2.4. Metode Penentuan Kandungan Protein
Dalam keadaan asli di alam, protein merupakan senyawa bermolekul besar dan kompleks yang tersusun dari unsur C, H, O, N, S dan dalam keadaan kompleks ada
unsur P. Penerapan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan berdasarkan penerapan empiris tidak langsung. Penerapan jumlah protein yang
umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen N yang dikandung oleh suatu bahan. Cara penentuan ini dikembangkan oleh Kjeldahl, seorang ahli ilmu
kimia Denmark pada tahun 1883. Dalam penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara teknis cara
ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandungan senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini
dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protin yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini dengan demikian sering disebut sebagai kadar protein
kasar crude protein. Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl ini adalah hasil
Penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16 dalam protein murni. Untuk campuran
senyawa-senyawa protein atau yang belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti, maka faktor perkalian 6,25 yang dipakai. Sedangkan untuk
protein-protein tertentu yang telah diketahui komposisinya dengan lebih tepat maka faktor perkalian yang tepatlah yang dipakai.
Penentuan protein berdasarkan jumlah N menunjukkan protein kasar karena selain protein juga terikat senyawa N bukan protein misalnya urea, asam nukleat,
ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin dan piridin. Analisa protein cara
Universitas Sumatera Utara
Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi, dan tahap titrasi.
1. Tahap Destruksi
Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hidrogen teroksidasi menjadi
CO,CO
2
, dan H
2
O. Sedangkan nitrogennya N akan berubah menjadi NH
4 2
SO
4
. Asam sulfat yang dipergunakan untuk destruksi diperhitungkan adanya bahan protein
lemak dan karbohidrat. Untuk mendestruksi 1 gram protein diperlukan 9 gram asam sulfat, untuk 1 gram lemak perlu 17,8 gram. Sedangkan 1 gram karbohidrat perlu
asam sulfat sebanyak 7,3 gram. Karena lemak memerlukan asam sulfat yang paling banyak dan memerlukan waktu destruksi cukup lama, maka sebaiknya lemak
dihilangkan terlebih dahulu sebelum destruksi dilakukan. Asam sulfat yang digunakan minimum 10 ml 18,4 gram. Sampel yang dianalisa sebanyak 0,4 – 3,5 gram atau
mengandung nitrogen sebanyak 0,02 – 0,04 gram. Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa
campuran Na
2
SO
4
dan HgO 20 : 1. Gunning menganjurkan menggunakan K
2
SO
4
atau CuSO
4
. Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat.
Protein yang kaya asam amino histidin dan triptophan umumnya memerlukan waktu yang lama dan sukar dalam destruksinya. Untuk bahan yang seperti ini
memerlukan katalisator yang cukup banyak. Selain katalisator yang telah disebutkan tadi, kadang-kadang juga diberikan Selenium. Selenium dapat mempercepat proses
oksidasi karena zat tersebut dapat menaikkan titik didih. Tetapi Se mempunyai kelemahan yaitu karena sangat cepatnya oksidasi maka nitrogennya justru ikut hilang.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dapat diatasi dengan pemakaian Se yang sangat sedikit yaitu kurang dari 0,25 gram.
2. Tahap Destilasi
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia NH
3
dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Agar selama destilasi tidak terjadi superheating ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang
besar dapat ditambahkan logam Zink Zn. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dipakai adalah asam
klorida atau asam borat 4 dalam jumlah yang berlebihan. Agar supaya kontak antara asam dan ammonial ebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup
sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebihan maka diberi indikator misalnya BCG + MR atau PP. Destilasi diakhiri bila sudah
semua ammonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi basis. 3.
Tahap Titrasi Apabila penampung destilat digunakan asam korida maka sisa asam klorida
yang tidak bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar 0,1 N. Akhir titrasi ditandai dengan tepatnya perubahan warna larutan menjadi merah muda dan
tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator PP. Selisih jumlah titrasi blanko dan sampel merupakan jumlah ekuivalen nitrogen.
Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan
asam klorida 0,1 N dengan indikator BCG + MR. Akhir titrasi ditandai dengan
Universitas Sumatera Utara
perubahan larutan dari biru menjadi merah muda. Selisih jumlah titrasi sampel dan blanko merupakan jumlah ekuivalen nitrogen.
Setelah diperoleh N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung
pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan Sudarmadji. 1989.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 BAHAN DAN METODE
Bahan dan alat yang digunakan dalam analisa bungkil inti sawit adalah : 3.1.
Alat
− Statif dan klem
Thomas −
Labu Kjeldahl 250 mL
Pyrex −
Labu ukur 100 mL
Pyrex −
Bola karet −
Soklet −
Erlenmeyer 250 mL
Pyrex −
Kondensor −
Neraca Analitis Sartorius
− Selang
− Gelas ukur
50 mL Pyrex
− Pipet volumetri
5 mL W. Germany
− Pipet volumetri
10 mL W. Germany
− Buret
50 mL Pyrex
− Tabung destilasi
− Kjeltec Auto Destilation
Foss 2300 −
Elektro Mantel E. Thermal
− Gelas ukur
10 mL Pyrex
Universitas Sumatera Utara