commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedatangan Islam pertama-tama di Jawa tidak diketahui dengan pasti dan sulit diteliti, karena kurangnya sumber data yang mendukung. Bukti-bukti proses
Islamisasi baru dapat diketahui lebih banyak sejak akhir abad ke-13 hingga abad berikutnya. Pada waktu itu kebudayaan spiritual orang Jawa telah menyerap
pikiran Hindu dan Budha Mahayana paling sedikit selama seribu tahun MC.Ricklefs, 1984: 14.
Islam yang datang dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang dipengaruhi oleh ajaran mistik, yaitu Islam Sufi bukan Islam Sunni yang syar’i.
Islam Sufi mempunyai dasar pemikiran yang sejajar dengan religi asli animisme dan dinamisme. Ajaran budaya Hindu-Kejawen yang dikembangkan oleh
kerajaan-kerajaan Jawa pedalaman juga bersifat mistik, sehingga dasar pemikirannya sejalan dengan Islam Sufi. Dasar pemikiran tersebut adalah manusia
bisa menjalin hubungan langsung dengan daya-daya dan roh-roh gaib. Bahkan dalam mistik samadi atau perantaraan dzikir manusia bisa dikatakan makrifat
berhadapan dengan Allah atau bahkan bisa mengalami manunggal bersatu kembali dengan Tuhan-nya Simuh, 2000: 9.
Ajaran-ajaran Islam Sufi kemudian berakulturasi dengan ajaran-ajaran kebudayaan Jawa asli dan kebudayan Hindu-Kejawen, sehingga terbentuk Islam
Kejawen. Di Indonesia pemeluk agama Islam merupakan golongan mayoritas. Dalam masa perkembangan agama Islam di Jawa muncul aliran yang mengarah
ke agama Islam Kejawen, yaitu agama Islam hasil sinkretisme dari paham ajaran Hindu dan Islam. Proses Pengislaman Kejawen ini sudah berlangsung sejak masa
Kesultanan Demak Rustopo, 2007: 28-29. Pada akhir abad ke-18 hampir seluruh pulau Jawa secara resmi beragama
Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Pusat Islam yang paling sadar adalah kota-kota pesisir utara, di situlah titik berat kebudayaan santri. Kebudayaan santri
berhadapan dengan kebudayaan Keraton dan pedalaman Jawa. Keraton-keraton
commit to user
2
secara resmi memeluk agama Islam, namun dalam gaya kehidupan pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol Franz Magnis, 2001: 31.
Peran ulama dalam Islamisasi juga bisa dilihat dalam sejarah Jawa. Lebih dari sekedar mengislamkan raja, ulama di Jawa sekaligus sebagai raja. Kisah
legenda walisongo, sembilan orang wali ulama yang diyakini paling berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-15 adalah penguasa di wilayah-
wilayah pantai Utara Jawa yang memang tengah berkembang menjadi kota-kota dagang Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi, 2003:3.
Taufik Abdullah 1987:119 mengatakan bahwa ”Islamisasi telah mencapai suatu proses konsolidasi politik yang lebih lanjut, dimana dagang,
kekuasaan, dan agama telah terintegrasikan”. Maksudnya susunan kekuasaan yang dibangun bukanlah lagi semata-mata kekuatan dagang, melainkan juga kekuatan
politik dan agama. Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki akar sejarah
yang sangat panjang, yakni sejak pertamakali Islam disebarkan di kepulauan nusantara pada abad ke-13 dan 14 Masehi. Sepanjang perjalannnya tersebut, Islam
terlibat dalam masalah-masalah politik. Pada masa ini politik Islam memperoleh bentuknya yang sangat nyata. Di bawah pengaruh kekuatan kolonialisme Barat
yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi dan budaya, kekuatan Islam yang laten dan tidak pernah mau tertundukkan dalam posisi tersudut, lebih
tertransformasi ke dalam bentuk politik dan ideologi. Dalam hal ini, bukan saja pemimpin-pemimpin Islam tingkat lokal yang merupakan lawan utama serta
simbol perjuangan melawan penjajah. Namun di atas itu semua, Islam memiliki kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang segera dapat ditransformasi atau
direkonstruksi menjadi ideologi dan keyakinan politik, tanpa harus meminjam kepada ideologi manapun.
Islam juga mencoba untuk menjembatani berbagai partikularisme kesukuan dan daerah, dengan melakukan persatuan Islam. Dalam konteks ini,
Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi politik, sehingga menimbulkan kekuatan politik luar biasa. Seperti yang
diwujudkan dalam gerakan Sabilillah, Perang Jihad dan sebagainya.
commit to user
3
Perjuangan kaum Islam di Nusantara melawan penjajah Belanda dapat
dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, oposisi atau perlawanan yang dipimpin para Sultan. Fase kedua, perlawanan yang dipimpin para bangsawan keraton. Fase
ketiga, perlawanan yang dipimpin para pemuka agama ulama. Perang Diponegoro 1825-1830, perang Banjarmasin 1858, dan Perang Aceh akhir
abad ke-19 dan awal abad 20 merupakan bentuk nyata perlawanan terhadap penguasa Belanda, meskipun Islam bukan satu-satunya alasan. Dengan
mengibarkan bendera Islam dan mengobarkan perang suci jihad, Islam semakin memperoleh peran dalam sejarah politik di Indonesia Faisal Bakti, 1993:53-54.
Kasunanan Surakarta secara formal memang merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya
jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi
yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur
Urusan Agama oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara keraton yang juga mencerminkan sifat Islami,
seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar Darsiti Soeratman, 1989:139.
Nuansa keislaman telah mewarnai simbol-simbol budaya keraton Kasunanan Surakarta, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan
masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik, berbagai kepercayaan pra Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada
makhluk halus, dan upacara ritual pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagaman masyarakat keraton. Akhirnya
menjadi ciri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawa Koentjaraningrat, 1956: 310.
Sifat Sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keraton sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi di pedalaman Jawa itu
sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman Jawa tidaklah dalam bentuk murni yang mementingkan hukum syariah, namun lebih banyak bercampur dengan
sufisme atau mistik Islam H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, 1985: 256-275.
commit to user
4
Penekanan pada unsur mistik atau sufisme pada awal penyebaran Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebarnya, seperti Sunan
Kalijaga dan Sunan Pandanaran J.J. Raas, 1987: 56-60. Kedua tokoh penyebaran agama Islam ini memang mempunyai warna sufisme yang kental karena ingin
menyesuaikan Islam dengan alam pemikiran masyarakat pedalaman Jawa. Oleh karena tekanannya pada tasawuf, maka proses Islamisasi di pedalaman Jawa tidak
mengalami hambatan yang berarti. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa kesamaan antara pandangan dunia tradisional Jawa dan ajaran mistik atau tasawuf
Islam. Keharmonisan pola integrasi agama Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat
dari pandangan masyarakat Jawa terhadap para wali dan kyai penganjur agama Islam. Mereka tidak saja dianggap sebagai penyebar agama, melainkan juga
dianggap sebagai penjaga budaya Jawa. Masyarakat Jawa bahkan percaya bahwa kesenian Wayang dan Gamelan merupakan sebagai puncak budaya Jawa
merupakan karya para wali Solochin Salam,1975. Ciri sufisme atau mistik Islam dengan demikian telah menemukan kecocokannya dalam pandangan dunia
tradisional Jawa sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan penyebaran agama Islam.
Sultan Agung berhasil meletakkan simbol Islam dalam sistem politik,
terlihat bahwa Sultan Agung untuk membuat kerjasama dengan birokrasi non- sarjana Muslim. Ide Sultan Agung adalah bahwa Muslim sarjana non-birokrasi
dimanfaatkan untuk menghubungkan perbedaan politik antara Sultan Agung dan bupati setelah invasi ke Batavia. Setelah kematian Sultan Agung, Amangkurat I
1645-1677 dan Amangkrat II 1677-1703 mulai dekonstruksi sistem politik Mataram. Maksudnya, politik keagamaan religio-polical power yang dibangun
oleh Sultan Agung, telah ditinggalkan oleh raja penerusnya dengan memilih sistem sekularisme, sebagai upaya untuk mepertahankan perlengkapan magis-
religius dari pengaruh Islam.
Amangkurat I membunuh ulama dan santri siswa di sekolah Islam tradisional di alun-alun kota Pleret Karel A. Steenbrink, 1984 : 29-31.
Sedangkan Amangkurat II dan para penguasa berikutnya tidak membutuhkan
commit to user
5
legitimasi politik dari ulama dan pesantren tradisional Muslim sekolah,
meskipun pesantren yang mewakili basis massa dan memiliki ikatan perkawinan dengan Mataram Soemarsaid Moertono, 1985 : 37-39.
Raja yang sukses harus menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan di dalam kerajaannya tanpa mengurangi otonomi esensial mereka.
Bahkan suatu oposisi yang relative kecil jika tidak segera ditumpas, mungkin pada akhirnya akan membawa pada keruntuhan total kekuasaan raja. Tiap raja yang
memerintah merasa berkewajiban untuk mengemban misi memperkuat dinasti, sebab bilamana usahanya berhasil, maka itu sekaligus akan dapat memperkuat
kedudukannya sendiri di dalam dinasti. Para anggota dinasti Mataram akan hormat kepada raja yang sedang memerintah bila ia berhasil membuat dinasti itu
jaya. Sebaliknya, kalau ia gagal mengemban misi, ia akan ditentang oleh sesama anggota dinasti Mataram sendiri.
Bangsawan dan keraton adalah satu kesatuan integral yang saling menguatkan kebangsawanan tidak akan berarti secara politis kalau ia tidak
dikokohkan oleh keraton. Bangsawan yang tidak memiliki keraton akan mengalami kemerosotan status social. Demikian pula dengan keraton tidak akan
bisa menjadi institusi penting kalau tidak diperkuat oleh keterampilan politik dari bangsawan yang setiap saat dengan daya kreasi mereka akan meningkatkan
“kewibawaan” keraton Ari Dwipayana, 2004 : 245. Perseteruan, intrik dan bahkan konflik dalam pergantian kekuasaan selalu
menyertai pergantian dalam sejarah Kerajaan di Jawa. Raja yang baru bertahta selalu merasa terancam kedudukannya. Kekuasaan dianggap menjadi sesuatu
yang harus utuh dan bulat, tidak boleh tersaingi, terkotak-kotak ataupun terbagi- bagi dengan orang lain. Keterlibatan Belanda dalam urusan-urusan Kesultanan
Mataram mencapai tahapnya yang kritis pada tahun 1740. Belanda tidaklah secara konsekuen melaksanakan politik devide et empera di Mataram seperti halnya yang
mereka lakukan di Ternate dan Tidore. Percecokan dalam negeri antar keluarga- keluarga kerajaan membuat setiap usaha Belanda untuk mengukuhkan sultan
menjadi lenyap dan khayal C.R. Boxer, 1983:102.
commit to user
6
Di keraton Surakarta masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan Paku Buwana III secara umum, berbagai persengkokolan istana,
dan perilaku pejabat-pejabat VOC mulai mengancam keamanan dan stabilitas istana, Pihak Belanda sepenuhnya mempercayai kesetiaan Paku Buwana III, tetapi
mencemaskan kondisi kerajaan yang nyata-nyata lemah M.C Ricklefs, 2002:
228. Paku Buwana III merasa sangat takut melukai perasaan VOC dan mudah terpengaruh oleh VOC sesungguhnya, ia mudah sekali dipengaruhi oleh hampir
semua orang. Pada tahun 1788 Paku Buwana III wafat dan kedudukannya sebagai
Susuhunan Surakarta digantikan oleh putranya yang baru berusia 19 tahun, Paku Buwana IV 1788-1820. Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat
Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam
menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat jumat, mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda ketika
masih berstatus sebagai putra mahkota. Kegemaran Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah
mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Adakalanya kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga
tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya. Pada awal tahun 1789, Paku Buwana IV mulai mengangkat kelompok
baru yang disenangi untuk menjadi pejabat-pejabat tinggi. Orang-orang ini menganut ide-ide keagamaan yang ditentang oleh hierarki keagamaan yang sudah
mapan di Surakarta. Pengangkatan ulama bernama Bahman, Nur Saleh, Wiradigda menjadi guru rohani keraton Surakarta. Pengaruh dan kekuasaan para
ulama tadi sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tindakan Paku Buwana IV mengganti dua temenggung yaitu Mangkuyuda dan Pringgalaya,
diganti oleh Wiradigda dan Sujana Pura Serat Tus Pajang, 1935:56. Setiap kerajaan melakukan konsolidasi, apakah itu bersifat internal
maupun eksternal. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem kinasih abdi dalem kepercayaan merupakan upaya konsolidasi yang dilakukan oleh Paku
commit to user
7
Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam birokrasi
kerajaannya. Paradigma Din-Dawlah merupakan keterkaitan antara agama dan negara. Agama kebutuhan negara, karena melalui negara, agama memiliki
kemampuan untuk memperluas, dan Islam norma-norma dan nilai-nilai dapat dibuat sebagai dasar etika dan juga politik moral.
Paku Buwana IV merupakan raja yang terkenal santri. Melalui pemikiran atas dasar agama, Paku Buwana IV ingin menyeimbangkan antara agama dan
politik dalam menjalankan birokrasi kerajaannya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis mengangkat suatu pokok penelitian dengan judul
”ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam”.
B. Rumusan Masalah