Rumusan Masalah Tujuan Penelitian
walaupun tokoh cerita “hanya” merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan
manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka isi
haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya Nurgiyantoro, 2009: 166.
Penokohan adalah sebuah kewajaran fiksi. Maksud dari kewajaran fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan
mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreativitasnya Nurgiyantoro, 2009: 166. Fiksi mengandung dan menawarkan
model kehidupan seperti yang disikapi dan dialami tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap kehidupan itu sendiri. Oleh karena
pengarang yang sengaja menciptakan dunia dalam fiksi, ia mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan
seleranya, siapa pun orangnya, apa pun status sosialnya, bagaimana perwatakannya, dan permasalahan apa pun yang dihadapinya Nurgiyantoro,
2009: 166. Realitas kehidupan manusia memang perlu dipertimbangkan dalam
kaitannya dengan kehidupan tokoh cerita. Namun, haruslah disadari bahwa hubungan itu tidaklah bersifat sederhana, melainkan bersifat komplek,
sekompleks berbagai kemungkinan kehidupan itu sendiri Nurgiyantoro, 2009: 169.
Menanggapi teori di atas Sayuti 2000: 72 mengatakan apabila pembaca memakai ukuran relevansi atau bentuk hubungan tertentu dalam rangka
membicarakan tokoh, berarti kita memberi kebebasan yang penuh kepada pengarang dalam menciptakan tokoh-tokoh fiksinya tanpa mengingkari
kemungkinan adanya titik singgung antara tokoh dan pembaca. Oleh karena itu,
secara teoretis pengarang dapat mengatur atau mencipta: dari suatu tipe murni, mewakili satu kualitas universal, hingga ke individu-individu yang paling
eksentrik. Dalam konteks ini, pengarang hanya diikat oleh tuntutan yang mungkin muncul di kalangan pembaca bahwa tokoh-tokoh ciptaanya harus relevan dalam
beberapa hal dengan pengalaman kehidupan yang sebenarnya, baik yang mungkin dialami oleh pengarang maupun yang dialami oleh pembaca.
Sayuti 2000: 71-72 menjelaskan berawal dari kita sebagai pembaca yang mempermasalahkan tokoh-tokoh fiksi harus seperti diri kita sendiri atau
seperti orang-orang yang kita kenal, kita tidak hanya membatasi imajinasi penulis yang notabene merupakan wilayah pribadi yang tak seorang pun kuasa
menggugatnya tetapi agaknya kita juga sudah mulai mengabaikan fungsi tokoh dalam cerita. Oleh karena itu ukuran lifelikeness sebaiknya dipahami sebagai
suatu relevansi atau bentuk hubungan tertentu. Apabila kita memahami ukuran relevansi atau bentuk hubungan tertentu dalam rangka membicarakan tokoh,
berarti kita memberikan kebebasan penuh kepada pengarang dalam menciptakan tokoh-tokoh fiksinya tanpa mengingkari kemungkinan adanya titik
singgung antara tokoh dan pembaca Sayuti, 2000: 71-72 Untuk menentukan relevansi kehadiran tokoh pada dasarnya terdapat
dua cara untuk menentukannya. Pertama, seorang tokoh dinyatakan relevan dengan kita atau dengan pengalaman kita atau seperti orang yang kita ketahui.
Dalam konteks ini, lifelikeness dapat dipahami sebagai bentuk relevansi. Jadi, suatu karakter tokoh menjadi relevan apabila banyak orang yang menyukainya di
dunia nyata. Kedua, relevansi kedua ini tampak jika sisi kehidupan tokoh yang dianggap menyimpang, aneh, dan luar biasa, terdapat atau terasakan ada dalam
diri kita. Dibandingkan dengan lifelikeness, agaknya relevansi kedua merupakan kekuatan rahasia yang “berada dalam diri” tokoh-tokoh besar dalam fiksi Sayuti,
2000: 72-73. Tentunya untuk mendukung penelitian ini yang memang