commit to user
43
B. Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di Keraton
Surakarta tahun 1788-1820
Unsur-unsur sosial mempengaruhi struktur politik. Suatu struktur politik dan perangkat kekuasaan berfungsi untuk pengelolaan kehidupan masyarakat.
Masyarakat berperan dalam mendukung infra dan supra struktur kekuasaan yang dimiliki oleh raja, penguasa sebagai pusat kekuasaan dan konsentrasi sumber-
sumber kekuasaan. Pusat dan konsentrasi kekuasaan dapat dilihat dari tanda-tanda sosial. Tanda-tanda sosial dari konsentrasinya kekuasaan dalam konsep Jawa
adalah kesuburan fertility, kesejahteraan prosperity, dan harmoni stability dan kejayaan glory Christina S. Handayani dan Novianto, 2002: 53. Sedang
yang mempunyai konsep kekuasaan tersebut adalah raja dan para priyayi, pegawai dan keturannya. Raja memiliki tanda-tanda tersebut karena raja memiliki:
kedudukan, kekayaan, kepercayaan dan perangkat lainnya yang menunjang untuk memerintah dan berkuasa atas dasar legitimasi secara sosial.
Struktur kehidupan sosial di Jawa terdapat sistem feodalistik. Realitas dan fenomena tersebut terlihat dalam tingkatan atau hirarki sosial. Dalam hierarki
sosial raja terletak di puncak tertinggi dan orang-orang lainnya dihitung dari jarak mereka dengan titik pusat itu. Keluarga raja sentana,diukur secara bertingkat
sesuai dengan kedudukan geneologis dengan raja yang memerintah Kuntowijoyo, 1994: 94. Status dan kekuasaan para priyayi dipengaruhi oleh raja yang
memerintah. Dalam masyarakat Jawa ada kepercayaan bahwa seorang raja atau dinasti
harus memperlihatkan keunggulannya sebagai trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih
keturunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan muli menunjukkan bahwa raja harus selalu datang dari
keturunan leluhur yang suci dan agung Maharsi, 2001: 105. Keunggulan ini semakin memperkuat posisi raja dalam memerintah kerajaan. Sehingga untuk
memperoleh legitimasi maka raja-raja Jawa, terutama masa Mataram Islam, membuat garis geneologis atau garis keturunan, silsilah dari garis keturunan dari
orang-orang berpengeruh dan berkuasa di tanah Jawa garis panengen dan
commit to user
44
pangiwa . Semua itu untuk kepentingan memperkuat pengaruh dan menanamkan
kekuasaan raja pada rakyat. Raja merupakan pucuk pimpinan kekuasaan dalam suatu negara yang
berbentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan. Rajalah yang menentukan dan mewarnai jalannya pemerintahan.
Maju-mundur dan berkembang-merosotnya kehidupan dalam negara tergantung pada kebijakan dan sikap perilaku raja Suyami, 2008: 140-141.
Dalam kehidupan masyarakat raja dijadikan sebagai panutan, pusat perhatian, bahkan pusat model perikehidupan. Semua orang yang berada di
lingkungan sekitarnya, seperti para pejabat, pegawai, prajurit, maupun rakyat selalu berkeinginan untuk meniru apa yang diperbuat oleh rajanya. Hal tersebut
tampak dalam sistem kebudayaan yang bersifat istana sentris. Jadi apabila sang raja bersikap dan berbuat kurang baik, niscaya rakyat dan pengikutnya pun akan
ikut berbuat yang tidak baik. Kuatnya kultus terhadap nenek moyang terutama para raja yang
memerintah, mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai pusat dari kekuatan alam kosmos. Keistimewaan raja mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman, kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh
karena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja Depdikbud, 1992:
158. Dalam istilahnya sabda pandita Ratu. Hal yang lazim dalam kepustakaan kebudayaan Jawa adalah memberikan
keyakinan kepada rakyat, untuk memperoleh legitimasi. Konsep ”Manunggaling Kawula-gusti”
menjadi media untuk memperkuat dan membangun kepercayaan dan ketaatan dari orang-orang yang diperintah oleh raja, termasuk didalamnya
para pejabat atau pegawai kerajaan, abdi dalem. Konsep ”Manunggaling Kawulo- gusti
” Paku Buwana IV terdapat dalam Pupuh Sinom: 11-15, sebagai berikut: Pamoring Gusti kawula, pan iku kang sayekti, dadine sotya ludira, iku
den waspada ugi, gampangane ta kaki, temabaga lan mas iku, linebur ing dahana, luluh amoh dadi siji, mari nama kencana miwah tembaga
commit to user
45
Puknika mapan upama, tepane badan puniki, lamun arsa ngrawuhana, apamore Kawula-Gusti, sayekti kudu resik, aja katempelan
nepsu, luwamah lan amarah, sarta suci lair batin, dadi mene sarira bisaa tunggal.
Bersatunya Pencipta
dengan makhluk-Nya,
itulah yang
sesungguhnya, jadilah seperti darah, yang waspada juga, mudahnya, anakku, tembaga dan emas itu, dilebur dalam perapian, hancur lebur
menjadi satu, hilang sifat tembag dan emasnya
Itulah yang utama, seperti badan ini, bila inginkau ketahui, persatuan rakyat-raja, sungguh harus bersih, jangan tertempeli hawa nafsu, lawamah
dan amarah, suci lahir batin, agar diri bisa menyatu
Pemikiran tersebut di atas merupakan bagian dari tingkatan proses pencapai tasawuf. Proses tersebut mengarah ke pemikiran politik. Pemikiran
politik tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan penguasa untuk menjaga legitimasi kekuasaannya dari para abdi dan rakyat. Istilah Manunggalnya Tuhan
dan hamba diracik sesuai kepentingan politik. Sejak masa kerajaan Surakarta, konsep Manunggaling Kawuala-Gusti menurut penelitian G.W.J. Drewes dalam
bukunya ”Drie Javannsche Goeroe’s” merupakan salinan istilah dari ”abd” dan ”Rabb” dalam Islam Simuh, 1996: 246, konsep tasawuf Islam yang kemudian
dipakai oleh penguasa dalam konteks politik maka konsep ini mempunyai pengaruh kekuatan untuk menguasai dan memerintah yang berdasarkan nilai
spiritual. Jumbuhing Kawula-Gusti
Manunggalnya rakyat dan raja ini merupakan pinjaman dari mistik agama, yang menunjuk kepada persatuan antar Tuhan dan
manusia G. Moedjanto, 1998: 110. Konsep ini muncul karena menurunnya kekuatan dan tenggelamnya kekuasaan para priyayi oleh pengaruh kekuasaan
kompeni Belanda. Situasi dan kondisi pada waktu itu memunculkan konsep Mangunggaling Kawula-Gusti
untuk mengembalikan kekuasaan raja dan elit priyayi. Dan masyarakat pada masa itu menganggap adanya sakralitas terhadap
titah raja sebagai sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. ”Manunggaling Kawula-Gusti” merupakan sistem kekuasaan raja yang
memerlukan loyalitas tinggi dari para abdi. Konsep tersebut adalah bentuk lain dari cara perolehan kekuasaan raja yang berdasarkan wahyu. Wahyu atau pulung
diambil dari tradisi kuno, penerima pulung mendapat legitimasi untuk
commit to user
46
menjalankan kekuasaan serta kepemimpinannya. Otoritasnya bersifat kharismatik, selama pulung ada di keraton para raja berhak menjalankan pemerintahan dan
menduduki kerajaan Sartono Kartodirdjo, 1999: 47. Otoritas kekuasaan ini menimbulkan monopoli kekuasaan raja dan para priyayi.
Gerak dan tingkah laku priyayi tidak terlepas dari politik. Ada cara tertentu untuk membedakan pyiyayi dengan kawula, pembedaan ini semata-mata
untuk menjaga kewibawaannya. Kewibawaan atau kharisma secara tidal langsung mengarah kepada kekuatan untuk memerintah atau bertujuan politis. Nilai politik
menjiwai seluruh aktivitas dalam bidang budaya dan moral. Kesemuanya untuk mempertahankan kedudukan kelas yang berkuasa, yakni untuk mengeramatkan
kedudukan raja dan para pejabat kenegaraan sebagai priyayi atau niti praja Sartono Kartodirdjo, 1999: 143.
Raja bukan lagi orang dewasa, melainkan orang yang terpilih, orang yang unggul, orang yang derajatnya di atas orang kebanyakan atau pidak pidarakan G.
Moedjanto,1998: 111. Dengan istilah lain adalah ”darah biru”. Raja mempunyai keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Keistimewaan ini
mendukung untuk memiliki kekuasaan. Dalam kultur Jawa, kekuasaan adalah kemampuan untuk memberikan
kehidupan, kemampuan untuk mengolah ketegangan secara lembut dan untuk bertindak seperti magnet yang menggabungkan besi-besi yang tersebar Christina
S. Handayani, 2002: 52. Kekuatan ini ditunjang dengan kemampuan batin seseorang.
Logika rasa merupakan mekanisme yang melandasi interpenetrasi etiket, seni dan praktek mistik. Ia adalah yang mendasari kerumitan gagasan Jawa yang
berkaitan dengan watak, manifestasi dan kekuatan-kekuatan kasekten dibidang politik Paul Stange, 1998: 26. Gagasan yang mempengaruhi praktek politik ini
menuntut kepada abdi dalem atau pegawai kerajaan untuk patuh, tunduk secara lahir-batin segalanya diserahkan untuk raja. Harus ada kemantapan dalam
pengabdian kepada raja, karena raja adalah wakil Tuhan. Pemikiran Paku Buwana IV diterangkan dalam karyanya yakni Serat
Wulang Reh dalam Pupuh Megatruh: 1-3 sebagai berikut:
commit to user
47
Wong ngawula ing ratu luwih pekiwuh, nora kena minggrang- minggring, kudu mantep sartanipun, setya tuhu marang tuhu marang
gusti, dipunmiturut sapakon Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahken hukum adil,
pramila wajib denenut, kanga sapa kang manut ugi, mring parentahe sang katong
Aprasat mbadal ing karsa hyang agung, mulane babo wong urip, saparsa ngawuleng ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh
Mengabdi kepada raja itu sulit, tidak boleh ragu-ragu, harus mantap pengabdiannya, setia sungguh kepada Gusti , taatilah segala perintahnya
Memang ratu sebagai wakil Tuhan, menerapkan hukum yang adil, maka wajib dianut, siapa yang tidak tunduk kepada titah raja
Sama dengan melawan perintah Tuhan, maka ingat hai orang hidup, siapa yang mengabdi raja, harus ikhlas lahir batin, jangan sampai
mengandung keraguan.
Dalam kultur Jawa, ada keyakinan bahwa orang yang berkuasa biasanya tidak perlu berbicara keras, marah atu memukul meja. Akan tetapi untuk
diperhatikan cukup dengan memberi perintah secara tidak langsung dalam bentuk sindiran, usul atau anjuran sebagai perintah halus Christina S. Handayani, 2002:
52. Kultur kehalusan dalam memerintah tidak terlepas dari akar budaya Jawa dalam memahami konsep kekuasaan.
Kekuasaan menuntut adanya tunduk, setia dan merasa dikuasai, serta merasa diberi penghidupan oleh raja, secara lahir dan batin raja menguasai.
Dalih untuk menguasai adalah bahwa yang memerintah, raja adalah wakil Tuhan Kinarya Wakil Hyang Agung, tidak boleh ditentang, membangkang apalagi
memberontak. Idealisme tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan
berwibawa di banding dengan raja di sekitarnya Kasultanan dan Mangkunegaran serta VOC dan para abdi dalem.
Kepatuhan dan ketundukan terhadap raja tidak memandang umur, siapapun yang berkuasa harus diikuti dan dipatuhi walaupun seorang raja tersebut
masih muda usianya. Dalam pupuh Mijil:16-18, sebagai berikut: Lan maninge babo denpakeling, ing pitutur ingong, sira uga padha
ngempek-empek, iya marang kang jumeneng aji, lair ing myang batin denngrasa kawengku
commit to user
48
Kang jumeng iku kang mbawani, wus karsaning Manon, wajib padha wedi lan bektine, aja mampang parentahing aji, nadya anom ugi, lamun
dadi ratu Nora kena iya denwaoni, parentahing katong, dhasar ratu bener
parentahe, kaya kepriye nggonira sumingkir, yen tang anglakoni, pesthi tan rahayu.
Dan lagi ingatlah nasehatku, kau juga bersama-sama tunduk, setia kepada sang raja, lahir dan batin, merasalah dikuasai olehnya
Yang menguasai itulah, menjadi kehendak Tuhan, wajib berbakti dan takut, jangan melawan perintah raja meski muda sekalipun, bila menjadi
raja Tidak boleh dibantah, perintah sang raja, dasar raja perintahnya benar,
bagaimanakah caramu menolak, bila tidak melaksanakan, pasti akan celaka.
Tuntutan untuk taat dan tunduk kepada raja didasarkan pada sosok raja sebagai pemegang dan penjaga hukum yang adil. Sifat raja menguasai, memegang
teguh syarat agama, dan melaksanakan syariat. Ia harus sebagai pemimpin umat, itulah sebabnya ia disebut sebagai Khalifatullah. Sebagai pemimpin umat, raja
tidak boleh diremehkan perintahnya dan apabila raja mempunyai rahasia maka tidak boleh dibuka rahasia tersebut.
Melalui karya sastra serat Wulang Reh itulah Paku Buwana IV meletakkan dasar idealisme yang bernuansa agama Islam untuk menjalankan
pemerintahan di keraton Surakarta, dicontohkan Paku Buwana IV sendiri, seperti memberi ceramah di masjid dan tidak meninggalkan shalat lima waktu.
C. Dampak Idealisme Paku Buwana IV Dalam Pemerintahan Keraton