Kekerasan budaya ini sering hadir dalam banyak relasi sosial masyarakat. Pada masyarakat Ambon misalnya, bagaimana etnis BBM sering
kali dicap kotor dengan ungkapan-ungkapan jelek. Bahkan dalam keseharian masyarakat Indonesia ada kecenderungan setiap anggota etnis memandang
negatif terhadap etnis-etnis sebangsanya. Seperti orang Jawa munafik, orang Batak tidak tahu aturan, orang Padang rakus, orang Ambon keras kepala, dan
berbagai pandangan lainnya yang sebenarnya merupakan bentuk kekerasan budaya. Pandangan itu bisa menciptakan tindakan diskriminatif dan segregasi
sosial. Seperti yang dipaparkan oleh Galtung kekerasan budaya ini bisa
menciptakan kekerasan struktural dan langsung yang prosesnya terjadi di dalam kehidupan sosial politik. Berikut adalah tabel dimensi kekerasan yang
dibuat oleh Galtung : Tabel 2.1 Model Kekerasan Galtung
Kebutuhan Bertahan
Kebutuhan pada Kondisi yang Positif
Kebutuhan Identitas Kebutuhan
Kebebasan
Kekerasan langsung
Pembunuhan Desosialisasi, Resosialisasi, Warga
Kelas Dua Represi,
Pengusiran
Kekerasan Struktural
Eksploitasi A Penetrasi,
Segmentasi Marginalisasi,
Fragmentasi
2.1.6 Konsep Kekerasan Model Litke
Alternatif perspektif dalam tipe kekerasan adalah model yang diciptakan oleh Robert F. Litke. Litke dalam tulisan Violence and Power
1992 membuat skema definisi kekerasan pada dimensi fisik-psikologis dan
personal-institusional. Kekerasan yang dilakukan secara personal bisa berwujud dalam dimensi fisik dan psikologis. Kekerasan personal seperti
muggings, pemerkosaan dan pembunuhan merupakan aksi fisik, sedangkan pada dimensi psikologis kekerasan personal dan pembunuhan karakter.
Kekerasan institusional terlembagakan yang muncul dalam bentuk aksi fisik bisa berupa kerusuhan, terorisme, dan perang, sedangkan secara psikologis
muncul dalam bentuk perbudakan, rasisme dan sexist; seperti terlihat pada bagan berikut :
Tabel 2.2 Model kekerasan Litke Kebutuhan
Bertahan Fisik Psikologis
Personal Perampokan,
Pemerkosaan, Pembunuhan
Paternalisme Ancaman Personal
Pembunuhan Karakter
Institusional Kerusuhan,
Terorisme, Perang,
Perbudakan Rasisme
Sexist
Model atau tipe ideal Litke sebenarnya hampir serupa dengan tipe ideal kekerasan Galtung. Hanya saja Litke menggunakan perspektif sosial
dalam dimensi kekerasan. Sehingga ia tidak mempertimbangkan aspek kekerasan struktural seperti konsep Galtung. Susan, 2005 : 110-117
2.1.7 Konflik
Menurut Webster 1966, istilah ”conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu ”perkelahian, peperangan, atau perjuangan” – yaitu berupa
konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya ”ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi
atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik
yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah ”conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya
sebagai sebuah konsep tunggal. Solusi kami untuk masalah ini adalah dengan mengambil suatu makna
terbatas berdasarkan definisi Webster yang kedua. Bagi kami, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan perceived divergence of interest,
atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Kami memilih batasan ini karena kami
anggap sebagai batasan yang paling tepat sebagai dasar pembuatan teori. Kami merasa telah mampu membangun sebuah teori yang sederhana namun
kuat, dengan mencoba menjelaskan asal mula terjadinya perbedaan kepentingan seperti yang dipersepsikan oleh pihak-pihak yang berkonflik dan
dampak perbedaan persepsi terhadap pemilihan strategi serta hasilnya. Tidak dapat diragukan lagi, keputusan kami tersebut dipengaruhi oleh fakta bahwa
kami berdua adalah ahli psikologi sosial yang terbiasa berpikir dalam kerangka dampak kondisi mental terhadap perilaku sosial. Sekalipun
demikian kami yakin bahwa pendekatan ini akan bermanfaat bagi para sarjana maupun praktisi dari berbagai disiplin ilmu di luar psikologi sosial.
Perlu diingat bahwa kami sengaja memasukkan topik-topik tertentu secara implisit di dalam definisi kami mengenai konflik tersebut untuk
kepentingan analisis lebih lanjut. Kita akan sedikit membicarakan mengenai perbedaan pendapat mengenai fakta, argumentasi mengenai interpretasi
terhadap berbagai kenyataan objektif, pendapat mengenai siapa yang bersalah dalam sebuah kegagalan, atau dendam yang diawali oleh adanya
pengkhianatan. Kita juga tidak akan b erbicara terlalu b anyak mengenai konflik dalam bentuk kekerasan fisik, pemberontakan bersenjata, atau perang.
Jelas, setiap topik dapat dianggap penting dan masing-masing pantas diberi perhatian, tetapi kami tidak dapat membahas semuanya. Sebagai
gantinya, kami ingin meneliti secara seksama sisi psikologis dari perbedaan kepentingan yang terjadi dan memberikan tekanan pada konflik sebagaimana
hal ini terjadi saat ini beserta implikasi yang mungkin menyertai di masa mendatang. Apa yang akan menjadi disposisi pada kasus Sinai? Berapa lama
waktu yang diperlukan oleh Bagian Produksi untuk memenuhi pesanan? Siapa yang pada akhirnya akan mendapatkan sepeda, dan mengapa? Tanpa
mengabaikan masa lalu Frustasi di masa lalu dapat membuang orang begitu peduli tentang preseden yang mungkin terjadi di masa mendatang, sehingga
mengembangkan permusuhan yang mendorong digunakannya taktik contentious yang berlebihan, pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang
ingin kami jawab.
2.1.8 Peranan Media Massa