Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820

commit to user 31

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820

Kondisi struktur budaya masyarakat Kasunanan Surakarta merupakan proses sedimentasi dari masuknya budaya-budaya besar Hindu-Budha percampuran antara budaya asli Jawa. Proses pengislaman dengan model asimilasi budaya oleh beberapa ahli menyebabkan munculnya tradisi sinkretisme. Secara universal pengertian sinkretisme adalah percampuran antara tradisi Hindu dengan tradisi Islam tanpa melihat apakah percampuran tersebut benar atau salah, murni tidaknya suatu agama. Paham ini hanya menekankan bahwa semua agama dipandang sebagai baik dan benar Simuh, 1988:12. Pola ini pula yang meletakkan seni budaya sebagai medium dari ajaran Islam, khususnya yang dilakukan oleh kerajaan. Kenyataan tersebut akhirnya menempatkan keraton sebagai pusat pemerintahan dan aktivitas keagamaan, dan juga sebagai sentral pengembangan budaya. Pola kebudayaan Hindu Jawa, seperti pertunjukan wayang, tari-tarian, musik, gamelan masih dominan mewarnai setiap kegiatan. Percampuran warna Islam dengan Hindu tersebut secara nyata dapat dilihat pada peringatan hari-hari besar Islam, tetapi isi kegiatan yang dilakukan tetap saja berpola budaya Hindu- Jawa. Perayaan sekaten, grebeg, maupun malam satu Sura yang masih berlaku sampai sekarang. 1. Islamisasi di Keraton Surakarta Pada jaman kerajaan, Rustopo 1986 menerangkan bahwa keraton merupakan sumber, pembina dan penyebaran kebudayaan kerajaan. Sehingga segala sesuatu yang dipancarkan oleh keraton istana, apalagi kalau sumber yang menciptakan adalah raja, akan dianut oleh para kawula bukan saja yang ada di bawah naungan kerajaan melainkan menyebar luas ke daerah-daerah yang dipancarkan commit to user 32 Menurut Moedjanto 1987, dalam segala persoalan, raja memiliki kekuasaan tertinggi sehingga tergambarkan kekuasaan itu sentralistik tidak terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal serta tidak mampu menandingi diungkapkan dalam bahasa Jawa, endi ana surya kembar, berarti tidak membenarkan adanya kekuasaan lain yang sederajat dengannya Mari, 1995. Menurut Wirodiningrat, ada tujuh pengertian makna keraton atau saptaweda : 1 Keraton berati kerajaan. 2 Keraton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan dan magischreligieus. 3 Keraton berarti penjelmaan wahyu nurbuwat dan oleh sebab itu menjadi pepunden dalam kajawen. 4 Keraton berarti istana, kedaton atau datulaya. 5 Bentuk bangunan keraton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. 6 Keraton sebagai cultuur historische instelling atau lembaga sejarah kebudayaan yang menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. 7 Keraton sebagai badan juridische instellingen, artinya keraton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah kekuasaan sebagai dinasti Ageng Pangestu Rama, 2007: 344-345. Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Yakni dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik atau oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawi Koentjaraningrat, 1984:310. Agami Jawi Kejawen merupakan bentuk agama Islam orang Jawa yang merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Maksudnya orang Jawa dari golongan ini selain yakin akan adanya Allah, Nabi Muhammad sebagai nabi-Nya, sadar orang yang baik jalan hidupnya akan commit to user 33 naik ke surga minggah suargi dan sebaliknya jika berbuat dosa akan dibuang ke neraka. Mereka tahu akan adanya Kitab Al-qur’an dan Hadist sebagai pedoman hidup, namun mereka juga yakin pada konsep-konsep keagamaan lain, pada makhluk-makhluk ghaib, serta kekuatan sakti dan mereka juga melakukan berbagai ritus dan upacara keagamaan yang tidak ada atau sangat sedikit sangkut- pautnya dengan doktrin-doktrin agama Islam yang resmi. Seterusnya Koentjaraningrat mengatakan bahwa ”Para pujangga dan cendekiawan keraton Mataram yang berusaha menjaga kelestarian peradaban Jawa Hindu-Budha kuno itu, dengan demikian dihadapkan suatu agama Islam sinkretik yang berasal dari daerah pedesaan ....” Koentjaraningrat, 1994:312. Munculnya Islam sinkretik menurut Kuntowijoyo 1987, menyatakan bahwa dalam penyiaran Islam para wali banyak memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap tradisi yang sudah berlaku di masyarakat. Hal demikian merupakan usaha para penyebar agama Islam para wali agar Islam dapat diterima oleh masyarakat tanpa harus ada gesekan antara kedua tradisi Hindu- Jawa yang dapat mempengaruhi kestabilan kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. Sebagai agama resmi kerajaan, Islam yang dikembangkan lebih banyak muncul melalui media seni budaya. Seni yang begitu dominan dalam proses keagamaan di kerajaan Hindu, akhirnya mendominasi pula proses ritualisme Islam. Tari-tarian yang selama masa Hindu sering dikaitkan prosesi ritual atau keagaman, dan dikembangkan pula pada jaman Islam. Contohnya, tari Bedhaya Ketawang atau musik gendhing seperti Gadung Melati juga gamelan pada acara sekaten yang dianggap sakral merupakan bukti bahwa dalam masa kerajaan Islam, seni budaya tidak lepas dari prosesi keagamaan. Setelah Mataram berhasil mematahkan perlawanan para penguasa lokal pesisiran yang mendapat dukungan masyarakat pesantren, akhirnya timbul masalah baru bagaimana menciptakan stabilitas bagi pemerintahan Mataram. Yakni bagaimana menciptakan bentuk kebudayaan intelektual yang bisa mengurangi ketegangan antara lingkungan budaya pesantren dengan kejawen. Usaha ini dimulai dengan mengubah perhitungan tahun kabisat Saka, menjadi commit to user 34 tahun Jawa Sultan Agungan sesuai dengan tahun Hijriah yang didasarkan atas peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan kelender Hijriah, sedang hari Mingguan Islam dipertemukan dengan nama-nama hari kejawen, misalnya Senen Wage , Selasa Kliwon, dan seterusnya. Dengan demikian, perhitungan tahun Jawa ini bisa diterima dengan perasaan lega oleh masyarakat pesantren. Hanya untuk kepentingan berlangsungnya upacara-upacara kerajaan, tahun Jawa ini melestarikan tahun satu Saka sebagai awal tahun pertamanya, yaitu tahun 78 Masehi. Dengan demikian, peralihan perhitungan tahun Jawa ini tidak menimbulkan masalah di kalangan pendukung ilmu kejawen Simuh, 2003: 73- 74. Kebijakan yang mendorong keberhasilan retrukturisasi politik adalah kerajaan Mataram sebagai agen Islamisasi di Jawa, dan agama Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. M.C. Ricklefs, 1998:469-482. Dua kebijakan Sultan agung di atas bermakan: 1 keraton sebagai pusat pengkajian ilmu agama Islam M.C Ricklefs , 1998: xvii-xix, dengan melalui kebijakan itu Sultan Agung meraih dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan Abdurrahman Masud, 2004:55-58, 2 Islam merupakan alat politik untuk mengatasi persoalan sosio-budaya dan sosio-ekonomi yang sedang dihadapi Mataram. Dengan landasan itu, Sultan Agung berharap meraih legitimasi politik dari basis massa yang lebih luas Azyumardi Azra, 2004: 142-1430, 3 Islam yang dianut bercorak mistik atau sinkretik, sehingga Islamisasi di pedalaman Jawa bercorak sama. Hal ini merupakan konsekuensi dari masih bertahannya tradisi agama terdahulu Hindu-Budha, dan corak itu merupakan ‘arus bawah’ yang menjadi esensi kebudayaan mereka Niels Mulder, 1992:4-19. Sebagai pusat pengkajian ilmu agama Islam, di samping keraton Surakarta dibangun Masjid Agung dengan dalih untuk memusatkan segala aktivitas keagamaan rakyat di dalam masjid Agung. Usaha yang dilakukan pihak keraton tersebut merupakan usaha untuk mendatangkan basis massa dari rakyat untuk melakukan legitimasi politik. Melalui bangunan keagamaan dan perekonomian pasar dan alun-alun di sekeliling keraton akan menjadi daya tarik bagi kawula untuk menempatkan keraton sebagai pusat untuk memenuhi segala kebutuhan commit to user 35 sehari-hari baik dari segi religius, sosial, budaya maupun ekonomi. Sedangkan usaha yang dilakukan Sultan Agung untuk memadukan antara budaya hinduisme dengan budaya lokal Jawa merupakan usaha untuk mencapai suatu integritas sosial yang berpedoman untuk menciptakan budaya yang bersifat kearifan lokal. Karena prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Koentjaraningrat mengutip dari hasil penelitian tentang literatur Jawa, yaitu Pigeaud. Ia mengatakan: Menurut Pigeaud keyakinan akan sifat keramat dari kesembilan orang guru agama tadi agaknya mulai berkembang dalam abad ke-17.... Para penyiar agama yang dalam legenda-legenda rakyat digambarkan sebagai suatu kelompok yang sezaman, terdiri dari orang-orang saleh, berjumlah delapan atau sembilan orang. Angka sembilan itu mungkin disebabkan karena adanya konsep Hindu-Budha Jawa mengenai delappan dewa Lokapala yang menjaga kedelapan sudut dari alam semesta, dengan seorang lagi yang berda di pusatnya .... Gagasan ini sampai kini masih berlaku dalam konsep Debata Nawa Sanga , yakni konsep mengenai sembilan dewa dalam agama Hindu Dharma di Bali Koentjaraningrat, 1994: 325-326. Dari kutipan di atas nampak bagi priyayi Jawa peralihan agama bukanlah masalah yang mendasar, tetapi yang terpenting adalah melestarikan tradisi budaya kejawen yang tidak menimbulkan benturan diantara keduanya. Sebab, budaya intelektual kejawen yang bersifat hinduistik merupakan sendi kebesaran sebuah kerajaan di Jawa, khususnya di keraton Surakarta. 2. Kehidupan Keagamaan Keraton Surakarta Masa Paku Buwana IV 1788-1820 Kasunanan Surakarta yang berdiri akibat peristiwa palihan nagari tahun 1755 merupakan salah satu kerajaan penerus tahta Mataram. Posisi Kasunanan sebagai penerus tahta Mataram menjadikan Kasunanan Surakarta mewarisi sifat- sifat Mataram, baik dilihat dari segi struktur birokrasi, struktur masyarakat, perekonomian, maupun tradisi. Struktur birokrasi Kasunanan yakni tetap commit to user 36 menunjukkan kelanjutan birokrasi Mataram yang bersifat patrimonial dan konsentris . Sifat birokrasi seperti ini meletakkan Sunan atau raja di puncak hierarki dan dipandang sakral karena mempunyai kasekten. Keraton sebagai tempat tinggal Sunan dan keluarganya menjadi pusat segala-galanya dan penyelenggaraan negara tidak lain merupakan perluasan rumah tangga pribadi Sunan. Semuanya mempunyai sifat konsentris yang memusat pada Sunan. Raja dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari konsep spiritual yang berasal dari kultur India, yaitu kepercayaan adanya kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Menurut kepercayaan itu manusia selalu berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber penjuru mata angin, pada bintang-bintang, dan pada planet-planet. Tenaga itu dapat menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi juga sebaliknya, dapat membawa kehancuran. Hasil dari tenaga yang diperoleh itu tergantung pada kemampuan atau tidaknya individu atau kelompok-kelompok masyarakat, terutama raja, dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagat raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagat raya dapat dicapai dengan cara menyusun kerajaan itu sebagai jagat raya dalam bentuk kecil Darsiti Soeratman, 1989: 4. Ibu kota atau kota istana tidak hanya merupakan pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga sebagai pusat magis bagi kerajaan. Berhubung jagat raya, yang menurut kosmologi Brahma atau Budhis berpusat di Gunung Meru, maka kerajaan, yang merupakan jagat kecil harus pula memiliki Gunung Meru pada pusat kotanya, dan Gunung Meru di pusat kota ini akan menjadi pusat magis bagi kerajaan. Raja sering diibaratkan sebagai Dewa atau bahkan Tuhan yang memiliki kekuasaan, kesaktian dan kebijaksanaan yang sangat sempurna mistik dan mitologi Maharsi, 2001:107. Kesempurnaan ini diperoleh melalui berbagai cara, yang paling umum adalah memakai lelaku dan membangun kepercayaan rakyat. Selain itu, kewibawaan raja diperbesar dengan adanya benda-benda pusaka keraton yang dianggap keramat sehingga menempatkan raja tidak hanya sebagai manusia biasa, tetapi manusia yang mempunyai kemampuan dan kekuatan di atas kodrat Nugroho Notosusanto dkk, 1977: 17. commit to user 37 Kekuatan adikodrati tersebut disimbolkan untuk memperkuat pengaruh kekuasaan, sehingga dalam kebudayaan Jawa yang sarat simbol penuh tata krama dan sangat menghormati pemimpinnya Musa Asyari, 1996: 212. Maksudnya dari kekuatan adikodrati, yakni menuntut penghormatan tulus terhadap pemimpin atau raja yang hampir setarap dengan penghormatan terhadap Tuhan. Negara kosmis erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa, yaitu beranggapan bahwa raja adalah titisan atau keturunan dewa. Konsep raja- dewa atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan Islam tidak menempatkan raja pada kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai Khalifatullah, sebagai wakil Tuhan di dunia. Namun demikian, penurunan kedudukan ini tidak mengubah kekuasaan raja terhadap rakyatnya Darsiti Soertatman, 1989:4. Suatu cerminan hubungan patron-client relation ship yang dalam bahasa politik kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling Kawula Gusti M.C. Ricklefs, 1974. Keraton bagi orang Jawa mempunyai makna yang dalam. Orang Jawa menganggap Keraton sebagai pusat kosmos. Permasalahan yang ada di keraton tidak dapat di pisahkan dari persoalan legitimasi kekuasaan raja. Kekuasaan tradisional Jawa dengan konsep negara gung sebagai pusat kosmologis pemerintahan, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung, memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan raja terhadap kerabat dan rakyatnya. Ratu-binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah, wahyu kukumah, dan wahyu wilayah. Yang dimaksud dengan wahyu nubuah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan; wahyu kukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wewenang murbamisesa, artinya menguasai dan bertindak dengan kekerasan; kedudukannya sebagai sang bawisesa ini mengakibatkan raja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan segala keputusannya tidak boleh ditentang, karena dianggap sebagai kehendak Tuhan. Wahyu wilayah, yang melengkapi dua macam wahyu yang telah disebut di atas, memberi pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya. Dengan perkataan lain kekuasaan seorang raja yang tidak commit to user 38 terbatas itu harus diimbangi dengan tindakan memberi perlindungan kepada rakyatnya. Seperti dijelaskan dalam pupuh Megatruh: 13-14, sebagai berikut: Tan mangkono etunge kang sampun weruh, mapan ta datan denpikir, ganjaran pan wis karuhun, among naur sihing gusti, winales ing lair batos Setya tuhu saparentahe pan manut, ywa lenggana karseng gusti, wong ngawula pamanipun, lir sarah munggeng jaladri, darma lumaku sapakon Setia dalam segala perintah dan taat menyadari kehendak raja orang mengabdi misalnya seperti sampah dalam air menurut saja segala perintah Sedangkan untung malang atau luhur hina itu memang sudah digariskan dalam dirimu jangan suka marah-marah kepada raja yang memimpinmu. Dari kutipan Pupuh Megatruh 13-14 diatas, mencontohkan perumpamaan orang yang mengabdi kepada raja seperti sampah yang patuh terhadap apa saja yang dikehendaki raja dan apabila tidak sesuai dengan keinginan, maka hal itu adalah takdir dan tidak boleh mara-marah kepada raja. Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, shalat Jum’at, mengharamkan minuman keras dan candu, sudah terlihat sejak usia muda dan masih berstatus sebagai putra mahkota Supariadi, 2001:191. Sebagai tanda bahwa raja beragama Islam, dipergunakan sebutan Sampeyan Dalam Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Hingkang Kaping IV Ngabdulrakman Sayidin Panata Gama . Sebab ajaran-ajarannya pun tidak bisa terlepas dari ajaran agama Islam dalam serat Wulang Reh Ageng Pangestu Rama, 2007:354. Ditinjau dari Serat wulang Reh bahwa: ”Paku Buwana IV adalah seorang raja di Surakarta, pemerintahan berbentuk kerajaan. Berlakunya ajaran-ajaran Islam sebagai agama raja. Kegemarannya dalam menimba ilmu agama dari kyai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam”. Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang Putri, Wulang Tatakrama, Wulang Sunu, Wulang dalem, dan Wulang Brata Sunu. commit to user 39 Sebagian besar isi serat piwulang Sunan Paku Buwana IV disesuaikan dengan ajaran agama Islam, yaitu Al-Qur-an dan Hadits. Semua ini menunjukkan bahwa Sunan Paku Buwana IV memang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sangat dalam tentang ajaran agama Islam, sehingga mendapat sebutan sebagai ratu ambeg wali mukmin pemimpin agama Darusuprapto, 1992:25-27. Serat Piwulang Sunan Paku Buwana IV dilihat dari isinya menunjukkan warna keislaman yang dalam. Nasehat-nasehat yang dikemukakan, sebagian besar diambil dari ajaran agama Islam. Dari ajaran agama Islam disarikan dan digubah dalam bentuk tembang, sehingga masyarakat Jawa akan mudah memahami. Hal ini menunjukkan Sunan Paku Buwana IV memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran agama Islam. Serat Piwulang Sunan Paku Buwana IV lebih menekankan pada ajaran moral dan etika, dalam arti berusaha memperbaiki akhlak berdasarkan pada syariat agama Islam. Penekanan pada ajaran syariat Islam dapat dilihat dari dasar nasehat yang dikembalikan pada Al-Qur’an dan Hadist. Salah satu bait pemikiran Paku Buwana IV yang mengemukakan betapa pentingnya ajaran Al-quran di dalam Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggula: 3, sebagai berikut : Jroning Quran ana rasa jati, nanging pilih manungsa weruha, kajaba lan daulate, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundhak kalunta-lunta, temah sasar-susur, yen sira hayun waskhita, sampurnane ing badanira punika, lah sira gurokna. Dalam al-Qur’an terletak ajaran kebenaran hakiki, Tetapi tidak sembarangan orang dapat mengetahui, Kecuali yang mendapat petunjuk Tuhan, Untuk itu tidak boleh dipelajari asal-asalan, Sebab nantinya pasti tidak akan berhasil, Apabila terlanjur salah jalan, Akibatnya akan tersesat, Jika kamu benar-benar ingin mengetahui, Hakekat kesempurnaan hidup, Kamu harus belajar pada seorang guru. Kutipan bait-bait serat diatas menjelaskan bahwa Sunan Paku Buwana IV meletakkan dasar nasehatnya pada ajaran al-Qur’an. Dalam pandangannya, seorang yang ingin hidupnya tidak tersesak dan tercela, maka Al-Qur’an haruslah menjadikan pedoman. Al-qur’an dan Hadits merupakan pedoman bagi umat Islam. Dalam Al- Qur’an surat Toha ayat 2 menerangkan bahwa “Kami tidak menurunkan Al commit to user 40 Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari firman Allah tersebut menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an, akan dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan. Serat Wulang Reh merupakan hasil karya sastra Sunan Paku Buwana IV pada tahun 1735 Jawa tata guna awareng nata, bertepatan pada tahun Masehi 1808. menurut cerita tutur yang hingga kini masih dipercaya oleh masyarakat Wanareja Bekonang, penyusunan Serat Wulang Reh dilakukan di masjid Wanareja. Serat Wulang Reh merupakan buku pedoman untuk putra-putra Sunan, agar mereka selalu ingat akan adanya gejala-gejala kemerosotan moral pada saat memegang tampuk pemerintahan. Wulang artinya ajar, Reh artinya perintah. Jadi Wulang Reh artinya, ajaran dalam memerintah. Buku Wulang Reh berbentuk Sekar Mocopat, yang terdiri dari sekar-sekar: Dangdanggula, Kinanti, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Megatruh, Durmo, Pucung, Mijil, Asmorodona, Sinom, dan ditambah dua sekar yaitu Wiranggrong dan Girisa Ageng Pangestu Rama, 2007:353-354. Jadi apabila semua tingkah laku dan cara berpikir dianggap menyimpang dari adat istiadat dan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan, maka perlu adanya pegangan hidup yang seharusnya. Sunan Paku Buwana IV menginginkan Serat Piwulang digunakan sebagai pedoman dalam bertingkah laku dan beretika dalam hidup. Ajaran etika dalam Serat Wulang Reh menganggap etika itu otonom dan berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah. Sehingga nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadar dapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengurangi makan dan tidur, segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prasyarat menguasai dunia batin secara bertahap. Ajaran etikanya tetap bersumber pada etika Jawa dengan mengacu pada tokoh-tokoh leluhur dinasti Mataram Ki Ageng Tarub, Panembahan Senapati dan commit to user 41 Sultan Agung. Begitu juga larangan-larangan yang disebutkan adalah larangan- larangan yang berasal dari leluhur dinasti Mataram. Hubungan sosial masih berpegang pada sifat tradisional dengan urutan berdasarkan usia, pangkat, kekayaan, dan kekerabatan. Konflik terbuka sedapat mungkin dihindari. Dunia lahir yang ideal adalah dunia yang seimbang dan selaras, seperti keseimbangan dan keselarasan lahir dan batin. Hidup orang tidak akan mempunyai cacat dan cela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Mengurangi makan dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadaan batin http:heritageofjava.comportalarticle.php?story=20090309203212387 diunduh minggu, 5 Juni 2011 pukul 08.07 WIB. Selain kewaspadaan batin juga dihindari watak yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung dan adiguna. Sebaliknya seseorang itu haruslah memelihara watak “reh” bersabar hati dan “ririh” tidak tergesa-gesa dan berhati- hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus dihindari, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi. Jika batinnya telah waspada, tingkah lakunya harus sopan, tingkah laku sopan itu ialah tingkah laku yang : 1. Deduga, artinya dipertimbangkan masak-masak sebelum melangkah. 2. Prayoga, artinya dipertimbangkan baik buruknya. 3. Watara, artinya dipikir masak-masak sebelum memberi keputusan. 4. Reringa, artinya sebelum yakin benar akan keputusan itu. Ada lima hal yang harus dan wajib dihormati yaitu : Ayah dan Ibu, Mertua Laki-laki dan Perempuan, Saudara laki- laki yang tertua, Guru dan raja. Pesan dan harapan penggubah kepada anak cucu meliputi : a. Patuh lahir dan batin terhadap nasehat orang tua b. Jangan berpuas diri atas nasib yang diterima. c. Bertanya kepada alim ulama mengenai soal-soal agama dan Al Quran. d. Bertanya kepada sarjana atau orang pandai mengenai sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan hidup. e. Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi suri teladan dan berisi cerita-cerita yang baik. f. bertanya kepada orang-orang tua tentang cara membedakan tingkah laku yang baik dan buruk, yang hina dan yang terpuji, yang rendah dan yang tinggi. commit to user 42 Berkaitan dengan pencarian guru, dalam serat Wulang Reh memberikan gambaran tentang figur guru yang baik guru utama, Pupuh Dandanggula: 4, sebagai berikut: Nanging yen sira nggugiru kaki, Amiliha manungsa kang nyata, Ingkang becik martabate, Sarta kang wruh ing kukum, Kang ngibadah lan kang wirangi, Sokur oleh kang tapa, Ingkang wus amungkul, Tan mikir pawewehing liyan, Iku pantes sira guronana kaki, Sartane kawruhana . Tetapi jika kamu berguru, pilihlah orang yang sudah nyata ilmunya, yang baik martabatnya, serta tau tentang hukum agama, yang ahli beribadah dan meninggalkan segala dosa, syukur jika mendapatkan seorang bertapa, yang sudah tidak terpengaruh kehidupan dunia, dan tidak memikirkan pemberian orang lain, orang seperti inilah yang pantas dijadikan guru, karena memenuhi pesyaratan. Gambaran guru yang diberikan dalam Serat Wulang Reh di atas mengarah pada figur yang taat terhadap ajaran syariat Islam. Sunan Paku Buwana IV menyadari bahwa pada masa itu banyak orang yang mengangkat dirinya menjadi guru dan mengajar ilmu kesempurnaan mistik atau kebatinan Jawa. Bagi Sunan Paku Buwana IV membecarakan tentang ilmu kesempurnaan haruslah didasarkan pada dalil ajaran al-qur’andan Hadits sabda Rosul, ijma kesepakatan para ulama besar, dan kiyas alasan yang berdasarkan perbandingan atau persamaan tentang hukum Islam. Apabila ada orang yang mengajarkan ilmu kesempurnaan tanpa didasarkan keempat hukum agama ini, khususnya Al-qur’an dan Hadits, maka kebenarannya perlu disangsikan Darusuprapto, 1992:49. Melalui karya sastra serat Wulang Reh inilah Paku Buwana IV menuangkan idealismenya dalam kehidupan keagamaan yang ada di keraton Surakarta. Karena karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi kepada orang-orang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized motivations , yaitu suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat yang memerlukan penanaman kerja kepada mereka… cara ini dapat bertahan sepanjang kesadaran itu muncul dari niat yang tulus Inu Kencana Syafi’i, 1997:60. commit to user 43

B. Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di Keraton