Harae (Upacara Penyucian) Dalam Shinto Di Jepang

(1)

HARAE (UPACARA PENYUCIAN) DALAM SHINTO DI JEPANG (NIHON DENO SHINTO NO HARAE)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

DAVID EDWART J. T. SIMATUPANG NIM: 030708032

PEMBIMBING I, PEMBIMBING II,

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D NIP : 131763365 NIP : 131422712

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN


(2)

Disetujui Oleh Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi S-1 Sastra Jepang Ketua Program Studi,

Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D NIP : 131422712


(3)

PENGESAHAN

Diterima Oleh

Panitia Ujian Fakultas Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Pada : Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D NIP: 132098531

Panitia Ujian Tanda Tangan

No. Nama

1. (………)

2. (………)


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus yang setia memberikan kasih dan anugerah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi.

Penulisan skripsi ini berjudul “Harae (Upacara Penyucian) Dalam

Shinto Di Jepang”, merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan

Program Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari skripsi ini belum seperti yang diharapkan baik penyusunan kalimatnya maupun pemecahan masalahnya, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan dan penghormatan kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D, selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini yang selalu menyisihkan waktunya untuk membimbing meskipun dalam keadaan sibuk.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan masukan-masukan, bimbingan, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Para Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, khususnya para Dosen dan Staf Pegawai di Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara


(5)

5. Bapak dan Ibunda serta kedua kakak tercinta yang telah banyak memberikan perhatian dan dukungan baik moril maupun materiil selama ini.

6. Keluarga Besar di Jl. Sei Petani No.13, Keluarga Besar di Jl. Sei Besitang, Bang Owen & Kak Yanti, Kak Christy, Bang Monang & Kak Lena, dan saudara/i sepelayanan yang memberi semangat, nasihat, dukungan selama penulis kuliah di Fakultas Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

7. Rekan-rekan “senasib dan seperjuangan” di Jurusan Sastra Jepang, khususnya Angkatan 2003. Kejadian senang dan susah selama perkuliahan menjadi kenangan yang tidak terlupakan

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak memberi dukungan , semangat, kritik, nasihat, dan perhatian

Semoga Allah yang Maha Kuasa membalas kebaikan kalian semua dan melimpahkan berkat dan anugerah kepada kita semua. Amin

Medan, Juni 2008 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………i

DAFTAR ISI ………iii

BAB I PENDAHULUAN ………..1

1.1. Latar Belakang Masalah ………...1

1.2. Perumusan Masalah ……….6

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ………7

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ……….8

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..14

1.6. Metode Penelitian ………...15

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HARAE DAN PANDANGAN SHINTO TENTANG KEKOTORAN ...17

2.1 Shinto ...17

2.1.1 Sejarah dan Pengertian Shinto ...17

2.1.2 Praktek dan Pengajaran Shinto ...20

2.1.3 Kuil Shinto ...27

2.1.4 Sekte-Sekte Penyucian Agama Shinto ...29

2.1.4.1 Shinshū Kyō ...29

2.1.4.2 Misogi Kyō ...32

2.2 Pandangan Shinto Tentang Kekotoran ...35

2.2.1 Kegare ...35


(7)

2.3 Pandangan Shinto Tentang Penyucian ...46

BAB III HARAE (UPACARA PENYUCIAN) DALAM SHINTO DI JEPANG ...52

3.1 Jichinsai Barai ...52

3.2 Yakubarai ...54

3.3 Yakudoshi Barai ...56

3.4 Kōtsū Anzen Oharai ...58

3.5 Shinzen Kekkon ...59

3.6 Misogi Shuhō ...61

3.7 Fujōharai ………...62

3.8 Hatsumiyamairi ...64

3.9 Nagoshi no Ōharai ...66

3.10 Yashiki Oharae ………...………68

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ...70

4.2 Saran ...72

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISTILAH LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral (sacred things), yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang.

Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman sehari-hari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme. Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi politeisme dan monoteisme.

Agama menurut Keiichi Yanagawa (1992 : 7) didasarkan pada tiga unsur utama, yaitu:

1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran sentral dari agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya tidak bisa dilihat manusia.


(9)

2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama. Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau jemaah.

3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan.

Oleh karena itu suatu agama terdiri atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama itu, dan kode ajaran yang memuat tingkah laku yang dikehendaki dari para pengikutnya.

Salah satu agama yang berkembang di Jepang adalah Shinto. Kata Shinto terdiri atas dua huruf, yaitu Shin(神)yang bisa dibaca Kami, dan To(道)

yang bisa dibaca Michi. Jadi Shinto berarti Kami no Michi atau Jalan Kami. Istilah

kami sebenarnya merujuk pada penghormatan untuk jiwa (roh) yang mulia, suci,

yang memiliki implikasi pada makna memuja, kebajikan, dan otoritas mereka. Shinto adalah agama asli Jepang. Sejak jaman kuno, Shinto telah menjadi bagian dari pandangan hidup orang Jepang. Kepercayaan ini merupakan kombinasi dari animisme dan pemujaan alam dan berkembang seiring dengan perkembangan penganutnya. Semua benda hidup dan mati dipercaya memiliki roh atau jiwa yang memiliki kekuatan dan bisa memberi kehidupan atau aktivitas pada benda-benda tersebut. Shinto pada awalnya adalah kepercayaan rakyat yang tidak terlembaga, tetapi setelah kedatangan agama-agama yang terlembaga seperti Buddha dan Konfusionisme, maka lahirlah Shinto terlembaga, misalnya Shinto Negara (Kokka Shinto). Agama yang terlembaga maksudnya agama yang memiliki keistimewaan yaitu agama ini mempunyai nabi; mempunyai kitab suci; penganut-penganut yang resmi; dapat melampaui batas negara, tradisi kebudayaan, bahasa, dan tidak dibatasi oleh kerangka masyarakatnya sehingga dapat menyebar


(10)

ke seluruh dunia. Shinto berkembang seiiring dengan pertumbuhan masyarakat pertanian dan didasarkan atas pemujaan pada dewa padi dan roh nenek moyang.

Sebagai agama, Shinto tidak memiliki pendiri, tidak punya kitab suci, dan tidak memiliki ajaran yang terorganisir. Agama ini mendasarkan diri pada mitologi, cerita-cerita kuno yang dianggap otoritatif dan memberi dasar sejarah dan spiritual. Istilah bahasa Jepang untuk mite adalah Shinwa yang berarti “Kisah Mengenai Para Dewa”.

Bahan untuk menyusun mitologi Jepang pada umumnya bersumber dari

Kojiki (712 M) dan Nihongi atau Nihon Shoki (720 M). Kedua buku ini dianggap

sebagai dasar bagi agama Shinto. Menurut Kojiki, kepulauan Jepang diciptakan oleh Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto, bersamaan dengan penciptaan banyak kami, termasuk Amaterasu Omi Kami (dewa matahari). Selain Kojiki dan

Nihon Shoki, juga dipergunakan sumber lain yaitu Koga Shui (807M); antropologi

puisi dari abad ke-8 Manyoshu; dan Norito, atau liturgi keagamaan dari keraton, yang dikumpulkan pada akhir abad ke-19 di dalam buku Engi Shiki (延 喜 式)

atau prosedur-prosedur dari era Engi (Danandjaja, 1997 : 70-71).

James Danandjaja (1997 : 72-73) juga menjelaskan mite Jepang yang dikisahkan di dalam Kojiki dan Nihon Shoki dapat dibagi menjadi tiga siklus, salah satunya disini yaitu siklus Takamagahara. Diceritakan dalam siklus ini bahwa Izanami meninggal karena terbakar sewaktu melahirkan dewa api, lalu Izanami pergi ke Yomi no Kuni (dunia orang mati). Izanagi menyusul untuk memohon agar ia mau kembali ke dunia orang hidup. Disana dia dapatkan jenasah istrinya yang sudah penuh ulat. Izanagi kemudian lari, dan istrinya yang merasa dipermalukan menyatakan bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari


(11)

dunia orang hidup, dan sang suami menjawab bahwa ia setiap hari akan mendirikan 1.500 gubuk bagi orang melahirkan anak, sehingga dapat melahirkan 1.500 bayi. Karena telah mengotori dirinya dalam perjalanan ke dunia orang mati, Izanagi menuju ke Tsukushi untuk menyucikan dirinya dengan mandi (misogi). Dari tindakan penyucian yang dilakukan Izanagi, kepercayaan Shinto juga melakukan ritual yang sama.

Kepercayaan Shinto menurut Noma Seiroku (1967 : 13) berkaitan erat dengan keharmonisan pada alam dan dengan perlahan-lahan berkembang menjadi tradisi berdasarkan keindahan. Menurut agama Shinto, kebersihan atau kesucian adalah hal yang utama, hal-hal tanpa tipu daya adalah suci.

Dalam buku “Japan, Profile of a Nation” (Aoki, 1994 : 204), pengertian akan kesucian dan kekotoran (Kegare) serta cara melaksanakan upacara penyucian (Harae/Misogi) di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh.

Harae adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara penyucian Shinto

atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau (祓う atau 払う) yang

artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, namun pada umumnya ada tiga metode dasar dari harae, yaitu: Yang pertama dan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki (榊)


(12)

misogi (). Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian

dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri di bawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Yang ketiga imi (忌み). Ini kontras dengan kedua tipe penyucian

yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik.

Salah satu model penyucian yang menarik lainnya adalah Yakubarai (厄払

い). Kadang-kadang terjemahannya disalahartikan menjadi “exorcism”, dalam

bahasa Indonesianya pengusiran roh jahat. Dalam agama Shinto, Yakubarai semata-mata menenangkan roh (kami) yang kesusahan (troublesome kami) akibat gangguan kecemaran.

Picken dalam “Shinto Japan’s Spiritual Roots” (1980 : 53) memberikan sebuah cerita:

“Di bulan Juni tahun 1978, penduduk Komplek Perumahan

Takashima – Daira di Tokyo prihatin akan jumlah orang yang bunuh diri dengan melompat dari atas bangunan di lingkungan mereka. Setelah berbagai bentuk cara penyuluhan dan pencegahan telah gagal, mereka lalu berkonsultasi dengan pendeta-pendeta Shinto. Para pers kemudian melaporkan ritual Yakubarai yang dilaksanakan para pendeta Shinto untuk menenangkan kami”.

Dilain kesempatan harae juga dilaksanakan pada waktu pernikahan, bisa untuk penyucian dan kesuksesan seorang kandidat di awal kampanye pemilihan, untuk keselamatan perjalanan, atau sukses di sebuah kontes. Harae tak hanya diselenggarakan bagi orang dan tempat, tapi juga kendaraan. Membersihkan


(13)

semua kekotoran yang ada di kendaraan berguna menjamin keselamatan yang lebih daripada kemungkinan yang bisa terjadi jika orang mengendarai di lingkungan yang kotor.

Berdasarkan gambaran diatas, maka penulis bermaksud untuk meneliti dan menganalisa upacara penyucian tersebut. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk mengajukan suatu masalah dengan menguraikannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Harae (Upacara Penyucian) Dalam Shinto Di Jepang”

1.2 Perumusan Masalah

Bangsa Jepang sebagian besar penduduknya menganut agama Shinto. Shinto adalah agama politheisme yang mempercayai lebih dari satu dewa. Prinsip dari agama Politheisme adalah segala hal yang memiliki pengaruh besar pada kehidupan manusia dapat dianggap sebagai Kami. Contohnya, yang berhubungan dengan alam, Dewa Hujan, Dewa Gunung, Dewa Laut, Dewa Halilintar adalah dewa alam yang mereka yakini. Dengan demikian setiap objek dibatasi pada objek-objek yang memiliki pengaruh besar dan hubungan yang erat dalam kehidupan manusia. Kusunoki Masahiro (dalam Situmorang, 2005 : 28) mengatakan konsep kepercayaan mereka, Tuhan atau dewa bersifat Functional God. Bersifat fungsional dalam hal ini dapat diartikan sebagai hubungan yang mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi kedua belah pihak. Kebanyakan dewa memiliki karakteristik tidak menyukai pencemaran dari kematian, kotor, dan darah.

Dalam Shinto, kebersihan fisik dan kesucian batin dihargai sebagai fondasi yang penting. Polusi, yang memiliki makna tubuh yang kotor seperti halnya moral


(14)

setan dianggap sangat menjijikan. Itulah alasannya mengapa upacara penyucian dilaksanakan.

Masyarakat Jepang memandang penting melaksanakan penyucian di sepanjang hidupnya. Penyucian berarti tidak hanya membersihkan tubuh seseorang tetapi juga merupakan langkah yang baik yang diambil seseorang. Awalnya bermula dari membersihkan fisik atau bagian luar kemudian berlanjut dengan membersihkan mental yang berarti kesucian batin. Untuk itu penulis mengajukan masalah untuk dibahas sebagai berikut:

1) Seperti apa konsep Shinto terhadap upacara penyucian (Harae)

2) Seperti apa upacara-upacara penyucian yang dilaksanakan dalam Shinto.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Besarnya hubungan antara upacara penyucian (harae/misogi) dengan agama Shinto membuat penulis termotivasi untuk mengetahui hubungan didalamnya. Namun untuk menghindari luasnya ruang lingkup permasalahan maka masalah yang akan penulis bahas di dalam penulisan ini difokuskan kepada

Harae sebagai upacara penyucian dalam Shinto di Jepang dan diikuti dengan

makna, tujuan, dan fungsinya.

Untuk mendukung masalah tersebut di atas, akan dibahas juga tentang: pandangan umum Harae dan Shinto, yang didalamnya berisikan: asal mula Harae berdasarkan mitologi Jepang; sekte-sekte penyucian agama Shinto; unsur-unsur yang digunakan penyucian; berbagai upacara penyucian yang dilaksanakan di Jepang, dan pandangan Shinto terhadap kekotoran (kegare & tsumi).


(15)

1.4 Tinjauan Pustaka dan kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka

Menganalisa kebudayaan pada umumnya ataupun isi dari suatu kebudayaan masyarakat tertentu, sebaiknya kita mengetahui dulu “unsur-unsur kebudayaan universal (cultural universal)”. Unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, baik yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks, dengan suatu jaringan hubungan yang luas disebut kebudayaan universal. Menurut C. Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 1990 : 203-204), unsur-unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan dunia ada tujuh unsur universal, yaitu: bahasa, sistem teknologi, mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Harae merupakan suatu bentuk kebudayaan dalam hal religi masyarakat Jepang.

Pengertian akan kesucian dan kekotoran (kegare) serta cara melaksanakan upacara pensucian (harae/misogi) di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh (Aoki, 1994 : 204). Upacara tradisional di kuil Shinto (Jinja) seperti upacara mencuci tangan dan mulut sebagai simbolis akan kesucian sebelum masuk ke kuil dan melakukan komunikasi dengan kami.

Sumber internet

Kami Hachiman:

“Though I had nothing to eat but a red-hot ball of iron, I will never

accept the most savory food offered by a person with an impure mind. Though I were sitting upon a blazing fire hot enough to melt copper, I will never go to visit the place of a person with a polluted mind”.


(16)

“Meskipun saya tidak memiliki apapun untuk dimakan kecuali bola api yang panas, saya tidak akan menerima makanan yang paling lezat yang ditawarkan oleh seseorang yang pikirannya tidak murni / kotor. Meskipun saya duduk diatas api berkobar yang cukup untuk melelehkan tembaga, saya tidak akan pernah pergi ke tempat seseorang yang pikirannya kotor”.

Dari pernyataan diatas dianalogikan bahwa tidak hanya kebersihan fisik tapi juga menekankan pikiran yang bersih pada waktu berkomunikasi / menyembah kami.

Pelaksanaan harae sendiri tidak terlepas dari pemahaman yang benar masyarakat Jepang penganut Shinto tentang kegare (kekotoran) dan tsumi (dosa).

Kegare atau dalam bahasa Indonesianya yaitu kekotoran atau kecemaran. Konsep

tercemar (kegare) dalam kepercayaan rakyat Jepang tidak sama dengan kotor (dirty) dalam arti umum juga tidak sama dengan arti tercemar dari agama Hindu dan Buddha (Danandjaja, 1997 : 181)

Dalam buku Telaah Pranata Masyarakat Jepang II (Situmorang, 2005 : 37) menyatakan bahwa: “Dalam pandangan tradisional Jepang, pada umumnya

mengenal dua macam kegare (kekotoran) yaitu akafuju (darah) dan kurofuju (kematian). Tetapi menurut Ikegami, di berbagai daerah seperti Okinawa dibedakan atas tiga jenis, yaitu shirofuju (kelahiran), akafuju (haid), dan kurofuju (kematian) (Ikegami 1959:75). Menurut Sasaki (1998:168), dalam kepercayaan tradisional Jepang yang kotor adalah mayat, kelahiran, dan pendarahan”.

Dari sumber internet

Shinto, kegare dipandang sebagai kesialan, sumber ketidakbahagiaan dan kejahatan, dan halangan atau kesukaran kepada upacara keagamaan. Kegare (pollution) dibersihkan dengan cara menghindari partisipasi dalam hal-hal


(17)

keagamaan dan di kehidupan sosial untuk beberapa waktu tertentu, dan dengan mengadakan upacara penyucian (harae).

Konsep kekotoran tercakup dalam sebuah karya Shinto yang sangat terkenal pada era Tokugawa berjudul Warongo atau Bunga Rampai Jepang (Bellah, 1992 : 89) yang menyatakan: “Bahwa Tuhan tidak menyukai yang kotor,

sama dengan mengatakan bahwa seseorang yang hatinya tidak suci tidak menyenangkan Tuhan”.

Kebanyakan kami memiliki karakteristik tidak menyukai kecemaran dari kematian, kotor, dan darah. Para kami tidak menyukai darah, khususnya darah yang berasal dari dalam diri manusia seperti kelahiran, menstruasi wanita, dan kematian. Maka prinsip itu dipegang teguh oleh masyarakat Jepang.

Dalam buku “JAPAN: An Illustrated Encyclopedia” (1993 : 767) menyatakan: ”Konsep bersih dan tidak bersih, suci dan cemar, menjadi berarti

dalam kebudayaan dan sosial di jepang dari jaman kuno sampai jaman sekarang. Satu karakter spesial dari konsep kegare di jaman kuno adalah keterkaitan yang erat dengan konsep tsumi (dosa)”.

Arti Tsumi dicoba dijelaskan Stuart D. B. Picken dalam “Essential of Shinto, An Analytical Guide” (1994 : 171-172) menyatakan:

“Tsumi memiliki arti yang sangat luas meliputi “kecemaran”,

“penyakit”, dan “bencana”, sama dengan “kesalahan”. Tindakan tertentu, keadaan tertentu, atau situasi tak terduga pun dapat menyebabkan tsumi dan harus dihadapi dengan penghindaran (avoidance), atau dengan ritual penyucian (harai). Satu-satunya metode membersihkan tsumi adalah dengan penyucian, atau harai”.


(18)

Konsep pemikiran kepada pentingnya upacara-upacara di jinja (kuil Shinto) adalah upacara penyucian. Sebagaimana kaisar Jepang mengadakan

ōharae besar untuk seluruh negeri, begitu juga masing-masing pendeta Shinto menyelenggarakan upacara-upacara bagi anggota jemaahnya dan bagi siapa saja yang meminta untuk suatu tujuan khusus. Dari ritual atau upacara ini, kami (dewa) ditentramkan dan keadaan berbahaya akibat hal-hal kekotoran telah dibersihkan. Penyucian (harae) pada umumnya ada tiga metode dasar, yaitu: Yang pertama dan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral

sakaki () maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi.

Tipe kedua dari penyucian adalah misogi, lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Setelah kunjungan Izanagi ke dunia orang mati (Yomi no Kuni), dia mandi di sebuah sungai Ahagihara, Propinsi Huga. Ketika membersihkan mata kirinya, dia melahirkan Amaterasu Omikami (Dewa Matahari). Ketika membersihkan mata kanannya, dia melahirkan Tsukiyomi no Mikoto (Dewa Bulan), dan ketika membersihkan hidung dia melahirkan Susano no Mikoto (Dewa Halilintar). Semua dewa tidak menyukai segala sesuatu yang kotor tetapi suka akan kebersihan, karena kotor berarti buruk, dan bersih berarti baik.

Beberapa kuil Shinto di gunung memiliki fasilitas khusus seperti air terjun untuk misogi ketika kuil-kuil Shinto yang lainnya menggunakan laut terbuka untuk upacara penyucian dalam air garam. Para pendeta dan pemuja-pemuja di pagi sekali sama-sama berdiri dengan hampir telanjang dibawah air terjun yang


(19)

dingin mengalir ke bawah dari gunung, secara ritual menyucikan mereka dan menguatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dalam kehidupan.

Bentuk yang ketiga adalah imi (avoidance). Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik. Imi dijalankan khusus oleh pendeta-pendeta Shinto, yang diperintahkan untuk menghindari kontak dengan penyakit, kematian, atau perkabungan sebelum menyelenggarakan upacara keagamaan. Secara tradisional, wanita, karena kemungkinan kecemaran akibat menstruasi atau melahirkan anak, tidak diijinkan memasuki tempat-tempat suci. Setelah tahun 1868, sebagai contoh, wanita diijinkan mendaki gunung Fuji. Di jaman modern, bentuk imi berlanjut dalam sebuah cara yang terkemuka yang berhubungan kepada kematian. Ketika saat berkabung setelah pemakaman disebut imi, karena kekotoran itu sendiri. Seseorang yang baru kehilangan tidak akan menghadiri sebuah perayaan pernikahan. Dari ketiga tipe penyucian, imi sangat dekat hubungannya dengan tahkyul rakyat (Picken, 1980 : 56).

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (1976 : 11) berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dedukatif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret. Suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat.


(20)

Untuk melihat Harae sebagai upacara penyucian dalam Shinto, penulis menggunakan konsep yang berhubungan dengan religi. Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974 : 127) yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.

Penulis juga melakukan penelitian dalam pendekatannya berorientasi pada upacara religi dimana W. Robertson Smith (Marsinambow, 1997 : 256) mengajukan tiga gagasan yakni: (1) disamping sistem keyakinan & doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi / agama yang memerlukan studi dan analisis yang khusus; (2) upacara religi / agama yang biasa dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi / agama yang bersangkutan bersama-sama memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat; (3) fungsi upacara bersaji. Upacara tersebut dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa.

Dari konsep religi menurut Koentjaraningrat dan gagasan W. Robertson Smith tentang upacara religi diatas, membantu penulis meneliti konsep pemikiran yang diyakini agama Shinto kepada pentingnya upacara penyucian (harae). Upacara-upacara penyucian yang dilaksanakan masyarakat Jepang memiliki fungsi dan tujuan supaya terciptanya hubungan harmonis antara kami dengan manusia, serta tindakan atau aktivitas yang dilakukan manusia mendapatkan pertolongan dan berkat dari kami.

Selain itu penulis juga akan menggunakan Teori Semiotika. Menurut Jan van Luxemburg (1992 : 46) : Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda,


(21)

lambang-lambang, dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial ataupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Berdasarkan teori semiotik diatas, penulis dapat menginterpretasikan kebudayaan atau kebiasaan masyarakat tersebut ke dalam tanda-tanda. Tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tersebut diinterpretasikan dan kemudian dipilih bagian mana yang akan mencerminkan upacara harae.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui secara jelas harae dilihat dari segi latar belakang mitologinya

2) Untuk mengetahui konsep Shinto mengenai kekotoran dan penyucian 3) Untuk mengetahui sekte-sekte penyucian agama Shinto.

4) Untuk mengetahui berbagai upacara penyucian yang dilakukan di masyarakat Jepang.

1.5.2. Manfaat Penelitian

1) Dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi para pembaca yang tertarik mengetahui tentang topik yang diteliti penulis.


(22)

2) Dapat dipergunakan sebagai referensi oleh penulis lain dalam menulis skripsi yang berhubungan dengan topik seperti yang diteliti oleh penulis.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan Metode Deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Untuk mendapatkan data tertulis, penulis menggunakan teknik pengumpulan secara studi kepustakaan (Library Research), yakni suatu metode pengumpulan data-data untuk mengungkapkan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat, dan lain-lain, yang dapat ditemui dalam berbagai peninggalan tertulis, dengan cara membaca buku-buku atau reverensi yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini. Dalam hal ini penulis memanfaatkan Perpustakaan The Japan Foundation dan Konsulat Jenderal Jepang, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam penelitian ini juga, penulis banyak mempergunakan buku-buku berbahasa asing, sehingga mempergunakan Metode Terjemahan Semantis.


(23)

Metode Terjemahan Semantis yaitu metode yang mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan menyamakan makna, selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang bermakna budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah fungsional (Rochayah, 2000 : 52).


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HARAE DAN PANDANGAN SHINTO TENTANG KEKOTORAN

2.1 Shinto

2.1.1 Sejarah dan Pengertian Shinto

Agama Shinto yang terbentuk di dalam masyarakat Jepang dewasa ini, pada dasarnya berasal dari Jinja Shinto. Jinja Shinto adalah ritual yang dilakukan masyarakat lokal di sebuah jinja, ini dijuluki dengan istilah lain yaitu Shinto primitif dikategorikan sebagai agama yang sumbernya dapat ditelusuri dalam masyarakat tani primitif Jepang. Shinto primitif diduga telah terbentuk pada jaman Yayoi (sekitar abad 2 SM) dimulai dengan berkembangnya sistem pertanian yang dikerjakan secara menetap di lereng-lereng pegunungan dan dataran-dataran yang agak tinggi. Pada jaman Yayoi diperkirakan telah diselengarakan matsuri-matsuri, dan di antaranya adalah matsuri yang bertujuan untuk mendapatkan panen padi yang berlimpah.

Matsuri atau upacara-upacara keagamaan ini diperkirakan telah dilakukan

oleh orang Jepang sejak mereka menyadari akan eksistensinya di dalam kehidupan. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda peninggalan kubur, benda peninggalan yang ada hubungannya dengan Jinja lama dan benda-benda peninggalan yang berhubungan dengan alam, seperti pohon, pulau, danau, batu karang yang banyak ditemukan di gunung-gunung, dan sebagainya serta ditunjang dengan data-data tertulis yang jelas mengacu pada konsep matsuri dan pemujaan alam. Dengan demikian kita dapat mengetahui


(25)

bahwa pada jaman Yayoi telah berlaku konsep-konsep yang berhubungan dengan animisme dan pemujaan alam walaupun masih dalam pemikiran yang sangat sederhana.

Selain cincin permata, pedang dari perunggu, tulang untuk meramal, senjata dari perunggu dan benda-benda peninggalan lainnya, juga ditemukan patung dari tanah yang disebut dengan Haniwa. Dari haniwa yang diketemukan tersebut, terdapat patung-patung wanita yang ditafsirkan bahwa wanita mempunyai pengaruh yang besar di dalam kehidupan masyarakat tani Jepang pada masa itu, dalam arti patung tersebut dijadikan sebagai simbol kesuburan untuk mendapatkan panen padi yang berlimpah. Selanjutnya peranan wanita ini erat kaitannya dengan mite-mite yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat tani.

Di dalam mite diceritakan bahwa nenek moyang dan kepulauan Jepang berasal dari dewa matahari yang disebut Amaterasu Omikami yang jelas tertulis dalam Nihon Shoki (720). Dari sebuah babad Cina yang bernama Weishi terdapat sebuah bab yang berjudul Gishi Wajinden yang menerangkan bahwa kira-kira pada abad ke-3, Jepang dikuasai oleh seorang kaisar wanita yang bernama Himiko. Dijelaskan pula bahwa Himiko mempunyai kekuatan gaib. Adapun data-data yang menerangkan bahwa di Jepang sejak beberapa abad yang lalu telah dikenal

matsuri, juga dapat kita buktikan dari data-data tertulis, misalnya babad Jepang

seperti Fudoki (713), Kojiki (712), dan data-data tertulis jaman kuno lain, yaitu dari Norito, Koga Shui (807), Manyoshu, dan sebagainya.

Di antara bukti-bukti peninggalan matsuri, ada yang berupa benda-benda alam, seperti pohon, batu-batu, dan peninggalan yang berupa batu-batu karang


(26)

merupakan peninggalan yang amat banyak ditemukan di gunung-gunug. Orang Jepang beranggapan bahwa batu karang merupakan tempat tinggalnya dewa. Peninggalan matsuri yang berupa batu-batu karang tersebut dapat dibagi dua macam, yaitu kuburan batu karang yang berbentuk bulat yang ada di puncak-puncak gunung yang disebut dengan Kamubi, contohnya Izunomikurayama di propinsi Nara dan Michiyama di propinsi Shizuoka. Jenis yang kedua berupa kuburan yang berbentuk bulat tetapi ada di puncak-puncak bukit, contohnya Fujiyama dan Futarayama di Nikko.

Di samping peninggalan yang berbentuk batu-batu karang, peninggalan yang berhubungan dengan air juga merupakan salah satu peninggalan matsuri jaman kuno, contohnya peninggalan dewa lautan yang muncul pada pertengahan abad ke-4 di Okitsumiya yakni Jinja Suzo.

Kemudian agama Buddha yang menyebar ke Jepang pada permulaan abad ke-6 dari Cina begitu demikian pesat mempengaruhi cara berpikir orang Jepang. Walaupun agama Buddha berkembang sangat meningkat pada masa Heian (abad VIII-XII), namun Shinto yang dianggap sebagai kepercayaan asli bangsa Jepang tetap mempertahankan eksistensinya dengan mengadakan asimilasi dengan agama Buddha.

Kata Shinto itu sendiri mempunyai makna Jalan kami. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan pengertian Shinto seperti pendapat Shapiro (dalam Rahmadayani, 2005 : 22) bahwa Shinto adalah sebuah agama animisme yang terbawa dengan kebudayaan beras, kegiatan ini diisi dengan kedewataan untuk mencari kehebatan Jepang yang kuat.


(27)

2.1.2 Praktek dan Pengajaran Shinto

Di dalam praktek dan pengajaran Shinto, terdapat enam poin utama yang dapat menjelaskan Shinto secara umum. Berikut ini akan dijelaskan keenam poin tersebut.

1. Akhirat (afterlife). Karena Shinto sudah berdampingan dengan Buddha selama lebih dari 1000 tahun, sangat sulit melepaskan kepercayaan Shinto dan Buddha tentang dunia. Buddha menekankan akhirat dan akhir perputaran kelahiran kembali, Shinto menekankan kehidupan ini dan menemukan kebahagiaan didalamnya. Meskipun Buddha dan Shinto memiliki perbedaan perspektif mengenai dunia, masyarakat Jepang tidak melihat dibutuhkannya penyatuan kedua perbedaan ini. Perbedaan perspektif akan dunia dilihat sebagai pelengkap. Jadi biasa bagi orang Jepang untuk mempraktekkan Shinto di kehidupan dan memiliki pemakaman secara Buddha.

Bagi para penganut Shinto, mereka memandang bahwa “dunia lain” bukanlah sebagai “dunia khayalan” (surga) ataupun neraka dan “dunia lain” ini tidak berbeda dari dunia yang sekarang mereka tempati. Bagi mereka “dunia lain” adalah sebutan untuk mengacu pada tempat bersemayamnya para kami dan mereka beranggapan bahwa roh orang yang sudah meninggal bisa kembali mengunjungi dunia nyata ini jika yang masih hidup melakukan ritual-ritual persembahan bagi kami. Mereka juga meyakini kami dan roh leluhur akan melindungi keturunan mereka selama para keturunan tersebut melakukan ritual secara berkelanjutan. Shinto bukanlah agama yang fokus pada kehidupan sesudah mati melainkan fokus pada dunia ini.


(28)

Pada saat seseorang meninggal, rohnya berada dalam kekotoran karena sesuai konsep kepercayaan Shinto mayat dianggap sebagai kekotoran. Berhubungan dalam kondisi kotor dan labil maka keluarga yang masih hidup melakukan upacara-upacara selama 49 tahun yang ditujukan kepada roh tersebut yang disebut “Seibutsu Gedatsu” yaitu proses roh seseorang hingga mencapai

Tomurai Age (menjadi dewa).

2. Empat ketetapan. Meskipun Shinto tidak memiliki perintah mutlak kepada jemaatnya diluar kehidupan “sederhana dan harmonis dengan alam dan manusia”, namun ada empat hal yang ditetapkan dalam agama Shinto, yaitu tradisi dan keluarga, menjaga alam, kebersihan jasmani, dan matsuri. Tradisi dan keluarga maksudnya bahwa keluarga merupakan mekanisme yang menjadi pilar utama untuk memelihara dan menjaga tradisi Shinto. Menjaga alam maksudnya bahwa alam adalah sesuatu yang suci sehingga untuk berhubungan dengan alam berarti dekat dengan kami. Objek-objek alam disembah karena memiliki roh suci. Kebersihan jasmani maksudnya pengikut Shinto sering melakukan ritual pembersihan diri seperti mandi, mencuci tangan dan berkumur. Matsuri adalah pemujaan dan penyataan rasa hormat kepada kami.

3. Dosa dan kekotoran. Salah satu karakteristik khusus konsep kegare (kekotoran) di masa dahulu adalah hubungannya yang dekat dengan konsep tsumi (dosa). Istilah bahasa Jepang tsumi, tidak boleh dihubungkan dengan konsep dosa milik Yahudi atau Kristiani karena jika tidak hal ini sangat mudah membuat orang tersesat dalam memahami tsumi. Karakteristik lainnya dari kegare dan tsumi adalah mereka dapat menular dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung. Jadi orang-orang yang terkontaminasi diharuskan melakukan penyucian


(29)

atau memisahkan diri mereka dari kehidupan sehari-hari untuk jangka waktu tertentu. Keterangan lebih lengkap mengenai kegare dan tsumi akan dibahas pada bab berikutnya.

4. Penyucian. Upacara-upacara penyucian adalah bagian yang vital bagi agama Shinto. Ini dijalankan untuk mendamaikan kami yang sedang gelisah, misalnya ketika kuil mereka harus dipindahkan. Upacara-upacara tersebut juga telah disesuaikan untuk kehidupan yang modern. Sebagai contoh, sebuah upacara diadakan untuk menyucikan misi pesawat Apollo 11 ke bulan., bangunan-bangunan baru yang dibangun di Jepang sering diberkati oleh pendeta Shinto sepanjang upacara pencangkulan pertama, dan banyak mobil yang diproduksi di Jepang diberkati sebagai bagian proses pemasangan. Upacara penyucian individu biasa dengan air, seperti berdiri di bawah air terjun atau menjalankan ritual pembersihan di sungai atau di laut. Karena sungai atau laut yang luas dan dalam dipercaya dapat melenyapkan segala kekotoran yang menodai manusia dan merubahnya lagi menjadi seperti semula yang suci. Garam maupun air laut (salt

water) juga dipercaya sebagai unsur penyucian yang sangat kuat dibandingkan air

biasa. Contohnya, garam yang disebarkan oleh pemain sumo sebelum bertanding untuk mengusir setan dan kekotoran dari arena sumo tersebut, dan di depan pintu masuk restoran Jepang setumpuk kecil garam diletakkan. Hal ini menunjukkan kebersihan / kesucian restoran tersebut. Contoh lainnya dapat kita lihat ketika seseorang setelah menghadiri pemakaman orang lain, menaburkan garam di pintu masuk rumahnya untuk mencegah kecemaran akibat kematian dari rumah orang yang berkabung.


(30)

Penyucian merupakan intisari dari ajaran Shinto, dan metode menyucikan tubuh dan jiwa dengan memakai air ini berasal dari mitos Izanagi no Mikoto yang membersihkan dirinya dengan air untuk membuang semua kekotoran kematian ketika pulang dari Yama no Kuni (dunia kematian). Bentuk yang lain dari penyucian adalah penghindaran (imi) yang merupakan tabu bagi orang-orang tertentu atau tindakan-tindakan tertentu. Sebagai contoh, wanita tidak diperbolehkan mendaki Gunung Fuji sampai tahun 1868, di era Meiji restorasi. Meskipun aspek ini telah berkurang dalam tahun-tahun belakangan ini, masyarakat Jepang yang beragama tidak akan menggunakan kata yang sial seperti “potong” di pernikahan, maupun menghadiri sebuah pernikahan ketika mereka masih berkabung.

5. Kuil. Penyembahan utama kami dilakukan di kuil, meskipun keluarga Jepang juga biasa menyembah di depan kamidana (altar Shinto) di rumah. Ketika beberapa kuil-kuil umum memiliki struktur yang rumit, kebanyakan berbangunan kecil dengan style arsitektur Jepang. Bagian arsitektur jinja yang khas sebagai tanda telah memasuki wilayah jinja adalah Torii. Torii ini adalah gerbang tanpa pintu yang terbuat kayu dan dianggap bagian yang memisahkan dunia manusia hidup dan dunia kami tinggal. Terdapat juga Koma Inu, yaitu sepasang patung anjing, singa ataupun rubah, dan binatang lainnya yang ditemukan di sisi kanan dan kiri, di depan kuil utama.

Sebelum memasuki ruang tempat berdoa (Honden), penganut Shinto harus menyucikan diri mereka sebagai simbol dari kebersihan jasmani dan kesucian batin. Hal ini dilakukan dengan membasuh tangan dan berkumur di Temizuya (kolam yang disediakan di depan kuil) sebagai pengganti untuk harae dan misogi


(31)

karena untuk memasuki tempat yang dianggap agung harus dalam keadaan bersih. Mencuci mulut dengan berkumur-kumur bermakna membersihkan jiwa, dan mencuci tangan bermakna membersihkan jasmani.

Ada juga upacara penyucian untuk perbuatan buruk misalnya kriminalitas dan penyucian untuk tubuh yang dianggap kotor karena kontak langsung dengan mayat maupun darah. Sarana yang digunakan untuk melakukan penyucian ini adalah air. Shinto menekankan kebersihan kepada penganutnya, dan tidak ada orang yang dapat mendekati kami yang suci disaat tubuh dan pikirannya masih kotor. Kebanyakan dewa memiliki karakteristik tidak menyukai pencemaran dari kematian, kotor, dan darah. Tidak satupun yang baru mengalami derita kematian dalam sebuah keluarga boleh mendekati kuil untuk beberapa hari. Wanita tidak dibolehkan mengunjungi kuil selama masa akafujō (menstruasi) dan beberapa hari setelah melahirkan.

Salah satu bukti bahwa kuil Shinto dan kesucian / kebersihan tidak dapat dipisahkan adalah kapan pun jika bangunan suci itu tampak usang, akan direnovasi. Kuil Ise di prefektur Mie, akan dibangun kembali setiap 20 tahun sekali baik karena rusak maupun tidak. Peraturan yang tegas ini mungkin menjadi bagian dari manifestasi terhadap kesucian kami yang didalamnya dan bagian sifat bangsa Jepang yang sangat menghormati kesucian / kebersihan.

Renovasi berarti mengganti bahan-bahan yang lama dengan bahan bangunan yang baru. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesucian jinja karena bahan-bahan yang digunakan pun adalah bahan-bahan yang dipilih dan dilakukan dengan upacara keagamaan. Para pekerjanya pun harus disucikan dulu.


(32)

6. Dewa. Sejak jaman Jomon (7000SM-250SM) dimana masyarakat Jepang pada saat itu sudah mengenal pemujaan terhadap roh, hingga sekarang orang Jepang beranggapan bahwa walaupun jasadnya mati, tetapi rohnya masih tetap ada, dan roh tersebut akan menyatu dengan roh nenek moyang terdahulu dan lama kelamaan roh tersebut akan menjadi kami yaitu dewa Shinto (untuk selanjutnya akan disebut kami). Roh tersebut akan bersemayam di tempat yang nyaman seperti di laut atau digunung. Biasanya di tempat bersemayamnya kami dapat dengan mudah ditemukan kuil-kuil tempat memuja kami. Orang akan datang untuk memuja dan meminta sesuatu kepada kami. Dalam agama Shinto hubungan antara manusia dan dewa sangat erat. Sehubungan dengan keyakinan seperti itu, dipercaya bahwa apabila seseorang meninggal maka orang tersebut akan menjadi kami dan hubungan tersebut tidak akan putus. Shinto juga mengenal pemujaan tidak hanya kepada ujigami yaitu dewa klen tetapi juga kepada orang-orang yang dianggap berjasa atau dihormati semasa hidupnya seperti Sugawara Michizane seorang budayawan di jaman Heian (abad VIII-abad XI) misalnya, hingga sekarang dipuja sebagai dewa ilmu pengetahuan di kuil Shinto Dazaifu di daerah Fukuoka di bagian distrik Kyushu.

Sumber utama atas sejarah Jepang adalah Kojiki dan Nihon Shoki. Menurut sumber tersebut, Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto adalah sepasang dewa yang pada akhirnya anak mereka menjadi dewa-dewa pada berbagai klan di Jepang. Amaterasu Omikami (dewa matahari) adalah salah satu anak mereka, dimana keluarga kekaisaran mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Dewa Matahari. Dewa matahari ini dilambangkan oleh cermin, salah satu dari 3 objek (cermin, pedang dan permata) simbolik lambang kekaisaran yang


(33)

mencerminkan kekuasaan dewa atas keluarga kaisar. Dalam Shinto, kesucian dan kebersihan adalah syarat pertama dari sebuah cermin dan cermin tersebut dianggap sebagai jiwa seseorang. Cermin yang buram dianggap sebagai jiwa yang kotor dengan pikiran setan. Hal ini mengajarkan kepada masyarakat untuk membersihkan jiwa mereka seperti cermin yang bersinar (Joya, 1960 : 9).

Kojiki dan Nihon Shoki juga mengkisahkan kematian Izanami no Mikoto,

setelah melahirkan dewa api. Singkat cerita, Izanagi memenggal kepala dewa api dan menyusul istrinya ke Yomi no Kuni. Setelah melihat istrinya yang penuh ulat Izanagi lalu lari. Istrinya merasa dipermalukan dan menyatakan bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari dunia orang hidup, dan sang suami menjawab bahwa ia setiap hari akan melahirkan 1500 bayi. Dari kisah tersebut dapat diambil poin: (1) Kami tidak abadi, mereka bisa mati; (2) Ketika kami mati, mereka membusuk seperti manusia; (3) Kami memiliki perasaan, mereka menderita seperti manusia karena kehilangan; (4) Kami tidak sangat kuat karena mereka dapat terkontaminasi kekotoran; (5) Kematian adalah sesuatu yang buruk dan mengacaukan keharmonisan masyarakat; (6) Roh yang tinggal di dunia orang mati adalah jahat dan kesepian, serta suka menarik orang dari dunia orang hidup; (7) Manusia harus menjauhi apapun yang berhubungan dengan kematian; (8) Kami memiliki tanggung jawab (berdasarkan janji Izanagi) untuk mendukung kelahiran dan memberkati kehidupan seperti pernikahan, masuk universitas, mendapat promosi, memberikan keselamatan dalam perjalanan, dan kebahagiaan lainnya (http://www.bbc.co.uk/religion/religions/shinto/ritesrituals/harae.shtml)


(34)

2.1.3 Kuil Shinto

Jinja merupakan tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan

pemujaan terhadap dewa, ataupun dapat juga digunakan sebagai tempat upacara lain, seperti acara pernikahan. Jinja berasal dari kata Yashiro yang berarti tempat beberapa tipe bangunan.

Pada dahulu kala, acara ritual dilakukan di luar ruangan. Pada masa itu jarang ada yang mempunyai tipe rumah seperti Izumo Taisha untuk pertunjukan ritual. Pada hari itu, daerah-daerah yang tidak dicemari dipilih dan dibatasi dan sebuah pohon ditanam sebagai objek dimana kami diundang. Tempat ini temasuk pohon yang disebut Himorogi. Ketika sebongkah batu dipilih sebagai pengganti sebuah pohon, tempat itu disebut Iwasaka, dan ritual-ritual dilakukan di Himorogi dan Iwasaka.

Ketika Buddha dibawa ke Jepang dan melakukan pemujaan oleh keluarga Soga, mereka menyembah sebuah bangunan yang menggambarkan sebuah Buddha. Hal inilah yang mempengaruhi pemikiran Shinto, dan memulai menyembah roh-roh kami disebuah gedung dan menjadi lebih terkenal dibandingkan dengan masa lalu. Dahulu kala ritual ini bisa dilihat di Jichinsai, sebuah ritual yang dilakukan di sebuah bangunan untuk menunjukkan kehormatan orang melalui kami daerah untuk berdoa demi keamanan. Shinto dipengaruhi oleh gaya penyembahan Buddha, tetapi tidak pernah digunakan pada kami sebagai objek penyembahan kecuali di abad pertengahan (1192-1603) selama kuil diabdikan untuk kami yang mirip dengan Buddha.

Bangunan kuil Shinto digunakan untuk mengangkat tipe dari gudang lantai atas atau rumah kediaman, seperti kuil besar Ise, yang materialnya terbuat dari


(35)

kayu-kayu sederhana dan atap jerami. Tetapi sepanjang sejarah kemudian banyak bentuk-bentuk berbeda yang dikembangkan dibawah pengaruh Buddha dan pemikiran Yin-Yang, dan mereka mulai menggunakan bahan material yang berwarna dan penambahan seni ukur. Sekarang pembangunan kuil menggunakan fondasi beton yang anti api. Sekarang ini kata jinja diterjemahkan sebagai kuil yang mempunyai tempat berteduh. Tetapi sebenarnya jinja berbeda dengan kuil pada umumnya. Kuil pada umumnya berarti bangunan yang berisi abu manusia yang telah meninggal (sama dengan Byo yang ada di Cina). Sedangkan jinja hanya untuk menyembah kami dan pelayanan keagamaan yang ditampilkan dalam bentuk penyembahan benda yang dipercaya memiliki roh kami.

Adapun ritual-ritual yang berlangsung pada saat berkunjung ke kuil yaitu sebagai berikut:

1. Chozuya/temizu, yaitu upacara penyucian diri. Ini dilakukan di halaman kuil dengan menggunakan air. Seluruh tubuh disiram dengan air, air pertama disiram ke tangan kiri kemudian tangan kanan dan selanjutnya berkumur-kumur.

2. Memasuki altar, yaitu ruangan didalam kuil, dan memberikan sumbangan ke kotak yang disediakan sambil membuat permohonan (doa)

3. Menyentuh lonceng dan menarik talinya sebanyak 2-3 kali dengan menggunakan tangan kanan. Hal ini dimasudkan untuk memohon kekuatan pada dewa.

4. Setelah selesai ritual di dalam kuil, maka pengunjung menuju keluar, dan di depan gerbang sebelum meninggalkan kuil para pengunjung tersebut akan menundukkan kepala sebanyak dua kali dan terakhir menundukkan kepala sekali lagi sebelum akhirnya meninggalkan kuil tersebut.


(36)

2.1.4 Sekte-Sekte Penyucian Agama Shinto

Ada dua sekte yang diklasifikasikan sebagai sekte penyucian: Shinshū

Kyō dan Misogi Kyō. Upacara penyucian memainkan bagian yang penting dalam

kehidupan semua masyarakat Jepang. Ini ditandai karakteristik Shinto lama, dan semua sekte memiliki beberapa bentuk penyucian, tetapi dalam Shinshū Kyō dan

Misogi Kyō upacara-upacara penyucian harus didahulukan daripada yang lainnya (Bence, 1973 : 139). Dewa-dewa disembah oleh pengikut sekte ini, kitab mereka didasarkan pada Kojiki dan Nihongi, dan perintah untuk penganutnya sama dengan sekte Shinto lainnya terlepas dari penekanan khusus kepada ritual penyucian. Loyalitas kepada kaisar, saleh, tekun dalam melaksanakan kewajibannya, mempraktekkan jalan kami merupakan tema utama ajaran-ajarannya. Upacara penyucian yang diselenggarakan oleh dua sekte ini adalah upacara pengabdian yang diadakan pada jaman mitologi untuk penyucian pikiran dan tubuh dari kejahatan.

2.1.4.1 Shinshū Kyō (新宗教)

Shinshū Kyō berarti “Pengajaran Pengetahuan Ketuhanan” (Divine -learning Teaching), penandaan yang diambil untuk menandakan bahwa doktrin dan praktek-praktek sekte ini mewujudkan suatu pengajaran ketuhanan yang pokok isinya mengabadikan jalan mulia (sacred way) pada upacara-upacara Shinto kuno. Biasanya hampir dengan semua penganut Shinto lainnya, Shinshū

Kyō menyebut dirinya dengan sebutan umum Kamu-nagara-no Michi, “Sebagai

Jalan Dewa” (The Way of the Gods as Such). Shinshū Kyō lebih lanjut memakai gelar Mugon no Oshie (無言の教え) atau “Pengajaran yang tidak diucapkan”,


(37)

yaitu pengajaran yang menempatkan penekanan utama pada upacara, khususnya upacara penyucian.

Sekte Shinshū didirikan oleh seorang yang setia pada kekaisaran di jaman

restorasi bernama Yoshimura Masamochi. Dia dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1839 di pedalaman Mimasaka, suatu wilayah feodal yang sekarang menjadi bagian prefektur Okayama. Dia belajar dengan sarjana-sarjana ternama dan menjadi menyolok karena pengetahuannya akan Cina klasik, sejarah, dan kesusteraan Jepang. Sebagai seorang pemuda, ia terpaksa melarikan diri sebelum pemerintahan Tokugawa mengambil tindakan keras terhadap para pendukung penghidupan kembali kekuatan politik kerajaan. Ia mencari perlindungan di

Gunung Kurama dekat Kyōto. Disaat bermeditasi dia ingat akan apa yang telah

dia pelajari dari neneknya yang keluarganya keturunan dari kependetaan Nakatomi kuno dan mencurahkan sisa hidupnya untuk kebangkitan kembali Shinto dan pemulihan perintah lama peradaban pra-Nara ketika jalan dewa-dewa (Way of the Gods) terjalin sempurna dengan kehidupan politik dan etika sosial. Dengan segera dia mempersiapkan diri dengan belajar berhati-hati dan menunggu waktunya. Waktunya tidak datang sampai setelah restorasi. Dengan dikembalikannya keluarga kerajaan ke kekuasaan dan otoritas Tokugawa hancur, dia menemukan kesempatan untuk keluar mengekspresikan semangat akan pendirian/adat lama kebangsaan. Dia terkemuka dalam pergerakan menyadarkan kuil-kuil Shinto kuno dan tidak suka kompromi dalam perlawanannya kepada Buddhisme. Setelah Shinto hidup kembali sebagai agama negara dia mencurahkan dirinya selama tiga tahun kepada ketegangan dan berziarah ke tempat-tempat suci,


(38)

dan kemudian dia mendapatkan wahyu bahwa dia harus mendirikan sekte baru.

Dia mendirikan Shinshū Kyō dan menjadi pemimpin pendeta didalamnya.

Yoshimura mengajarkan tiga ajaran yang terdiri dari pengajaran essensial Shinto yaitu pemisahan dari yang jahat, menguatkan keinginan untuk mencapai kemajuan yang konsisten, dan penyatuan dengan dewa. Pengajaran praktis bagi pengikutnya disebut 10 perintah (Kyōken Jikkajō) yakni menyembah dewa-dewa besar sekte ini, menenangkan roh, mempraktekkan jalan kami, memuja-muja asal-usul dewa, setia pada raja, rajin sebagai anak pada orang tua, baik kepada orang lain, tekun dalam berbisnis, memelihara kesabaran, dan membersihkan tubuh yang “berkarat”.

Menurut Yoshimura Shinto yang sejati adalah mengetahui yang sebenarnya kebenaran agama hanya datang melalui hubungan secara personal yang dijalankan dalam upacara sakral dan dalam aktivitas penyucian. Di dalam upacara, si penyembah bertatap muka dengan dewa di persekutuan dalam hati.

Ada banyak upacara yang dilakukan sekte ini, antara lain:

a. Chinka Shiki, artinya menghilangkan sementara kekuatan api yang bisa membakar dan melukai. Sebuah alas besar yang berisi arang api yang menyala dipersiapkan di halaman kuil. Di saat panasnya mulai naik di batas yang wajar, si roh api dikontrol pendeta dengan melambaikan stik penyucian (haraigushi) dan pembacaan doa (norito). Setelah roh api ditaklukkan, bara api yang menyala tidak dapat melukai mereka yang melintas diatasnya dengan telanjang kaki. Pengikutsertaan ini dipercaya membersihkan tubuh dan jiwa dari yang jahat.

b. Kugatachi Shiki, artinya upacara penyucian dengan air mendidih. Air dituang kedalam panci besi yang dibawahnya terdapat api. Ketika air mulai mendidih,


(39)

upacara mengusir roh api dilaksanakan oleh pendeta dengan melambaikan

haraigushi diatas panci. Kemudian peserta mengaduk isi panci tersebut dengan

seikat daun bambu dan memercikkan air panas ke atas tubuhnya. Upacara ini dipandang efektif membersihkan badan dari yang jahat.

c. Batsujo hō, artinya upacara membersihkan kekotoran batiniah dan mengusir segala macam sikap yang jahat seperti egoisme, suka bersungut-sungut, marah, arogan dan semua ketakutan.

d. Monoimi ho, artinya mempertahankan tabu kuno terhadap makanan.

e. Shinji ho, artinya upacara untuk mencegah roh manusia yang stagnasi dengan cara memasukkan roh yang suci kedalam tubuh orang tersebut.

2.1.4.2 Misogi Kyō (禊教)

Nama Misogi Kyō, diambil dari kata kerja mi-sosogu, atau misogu yang artinya “membersihkan atau mencuci dengan air (dingin)”, atau mungkin “membersihkan badan”. Jadi arti sebenarnya dari nama sekte ini menjadi “Pengajaran Penyucian”. Arti nama tersebut menandakan fakta bahwa ketertarikan utama dari sekte ini adalah untuk mengabadikan upacara yang efektif untuk penyucian tubuh dan jiwa dari setan dan kenajisan / kekotoran.

Pendirinya bernama Inouye Masakane (1790-1849), seorang penduduk asli Yedo. Hasratnya adalah untuk memastikan pengetahuan dan kedamaian agama distimulasi sedini mungkin berdasarkan pada pendidikan yang dia terima dari ayahnya, seorang yang dipengaruhi sangat dalam oleh Buddhisme, Konfusianisme, dan Jepang klasik. Di saat kematian ayahnya, Masakane mengembara dari tempat ke tempat, mencari kepuasan akan kebenaran dengan duduk di kaki berbagai


(40)

pengajar, dan dalam prosesnya ia menyerap suatu campuran yang aneh seperti pelatihan militer, kecermatan Zen, pengetahuan pengobatan China, kepandaian meramal di tangan, penyucian dengan pernapasan yang dalam, etika Konfusionisme, ritual Shinto, pengetahuan akan dunia, dan masih banyak lainnya. Dia datang dibawah pengaruh Sekolah Shinto Yuiitsu dan akhirnya menjadikan dirinya sebagai guru agama. Di tahun 1840 dia menjadi pendeta Shinto.

Wataknya yang bermurah hati, membiasakan dia berbagi semua yang dia miliki dengan orang miskin, akibatnya dia seringkali tidak memiliki uang sepersenpun untuk bermaksud membeli makanan bagi dirinya sendiri. Dalam kesempatan itu dia biasa berkata: “Untuk hari ini pikiran dewa telah menitahkan saya untuk berpuasa” (Holtom, 1938 : 241). Pandangan hidupnya yang luas bisa diukur dari kata-katanya: “Buatlah surga dan bumi menjadi rumahmu, dan cakrawala menjadi gudangmu. Jadi engkau akan datang mengetahui kekayaan dan kehormatan yang memuaskan.”

Masakane rupanya seorang yang berjiwa bebas dan kegigihan opini yang kuat sekali, dan kualitas-kualitas ini segera membawa dia kedalam konflik dengan orang-orang yang berkuasa. Ketakutan Shogun akan pengaruh Masakane kepada samurai-samurai muda yang bersama-sama dengan dia dalam jumlah yang besar membawa dia ke pengasingan di tahun 1843 ke pulau Miyake di Izu. Dia menghabiskan hidupnya selama 6 tahun disana, mengajar para kriminal yang ditahan dan melakukan surat menyurat dengan maksud memimpin keyakinan pengikutnya yang ada di rumah. Akhirnya dia memenangkan respek dan kepercayaan dari orang-orang yang mengenal dia. Sepanjang pencariannya yang lain, dia belajar dan berpraktek pengobatan dan dikatakan dia telah


(41)

menyembuhkan banyak orang yang sakit, sebagian dengan stimulasi keyakinan keagamaan. Dikatakan dia telah memiliki kekuatan untuk membuat mukjizat-mukjizat penyembuhan dan membuat hujan turun di musim kekeringan.

Dia melihat pernapasan yang dalam sebagai terapi penyembuhan yang baik. Dalam hal ini dia menyatakan: “Banyak sekali penyakit muncul disebabkan roh terganggu, dan kacaubalau, serta tidak dapat beristirahat, dan juga karena darah tidak beredar dengan lancar”. Bagi roh, tidak ada yang menyanggupi seni pernapasan. Karena alasan ini roh yang kebingungan dapat dibawa dibawah kendali pernapasan rendah ke puser.” (Holtom, 1938 : 241).

Kematiannya di tahun 1849 meninggalkan pengajarannya yang seluruhnya tidak berstruktur, akan tetapi di tahun ke-5 Meiji (1872) beberapa pengikutnya memperkenalkan suatu perkumpulan bernama Tōkami Kō. Kemudian perkumpulan ini dibagi kedalam dua cabang, yang satu bergabung dengan gereja Taisei (Taisei Church) sedangkan yang lainnya berkembang ke dalam Misogi Kyō hingga sekarang. Sekte ini mendapat pengakuan resmi sebagai badan yang merdeka di tahun 1894.

Tujuan utama sekte ini untuk mengabadikan dan memperluas pengaruh doktrin kuno mengenai penyucian. Sekte ini mengajarkan bahwa setiap orang berdosa dan terkontaminasi dengan kekotoran baik tubuh dan jiwa (roh). Satu-satunya pembersihan sejati ada pada misogi harai atau upacara pengusiran kekotoran seperti yang dipraktekkan dalam Misogi Kyō. Pendirinya sering berkata bahwa harta terbesar Negara Jepang adalah tiga agen penyucian. Tiga objek suci tersebut yang merupakan tanda kebesaran kerajaan yaitu: pedang, cermin, dan seuntai permata yang diberikan oleh Amaterasu Omi Kami kepada cucunya,


(42)

Ninigi no Mikoto, ketika turun dari langit dan memerintah Jepang. Dengan benda yang menakjubkan ini, semua kekotoran dapat dibersihkan. Bersamaan dengan ini Masakane (Holtom, 1938 : 242) menyatakan adanya doa ajaib:

Tōkami emitame, Harai tamai, Kiyome tamō, (“Ye distant gods, smile (upon us), we pray; drive out (evil), we pray; cleanse us, we pray.”), artinya: “Ya dewa-dewa yang jauh, tersenyumlah (pada kami), kami berdoa; usirlah (setan), kami berdoa; bersihkanlah kami, kami berdoa.”

Para penyembah diajarkan apabila menyanyikan kata-kata diatas dengan kesungguhan yang mendalam dan berkomitmen seluruh hidupnya untuk kehendak dewa-dewa, maka dia akan dibuat bergembira dari penyucian yang tidak tanggung-tanggung baik tubuh dan jiwa (roh). Masakane mengajarkan: “Tidak ada seorang pun yang tanpa dosa dan kekotoran. Dengan (metode) penyucian dan pengusiran (dari setan) ini dosa-dosa dan kekotoran dapat dibersihkan. Jika seseorang memanjatkan doa tanpa henti dan berkomitmen dengan kepercayaan penuh seluruh kesejahteraannya untuk kehendak ilahi, dia akan sadar penyucian tubuh dan jiwa yang menentukan.”

2.2 Pandangan Shinto Tentang Kekotoran 2.2.1 Kegare (穢れ)

Dalam folklor Jepang dikatakan masyarakat Jepang biasa hidup dalam dua hari yang terpisah antara “hare” yang artinya hari yang luar biasa dan bergembira, hari-hari upacara, dan “ke” yang dihubungkan pada hari-hari biasa atau normal. Di hari “hare” orang-orang merasakan bebas dari pekerjaan sehari-hari dan kehidupan itu sendiri. Mereka memakai kostum spesial yang cantik, kimono, yang


(43)

disebut “haregi” yang artinya kimono untuk hari “hare”, dan makan malam spesial untuk merayakan hari-hari sebagai salah satu festival. Perayaan keagamaan setiap tahun dirayakan di hari-hari “hare” oleh kuil Shinto, jadi hari-hari “hare” ini adalah hari bagi urusan-urusan dewa yang dipotong dari hari-hari biasa dan dilihat sebagai “hari-hari suci”, dimana manusia dan kami (神) berhubungan dekat.

Sebagai contoh hari-hari di tahun baru, festival-festival untuk mengucapkan syukur setelah panen padi, dan sebagainya. Ada juga hari-hari ”hare” untuk perseorangan seperti shichigosan (festival bagi anak umur tiga, lima, dan tujuh tahun). Perayaan ulang tahun ke-20 dan menikah, sebagai contoh, juga merupakan hari-hari “hare”. Jadi hari-hari “hare” dihubungkan dengan kebahagiaan manusia, sesuatu yang baik diharapkan. Ini fakta yang luar biasa bahwa festival-festival atau upacara-upacara ini dimonopoli untuk dirayakan oleh kuil-kuil Shinto dibandingkan dengan kuil-kuil Buddha.

Dibandingkan dengan “hare”, hari-hari “ke” dikenal sebagai kehidupan yang biasa. “Ke” artinya sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang tidak religius yang tidak dihubungkan dengan urusan-urusan kami. Dalam pengertian ini, “ke” adalah masa-masa bagi urusan-urusan sekuler dan tindak tanduk dalam kehidupan sosial. Pemikiran “ke” netral untuk pertimbangan nilai, sesuatu yang baik maupun sesuatu yang buruk. Pemikiran netral dari “ke” dapat diubah dengan mudah menurut nilai kesadaran manusia. Pendapat Namihira (Hatakeyama,

menegaskan bahwa

sesuatu yang penting di kehidupan sehari-hari masyarakat di dalam folklor bangsa Jepang, baik “hare” maupun “ke”, harus diperkenalkan sebagai kategori lain. Dia mengkategorikannya sebagai “kegare” yang artinya kekotoran, sesuatu yang najis.


(44)

Maksud pengkategorian pemikiran “kegare” sebagai area bebas folklor Jepang, juga digolongkan sebagai hari-hari spesial dibandingkan dengan hari-hari “ke”. Di hari-hari kegare tak ada yang dikerjakan dengan sukacita atau urusan-urusan dewa dalam suasana upacara. Nishioka Kazuhiko

menjelaskan

sekelompok peneliti studi foklor melihat kegare berasal dari kata ke = ki (気)

artinya tenaga dan kare (枯れ) artinya layu / mati, jika diterjemahkan menjadi

suatu kondisi dimana suatu tenaga yang telah dilayukan / dihilangkan. Ini dihubungkan dekat dengan kematian dimana orang harus merasakan sesuatu yang tidak bahagia, sesuatu yang jahat atau bersalah. Apa yang dibawa oleh kematian adalah kekotoran. Kategori-kategori yang masuk dalam kegare yaitu sesuatu yang jahat, penyakit, kematian, kesalahan, kecemaran, luka, dan lain-lain (Hatakeyama,

Kegare (pollution), atau dalam bahasa Indonesianya yaitu kekotoran atau

kecemaran. Konsep tercemar (kegare) dalam kepercayaan rakyat Jepang tidak sama dengan kotor (dirty) dalam arti umum juga tidak sama dengan arti tercemar dari agama Hindu dan Buddha (Danandjaja, 1997 : 181).

Hoshino Eiki (dalam Kodansha Ltd, 1983 : 186) mengungkapkan bahwa berbagai macam kegare disebutkan satu persatu di dalam tulisan-tulisan Shinto seperti Norito dan Engi Shiki, dan ketentuan-ketentuan untuk penyucian juga dinyatakan. Ini merupakan pandangan dasar kegare, yang dapat dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:


(45)

1. Kategori pertama kegare termasuk sesuatu yang kotor dari suatu sudut pandang bersih. Sebagai contoh: kotoran tubuh manusia, sampah, bahan/barang yang membusuk, air yang tersumbat, dan lain-lain.

2. Kategori kedua meliputi darah manusia. Ini mencakup berbagai macam kemungkinan dari penyebab pertumpahan darah atau mendatangkan luka-luka sampai pendarahan seperti melahirkan dan menstruasi.

3. Kategori ketiga meliputi apapun yang berhubungan dengan kematian. Ini tidak hanya meliputi kematian manusia tetapi juga kematian hewan. Membunuh atau melukai burung-burung dan binatang-binatang (buas), dan memasak mereka untuk makanan juga terdiri dari kegare.

4. Yang keempat, yang menjadi sasaran semua macam bencana alam juga dipandang sebagai bentuk kegare. Kategori ini meliputi kejadian dimana manusia dan ciptaan lainnya menderita luka karena bencana alam/malapetaka, seperti digigit serangga atau ular, hewan-hewan piaraan diserang binatang-binatang buas, atau panen yang dirusak serangga-serangga berbahaya.

5. Yang kelima semua tindakan yang mengganggu kehidupan masyarakat. Di dalam norito disebutkan satu persatu berbagai kejahatan terhadap pertanian, seperti merusak jalan kecil sepanjang punggung bukit diantara persawahan, menghalangi air untuk irigasi, dan mengganggu ladang orang lain. Barang rampasan, penggelapan dan penyalahgunaan, perampokan, pembakaran rumah dengan sengaja, dan lain-lain di tahun-tahun berikutnya juga dipandang sebagai kegare.


(46)

Dari sumber internet www2.kokugakuin.ac.jp, dalam agama Shinto,

kegare dipandang sebagai kesialan, sumber ketidakbahagiaan dan kejahatan, dan

halangan atau kesukaran kepada upacara keagamaan.

Konsep kekotoran tercakup dalam sebuah karya Shinto yang sangat terkenal pada era Tokugawa berjudul Warongo atau Bunga Rampai Jepang (Bellah, 1992 : 89) yang menyatakan: “Bahwa Tuhan tidak menyukai yang kotor,

sama dengan mengatakan bahwa seseorang yang hatinya tidak suci tidak menyenangkan Tuhan”.

Kebanyakan kami memiliki karakteristik tidak menyukai kecemaran dari kematian, kotor, dan darah. Para kami tidak menyukai darah, khususnya darah yang berasal dari dalam diri manusia seperti kelahiran, menstruasi wanita, dan kematian. Maka prinsip itu dipegang teguh oleh masyarakat Jepang.

Sejak jaman kuno sampai jaman Jepang modern, fenomena seputar kematian dan darah berada di “jantung” kegare. Seperti yang ada di dalam buku Ilmu Kejepangan 1 (Situmorang, 2006 : 45), dua pendapat mengenai kekotoran:

“Menurut Ikegami di berbagai daerah seperti Okinawa dibedakan atas tiga jenis, yaitu shirofuju (kelahiran), akafuju (haid), dan kurofuju (kematian). Menurut Sasaki, dalam kepercayan rakyat Jepang yang tercemar itu adalah mayat, kelahiran, dan keluar darah”.

Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya dipandang sangat mencemarkan. Darah juga dipandang sangat kotor. Untuk alasan ini Izanagi no Mikoto yang mengikuti kematian istrinya, Izanami no Mikoto, ke Yomi no Kuni (dunia kematian), yang dikisahkan dalam Kojiki, berteriak ” Aku telah menyentuh


(47)

menyukai kematian. Pandangan inilah yang menyebabkan para pendeta Shinto hanya mengabadikan dirinya untuk melayani kami, melakukan sesuatu yang bersih dan tidak melibatkan dirinya dalam kegiatan upacara kematian atau pemakaman, karena itu akan menyentuh yang kotor. Pada zaman kuno, mereka melaksanakan upacara kematian dengan cara-cara Shinto tanpa dipimpin oleh

kannushi (神主)

Sebagaimana dikemukakan oleh Sokyo Ono dalam bukunya yang berjudul “Shinto The Kami Way” (1962 : 109), terdapat beberapa alasan mengapa pendeta Shinto tidak melibatkan dirinya dalam mengurus jenazah dan ritual pemakaman dalam suatu upacara kematian. Sebagai alasan pertama, kuil Shinto diperuntukkan hanya bagi pelayanan kepada kami yang dipuja dan bukan untuk ritual yang lainnya. Alasan yang kedua adalah pendeta mengabdi sepenuhnya untuk melakukan pelayanan kepada kami, pelaksanaan ritual keagamaan diluar dari memuja kami adalah diluar tanggung jawab kuil dan pendeta.

Pendapat Kaga Noboru (Situmorang, 2006 : 51-52) tentang mana yang paling diutamakan antara acara untuk menguburkan mayat dan acara untuk menenangkan roh, menurut jamannya di Jepang berbeda. Pemikiran yang menyatakan bahwa mayat sebagai yang kotor, untuk menghindari penularan kekotoran tersebut mayat dibuang ke ujung desa atau ke tanimajigoku (lembah neraka), kemudian hanya melakukan upacara persembahan kepada roh saja. Karena pada jaman dahulu roh orang yang baru meninggal dianggap labil dan berbahaya oleh karena itu harus diadakan serangkaian upacara-upacara.

Ketentuan-ketentuan kotor karena kematian diatur secara rinci di dalam kitab Engishiki (延喜式) yaitu kitab pranata yang berjumlah 50 jilid yang dibuat


(48)

pada awal jaman Heian (794 – 1192). Kitab tersebut cukup menarik, misalnya dalam kasus sebagaimana yang dikutip berikut ini

Aの家に死の穢れがあったとします。B の家の者がA 家を訪

問し、そこで着座して帰って来ます。するとB 家の者は全員、

死穢に汚染されるのです。次に、C 家の者がB 家に来て着座

し ま す。 する と、 こ の着 座し た者 は汚 染 され ま すが 、汚 染 者

は彼一人であって、他のC 家の者は汚染されません。けれえ

ども、B家の者がC家に行って着座すれば、C家の全員に死

穢がつきます。ところが、この場合でも、D 家の者がC 家に

行って着座しても、もはや死穢に汚染されないのです。

Terjemahannya:

Bila ada salah satu anggota keluarga A yang meninggal, kemudian orang dari keluarga B datang melayat, maka seluruh anggota keluarga B akan menjadi kotor. Kemudian bila salah satu anggota keluarga C berkunjung ke rumah keluarga B (yang sudah terkontaminasi) dan si orang dari keluarga C pulang kerumahnya, maka seluruh anggota keluarga C tidak terkotori, hanya orang yang pergi saja yang terkotori oleh kematian. Tetapi bila salah satu anggota keluarga B berkunjung ke rumah keluarga C maka seluruh anggota keluarga C akan terkontaminasi oleh kotor. Namun bila ada salah satu anggota keluarga D yang datang berkunjung ke rumah keluarga C, maka anggota keluarga D yang datang berkunjung tidak akan terkontaminasi (Hiro, 1987 : 77).

Dari kutipan di atas ini dapat dianalogikan bahwa derajat kontaminasi kotor hanya sampai pada generasi anak dan cucu. Di luar hubungan itu tidak akan terkena kontaminasi.

Jika seseorang di dalam keluarga ada yang meninggal dunia maka keluarga kelihatan berkabung selama periode tertentu. Di jaman dahulu ketika seorang kaisar meninggal dunia, sanak saudara dan pelayan-pelayannya kelihatan berkabung selama beberapa tahun. Masa berkabung diantara masyarakat umum di masa modern ini lebih singkat, dibanyak kasus 49 hari. Sepanjang masa


(49)

tersebut, setiap individu harus menahan diri dari partisipasi dalam berhubungan dengan kami, sebagai contoh mengunjungi kuil.

Shinto kebiasaannya juga mentabukan kecemaran akibat darah sama dengan kecemaran akibat kematian. Di dalam buku “A Historical Study of the Religious Development of Shinto” (Katō, 1973 : 139) dijelaskan bahwa di dalam

Engishiki ditentukan mereka yang dilarang atau ditabukan (mengambil bagian

dalam upacara) selama tercemar adalah: “Selama 30 hari sesudah berhubungan

dengan mayat; selama tujuh hari saat melahirkan; selama lima hari setelah berhubungan dengan enam jenis hewan peliharaan; selama tiga hari setelah menyentuh hewan-hewan ini ketika mereka melahirkan (terkecuali hewan ayam betina); dan selama tiga hari setelah makan daging dari hewan-hewan ini. Mereka yang memimpin pemakaman dan mereka yang keguguran setelah lebih dari empat bulan mengandung, dan mereka yang keguguran kurang dari tiga bulan mengandung, ditabukan (partisipasi di dalam upacara) selama 30 hari dan 7 hari berturut-turut dalam upacara”.

Menurut Kojiki (Katō, 1973 : 142), Yamatotakeru no Mikoto setelah menaklukkan bagian timur Jepang, menghabiskan malam di rumah Ratu Miyazu di Propinsi Owari. Ketika dia berhubungan seksual dengan sang ratu dia menyadari bahwa rok dari jubah sang ratu tercemar dengan darah menstruasinya, sebagai hasil hubungan seksual dengan wanita yang tercemar akibat darah, dia tidak dapat membawa Kusanagi, pedang suci, dengannya. Jadi dia meninggalkan pedang tersebut dia atas pohon dan dia pergi mendaki gunung Ibuki dimana dia dikutuk oleh kami gunung tersebut. Sebagai konsekuensinya dia akhirnya meninggal.


(50)

Sesuatu benda yang bersentuhan dengan yang kotor (tercemar) maka akan ikut tercemar juga, oleh karena itu apabila ada benda-benda suci maka harus dijauhkan dari benda tercemar. Pemikiran ini pula mengakibatkan lahir berbagai kebiasaan, misalnya memberikan sesajen ditempat yang tidak ada mayatnya, diberbagai daerah ada mengenal sistem dua kuburan yaitu satu kuburan tempat mayat dan satu lagi kuburan tempat roh atau tempat mengantarkan persembahan-persembahan, dan pada waktu di rumah ada mayat maka kamidana dibungkus.

Bahkan sampai sekarang terdapat kebiasaan di tempat-tempat terpencil di Jepang yang seorang wanita sepanjang periode menstruasinya, atau setelah melahirkan anak, tidak diijinkan mengambil makanan dan tinggal bersama dengan keluarganya, takut api yang digunakan untuk memasak telah tercemar oleh darah.

Sebagai contoh di Jōmiya Desa Matsubara pedalaman Tsuruga Propinsi Echizen,

disana terdapat bangunan rumah yang terpisah yang digunakan penduduk. Setiap penduduk wanita selama periode menstruasinya diharapkan tinggal di dalam rumah ini sendirian dan memasak makanannya selama satu minggu. Wanita yang sedang mengandung, dan melahirkan, juga diharapkan tinggal di rumah yang berdiri sendiri ini. Fasilitas yang sama juga ada di Propinsi Izumo tempat Kuil Mihogaseki. Bentuk asli fasilitas tersebut dapat dilihat di rumah khusus wanita menstruasi di Pulau Yap. Rumah khusus ini melarang kunjungan pria. Ini adalah contoh kebiasaan tradisional masyarakat Jepang untuk memulai suatu tabu terhadap kegare akibat kematian dan darah.


(51)

2.2.2 Tsumi ()

Ketika para penerjemah menggunakan kata bahasa Inggris “sin” (dosa) untuk istilah bahasa Jepang tsumi, masyarakat menghubungkannya dengan konsep dosa milik Yahudi atau Kristiani. Hal ini sangat mudah membuat orang tersesat dalam memahami tsumi. Dosa dalam Kristiani dikaitkan dengan “dosa asal” (sin

of origin), dan ini meliputi pemikiran yang sangat spesifik terhadap pelanggaran

kehendak Tuhan (will of God). Pemikiran dosa asal atau melanggar perintah Tuhan tidak ada dalam Shinto. Bagi Shinto tsumi merupakan kekotoran

Praktek penyucian dalam Shinto sepanjang perjalanannya sebagai agama sebagian besar membidik pada pembersihan fisik atau kekotoran luar (lahiriah) dan sedikit memperhatikan penyucian batiniah (luar). Oleh karena itu konsep dosa hanya pada fisik atau keadaan luar dan belum ada konsep dosa yang berasal dari kesadaran batiniah atau kesalahan kata hati. Jadi baik dosa surgawi (heavenly

sins) dan dosa duniawi (earthly sins) seperti yang tertulis pada liturgi terkenal

Shinto dalam Engishiki dekat pada semua dosa lahiriah (material) dan bukan pada dosa batiniah (immaterial). Tsumi memiliki arti yang luas meliputi kekotoran, penyakit, dan bencana alam, yang sama dengan kesalahan. Tindakan tertentu, situasi tertentu, atau hal yang tidak terduga dapat menyebabkan kekotoran. Bahkan kejadian seperti penyakit yang disebabkan alam disebut sebagai “dosa”.

Penyakit kusta dipandang sebagai dosa karena menyebabkan perasaan tidak menyenangkan dalam diri orang lain dan kami mungkin juga tidak menyukainya. Contoh lain, tersambar petir juga dipandang sebagai dosa. “Malapetaka dari kami” dalam suatu liturgi Shinto menunjukkan petir. Sama halnya dengan disengat serangga juga dipandang sebagai suatu dosa. Meskipun


(52)

fakta bahwa manusia tidak bisa menghindar dari kejadian-kejadian ini, peristiwa tersebut dipandang sebagai dosa. Sebagai akibatnya dari sudut kepercayaan alam, Shinto di jaman ini memandang semua kejadian-kejadian diatas sebagai dosa walaupun tidak diakui sebagai dosa dari sudut agama lain.

Banyak dosa yang tercatat dalam institusi-institusi Engishiki yang mengklasifikasikan dosa dalam dua macam, yaitu:

a. Amatsu-tsumi atau dosa-dosa surgawi (yang dilakukan di surga). Amatsu-tsumi

merupakan kejahatan besar karena mengganggu pengolahan pertanian. Dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan ini dilakukan oleh Susanoo Mikoto di surga. Menurut tradisi, Susanoo Mikoto melakukan berbagai tindakan bengis terhadap sawah suci milik Amaterasu Omikami dan ia juga mengotori istana suci milik Amaterasu Omikami, yang diharapkan suci dan bersih dengan sempurna, dengan kotoran badan dan menguliti belang seekor anak kuda jantan (piebald colt) ketika dia baru saja merayakan pesta hasil pertamanya. Tindakan-tindakan ini tentu saja tindakan jahat yang sah.

b. Kunitsu Tsumi atau dosa-dosa duniawi. Hal-hal yang diklasifikasikan ke dalam kategori dosa-dosa duniawi lebih pada dosa-dosa luar atau jasmaniah, sama seperti dosa-dosa surgawi. Ini meliputi tindakan yang menyebabkan luka atau kematian, berzinah, penyakit tertentu yang menular, peracunan, menggunakan ilmu sihir, dan hal-hal lainnya.

Sesuatu yang diluar kontrol manusia seperti bahaya akibat dari petir, burung-burung berbahaya, serangga, termasuk kunitsu tsumi. Dalam kasus ini masyarakat Jepang mencoba menyeka unsur-unsur buruk dengan mengadakan upacara keagamaan. Ini artinya bahwa semua perbuatan manusia dan bahaya yang


(53)

dari alam yang mengancam kelanjutan komunitas masyarakat dipandang sebagai dosa duniawi. Shinto percaya upacara penyucian berguna untuk menenangkan unsur-unsur negatif yang ada di manusia dan alam, serta menguatkan unsur positif untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

2.3 Pandangan Shinto Tentang Penyucian

Harae adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara penyucian Shinto

atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau (祓う atau 払う) yang

artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto, dan berbagai bentuk telah berkembang, seperti nagoshi

no ōharai. Shubatsu adalah upacara harae dimana garam ditebarkan ke atas pendeta atau penyembah, sedangkan tindakan membersihkan mulut dan tangan sebelum memasuki kuil disebut temizu (手水).

Pada umumnya ada tiga metode dasar dari penyucian (harae), yaitu:

1. Harae dilakukan oleh seorang pendeta menggunakan tongkat penyucian (haraigushi) dengan cara mengibaskannya diatas kepala orang, pada tempat, atau kendaraan dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki () digunakan sebagai pengganti haraigushi. Pohon sakaki adalah pohon yang senantiasa hijau sepanjang tahun dan menjulang tinggi.

Orang Jepang percaya disaat ritual dilakukan dewa akan turun dari langit melalui pohon ini sebagai tangga untuk mendengarkan permohonan dan memberi keselamatan. Cara ini dapat ditemukan pada saat penyucian dalam membangun


(54)

rumah (jichinsai barai), pernikahan (shinzen kekkon), penyucian untuk keselamatan perjalanan (kotsu anzen oharai), dan lain-lain.

2. Misogi (). Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti

penyucian dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri di bawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Di Kuil Tsubaki di prefektur Mie, misogi dilakukan pagi atau malam antara pukul 11 malam dan jam 1 pagi karena saat dimana satu hari telah berakhir dan hari baru datang, dan menurut pemikiran orang Jepang waktu tersebut sangat mudah menerima roh kami.

Misogi mendapat populeritasnya kembali sejak akhir perang Pasifik, disaat

kuil-kuil dapat kembali melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Beberapa kuil memiliki sebuah perkumpulan pelaksana (misogi kai) yang mengunjungi kuil secara reguler untuk melaksanakan misogi. Jika sungai letaknya jauh dari kuil atau kuil tidak memiliki fasilitas sungai, maka praktek misogi dapat digantikan dengan cara mandi dengan air dingin.

3. Imi (忌み). Dalam Nihongo Dai Jiten (Kodansha, 1989 : 138) yang dimaksud

dengan imi yaitu:

神事 に際し 、不 浄を慎 むこ と·遠 慮すべ きこ と·死 ·穢れ ·喪中 こと·物忌み。

Terjemahannya:

Hal untuk berhati-hati terhadap ‘ketidakbersihan’ pada waktu pelaksanaan ritual keagamaan, harus berhati-hati, mati, kotor, berkabung, mono imi.

Sedangkan yang dimaksud dengan mono imi (物忌み) yaitu:

決 められ た期 間に 身を 清め 禁忌 を守 り、 飲食 を断 った りす る こと·精進潔斎。不吉の前兆として、ある物事を忌むこと。塞


(55)

Terjemahannya:

Membersihkan diri pada waktu yang telah ditentukan, mentaati larangan, menolak makan dan minum, penyucian, menghindari suatu kejadian atau hal yang membawa sial, menghindar dari pelanggaran, menyendiri dalam rumah.

Dalam pengertian imi di atas, terlihat pengertian yang luas yaitu selain mencakup hal-hal yang kotor (berkabung, mati, kotor); menghindari ritual keagamaan pada waktu ‘ketidakbersihan’; tetapi juga membersihkan diri pada waktu yang telah ditentukan dengan mentaati larangan dan menyendiri dalam rumah.

Imi kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang

mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik. Imi dijalankan khusus oleh pendeta-pendeta Shinto, yang diperintahkan untuk menghindari kontak dengan penyakit, kematian, atau perkabungan sebelum menyelenggarakan upacara keagamaan. Secara tradisional, wanita, karena kemungkinan kecemaran akibat menstruasi atau melahirkan anak, tidak diijinkan memasuki tempat-tempat suci.

Seperti contoh di Pulau Izu terdapat kebiasaan setiap wanita baik melahirkan atau menstruasi diharapkan tinggal di sebuah rumah sementara yang bernama Taya dan kebiasaan ini dipraktekkan sampai pertengahan jaman Meiji. Menurut “sejarah lokal pulau Izu” yang dikutip oleh bapak Motoyama berkata: “Banyak sekali terdapat gubuk-gubuk kecil bernama “Taya” di kaki gunung

setiap desa-desa. Gubuk yang atapnya dari jerami dan tanpa lantai. Wanita yang masa menstruasinya atau melahirkan dipaksa tinggal di “taya-taya” ini dan mereka tidak diijinkan melakukan kontak dengan keluarganya. Selama delapan


(56)

atau sembilan hari dalam kasus menstruasi dan selama sekitar 50 hari dalam kasus melahirkan, mereka tidak diijinkan pulang kerumah mereka. Jadi wanita dan bayi-bayinya sering menderita karena embun dan kedinginan dan beberapa dari mereka meninggal atau terjangkit penyakit yang serius. Ini berat bagi mereka untuk tinggal dengan nyaman di gubuk-gubuk ini. Selain itu mereka yang tinggal di “taya” tidak diijinkan untuk mengunjungi orang tua mereka sekalipun orang tua mereka sakit serius sekali bahkan sampai meninggal dunia” (Katō,

1973 : 143).

Kesamaan kebiasaan memiliki taya (seperti yang ada di Pulau Izu) bahkan terlihat juga di pulau kecil seperti Pulau Ohnejima (pulau “tako” menurut “sejarah lokal Propinsi Izumo) di pedalaman laut Izumo. Di awal jaman Meiji, istri Yoshio Kadowaki, seorang pendeta Shinto di pulau tersebut, biasa tinggal sendiri dan hidup terpisah dari keluarganya selama periode menstruasinya di sebuah gubuk kecil bernama ‘taya’ dimana dia biasa memasak untuk dirinya sendiri. Ini disebut

Betsubi atau memasak terpisah (separate cooking). Bagaimanapun kebiasaan Betsubi, yang disebabkan ketakutan api untuk memasak telah tercemar, sudah

lama dipertahankan. Tentu saja para wanita di Pulau Ohnejima biasa menyebut menstruasi mereka sebagai taya. Untungnya, kebiasaan seperti ini sudah ditiadakan lagi di pulau tersebut.

Pulau Mikurajima di Izu dimana kebiasaan tabu terhadap kekotoran akibat kematian dan darah lama dipertahankan sangat keras. Tidak ada wanita yang diterima di puncak gunung di pulau tersebut. Dan lagi selama 75 hari setelah melahirkan tidak ada wanita yang diijinkan mendaki gunung bahkan untuk jarak yang pendek, maupun wanita dalam masa menstruasi. Begitu juga bagi mereka


(57)

yang orang tua atau orang terdekatnya meninggal, tidak diijinkan memasuki area gunung selama 13 bulan. Kebiasaan ini disebut Yamadone atau menjauhi gunung. Mereka yang melanggar tabu ini, harus disucikan di kuil Fuga dengan mempersembahkan seratus Mon (sejumlah uang) dan satu Shō (satuan jumlah) beras ke kuil.

Di jaman modern, bentuk imi berlanjut dalam sebuah cara yang terkemuka yang berhubungan kepada kematian, misalnya: (1) Ketika saat berkabung setelah pemakaman disebut imi, karena kekotoran itu sendiri. Seseorang yang baru kehilangan tidak akan menghadiri sebuah perayaan pernikahan; (2) Banyak kebiasaan jaman dahulu yang berlanjut dalam masyarakat Jepang sampai sekarang yang kegemarannya memilih hari-hari baik berdasarkan ramalan bintang orang timur (oriental zodiac) untuk perjalanan bisnis dan peristiwa-peristiwa penting, serta menghindari hari-hari buruk untuk pernikahan, atau usaha yang berarti lainnya (Picken, 1994 : 175). Dari ketiga tipe penyucian, imi sangat dekat hubungannya dengan tahkyul rakyat.

Upacara harae disertai dengan pembacaan harai no kotoba (norito) dan persembahan tamagushi yang tertuju kepada kami. Harai no kotoba (norito) terdiri dari kata-kata khusus yang dipilih dan didesain untuk memiliki bunyi yang menyenangkan (hati). Rakyat Jepang memiliki kepercayaan kuno bahwa kata-kata yang indah membawa nasib baik dan begitu sebaliknya kata-kata yang jelek membawa nasib buruk. Ini berasal dari kepercayaan dalam kotodama, mistik dan kekuatan spiritual yang terletak dalam kata-kata. Model untuk semua norito disusun dalam Engishiki. Catatan perintah pertama untuk menyelenggarakan


(58)

menghendaki agar membersihkan dari pelanggaran-pelanggaran di semua tingkatan. Sebagai hasilnya, di hari terakhir bulan Juni dan Desember ōharae (

祓え) di selenggarakan di seluruh kuil dan keluarga kerajaan.

Tujuan / sasaran harae dari semua metode dasarnya adalah mengembalikan keadaan yang suci/bersih yang dikenal sebagai seimei-shin (清明

) yang merupakan dasar berhubungan erat dengan kami. Ini digolongkan

dengan empat kondisi hati ( 心 ) yaitu: akaki kokoro ( 赤 き 心 ) atau

ketulusan/kesungguhan hati, kiyoki kokoro (清 き 心) atau hati yang bersih, tadashiki kokoro (正き心) atau hati yang sebenarnya, naoki kokoro (直き心) atau


(1)

Norito : Doa yang dipanjatkan dalam upacara Shinto

Ofuda : Jimat yang terbuat dari kertas atau kayu bertuliskan nama seorang dewa yang didistribusikan kuil untuk peziarah dan dibawa pulang supaya memperoleh pertolongan dewa

Omochi : Makanan tradisional dari beras yang ditumbuk dan dibolak-balik dalam sebuah lesung kayu dan diisi kacang merah olahan.

Onusa : Sebuah ranting kecil pohon sakaki yang ditempeli potongan kertas atau kain, dipakai saat upacara keaagamaan

Sakaki : Cleyera Ochnacca, tanaman yang digunakan dalam upacara Shinto

Shimenawa : Tali yang diikat bersilang sebagai penanda daerah suci

Tamagushi : Bentuk persembahan kepada kami

Torii : Gerbang kuil Shinto

Tsumi : Dosa / kekotoran

Ujigami : Leluhur yang dipuja sebagai kami


(2)

DAFTAR LAMPIRAN


(3)

Gambar II. Tahapan Jichinsai Barai


(4)

(5)

Gambar V. Misogi Shuhō


(6)

Gambar VII. Chinowa

Gambar VIII. Tamagushi