ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788 1820(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820
(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)
SKRIPSI
Oleh : SITI ZULAIHAH
K4407040
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
(2)
commit to user
ii
ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)
Oleh: SITI ZULAIHAH
NIM: K4407040
SKRIPSI
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
(3)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(4)
commit to user
(5)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Siti Zulaihah. K4407040. ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli. 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta pada tahun 1788-1820, (2) Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan yang ada di Keraton Surakarta tahun 1788-1820, (3) Dampak idealisme Paku Buwana IV di dalam pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman, terlihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Keraton menjadi pusat pengkajian ilmu agama Islam, oleh sebab itu raja meraih dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan. Islam yang diamut bercorak mistik atau sinkretik. Hal ini merupakan konsekuensi dari masih bertahannya tradisi agama terdahulu (Hindu-Budha), serta usaha untuk menghindari terjadinya gesekan antara dua tradisi (Hindu-Jawa) dengan terciptanya budaya kearifan lokal. (2) Raja dianggap sebagai pusat dari kekuatan alam (kosmos). Raja adalah wakil Tuhan (Kinarya Wakil Hyang Agung atau Sabda Pandeta Ratu), tidak boleh ditentang (absolut) , dibangkang apalagi diberontak. Idealisme tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan berwibawa di banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran) serta VOC dan para abdi dalem. Sifat raja menguasai, memegang teguh syarat agama, dan melaksanakan syariat. Raja adalah sebagai pemimpin umat, itulah sebabnya ia disebut sebagai Khalifatullah. (3) Akibat dari idealisme Paku Buwana IV yang meletakkan dasar agama Islam dan menempatkan para kyai ke dalam posisi sentral birokrasinya, maka Belanda melakukan pengepungan terhadap keraton Surakarta. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1790 disebut dengan peristiwa Pakepung. Keraton Surakarta dikepung oleh tentara gabungan yang terdiri atas tentara Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran dan Belanda karena pengaruh dan kekuasaan para ulama yang besar dalam sistem pemerintahan keraton Surakarta yang diusung Paku Buwana IV pada tahun 1788-1820.
(6)
commit to user
vi
ABSTRACT
Siti Zulaihah
. K4407040. ISLAMIZATION IN THE PALACE OF
SURAKARTA AN ANALYSIS (Islamic Political Thought of Paku
Buwana IV).
Thesis, Surakarta:
Faculty ofTeacher Training and
Education
, Sebelas Maret
University ofSurakarta,
July.2011.The purpose of this study was to determine
:
(1)A
religious life at the Surakarta Palace in the year 1788-1820, (2) Paku Buwana IV Idealism about religious life in Surakarta Palace in 1788-1820, (3) The impact of Paku Buwana IV idealism in the government of the palace of Surakarta in 1788-1820.This study uses historical methods. The steps of the methods include heuristics, criticism, interpretation and historiography. The data used primary sources and secondary sources. Data collection techniques using technique of literature study. The Analytical techniques was accuracy historical analysis which emphasizes on the sharpen in interpreting historical facts.
Based on the research results, it can be recognized some conclusious as the following: (1) Kasunanan Surakarta is characterized as an Islamic empire, seen from the position penghulu and abdi dalem ngulama in the royal bureaucracy, the existence of peradilan serambi based on the Islamic law and doctrine, the use of Sayidin Panatagama title (The leader is the leader it self and the Manager of Religious Affairs at the same time) by Sunan, and the establishment of the Great Mosque in the palace environment. The palace became the center of the study about Islamic religion, therefore, the king reached the moral support of the clergy as a form of coexistence. Islam which was held was mystical Islam or syncretic. This is a consequence of the persistence of the previous traditional religion (Hindu-Buddhist), and the effort to avoid friction between the two traditions (Hindu-Javanese) by the creation of local wisdom. (2) King is considered as the center of the forces of nature (cosmos). The king is the representative of God (Kinarya Wakil Hyang Agung or Sabda Pandeta Ratu), should not be challenged (absolute), moreover rebellious rebel. This idealism about the demands of compliance was carried out by Paku Buwana IV to achieve a higher level of power and authority than that of the other kings surrounding (Sultanate and Mangkunegaran) and the VOC also the abdi dalem. The characters of the king were mastering, upholding religious Shari'a, and implementing the Shari'a. The king was as the leader of the people, that is why he was referred to Khalifatullah. (3) As the impact of Paku Buwana IV idealism who laid the foundations of Islam and put the clerics into the position of the central bureaucracy, the Dutch sieged the Surakarta palace. This incident occurred in 1790 was called pakepung event. Surakarta palace was surrounded by an unified army consisting the soldiers of Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, and the Dutch because of the great influence and power of the clerics in the Surakarta palace government system carried by Paku Buwana IV in 1788-1820.
(7)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Bila Sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa. (Ahmad Mansur Suryanegara)
Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad Perhatikan sejarahmu untuk hari esok
(QS. Al-Hasyr : ayat 18)
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai….
(8)
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan:
1. Ibunda tercinta yang selalu mendoakan disetiap sujud dan tahajudnya.
2. Buat kakakku: mbak Kurni dan mas Dwi, mbak Rahma dan mas Danang serta adikku tersayang, Febriana.
3. Teman-teman Motivasi: Anjar, Mufti, Desi, Djoko, Fitri, Margi, Duwi, Miko, mbak Tutut, mbak Septi dan semuanya yang selalu memberi semangat.
4. Buat Nadia, mbak Puji, Bety, Wulan, Iis, Dian, Nora, mas Iben’z, mas Andi dan semua teman2 Hiscom’07 yang tak bisa disebutkan satu persatu terimakasih.
(9)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah...
Puji syukur penulis panjatkan ke Illahi rabbi, atas rahmat dan hidayah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan.
Banyak hambatan yang penulis hadapi dalam penyelesaikan penulisan skripsi ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi ijin penyusunan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan ijin penyusunan skripsi.
4. Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd. selaku Pembimbing I atas arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
5. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. selaku Pembimbing II atas arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
6. Staf dan serta karyawan Reksa Pustaka Mangkunegaran, perpustakaan Monumen Pers Surakarta, perpustakaan UIN Yogyakarta, perpustakaan UGM Yogyakarta, perpustakaan Pusat UNS, dan perpustakaan Program Studi Sejarah, yang membantu penulis dalam memperoleh sumber data.
7. Temen-teman di Program Studi Sejarah dan kawan-kawan LPM Motivasi. 8. Berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih ada kekurangan sehingga segala kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan.
(10)
commit to user
x
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK .. ...….. ... v
ABSTRACT . ... .... vi
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 9
1. Hinduisme ... . 9
2. Islamisasi ... 12
B. Kerangka Berfikir ... 19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
B. Metode Penelitian... . 22
C. Sumber Data ... 23
D. Teknik Pengumpulan Data ... 24
(11)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
F. Prosedur Penelitian ... 26
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820... 31 1. Islamisasi di Keraton Surakarta ... 31
2. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Masa Paku Buwana IV (1788-1820)... 35
B. Idealisme Paku Buwana IV dalam Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820... 43 C. Dampak Idealisme Paku Buwana IV dalam Pemerintahan Keraton Surakarta Tahun 1788-1720... 48
1. Pengaruh Islam Terhadap Pemerintahan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 ... 52
2. Munculnya Kritik Akibat Idealisme Paku Buwana IV Pada Masa Pemerintahannya ………...………. 56
3. Dampak Idealisme Paku Buwana Terhadap Pemerintahan di Keraton Surakarta ... 59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Implikasi ... 66
C. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
(12)
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Jawa Tahun 1760 ... 73
Lampiran 2. Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo... 74
Lampiran 3. Transkripsi Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo... 78
Lampiran 4. Artikel Joko Lodang... 79
Lampiran 5. Struktur Birokrasi ... 81
Lampiran 6. Foto ... 82
Lampiran 7. Serat Wicara Keras Pupuh Sinom ... 88
Lampiran 8. Transkripsi Serat Wicara Keras Pupuh Sinom ... 92
Lampiran 9. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ... 95
Lampiran 10. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ... 96
(13)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedatangan Islam pertama-tama di Jawa tidak diketahui dengan pasti dan sulit diteliti, karena kurangnya sumber data yang mendukung. Bukti-bukti proses Islamisasi baru dapat diketahui lebih banyak sejak akhir abad ke-13 hingga abad berikutnya. Pada waktu itu kebudayaan spiritual orang Jawa telah menyerap pikiran Hindu dan Budha Mahayana paling sedikit selama seribu tahun (MC.Ricklefs, 1984: 14).
Islam yang datang dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang dipengaruhi oleh ajaran mistik, yaitu Islam Sufi bukan Islam Sunni yang syar’i. Islam Sufi mempunyai dasar pemikiran yang sejajar dengan religi asli animisme dan dinamisme. Ajaran budaya Hindu-Kejawen yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan Jawa pedalaman juga bersifat mistik, sehingga dasar pemikirannya sejalan dengan Islam Sufi. Dasar pemikiran tersebut adalah manusia bisa menjalin hubungan langsung dengan daya-daya dan roh-roh gaib. Bahkan dalam mistik samadi atau perantaraan dzikir manusia bisa dikatakan makrifat (berhadapan dengan Allah) atau bahkan bisa mengalami manunggal (bersatu) kembali dengan Tuhan-nya (Simuh, 2000: 9).
Ajaran-ajaran Islam Sufi kemudian berakulturasi dengan ajaran-ajaran kebudayaan Jawa asli dan kebudayan Hindu-Kejawen, sehingga terbentuk Islam Kejawen. Di Indonesia pemeluk agama Islam merupakan golongan mayoritas. Dalam masa perkembangan agama Islam di Jawa muncul aliran yang mengarah ke agama Islam Kejawen, yaitu agama Islam hasil sinkretisme dari paham ajaran Hindu dan Islam. Proses Pengislaman Kejawen ini sudah berlangsung sejak masa Kesultanan Demak (Rustopo, 2007: 28-29).
Pada akhir abad ke-18 hampir seluruh pulau Jawa secara resmi beragama Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Pusat Islam yang paling sadar adalah kota-kota pesisir utara, di situlah titik berat kebudayaan santri. Kebudayaan santri berhadapan dengan kebudayaan Keraton dan pedalaman Jawa. Keraton-keraton
(14)
commit to user
secara resmi memeluk agama Islam, namun dalam gaya kehidupan pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol (Franz Magnis, 2001: 31).
Peran ulama dalam Islamisasi juga bisa dilihat dalam sejarah Jawa. Lebih dari sekedar mengislamkan raja, ulama di Jawa sekaligus sebagai raja. Kisah legenda walisongo, sembilan orang wali (ulama) yang diyakini paling berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-15 adalah penguasa di wilayah-wilayah pantai Utara Jawa yang memang tengah berkembang menjadi kota-kota dagang (Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi, 2003:3).
Taufik Abdullah (1987:119) mengatakan bahwa ”Islamisasi telah mencapai suatu proses konsolidasi politik yang lebih lanjut, dimana dagang, kekuasaan, dan agama telah terintegrasikan”. Maksudnya susunan kekuasaan yang dibangun bukanlah lagi semata-mata kekuatan dagang, melainkan juga kekuatan politik dan agama.
Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki akar sejarah
yang sangat panjang, yakni sejak pertamakali Islam disebarkan di kepulauan nusantara pada abad ke-13 dan 14 Masehi. Sepanjang perjalannnya tersebut, Islam terlibat dalam masalah-masalah politik. Pada masa ini politik Islam memperoleh bentuknya yang sangat nyata. Di bawah pengaruh kekuatan kolonialisme Barat yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi dan budaya, kekuatan Islam yang laten dan tidak pernah mau tertundukkan dalam posisi tersudut, lebih tertransformasi ke dalam bentuk politik dan ideologi. Dalam hal ini, bukan saja pemimpin-pemimpin Islam tingkat lokal yang merupakan lawan utama serta simbol perjuangan melawan penjajah. Namun di atas itu semua, Islam memiliki kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang segera dapat ditransformasi atau direkonstruksi menjadi ideologi dan keyakinan politik, tanpa harus meminjam kepada ideologi manapun.
Islam juga mencoba untuk menjembatani berbagai partikularisme kesukuan dan daerah, dengan melakukan persatuan Islam. Dalam konteks ini, Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi politik, sehingga menimbulkan kekuatan politik luar biasa. Seperti yang diwujudkan dalam gerakan Sabilillah, Perang Jihad dan sebagainya.
(15)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Perjuangan kaum Islam di Nusantara melawan penjajah Belanda dapat
dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, oposisi atau perlawanan yang dipimpin para Sultan. Fase kedua, perlawanan yang dipimpin para bangsawan keraton. Fase ketiga, perlawanan yang dipimpin para pemuka agama (ulama). Perang Diponegoro (1825-1830), perang Banjarmasin (1858), dan Perang Aceh (akhir abad ke-19 dan awal abad 20 ) merupakan bentuk nyata perlawanan terhadap penguasa Belanda, meskipun Islam bukan satu-satunya alasan. Dengan mengibarkan bendera Islam dan mengobarkan perang suci (jihad), Islam semakin memperoleh peran dalam sejarah politik di Indonesia (Faisal Bakti, 1993:53-54).
Kasunanan Surakarta secara formal memang merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya
jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya
peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan
gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur
Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara keraton yang juga mencerminkan sifat Islami,
seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar (Darsiti
Soeratman, 1989:139).
Nuansa keislaman telah mewarnai simbol-simbol budaya keraton Kasunanan Surakarta, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik, berbagai kepercayaan pra Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada makhluk halus, dan upacara ritual pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagaman masyarakat keraton. Akhirnya menjadi ciri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian
dikenal dengan istilah Agami Jawa (Koentjaraningrat, 1956: 310).
Sifat Sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keraton sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi di pedalaman Jawa itu sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman Jawa tidaklah dalam bentuk murni
yang mementingkan hukum syariah, namun lebih banyak bercampur dengan
(16)
commit to user
Penekanan pada unsur mistik atau sufisme pada awal penyebaran Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebarnya, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Pandanaran (J.J. Raas, 1987: 56-60). Kedua tokoh penyebaran agama Islam ini memang mempunyai warna sufisme yang kental karena ingin menyesuaikan Islam dengan alam pemikiran masyarakat pedalaman Jawa. Oleh karena tekanannya pada tasawuf, maka proses Islamisasi di pedalaman Jawa tidak mengalami hambatan yang berarti. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa kesamaan antara pandangan dunia tradisional Jawa dan ajaran mistik atau tasawuf Islam.
Keharmonisan pola integrasi agama Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat dari pandangan masyarakat Jawa terhadap para wali dan kyai penganjur agama Islam. Mereka tidak saja dianggap sebagai penyebar agama, melainkan juga dianggap sebagai penjaga budaya Jawa. Masyarakat Jawa bahkan percaya bahwa kesenian Wayang dan Gamelan merupakan sebagai puncak budaya Jawa merupakan karya para wali (Solochin Salam,1975). Ciri sufisme atau mistik Islam dengan demikian telah menemukan kecocokannya dalam pandangan dunia tradisional Jawa sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan penyebaran agama Islam.
Sultan Agung berhasil meletakkan simbol Islam dalam sistem politik,
terlihat bahwa Sultan Agung untuk membuat kerjasama dengan birokrasi non-sarjana Muslim. Ide Sultan Agung adalah bahwa Muslim non-sarjana non-birokrasi dimanfaatkan untuk menghubungkan perbedaan politik antara Sultan Agung dan bupati setelah invasi ke Batavia. Setelah kematian Sultan Agung, Amangkurat I (1645-1677) dan Amangkrat II (1677-1703) mulai dekonstruksi sistem politik
Mataram. Maksudnya, politik keagamaan (religio-polical power) yang dibangun
oleh Sultan Agung, telah ditinggalkan oleh raja penerusnya dengan memilih
sistem sekularisme, sebagai upaya untuk mepertahankan perlengkapan
magis-religius dari pengaruh Islam.
Amangkurat I membunuh ulama dan santri (siswa di sekolah Islam tradisional) di alun-alun kota Pleret (Karel A. Steenbrink, 1984 : 29-31). Sedangkan Amangkurat II dan para penguasa berikutnya tidak membutuhkan
(17)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
legitimasi politik dari ulama dan pesantren (tradisional Muslim sekolah),
meskipun pesantren yang mewakili basis massa dan memiliki ikatan perkawinan dengan Mataram (Soemarsaid Moertono, 1985 : 37-39).
Raja yang sukses harus menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan di dalam kerajaannya tanpa mengurangi otonomi esensial mereka. Bahkan suatu oposisi yang relative kecil jika tidak segera ditumpas, mungkin pada akhirnya akan membawa pada keruntuhan total kekuasaan raja. Tiap raja yang memerintah merasa berkewajiban untuk mengemban misi memperkuat dinasti, sebab bilamana usahanya berhasil, maka itu sekaligus akan dapat memperkuat kedudukannya sendiri di dalam dinasti. Para anggota dinasti Mataram akan hormat kepada raja yang sedang memerintah bila ia berhasil membuat dinasti itu jaya. Sebaliknya, kalau ia gagal mengemban misi, ia akan ditentang oleh sesama anggota dinasti Mataram sendiri.
Bangsawan dan keraton adalah satu kesatuan integral yang saling menguatkan kebangsawanan tidak akan berarti secara politis kalau ia tidak dikokohkan oleh keraton. Bangsawan yang tidak memiliki keraton akan mengalami kemerosotan status social. Demikian pula dengan keraton tidak akan bisa menjadi institusi penting kalau tidak diperkuat oleh keterampilan politik dari bangsawan yang setiap saat dengan daya kreasi mereka akan meningkatkan “kewibawaan” keraton (Ari Dwipayana, 2004 : 245).
Perseteruan, intrik dan bahkan konflik dalam pergantian kekuasaan selalu menyertai pergantian dalam sejarah Kerajaan di Jawa. Raja yang baru bertahta selalu merasa terancam kedudukannya. Kekuasaan dianggap menjadi sesuatu yang harus utuh dan bulat, tidak boleh tersaingi, terkotak-kotak ataupun terbagi-bagi dengan orang lain. Keterlibatan Belanda dalam urusan-urusan Kesultanan Mataram mencapai tahapnya yang kritis pada tahun 1740. Belanda tidaklah secara
konsekuen melaksanakan politik devide et empera di Mataram seperti halnya yang
mereka lakukan di Ternate dan Tidore. Percecokan dalam negeri antar keluarga-keluarga kerajaan membuat setiap usaha Belanda untuk mengukuhkan sultan menjadi lenyap dan khayal (C.R. Boxer, 1983:102).
(18)
commit to user
Di keraton Surakarta masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan Paku Buwana III secara umum, berbagai persengkokolan istana, dan perilaku pejabat-pejabat VOC mulai mengancam keamanan dan stabilitas istana, Pihak Belanda sepenuhnya mempercayai kesetiaan Paku Buwana III, tetapi mencemaskan kondisi kerajaan yang nyata-nyata lemah (M.C Ricklefs, 2002:
228). Paku Buwana III merasa sangat takut melukai perasaan VOC dan mudah terpengaruh oleh VOC (sesungguhnya, ia mudah sekali dipengaruhi oleh hampir semua orang).
Pada tahun 1788 Paku Buwana III wafat dan kedudukannya sebagai Susuhunan Surakarta digantikan oleh putranya yang baru berusia 19 tahun, Paku Buwana IV (1788-1820). Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat jumat, mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda ketika masih berstatus sebagai putra mahkota.
Kegemaran Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Adakalanya kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya.
Pada awal tahun 1789, Paku Buwana IV mulai mengangkat kelompok baru yang disenangi untuk menjadi pejabat-pejabat tinggi. Orang-orang ini menganut ide-ide keagamaan yang ditentang oleh hierarki keagamaan yang sudah mapan di Surakarta. Pengangkatan ulama bernama Bahman, Nur Saleh, Wiradigda menjadi guru rohani keraton Surakarta. Pengaruh dan kekuasaan para ulama tadi sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tindakan Paku Buwana IV mengganti dua temenggung yaitu Mangkuyuda dan Pringgalaya, diganti oleh Wiradigda dan Sujana Pura (Serat Tus Pajang, 1935:56).
Setiap kerajaan melakukan konsolidasi, apakah itu bersifat internal
maupun eksternal. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem kinasih (abdi
(19)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam birokrasi
kerajaannya. Paradigma Din-Dawlah merupakan keterkaitan antara agama dan
negara. Agama kebutuhan negara, karena melalui negara, agama memiliki kemampuan untuk memperluas, dan Islam norma-norma dan nilai-nilai dapat dibuat sebagai dasar etika dan juga politik moral.
Paku Buwana IV merupakan raja yang terkenal santri. Melalui pemikiran atas dasar agama, Paku Buwana IV ingin menyeimbangkan antara agama dan politik dalam menjalankan birokrasi kerajaannya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis mengangkat suatu pokok penelitian dengan judul ”ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820?
2. Bagaimana idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di
Keraton Surakarta tahun 1788-1820?
3. Bagaimana dampak idealisme Paku Buwana IV dalam pemerintahan
Keraton Surakarta tahun 1788-1820?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
2. Untuk mengetahui idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
3. Untuk mengetahui dampak idealisme Paku Buwana IV dalam pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
(20)
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
a. Dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
b. Dapat menambah referensi pengetahuan tentang peran Islam di Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
a. Memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana
pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Bagi pembaca, khususnya mahasiswa Program Studi Sejarah FKIP
UNS agar digunakan sebagai bahan awal untuk meneliti tentang Islamisasi yang terjadi di Keraton Surakarta pada umumnya dan pemikiran politik Islam Paku Buwana IV khususnya.
(21)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hinduisme
a. Pengaruh Hindu
Pengaruh Hinduisme yang paling mengakar dalam adalah di Jawa, dan terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Bali. Hinduisme memberikan tata tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Hinduisme memberikan dan mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya.
Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa dalam abad ke-VI dan ke-VII Masehi terdapat beberapa negara Hindu di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Raja menjadi poros seluruh kerajaan. Sejarah lebih dari seribu tahun perkembangan kebudayaan Hindu-Jawa menghasilkan suatu pembagian masyarakat Jawa ke dalam rakyat di desa-desa di satu pihak dan keraton di lain pihak, yang daripadanya kekuasaan ghaib mengalir ke daerah membawa kesuburan, pembagian mana dalam pemisahan antara rakyat kecil dan elite terdidik tetap bertahan sampai sekarang. Apabila dalam lingkungan keraton mengalami banyak perubahan dari segi politik, budaya, dan keagamaan, sebaliknya desa Jawa justru mempertahankan ciri-ciri tradisionalnya seperti kepercayaan pada roh-roh, rasa kekeluargaan, dan konservativismenya, namun kedua lingkungan itu tidak bereksistensi berdampingan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan mereka juga saling melengkapi. Bentuk pertanian intensif yang berdasarkan persawahan merupakan prestasi asli orang Jawa. Sedangkan pengaruh-pengaruh kebudayaan India menunjang perkembangan lingkungan keraton ke arah yang telah diambil sebelumnya.
Hinduisme tidak mematikan budaya Jawa asli, akan tetapi justru memupuk dan menyuburkan kebudayaan Jawa asli. Tidak hanya itu, Hinduisme
(22)
commit to user
meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya beserta teori-teori kenegaraan yang diperintahkan oleh raja-raja yang keramat sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati oleh para dewa. Oleh karena itu, Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga kebudayaan priyayi Kejawen yang menjulang di lingkungan istana kerajaan-kerajaan, serta membentuk tradisi besar, sedangkan masyarakat desa Jawa yang hanya tersentuh sedikit kebudayaan Hinduisme tetap buta huruf dan mewujudkan tradisi kecil dalam budaya Jawa. Kebudayaan animisme dan dinamisme masyarakat Jawa tetap bertahan serta ikut menjiwai pula dalam pola kebudayaan priyayi di lingkungan tradisi besar (Simuh, 2000: 6).
Bagi Legge, dalam Franz Magnis ( 2001: 30) hubungan timbal balik antara desa dan raja merupakan sumbangan zaman Hindu Jawa yang menentukan kepada masyarakat Indonesia. Pada akhir zaman Hindu Jawa semangat Jawa asli semakin berjaya. Sesudah unsur-unsur berharga dari Siwaisme, Wisnuisme, dan Budhiisme ditampung, unsur-unsur itu dijadikan wahana bagi paham-paham Jawa asli seperti penghormatan terhadap nenek moyang, pandangan-pandangan tentang kematian dan penebusan, kepercayaan pada kekuasaan kosmis, dan mitos-mitos suku kuno. Agama-agama impor diresapi oleh kebudayaan Jawa sampai menjadi ungkapan identitas Jawa sendiri.
2.Islamisasi
a. Pengaruh Islam
Agama berasal dari kata a yang artinya tidak, dan gama yang artinya
rusak. Suatu keyakinan bila dipatuhi ajarannya tidak akan membuat pribadi dan masyarakat rusak. Agama dalam pandangan orang Jawa sama dengan busana, atau
ageman yang berarti pakaian. Warga negara yang mulia tentu akan
memperhatikan ajaran agama, ajaran leluhur sebagai yang tertera dalam Kitab Suci. Kewibawaan seorang pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan terbebas dari perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan martabatnya.
(23)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Sehingga pada hakekatnya, orang Jawa lampau tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius. Bahkan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam. Sebaliknya sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevan sosial. Antara pekerja, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki (Fachry Ali, 1986).
Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia. Dalam Al-Qur’an surat Toha ayat 2 menerangkan bahwa “Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari firman Allah tersebut menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an, akan dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Dalam penyebaran agama Islam ada dua lembaga yang memegang peranan penting, yakni langgar dan pesantren (Darusuprapto, 1976). Langgar merupakan pengajaran agama permulaan, sedangkan pelajaran lanjut dan mendalam diberikan di pesantren.
Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an, berati tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja (2004:26-27), yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunya arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengatakan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian.
(24)
commit to user
Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim, kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih, memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajad tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999:9)
Sejak masa muda Paku Buwana IV mempunyai hubungan dengan para ulama di sekitar Surakarta, dan ketika menjadi Sunan memudahkan membangun ikatan politik. Paku Buwana IV pernah memperdalam agama dengan Kyai Imam Syuhada (1745-1843) dari Pesantren Wanareja, Bekonang. Imam Syuhada adalah putra Kyai Trunasura, Bagelen, dan cucu Kyai Ageng Baidlowi, Purwareja. Imam Syuhada mendapat pendidikan keagamaan dari orangtuanya dan pesantren kakeknya di Purwareja. Imam Syuhada selanjutnya menimba ilmu di Pesantren Jatisaba asuhan Kyai Khotib Iman. Pemimpin Pesantren Jatisaba ini juga sebagai abdi dalem ulama Keraton Kasunanan bertugas menjadi Khatib Masjid Agung. Imam Syuhada ketika diperintah mendirikan pesantren di Wanareja, mendapat bantuan Paku Buwana IV, meliputi ompak (penyangga tiang), soko (tiang), mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol (Supariadi, 2001: 146-159).
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan
(25)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
kereta emas yang ada di Keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang- orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1985:55).
Santri merupakan unsur yang penting dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).
b. Hakekat Islam
Hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Menurut Fitzgerald bahwa: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain". Seperti yang dikemukakan oleh Gibb bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia
(26)
commit to user
meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi (Dhiauddin Rais, 2001:4-5).
Dalam sejarah Kerajaan di Surakarta, raja dan bangsawan menyukai Islam lokal daripada Islam trans-nasional. Penerimaan Islam lokal bukan disebabkan
menjalankan syariat, tetapi kekuatan Islam telah mengatasi sosial budaya, masalah sosial politik ekonomi dan sosial. Pembangunan Islam lokal menghasilkan tiga varian pemimpin yang cendekiawan muslim birokrasi, non-birokrasi, dan sinkretisme (Fachry Ali, 2004). Muslim birokrasi sarjana berada di istana, sementara sarjana Muslim non-birokrasi dan pemimpin sinkretisme mereka berada di masyarakat. sarjana Muslim non-birokrasi dan sinkretisme adalah oposisi dari istana dan pemerintah Belanda.
Dalam sistem Kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai konsep bahwa kekuasaan raja adalah absolut (mutlak), dimana raja adalah segala-galanya. Raja memiliki kekuasaan yang sangat besar, tidak hanya seorang dari kawula-nya,
tetapi juga harta bendanya. Raja juga dianggap seorang wenang sisesa ing
sanagari, yang berwenang tertinggi di seluruh negeri, sehingga rakyat harus
dherek kersa dalem (mengikuti apa kehendak raja). Doktrin semacam itu kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang mengarah pada tiran. Setiap raja akan berusaha sendiri-sendiri untuk menghadapai pesaing yang datang. Moedjanto (1987) menyebutkan dua alasan utama:
1) Hukum adat waris tahta tidak menjamin kedudukan penguasa atau raja yang
bersangkutan,
2) Sejarah membuktikan, bahwa raja Mataram yang memperoleh kedudukan
dengan melakukan pergeseran kekuasaan.
Proses alih kekuasaan di Kerajaan Mataram cukup bervariasi, dengan berbagai latar belakang konflik yang mengiringi. Tidak hanya dari internal kerajaan, campur tangan pihak luar pun juga dominan dalam proses pergantian tahta di Kerajaan Mataram. Tentu saja pihak luar itu mempunyai maksud untuk memuluskan kepentingan politik mereka. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan politik untuk mengungkapkan masalah-masalah yang
(27)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
berhubungan dengan distribusi kekuasaan di antar berbagai kelompok masyarakat. Koalisi-koalisi politik, intrik-intrik, manuver-manuver politik, dan konflik-konflik yang ada.
Menurut Isjwara (1966: 344) “politik merupakan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah-masalah pelaksanaan atau control kekuasaan, dan pembentukan atau penggunaan kekuasaan”. Ada beberapa konsep pokok dalam politik, seperti dijelaskan oleh Miriam Budiardjo (2004: 9) bahwa: “Politik mengandung konsep-konsep pokok, yaitu negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)”.
Menurut Miriam Budiarjo teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain teori politik adalah renungan atas: (a). Tujuan dari kegiatan politik; (b). Cara-cara mencapai tujuan itu; (c). Kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu; dan (d). Kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.
Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga Negara, perubahan social, pembangunan politik, modernisasi, dan sebagainya (Budiarjo, 2005: 3).
Dalam peter worsley 1973:247. berpendapat istilah politik adalah: … kita dapat dikatakan bertindak secara politis apabila kita mengahalangi orang lain sehingga mereka bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan dari mereka…. Dengan definisi ini , tindakan menghalangi dalam hubungan apa pun bersifat politis. Semua jenis tekanan, mulai dari perang massal penyiksaan yang terorganisir, sampai pada nilai-nilai yang tersembunyi dalam pembicaraan antar pribadi, semua itu merupakan dimensi yang bersifat politis.
(28)
commit to user
Setiap masyarakat mempunyai organisasi baik formal maupun non-formal, dan untuk menjalankannya dibutuhkan pelaksana. Pelaksana membutuhkan kekuasaan untuk mewujudkan rencana-rencana masyarakat. Kekuasaan diberikan untuk mengatur cara hidup bersama. Kekuasaan menjadi penting larena kekuasaan adalah kemampuan seorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Mariam Budiardjo, 1998:10).
Kekuasaan erat sekali dengan kebijaksanaan atau kebijakan. Kekuasaan memunculkan kebijakan, dan kebijakan akan berlaku apabila disertai dengan kekuasaan. Dalam suatu kawanan politik (negara atau kerajaan), kekuasaan seseorang akan mempengaruhi kebijakasanaannya dalam mencapai suatu tujuan. Pencapai tujuan dilakukan melalui interaksi sosial, komunikasi politik dan hubungan lainnya dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Sistem politik suatu masyarakat berkaitan dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Di Jawa, para raja memerintah dipengaruhi oleh faktor kedudukan, status dan simbol-simbol tertentu yang tujuannya untuk memperkuat kekuasaan. Kekuasaan yang kuat mempunyai otoritas penuh untuk memerintah rakyat, kehidupan politik suatu masyarakat merupakan sistem aktivitas-aktivitas yang saling berkaitan. Di samping itu, politik erat kaitannya dengan wewenang. Suatu hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah yang penting untuk menyelesaikan pertentangan-pertentanga (Soerjono Soekanto, 1977:172). Para raja di Jawa mempunyai wewenang tak terbatas yang diperoleh dari rakyat, wong cilik yang dipimpinnya.
Kekuasaan dan wewenang menjadi unsur pokok dalam menjalankan suatu roda pemerintahan. Untuk memperolehnya diperlukan suatu kekuatan dari pemegang kekuasaan. Menurut pemikiran tradisional Jawa, kekuasaan terletak pada keberhasilan dan kegagalan para penguasa untuk memusatkan ”kuasa” batinnya melalui cara-cara tertentu (Benedict Anderson, 1983:3). Agar raja atau pemegang kekuasaan mempunyai kekuatan adi kodrati, supranatural bahkan cenderung mistik-mitologis.
(29)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Kuatnya kultus nenek moyang terutama para raja yang memerintah, mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai pusat dari kekuatan alam (kosmos). Keistimewaan raja mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman, kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh kerena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan
tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja (Sabda Pandita Ratu)
(Depdikbud, 1992:158).
Setiap apa yang menjadi keputusan, perintah dan kebijakan raja bahkan segala macam benda pusaka yang bernilai bertuah “sakti”, karya sastra akan mempengaruhi kekuatan politik seorang raja. Kekuatan sastra raja juga dapat mempengaruhi politik, kultus terhadap raja menambah pamor dari karya sastra, karena ada anggapan karya sastra mempunyai sifat keramat, keyakinan tersebut tidak terlepas dari pandangan masyarakat pada waktu itu yang menganggap benda-benda termasuk karta sastra yang bersifat sacral (Maharsi, 2001: 102). Politik dapat mempengaruhi aktivitas-aktivitas manusia dibidang kehidupan lainnya termasuk dalam sastra.
Karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi kepada
orang-orang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized motivations, yaitu
suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat yang memerlukan penanaman kerja kepada mereka…cara ini dapat bertahan sepanjang kesadaran itu muncul dari niat yang tulus (Inu Kencana Syafi’i, 1997:60).
Menurut Duverger (1993:XII-XIII), terdapat dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan, yaitu: 1). Orang melihat politik sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran. Kekuasaan digunakan orang yang berhasil merebut dan mengotrol politik untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang ingin menentang dan merebut kekuasaan untuk tujuan yang sama sehingga kekuasaan memainkan peranan sebagai biang konflik politik. 2). Orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum untuk melawan
(30)
commit to user
tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan, Sehingga kekuasaan memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama.
Kedua dimensi kekuasaan tersebut selalu muncul dalam kehidupan politik. Kekuasaan sebagai biang konflik atau perpecahan selalu disertai oleh kekuasaan sebagai benih integrasi. Jadi, kekuasaan bisa mendorong orang untuk berkonflik, tetapi pada waktu yang sama juga bisa mendorong kerjasama atau integritas.
Menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan, atau perjuangan, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Menurut Webster lebih lanjut, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
Dalam sejarah konflik politik antara Paku Buwana II, Pangeran
Mangkubumi, dan Raden Mas Said, juga menyeret orang ke dalam konflik politik. Konflik butuh waktu lama dan tidak bisa selesai, dan juga mengajak koloni untuk menjadi bagian dari konflik ini. Akibat dari konflik tersebut Mataram terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran.
Di Surakarta, masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan Paku Buana III secara umum, berbagai persengkokolan istana, dan perilaku pajabat-pejabat VOC yang buruk telah mengancam keamanan dan kestabilitas kerajaan. Keresahan politik dan ekonomi akibat pembagian kekuasaan Mataram memaksa Paku Buwana IV memperkenalkan pemikiran Politik Islam dalam
menjalankan pemerintahannya. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem
kinasih (abdi dalem kepercayaan) merupakan upaya konsolidasi yang dilakukan
oleh Paku Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam
birokrasi kerajaannya. Konsolidasi internal adalah meminta seluruh sentana dan
abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup, sementara konsolidasi eksternal membuat hubungan politik dengan pesantren di sekitar Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Paku Buwana IV mencoba membangun kekuatan berdasarkan keseimbangan antara kekuasaan politik dan kekuasaan sosial. Paku buwana IV politiknya pro-Islam dan anti Belanda dengan
(31)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
pergi ke masjid dan memberikan khotbah (Aan Kumar, 1990:105). Melalui
idealisme Paku Buwana IV ini, Islam dijadikan legitimasi politik yang awalnya dipengaruhi oleh para ulama kharismatik yang ada di Keraton.
B. Kerangka Berpikir
Keterangan:
Masuknya agama Islam ke keraton Surakarta, turut membantu dalam pembentukan perpolitikan yang terjadi di dalam kerajaan Surakarta. Mulai dari Sultan Agung, Islam menjadi dasar untuk melakukan dan menyebarkan legitimasi kekuasaan. Setelah turunnya Sultan Agung, agaknya politik yang dibangun atas dasar Islam mulai lemah dan menurun. Seiring dengan menurutnya kredibilitas raja yang cenderung memihak dan bersekutu dengan VOC. Melihat kondisi seperti itu, Paku Buwana IV mulai bangkit dan mengembalikan Islam sebagai kekuatan politik dengan mengadakan konsolidasi Islam, yakni dengan melakukan kerjasama dengan ulama kharismatik yang ada di Surakarta. Paku Buwana IV
berharap melalui idealismenya, konflik yang terjadi setelah palihan nagari
Ulama Kharismatik Paku
Buwana IV
Keraton Surakarta
Pesantren Konsolidasi Belanda
(32)
commit to user
mampu diredam serta ingin mengangkat kekuasaan atas Keraton Kasunanan Surakarta yang telah mengalami penurunan sejak palihan nagari.
Selain itu pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan Negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam. Tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.
Di tengah kondisi keraton yang tidak stabil akibat adanya intrik dan provokasi dari VOC serta adanya perseteruan baik intern maupun ekstern membuat Paku Buwana IV melakukan strategi politik dengan mengadakan hubungan dengan para kyai (ulama) di Pesantren di sekitar Surakarta. Keleluasaan kyai di dunia pesantren, baik dari segi politik maupun sosial-keagamaan, telah menjadikan mereka dengan mudah tampil sebagai kelompok elit dengan seperangkat ideologi dan aura kebesaran, yang kerap dirumuskan dalam terma-terma keagamaan. Selain itu Paku Buwana IV yang sejak kecil sudah mendalami ilmu agama dengan pergi ke masjid untuk memberikan khotbah dan dekat dengan para kyai, hal itu membuat mudah untuk melakukan politik konsolidasi. Politik Islam tersebut oleh Paku Buwana IV diharapkan mampu mengatasi masalah yang sedang terjadi di Kerajaan akibat dari palihan nagari. Mulai dari masalah intern kerajaan, yakni adanya peristiwa pakepung tahun 1790 serta campurtangannya
VOC dalam setiap kebijakan yang diluarkan raja. Konsolidasi tersebut yakni
dengan meminta seluruh sentana dan abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai
Islam sebagai pedoman hidup, dan menjalin hubungan politik dengan pesantren di sekitar Surakarta.
(33)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul ”Analisis Islamisasi Di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)” dilakukan dengan metode studi pustaka melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan, koleksi pribadi maupun perseorangan. Adapun tempat untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain:
a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS
b. Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta c. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
d. Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran e. Museum Keraton Kasunanan Surakarta f. Yayasan Sastra Jawa Surakarta
g. Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta h. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian
N
o Kegiatan
Bulan
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli
1. Persiapan
a. Pengajuan Judul
b. Pengajuan proposal
V
V
2. Pelaksanaan
a. Pengumpulan data
b. Analisis data
V V
V V
3. Evaluasi
a. Penulisan laporan
b. Ujian
V V
V Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
(34)
commit to user
Sesuai dengan tabel di atas, waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah selama 7 bulan (bulan ke-1 sampai bulan ke-7) yaitu dimulai dengan kegiatan pembuatan proposal penelitian, pengumpulan sumber, kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menganalisis sumber yang diperoleh dengan menguraikan kemudian menyatukan, dan tahap terakhir menyusun laporan hasil penelitian.
B. Metode Penelitian
Dalam penyusunan rencana penelitian, peneliti akan dihadapkan pada pemilihan metode atau teknik pelaksanaan penelitian. Metode penelitian merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan teknik tertentu. Dengan kata lain, metode adalah cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah yang menyangkut masalah kerja, yaitu cara untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 7).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode historis, karena obyek kajiannya berupa peristiwa masa lampau. Menurut Gilbert J. Garraghan yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 43). Metode historis berarti ”seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Metode sejarah dapat juga berarti sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya (Louis Gottschalk, 1983 : 32).
Gottschalk (1983:18), mensistematisasikan langkah-langkah metode penelitian sejarah sebagai berikut:
1) Pengumpulan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan;
2) Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak autentik;
3) Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti.
(35)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Metode penelitian sejarah ini bertumpu pada empat langkah kegiatan: heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Menurut Basri MS (2006:35), yang dimaksud metode historis adalah seperangkat aturan atau prinsip-prinsip dasar yang sistematis yang digunakan dalam proses pengumpulan data atau sumber-sumber, mengerti dan menafsirkannya serta menyajikan secara sintesis dalam bentuk sebuah cerita sejarah (historiografi). Sedangkan tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Sumadi Suryabrata 1997: 16).
Berdasarkan masalah di atas penulis akan merekonstruksikan peristiwa yang terjadi di keraton Surakarta pada masa Paku Buwana IV, yaitu “Analisis Islamisasi di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Pilitik Islam). Sedangkan untuk obyek penelitian dan waktu terjadinya peristiwa yang diteliti adalah Serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV berisi tentang ajaran beragama yang lebih menekankan pada ajaran moral dan etika, dalam arti berusaha memperbaiki akhlak berdasarkan pada ajaran syariah agama Islam. Dari sikap Paku Buwana IV tersebut membuat Paku Buwana IV dekat dengan para ulama atau kyai kharismatik di sekitar Surakarta, sehingga dalam pemerintahannya pun dipengaruhi oleh para ulama. Hal itu membuat kompeni membenci Paku Buwana IV dan mempengaruhi Ksultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran untuk melakukan pengepungan terhadap Keraton Surakarta, peristiwa ini dijelaskan dalam babad Pakepung terjemahan Endang Saparinah.
C. Sumber Data
Sumber sejarah disebut juga data sejarah, bahasa Inggris dalam bentuk tunggal, data bentuk jamak; bahasa Latin dalam berarti pemberian” (Kuntowijoyo, 1995:94). Sumber sejarah menurut Helius Sjamsudin (1994:73) ialah ” segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada
(36)
commit to user
kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality).
Menurut bahannya, sumber sejarah dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan tidak tertulis atau dokumen dan artifact (artefak). Sedangkan menurut penyampaiannya dibagi menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer apabila disampaikan oleh saksi mata. Sumber sekunder ialah yang disampaikan oleh orang bukan saksi mata, misalnya buku-buku (Kuntowijoyo, 1995:96).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV. Sumber sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian ini. Melalui pengumpulan data berdasarkan sumber data yang ditetapkan yaitu teknik studi pustaka, yakni mengumpulkan data tertulis dengan menggali data dari serat dan babad, buku-buku literatur dan bentuk pustaka lainnya yang mendukung. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka dan analisis. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian, antara lain: ”Masyarakat Istana Jawa dan Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa Transisi” karangan Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh data yang diperlukan sehingga data yang diperoleh menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan sumber data yang digunakan, maka dalam melakukan pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca dan menganalisis kumpulan dokumen atau literatur. Kumpulan dokumen dan buku-buku tersebut diperoleh dari perpustakaan-perpustakaan yang ada di Surakarta dan Yogyakarta.
(37)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Dalam penelitian ini, kegiatan studi pustaka dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mencari dan mengumpulkan sumber primer maupun sekunder dari perpustakaan, koleksi pribadi maupun perseorangan.
2. Membaca, mencatat, meminjam dan menfotokopi sumber-sumber yang penting dan relevan dengan tema penelitian, terutama untuk sumber-sumber yang diperoleh dari perpustakaan.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data sejarah. Teknik analisis data sejarah adalah analisis data yang mengutamakan ketajaman dalam melakukan interpretasi data sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak bisa berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah bersifat sangat kompleks, sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Fakta merupakan bahan utama yang digunakan sejarawan dalam menyusun historiografi, dan fakta itu sendiri merupakan hasil pemikiran dari para sejarawan, sehingga fakta terkumpul mengandung kadar subyektifitas.
Sartono Kartodirjo (1992) berpendapat bahwa untuk menganalisis suatu karya sejarah diperlukan adanya kritik eksternal dan internal. Dalam penelitian ini analisis data dilaksanakan setelah kegiatan pengumpulan data. Dari data yang terkumpul kemudian dibandingkan antara sumber data yang satu dengan sumber data yang lain. Dari hasil perbandingan sumber data yang satu dengan sumber data yang lain akan menghasilkan fakta sejarah. Fakta-fakta tersebut kemudian diseleksi, diklasifikasi, kemudian ditafsirkan sehingga fakta tersebut dapat dijadikan bahan dalam penulisan ini. Salah satunya melakukan analisis terhadap Babad Pakepung hasil terjemahan Endang Saparinah. Tulisannya membahas mengenai peristiwa pakepung, yakni pengepungan terhadap keraton Surakarta pada masa Paku Buwana IV oleh tentara kompeni, Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran karena idealisme Paku Buwana IV dalam mengatur pemerintahannya. Selain itu masih ada sumber pustaka lain yang melengkapi data
(38)
commit to user
dari penelitian sejarah tentang Islamisasi di Keraton Surakarta tahun 1788-1820, pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam.
F. Prosedur Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, perlu dibuat prosedur penelitian karena dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya proses penelitian. Prosedur penelitian adalah langkah-langkah secara rinci dalam penelitian dari awal sampai akhir. Langkah pertama dalam prosedur penelitian ini adalah membuat proposal untuk mengurus perijinan penelitian. Setelah judul penelitian ditentukan dan disetujui, dilanjutkan dengan penulisan proposal yang berisi rumusan masalah yang akan diteliti. Langkah selanjutnya yaitu mengadakan penelitian dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Secara lebih jelas metode penelitian sejarah tersebut dapat disajikan dalam bagan berikut:
Tabel 2. Bagan Prosedur Penelitian
Keterangan:
Penelitian ini adalah penelitian sejarah, maka prosedur penelitian ini pun menggunakan 4 tahapan dalam metode sejarah (Sartono, 1993: 60-62) yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi dengan penjelasan sebagai berikut:
Heuristik
Intern Kritik
Fakta Sejarah Ekstern
Historiografi Interpretasi
(39)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
1. Heuristik
Heuristik adalah suatu proses mencari dan menemukan sumber-sumber atau data-data baik dokumen hasil wawancara maupun buku-buku. Sumber-sumber tertulis dalam penelitian ini diperoleh dari: perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS, perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, perpustakaan Monumen Pers Surakarta, perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Pada tahapan ini ditemukan sumber-sumber yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti dengan studi kepustakaan. Sumber primer berupa serat Wulang Reh yang diperoleh dari hasil penelusuran ke berbagai perpustakaan. Sedangkan sumber sekunder seperti ”Masyarakat Istana Jawa dan Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa” dan ”Sejarah Indonesia Modern 1200-2004” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa Transisi” karangan Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.
2. Kritik
Kritik sumber yaitu memilih dan memilah sumber yang akurat dan menyeleksi sumber-sumber yang ada untuk memperoleh informasi yang valid. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah untuk menyeleksi data menjadi sebuah fakta. Kritik terhadap sumber ini terdiri dari dua jenis yaitu kritik intern dan kritik ekstern.
a). Kritik Intern
Kritik intern dilakukan untuk mencari kesahihan. Kritik ini digunakan untuk membuktikan apakah kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber dapat dipercaya atau tidak. Dalam penelitian ini kritik intern dilakukan dengan cara mengidentifikasikan watak dan sifatnya, membandingkan isi dari sumber yang
(40)
commit to user
satu dengan sumber lain sehingga didapatkan fakta sejarah yang relevan dengan tema penelitian.
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap buku yang satu dengan yang lain, terdapat perbedaan penjelasan yakni gambaran kepribadian Paku Buwana IV. Dalam babad Tutur banyak memuat sikap dan kepribadian dari Sunan Paku Buwana IV yang positif, meskipun Paku Buwana IV dalam menghadapai persoalan-persoalan mudah emosional, namun raja ini mempunyai sikap yang teguh, watak yang tegas dan keras, serta taat menjalankan ibadah agama Islam, sedang dalam buku The Sepoy Conspiracy of 1815 in Java karangan Peter carey, menurut Raffles menjelaskan tentang sikap dan kepribadian Sunan Paku Buwana IV sebagai laki-laki yang berjiwa lemah, tidak punya pendirian, berakal licik dan kejam. Sehingga untuk menghindari kesalahan dan keterangan yang kurang akurat, maka diperlukan kehati-hatian supaya tidak mengandalkan data dari satu sumber saja melainkan perlu sumber yang lain sebagai pelengkap dan pembanding. Supaya hasil dari penelitian bersifat obyektif.
b). Kritik Ekstern
Adalah kritik terhadap keaslian sumber yang berkenaan dengan keberadaan sumber, apakah sumber tersebut dikehendaki atau tidak, masih asli atau sudah jiplakan. Kritik ekstern juga memberikan penilaian terhadap kredibilitas sumber dengan melihat sumber itu utuh atau sudah diubah. Uji keaslian sumber minimal dilakukan dengan pertanyaan berupa: kapan, dimana, siapa, bahan apa, serta bentuknya bagaimana sumber dibuat. (Dudung Abdurrahman, 1999: 38).
Dalam penelitian ini kritik ekstern terhadap sumber primer yakni Serah wulang Reh karangan paku Buwana IV (1788-1820). Keaslian sumber dilihat dari tahun pembuatan yakni abad ke-18, dibuat di Keraton Surakarta, bahan terbuat dari kertas yang bertekstur kasar dengan huruf Jawa yang terdiri dari tembang-tembang Macapat. Melihat dari jenis tulisan yang dipakai, sehingga terlihat keaslihan sumber.
(41)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Keaslihan dan kesahihan sumber dilakukan guna menghasilnya penulisan sejarah yang valid, dengan melalui kritik terhadap sumber data yang didapat.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu menafsirkan keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh setelah melakukan kritik baik itu kritik intren maupun kritik ekstern. Maka penulis berusaha menjelaskan apa yang telah diperolehnya dari data-data dokumen dengan pemikiran dan analisis. Karena fakta itu terletak pada pikiran seseorang maka itu menjadi bagian dari waktu sekarang. Sehingga interpretasi masing-masing sejarawan berbeda-beda (Dudung Abdurrahman, 1999: 22).
Tahapan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu analisis dan sintesis. Analisis adalah menguraikan data dengan memperhatikan aspek kualitas, sedangkan sintesis adalah penyatuan keduanya. Teknis Analisis data merupakan proses pencarian dan perancangan sistematis semua data yang telah diperoleh (terkumpul), sehingga peneliti mengetahui makna yang telah ditemukan dan disajikan kepada orang lain secara jelas dan utuh. Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis historis, yaitu penyusunan cerita sejarah berdasarkan fakta sejarah yang berhasil dikumpulkan dengan menulis sekumpulan data yang akurat dengan obyek penelitian, kemudian dianalisis dan disusun yang akhirnya didiskripsikan kedalam bentuk cerita sejarah. Menurut Nugroho Notosusanto analisis historis adalah analisis sejarah dengan menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mengadakan penulisan sejarah (Louis Gottchalk, 1983: 36)
4. Historiografi
Historigrafi adalah penyusunan atau penulisan sejarah atau historiografi, yaitu menyusun fakta-fakta dalam suatu sintesis sebagai suatu kesatuan yang utuh. Pada tahap ini merupakan langkah terakhir dalam prosedur penelitian sejarah yaitu berupa penulisan, pemaparan, atau penyusunan fakta sejarah menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Pada saat
(42)
commit to user
sejarawan memasuki tahap menulis, maka sejarawan mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena pada akhirnya sejarawan harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dan penemuannya secara utuh yang disebut historiografi (Helius Sjamsuddin, 1996). Dalam hal ini historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul “Analisis Islamisasi di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)”. Penulisan dimulai dari permulaan dengan batasan-batasan tempat dan waktu secara kronologis.
(1)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Ketika berkuasa di Jawa pada tahun 1816, kebijakan politik dan ekonomi
yang diterapkan oleh Daendels dan raffles terus dilajutkan. Kondisi seperti ini
memungkinkan meningkatnya keresahan-keresahan dalam masyarakat Jawa
karena semakin kuatnya penetrasi kolonial. Rasa tidak puas dan keresahan ini
telah merasuki seluruh lapisan masyarakat. Golongan bangsawan dan priyayi
kerajaan merasa tidak senang karena pihak Belanda semakin kuat campur
tangannya dalam urusan intern kerajaan. Di pihak lain eksploitasi yang semakin
meningkat pada masyarakat pedesaan menjadi lahan subur bagi munculnya
keresahan-keresahan agraris (Supariadi, 2001: 211)
Kegagalan politik yang dibangun Paku Buwana IV dalam menghadapi
pemerintah kolonial Belanda, karena adanya golongan priyayi dan pihak istana
sering bersikap mendua. Hal ini lantaran watak priyayi selalu mengutamakan nilai
kedudukan dan kekuasaan. Karena VOC dapat melindungi seorang penguasa
dengan imbalan pembayaran dan konsensi-konsensi, VOC dapat menumpas
kelompok-kelompok pemberontak yang besar dan mempertahankan
tempat-tempat yang trategis, tetapi tidak mampu memelihara ketertiban di seluruh Jawa.
Misalnya, ketika mereka menghadapi pemberontakan Trunojoyo. Ketika
mengahadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Samber
Nyawa (Mangkenegara I). Islam lah eksponen yang paling gigih melawan
kelaliman penjajah Belanda, dan mengobarkan semangat nasionalisme religius di
Indonesia (kerajaan) (Simuh, 2003: 98-99).
Nasionalis religius dalam arti menghadapi pemerintahan atas dasar
kebangsaan yang bersikap positif terhadap agama, yakni jadi pelindung dan
pendukung siar agama. Itulah yang terjadi dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa
mulai zaman pengaruh Hindu-Budha sampai zaman kemerdekaan. Seperti
menurut Ann Kumar penempatan ulama di birokrasi kerajaan seperti yang
dilakukan Paku Buwana IV, mempermudah penciptaan ikatan politik atau aliansi
politik. Aliansi politik berubah menjadi asosiasi yang berperan untuk memperkuat
semangat keislaman di kalangan elit politik Jawa (Ann Kumar, 1985:3). Tindakan
itu merupakan sinyal penentangan terhadap kekuasaan kolonial Belanda.
(2)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Pada dasarnya peristiwa pakepung dapat dipandang sebagai cerminan
terpolarisasinya pandangan politik priyayi dan kyai. Polarisasi itu terbentuk
karena
adanya
dikotomi
kehidupan
antara
priyayi
yang
cenderung
mengembangkan sikap budaya sinkretis dan kompromistis, serta para kyai
(khususnya kyai-kyai bebas atau merdeka di pedesaan) yang lebih
mengembangkan sikap kesalehan dalam menjalankan ajaran Islam. Para kyai ini
memperoleh kewibawaan dan kharisma dalam masyarakat bukan berdasarkan
pengangkatan atau keputusan dari penguasa, melainkan dari kemampuan atau
pengetahuan keislaman dan kesalehannya. Sikap bebas yang juga didukung oleh
sumber ekonomi mandiri menjadi pendorong bagi tumbuhnya rasa ketidakpuasan
kyai terhadap ketidakmandirian para penguasa tradisional akibat campur tangan
bangsa asing. Bangsa asing (Belanda) di mata para kyai identik dengan kekafiran
yang harus dilawan. Sikap para kyai tersebut sejalan dengan sikap Paku Buwana
IV yang berusaha mengangkat wibawa kerajaannya dengan cara menjadikan
Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua kerajaan bekas kerajaan Mataram yang
lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan kompeni.
Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah yang menjadi dasar
penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa pemerintahan Sunan
Paku Buwana IV.
(3)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
65
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Politik adalah kekuasaan untuk mencapai sebuah tujuan, memerintah dan
mengatur segala aspek kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara. Melalui
politik Islam Paku Buwana IV membangun kekuatan untuk melakukan legitimasi
kekuasaan. Dalam koridor membangun kekukuatan dan memperluas kekuasaan,
Paku Buwana IV menulis
Serat Wulang Reh
. Berpijak dari hasil penelitian, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman.
Yakni dilihat dari adanya jabatan
penghulu
dan
abdi dalem ngulama
dalam
birokrasi kerajaan, berlakunya
peradilan surambi
yang didasarkan pada
hokum dan ajaran Islam, penggunaan gelar
sayidin panatagama
(artinya
Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan
berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak
upacara yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara
garebeg
yang
dipandang sebagai upacara besar, namun pada kenyataannya perilaku dan
sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik
atau oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah
Agami Jawi.
Keraton
menjadi pusat pengkajian ilmu agama Islam, oleh sebab itu raja meraih
dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan. Islam yang
diamut bercorak mistik atau sinkretik. Hal ini merupakan konsekuensi dari
masih bertahannya tradisi agama terdahulu (Hindu-Budha), dan corak itu
merupakan arus bawah yang menjadi esensi kebudayaan mereka.
2.
Manunggaling Kawula-Gusti
merupakan sistem kekuasaan raja yang
memerlukan loyalitas tinggi dari para abdi. Konsep tersebut adalah bentuk lain
dari cara perolehan kekuasaan raja yang berdasarkan wahyu. Wahyu atau
pulung
diambil dari tradisi kuno, penerima pulung mendapat legitimasi untuk
menjalankan kekuasaan serta kepemimpinannya. Raja dianggap sebagai pusat
dari kekuatan alam (
kosmos
). Raja adalah wakil Tuhan (
Kinarya Wakil Hyang
(4)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Agung
), tidak boleh ditentang, membangkang apalagi memberontak. Idealisme
tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV
untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan berwibawa di
banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran) serta
VOC dan para
abdi dalem
. Sifat raja menguasai, memegang teguh syarat
agama, dan melaksanakan syariat. Raja adalah sebagai pemimpin umat, itulah
sebabnya disebut sebagai
Khalifatullah
.
3.
Peristiwa pakepung yakni suatu peristiwa pengepungan keraton Kasunanan
oleh kekuatan militer VOC, Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta.
Peristiwa pekepung dilatarbelakangi oleh tuntutan pihak kompeni kepada
Sunan PB IV untuk menyerahkan para kyai (guru agama Islam) yang menjadi
penasehat politiknya. Tuntutan kompeni tersebut menunjukkan bahwa
peristiwa pakepung tidak saja dilatarbelakangi persoalan politik melainkan
juga keagamaan. Sikap Paku Buwana IV yang membenci kompeni, sejalan
dengan sikap para kyai, yakni berusaha mengangkat wibawa kerajaan dengan
cara menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua bekas kerajaan
Mataram yang lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang
kekuasaan kompeni. Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah
yang menjadi dasar penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa
pemerintahan Sunan Paku Buwana IV. Hubungan dekat Paku Buwana IV dan
idealisme yang sejalan dengan para kyai (ulama), membuat Paku Buwana
melakukan legitimasi kekuasaan dengan jalan konsolidasi dengan para ulama
keraton.
B.
Implikasi
1.
Teoritis
Agama yang terbentuk di Jawa, dan di keraton Surakarta pada khususnya
adalah perpaduan anatara budaya Jawa yang sejak zaman Hindu-Budha telah
mengakar kuat kemudian membentuk suatu agama baru yang di sebut dengan
agama Jawi. Agami Jawi (
Kejawen
) merupakan bentuk agama Islam orang Jawa
yang biasa disebut adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep
(5)
Hindu-perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui
sebagai agama Islam. Kegiatan pengislaman warisan ilmu kejawen dipelopori
oleh Sultan Agung, yakni dengan mengubah perhitungan tahun kabisat Saka,
menjadi tahun Jawa Sultan Agungan sesuai dengan tahun Hijriah yang didasarkan
atas peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan dengan kelender Hijriah,
sedang hari Mingguan Islam dptertemukan dengan nama-nama hari kejawen,
misalnya
Senen Wage
,
Selasa Kliwon
, dan seterusnya. Dengan demikian,
perhitungan tahun Jawa ini bisa diterima dengan perasaan lega oleh masyarakat
pesantren. Hanya untuk kepentingan berlangsungnya upacara-upacara kerajaan,
tahun Jawa ini melestarikan tahun satu Saka sebagai awal tahun pertamanya, yaitu
tahun 78 Masehi. Dengan demikian, peralihan perhitungan tahun Jawa ini tidak
menimbulkan masalah di kalangan pendukung ilmu kejawen.
2.
Praktis
Sunan Paku Buwana IV adalah raja yang berusia muda, sehingga dalam
menghadapi persoalan-persoalan masih mudah emosional. Namun demikian
dibalik kelabilan emosinya, Paku Buwana IV mempunyai sikap yang teguh, watak
yang tegas dan keras, serta taat dalam menjalankan ibadah agama Islam.
Ketegasan dan keteguhan sikapnya ditunjukkan pada pihak kolonial, baik VOC,
Inggris maupun Belanda. Campur tangan pihak asing terhadap pemerintahan
menyebabkan rasa ketidaksenangan Paku Buwana IV terhadap pemerintah
Kolonial. Selain sikapnya yang keras dan tegas, akibat dari kegemaran Sunan
Paku Buwana IV mencari ilmu agama Islam maka Sunan dekat dengan para
ulama. Oleh sebab itu Paku Buwana IV melakukan konsolidasi politik dengan
para ulama untuk melawan kolonial Belanda. Karena raja mempunyai
angan-angan untuk menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuankan bagi kedua bekas
kerajaan Mataram lain, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran,
sehingga kewibawaan Keraton Surakarta yang sudah menurun akibat pecahnya
kerajaan (
palihan nagari
) dapat diangkat kembali.
(6)