarga. Berdasarkan pasal 75 Undang-undang perdata, Myooji (nama keluarga) dapat dipakai dari nama suami atau nama isteri. Namun demikian, 98,9% isteri di Jepang mengubah nama keluarganya dengan nama keluarga suaminya atau dengan kata lain pihak wanita ikut pihak keluarga pria.

Perkawinan secara Shinto dianggap sebagai pernikahan tradisional Jepang. Perkawinan Shinto yang pertama diadakan pada tahun 1908. Pada tahun 1992, 63% perkawinan dilakukan secara Shinto. Alasan-alasan dilaksanakan perkawinan secara Shinto adalah karena upacaranya yang sederhana dan meskipun prosedurnya sederhana upacara ini penuh dengan suasana khidmat. Perkawinan Shinto diadakan di sebuah altar Shinto. Upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta Shinto. Perkawinan seperti ini biasanya dihadiri oleh anggota keluarga dari kedua mempelai dan teman dekat dari pasangan yang akan menikah dan juga


(20)

3.2. Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Jepang

Bentuk perkawinan sangat erat kaitannya dengan bentuk keluarga. Dalam masyarakat Jepang dikenal ada dua buah konsep keluarga yaitu keluarga sebagai

Kazoku dan keluarga sebagai Ie.

Keluarga (Kazoku) menurut Situmorang (2006:22), adalah hubungan suami istri, hubungan orang tua dan anak, dan diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut. Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie.

Ie, yang banyak diungkapkan dengan katakana (イエ) adalah sekelompok

orang yang tinggal di sebuah lingkungan rumah, memiliki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota khususnya di bidang kepercayaan (pemujaan), ekonomi dan moral.

Ariga Kizaemon dalam Situmorang (2006:24), mengatakan bahwa pada awalnya Ie terbentuk karena adanya pernikahan yaitu terbentuknya keluarga inti. Tetapi setelah mereka mempunyai anak dan apabila suami atau ibu di dalam keluarga tersebut meninggal maka kepala keluarga tersebut diganti oleh anak laki-laki tertua. Jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki-laki-laki, maka suami dari anak perempuan dapat diangkat menjadi kepala keluarga.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling utama antara keluarga Kazoku dengan keluarga Ie adalah, bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau istri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi. Sedangkan unsur keluarga Ie terbentuk minimal dua generasi, oleh


(21)

karena itu Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau istri dalam keluarga tersebut (Situmorang, 2006:23).

3.3. Tahapan Upacara Perkawinan Secara Shinto di Jepang 3.3.1. Pelaksanaan Pertunangan

Setelah pasangan calon pengantin memutuskan untuk meneruskan hubungan mereka ke jenjang perkawinan, maka rangkaian acara mulai dari pertukaran barang pertunangan, upacara perkawinan dan resepsi perkawinan diselenggarakan.

Tahapan pertama adalah peresmian atau pemberitahuan pertunangan yang disebut dengan Yuinoo. Yunioo adalah tata cara untuk meresmikan pertunangan kedua calon pengantin. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin. Pertukaran barang-barang pemberian sebagai tanda pertunangan disebut dengan

Yuinoohin. Yaitu diberikannya obi (ikat pinggang kimono yang biasa dipakai

kaum wanita di Jepang) kepada mempelai wanita. Dan dikembalikannya sebuah hakama (pakaian untuk laki-laki yang bentuknya seperti rok) kepada mempelai laki-laki. Hal ini melambangkan sebuah kesetiaan diantara keduanya. Sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin, pihak wanita akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya kepada pihak laki-laki.

Setelah tercapai kesepakatan di antara kedua calon pengantin, maka pihak pria akan mengirimkan pemberian-pemberian sebagai hadiah kepada pihak wanita. Untuk mendengar kabar ini, maka diundanglah sanak saudaranya. Istilah ini disebut dengan Kimecha yaitu pemberian berupa teh kepada sanak saudaranya.


(22)

Dalam merayakan pertunangan ini juga diberikan Kugicha (sejenis arak Jepang) dan ikan tai (sejenis ikan kakap) kepada undangan yang datang. Setelah

Kimecha, maka akan dilakukan penentuan hari perkawinan. Seorang Nakoodo

akan merundingkan dengan pihak wanita tentang penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan upacara perkawinan. Waktu yang baik artinya hari yang mempunyai keberuntungan yaitu keuntungan terbesar dalam siklus enam hari untuk satu perkawinan. Untuk tujuan ini penduduk di daerah tertentu selalu berkonsultasi dengan seorang Ogamiyasan (orang yang dituakan untuk memberi nasihat) tentang hal tersebut. Buku petunjuk tentang perkawinan juga digunakan untuk memberikan keterangan praktis seperti menghindari dari hari-hari menstruasi pengantin wanita dan pada musim panas, karena akan menyusahkan untuk berdandan. Biasanya hari Minggu banyak dipilih sebagai hari yang baik bagi upacara dan resepsi perkawinan karena banyak para tamu yang bekerja pada hari-hari biasa. Sekitar bulan September-November pada musim gugur (aki) banyak yang melangsungkan resepsi perkawinan.

Jika hari perkawinan sudah ditetapkan, maka akan dilakukan Honcha yaitu pemberian hadiah pertunangan utama dari rumah calon pengantin pria ke rumah calon pengantin wanita. Pemberian tersebut bisa berupa Kimono dan aksesorisnya atau sejumlah uang. Pemberian lain adalah satu cincin pertunangan.

3.3.2. Tahapan Menjelang Upacara Perkawinan

Pada pagi hari saat upacara perkawinan akan berlangsung, pihak wanita sudah menyiapkan diri sedemikian rupa. Seorang juru rias sudah dipesan untuk hari itu dan akan menolong pengantin wanita untuk berdandan dan menata


(23)

rambutnya. Kimono putih digunakan pengantin wanita pada saat upacara berlangsung. Kimono putih menandakan kesucian. Pakaian resmi pria untuk upacara yang ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1877, adalah jubah hitam khusus untuk upacara pernikahan (Yanagita dalam Hendry, 1981:170). Dalam resepsi yang diadakan setelah upacara, biasanya pengantin akan mengganti kimono dengan pakaian pengantin ala barat. Pengantin wanita akan memakai gaun dan pengantin pria memakai jas ala barat. Kebiasaan ini disebut dengan Ironaoshi. Tetapi dibeberapa daerah tertentu, pengantin wanita memakai kimono putih pada saat upacara berlangsung dan menggantinya dengan kimono yang berwarna cerah pada saat resepsi. Biasanya bercorak indah dan terang seperti merah atau jingga sesuai dengan suasana bahagia. Bagian hiasan kepala pengantin wanita disebut

Tsunokakushi (Chikusi dalam henry, 1981:170).

Setelah tiba waktunya pergi ketempat dimana dilangsungkannya upacara perkawinan, maka pengantin wanita akan mempergunakan waktu sebentar untuk berlutut didepan butsudan/kamidana mengucapkan salam perpisahan dan berterima kasih pada nenek moyang atas berkat dan perlindungannya, karena ia mulai sekarang akan menyembah butsudan milik suaminya dan sekali-sekali akan berkunjung kesitu lagi kelak.

3.3.3. Upacara Pelaksanaan Perkawinan

Perkawinan secara Shinto biasanya diselenggarakan di Kuil. Tetapi saat sekarang ini ada juga yang melaksanakan di gedung perkawinan atau hotel yang menyediakan ruangan khusus untuk ritual perkawinan secara Shinto. Di ujung ruangan ada altar Shinto dimana terdapat persembahan yang sudah dipersiapkan.


(24)

Yang terdiri dari nasi, air, garam, buah-buahan, sayur-sayuran, sake serta beberapa surume dan konbu, dan juga dua ekor ikan tai (sejenis ikan kakap berwarna putih keperakan) juga dipersembahkan, yang melambangkan kesuburan atau Shison han’ei. Demikian juga dengan cincin nikah diletakkan di meja persembahan ini, kemudian ada juga tiga cangkir sake beserta dua wadahnya yang dibedakan satu untuk pria dan satu lagi untuk wanita dengan warna merah dan merah muda.

Disebelah kanan altar berdirilah seorang kannushi yaitu pendeta shinto dan disebelah kirinya ada miko yaitu para penolong untuk membantu jalannya upacara. Kadang-kadang juga ada disediakan radio kaset untuk memberikan latar belakang alunan musik yang sesuai dengan suasana itu, tetapi ada juga yang yang memakai kelompok peniup suling dari kuil Shinto yang berdiri dibelakang miko. Biasanya juga disertai oleh para penari.

Kedua pengantin duduk ditengah ruangan, dengan posisi pengantin pria disebelah kanan pengantin wanita, Nakoodo dibelakang mereka, dan sanak saudara dari kedua belah pihak, sesuai dengan kedekatan hubungan.

Para Pemusik

Miko

ALTAR

Sajian Persembahan : nasi, air, Sake, garam, buah-buahan, Sayuran

Kannushi (Pendeta)

MEJA PERSEMBAHAN

Surume, Konbu, Cangkir, Sake, Teko, Cincin

Keluarga Pengantin Wanita : Ayah, Ibu Saudara Keluarga Pengantin Pria : Ayah, Ibu Saudara Kandung Pengantin Wanita Istri Nakoodo Pengantin Pria Nakoodo


(25)

Biasanya ada satu meja pendek didepan masing-masing orang dengan secangkir sake dan satu paket makanan yang berisi irisan kecil surume dan konbu yang sebelumnya sudah dipersembahkan kepada dewa.

Pendeta Shinto pertama sekali menyambut rombongan dengan mengucapkan selamat, kemudian mengumumkan bahwa upacara akan dimulai. Ini dimulai dengan acara penyucian (harai-gushi) selama upacara berlangsung. Pendeta akan menyanyi kemudian menggoyangkan tongkat berhias diatas altar, selanjutnya keatas para Miko, kedua pengantin dan semua yang hadir. Hal ini bertujuan untuk mensucikan ruangan dan seluruh yang hadir. Kemudian pendeta menyanyikan seruan/doa (norito) dari satu gulungan kertas yang dibawa pendeta yang berhubungan dengan beberapa doa untuk memohon kebahagiaan dan kemakmuran pernikahan kepada dewa, agar pengantin hidup bersatu selamanya.

Pendeta kemudian mengumumkan upacara san-san-ku-do (seiin no gi), yaitu upacara sumpah dengan minum sake bersama. Sake dibawa oleh miko kepada kedua pengantin. Nakoodo kadang-kadang berpindah ke kedua sisi pengantin untuk membantunya jika perlu. Mereka kemudian membuat perjanjian dengan menuangkan sake tiga kali, dimana cangkir terkecil diisi oleh penuang pria, disuguhkan pertama kali kepada pengantin wanita. Cangkir kedua diisi oleh penuang wanita dan diberikan kepada pengantin pria, sedangkan yang ketiga adalah mengulang cara yang pertama yaitu menuang sake kepada kedua pengantin. Saling memberikan cangkir ditafsirkan sebagai lambang dari persetujuan antara kedua pengantin untuk membagi suk dan duka dalam kehidupan bersama. Setelah itu, pasangan pengantin maju kedepan altar dimana pengantin pria akan membacakan ikrar dari satu gulungan kertas yang diucapkan


(26)

didepan para dewa yang isinya adalah janji untuk melewati kehidupan pernikahan dalam keharmonisan dan saling menghormati, berbagi suka dn duka serta hidup damai, mengusahakan kemakmuran bagi keturunan mereka dan semuanya akan dijalankan sampai mereka meninggal. Pengantin wanita akan menambahkan dengan menyebutkan namanya diakhir ikrar itu, kemudian diadakan pertukaran cincin.

Sesudah kedua pengantin dipersatukan, sake kembali disuguhkan untuk menyatukan kedua keluarga. Disuguhkan kepada tiap-tiap sanak keluarga kemudian minum bersama setelah berdiri dan mengucapkan kanpai.

Bagian akhir dari upacara adalah setelah beberapa nyanyian dinyanyikan oleh pendeta, ia akan membawa suatu pemberian berupa ranting kecil sakaki yang sudah dihias yang disebut tamagushi ke depan altar. Ini sebagai ucapan terima kasih kepada dewa. Ranting-ranting ini biasanya diberikan pertama kepada kedua pengantin, kemudian Nakoodo dan terakhir kepada kedua pihak keluarga, biasanya kepada ayah dari kedua pengantin. Pada puncak acara dilakukan pertukaran cincin diiringi dengan tepuk tangan. Upacara ditutup oleh pendeta dengan mengucapkan “selamat” dan berdoa agar pernikahan yang baru dapat mendirikan rumah tangga yang selaras.

3.4.Resepsi Pernikahan (Hiroen) dan Bulan Madu

Setelah upacara pernikahan diselenggarakan, akan diadakan acara yang disebut hiroen, yaitu resepsi untuk memberitahukan pernikahan ini kepada masyarakat. Pasangan pengantin akan bergabung dengan para tamu dimana acara


(27)

resepsi dilaksanakan. Resepsi biasanya dihadiri oleh kerabat dan teman-teman dari pengantin pria dan wanita.

Hiroen biasanya diatur oleh seseorang yang mengurusi makanan dimana

upacara dilangsungkan. Makanan disajikan, kadang-kadang memakai meja gaya barat atau meja gaya Jepang dengan baki-baki pribadi atau meja pendek yang memanjang dengan bantal-bantal lantai. Semuanya bervariasi sesuai permintaan pribadi atau pihak keluarga yang bersangkutan. Beberapa resepsi yang berlangsung menggunakan kue pengantin bertingkat, sedikitnya ada tujuh tingkat. Yang khas adalah para tamu yang pertama kali dipersilahkan duduk, kemudian kedua pengantin dan Nakoodo akan masuk bersamaan dengan iringan musik perkawinan.

Dalam upacara perkawinan yang berlangsung, ada tirai- tirai yang dibuka untuk menunjukkan kedua pasangan diatas panggung dimana mereka akan turun dan duduk ditempat yang telah disediakan di ujung ruangan. Pengantin wanita disisi kiri pengantin pria dan Nakoodo di sisi mereka. Biasanya pemimpin acara akan mengumumkan peristiwa ini, kadang- kadang dengan noshi no gi (upacara Noshi). Upacara ini dilakukan oleh pekerja pria dari tempat dilaksanakannya upacara perkawinan. Perlahan- lahan berjalan masuk, belutut dan menaruhkan baki dilantai dengan noshi diatasnya, memberi salam dengan menunduk pada para undangan tamu, kemudian menganngkat kembali baki tersebut dan berjalan keluar. Pristiwa ini memberikan kesan hikmat dan menunjukan pengertian bahwa

hiroen telah dimulai. Cara lain adalah pidato singkat dari Nakoodo yang berisi

riwayat- riwayat singkat kedua pengantin dan harapan bahwa persatuan ini akan abadi. Beberapa pidato singkat juga di ucapkan oleh ayah dari kedua pengantin,


(28)

dan jika para tamu juga mengambil bagian, maka wakil dari pengantin pria maupun pengantin wanita biasanya guru atau pegawai, mungkin juga kawan lama juga menyampaikan kata-kata sambutan.

Setelah itu diikuti dengan kanpai bersama untuk mamberikan selamat kepada kedua pengantin. Sake yang disajikan biasanya sake dingin dalam cangkir keramik merah.

Para tamu akan dipersilahkan untuk beristirahat sejenak dan bersiap- siap untuk pesta makan. Keluarga dekat akan pindah ketengah-tengah meja untuk membuat lingkaran merayakan adanya hubungan baru diantara mereka dengan minum sake bersama. Biasanya meraka akan menyanyi.

Ada kebiasaan baru yang akan dilakukan yaitu pemberian karangan bunga dari kedua pengantin kepada orang tua mereka. Ini memberikan pengertian sikap berterimah kasih dari pasangan itu atas semua yang telah mereka terima. Bersamaan dengan itu terdengar banzai (sorakan). Para tamu kemudian memasukkan sisa makanan kedalam kotak yang telah tersedia, mengikatnya bersama- sama dengan hikidemonoi (hadiah-hadiah) biasanya adalah barang-barang seperti kipas atau guci teh yang akan dibawa pulang oleh mereka.

Pada zaman sekarang, kebanyakan masyarakat Jepang setelah perayaan pernikahan pergi berbulan madu (Honey Moon). Bulan madu ini menjadi sangat populer dan telah berlangsung sejak tahun 1960-an di Kurotsuchi. Umumnya memerlukan waktu beberapa hari atau beberapa minggu dibeberapa tempat bahkan di luar negeri jika dana memungkinkan. Acara bulan madu ini merupakan sebagai kesempatan kepada pasangannya untuk menemukan sesuatu yang baru dari perayaan perkawinan.


(29)

Setelah bulan madu, secara tradisional pada hari ketiga setelah perkawinan pengantin melakukan kunjungan formal kepada orang tuanya. Kunjungan rumah ini disebut Mitsumearuki (perjalanan hari ketiga) dan ini adalah rangkaian

Satoaruki (kunjungan rumah) oleh pengantin. Kunjungan ini akan segera

dilakukan setelah pesta pernikahan sebagai bagian dari proses yang ada.

Kemudian kedua pengantin melakukan Kino Mawari (berkeliling ke rumah tetangga) yang biasanya meliputi pengenalan pengantin kepada setiap tetangga. Sementara itu, pada perayaan tahun baru setelah pernikahan, pengantin ini akan melakukan kunjungan kepada orangtua mereka dengan membawa ikan besar yang disebut Buri (ekor kuning). Ikan tersebut dipotong dan dibagikan juga kepada tamu tahun baru mereka.


(30)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang penulis jabarkan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Agama Shinto merupakan kepercayaan yang mempunyai ciri khas sendiri, karena Shinto dikategorikan sebagai agama yang telah terbentuk di dalam masyarakat primitif Jepang. Nenek moyang bangsa Jepang beranggapan bahwa alam semesta ini didiami oleh banyak dewa. Dewa-dewa tersebut dianggap menguasai alam semesta.

2. Di Jepang ada dua bentuk keluarga tradisional yaitu Kazoku dan Ie. Kazoku adalah general konsep dalam keluarga Jepang yaitu hubungan antar suami-istri dan hubungan antara orang tua dengan anak diperluas pada hubungan persaudaraan. Keluarga tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar. Dalam melanjutkan kehidupan keluarga tradisional tidak lepas dari pekerjaan-pekerjaan yang religius. Keluarga yang telah mempunyai usaha, tradisi, simbol-simbol tertentu disebut dengan Ie. Jadi, yang dimaksud dengan Ie adalah keluarga yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi dan telah mempunyai tradisi tertentu.

3. Cara bagaimana calon suami atau calon isteri dipilih ada dua macam, yaitu berdasarkan miai dipertemukan dalam konteks perkawinan memiliki pengertian dijodohkan dan ren’ai (cinta ). Perkawinan yang terjadi karena miai disebut miai kekkon, sedangkan ren’ai disebut ren’ai kekkon.


(31)

4. Pada masyarakat tradisional, perkawinan bertujuan untuk meneruskan keturunan Ie terutama bagi Shison (Putera pertama yang harus membawa istri ke dalam keluarga suami untuk menghasilkan keturunan).

5. Pernikahan secara Shinto memiliki prosedur yang sederhana, unik, dan penuh suasana khidmat. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan secara Shinto akan dipimpin oleh pendeta yang berdoa di depan altar, kemudian pengantin pria akan mengucapkan janji pernikahan, setelah itu akan diadakan upacara San-San-Ku-Do untuk meneguhkan mereka sebagai suami istri.

4.2. Saran

Setelah penulis menyusun kesimpulan, maka pada bagian akhir ini penulis akan memberikan saran-saran yang mungkin bermanfaat bagi para pembaca diantaranya sebagai berikut:

1. Kepercayaan tradisional masyarakat terhadap perkawinan sampai sekarang ini hendaknya tetap dipertahankan sebagai salah satu budaya yang membedakan dengan bangsa lain.

2. Pelestarian budaya leluhur penting dilaksanakan supaya generasi pada masa yang akan datang dapat mengetahui adat istiadat/kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Sebagaimana bangsa Jepang yang masih melaksanakan pernikahan secara Shinto meskipun sejak modernisasi pernikahan secara Kristen lebih mendominasi.

3. Kepada bangsa Indonesia khususnya para generasi muda hendaknya bisa mencontoh bangsa Jepang. Modernisasi bukan berarti penyerapan semua


(32)

unsur-unsur modern barat tetapi hendaknya diadakan penyaringan-penyaringan, sehingga walaupun unsur-unsur barat sudah masuk tetapi tidak mempengaruhi tradisi yang kuat, tetapi justru melengkapi bahkan membantu memudahkan dalam penyelenggaraan tradisi tersebut.


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Anesaki, Mahasaru.1983. History Of Japanese Religion. Japan : Chanes. E. Tuttle Company, Rutland, vermont & Tokyo.

Edwards, Walter.1989. Modern Japan Trough Its Wedding. California : Stanford University Press.

Fureai.2003. Pernikahan ala Jepang. edisi 3.

Situmorang, Hamzon. 2000. Telaah pranata Masyarakat Jepang I. Medan: USU Press


(1)

dan jika para tamu juga mengambil bagian, maka wakil dari pengantin pria maupun pengantin wanita biasanya guru atau pegawai, mungkin juga kawan lama juga menyampaikan kata-kata sambutan.

Setelah itu diikuti dengan kanpai bersama untuk mamberikan selamat kepada kedua pengantin. Sake yang disajikan biasanya sake dingin dalam cangkir keramik merah.

Para tamu akan dipersilahkan untuk beristirahat sejenak dan bersiap- siap untuk pesta makan. Keluarga dekat akan pindah ketengah-tengah meja untuk membuat lingkaran merayakan adanya hubungan baru diantara mereka dengan minum sake bersama. Biasanya meraka akan menyanyi.

Ada kebiasaan baru yang akan dilakukan yaitu pemberian karangan bunga dari kedua pengantin kepada orang tua mereka. Ini memberikan pengertian sikap berterimah kasih dari pasangan itu atas semua yang telah mereka terima. Bersamaan dengan itu terdengar banzai (sorakan). Para tamu kemudian memasukkan sisa makanan kedalam kotak yang telah tersedia, mengikatnya bersama- sama dengan hikidemonoi (hadiah-hadiah) biasanya adalah barang-barang seperti kipas atau guci teh yang akan dibawa pulang oleh mereka.

Pada zaman sekarang, kebanyakan masyarakat Jepang setelah perayaan pernikahan pergi berbulan madu (Honey Moon). Bulan madu ini menjadi sangat populer dan telah berlangsung sejak tahun 1960-an di Kurotsuchi. Umumnya memerlukan waktu beberapa hari atau beberapa minggu dibeberapa tempat bahkan di luar negeri jika dana memungkinkan. Acara bulan madu ini merupakan sebagai kesempatan kepada pasangannya untuk menemukan sesuatu yang baru dari perayaan perkawinan.


(2)

Setelah bulan madu, secara tradisional pada hari ketiga setelah perkawinan pengantin melakukan kunjungan formal kepada orang tuanya. Kunjungan rumah ini disebut Mitsumearuki (perjalanan hari ketiga) dan ini adalah rangkaian

Satoaruki (kunjungan rumah) oleh pengantin. Kunjungan ini akan segera

dilakukan setelah pesta pernikahan sebagai bagian dari proses yang ada.

Kemudian kedua pengantin melakukan Kino Mawari (berkeliling ke rumah tetangga) yang biasanya meliputi pengenalan pengantin kepada setiap tetangga. Sementara itu, pada perayaan tahun baru setelah pernikahan, pengantin ini akan melakukan kunjungan kepada orangtua mereka dengan membawa ikan besar yang disebut Buri (ekor kuning). Ikan tersebut dipotong dan dibagikan juga kepada tamu tahun baru mereka.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang penulis jabarkan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Agama Shinto merupakan kepercayaan yang mempunyai ciri khas sendiri, karena Shinto dikategorikan sebagai agama yang telah terbentuk di dalam masyarakat primitif Jepang. Nenek moyang bangsa Jepang beranggapan bahwa alam semesta ini didiami oleh banyak dewa. Dewa-dewa tersebut dianggap menguasai alam semesta.

2. Di Jepang ada dua bentuk keluarga tradisional yaitu Kazoku dan Ie. Kazoku adalah general konsep dalam keluarga Jepang yaitu hubungan antar suami-istri dan hubungan antara orang tua dengan anak diperluas pada hubungan persaudaraan. Keluarga tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar. Dalam melanjutkan kehidupan keluarga tradisional tidak lepas dari pekerjaan-pekerjaan yang religius. Keluarga yang telah mempunyai usaha, tradisi, simbol-simbol tertentu disebut dengan Ie. Jadi, yang dimaksud dengan Ie adalah keluarga yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi dan telah mempunyai tradisi tertentu.

3. Cara bagaimana calon suami atau calon isteri dipilih ada dua macam, yaitu berdasarkan miai dipertemukan dalam konteks perkawinan memiliki pengertian dijodohkan dan ren’ai (cinta ). Perkawinan yang terjadi karena miai disebut miai kekkon, sedangkan ren’ai disebut ren’ai kekkon.


(4)

4. Pada masyarakat tradisional, perkawinan bertujuan untuk meneruskan keturunan Ie terutama bagi Shison (Putera pertama yang harus membawa istri ke dalam keluarga suami untuk menghasilkan keturunan).

5. Pernikahan secara Shinto memiliki prosedur yang sederhana, unik, dan penuh suasana khidmat. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan secara Shinto akan dipimpin oleh pendeta yang berdoa di depan altar, kemudian pengantin pria akan mengucapkan janji pernikahan, setelah itu akan diadakan upacara San-San-Ku-Do untuk meneguhkan mereka sebagai suami istri.

4.2. Saran

Setelah penulis menyusun kesimpulan, maka pada bagian akhir ini penulis akan memberikan saran-saran yang mungkin bermanfaat bagi para pembaca diantaranya sebagai berikut:

1. Kepercayaan tradisional masyarakat terhadap perkawinan sampai sekarang ini hendaknya tetap dipertahankan sebagai salah satu budaya yang membedakan dengan bangsa lain.

2. Pelestarian budaya leluhur penting dilaksanakan supaya generasi pada masa yang akan datang dapat mengetahui adat istiadat/kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Sebagaimana bangsa Jepang yang masih melaksanakan pernikahan secara Shinto meskipun sejak modernisasi pernikahan secara Kristen lebih mendominasi.

3. Kepada bangsa Indonesia khususnya para generasi muda hendaknya bisa mencontoh bangsa Jepang. Modernisasi bukan berarti penyerapan semua


(5)

unsur-unsur modern barat tetapi hendaknya diadakan penyaringan-penyaringan, sehingga walaupun unsur-unsur barat sudah masuk tetapi tidak mempengaruhi tradisi yang kuat, tetapi justru melengkapi bahkan membantu memudahkan dalam penyelenggaraan tradisi tersebut.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anesaki, Mahasaru.1983. History Of Japanese Religion. Japan : Chanes. E. Tuttle Company, Rutland, vermont & Tokyo.

Edwards, Walter.1989. Modern Japan Trough Its Wedding. California : Stanford University Press.

Fureai.2003. Pernikahan ala Jepang. edisi 3.

Situmorang, Hamzon. 2000. Telaah pranata Masyarakat Jepang I. Medan: USU Press