15
BAB II LANDASAN KONSEPTUAL DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Tipe konflik peran
Pada awalnya, penelitian-penelitian yang mengangkat isu konflik peran di antara domain kehidupan ini hanya mempertimbangkan aliran gangguan yang
berasal dari peran pekerjaan menuju peran keluarga KPK. Seiring dengan perkembangan dan perluasan kegiatan riset serta pengujian pada berbagai
konteks penelitian, ditemukan bahwa konstruk ini tidak berdimensi tunggal, melainkan memiliki dimensi ganda. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan dua
tipe konflik peran yakni gangguan dari pekerjaan menuju keluarga yang disebut dengan konflik pekerjaan-keluarga KPK, serta gangguan dari keluarga ke
pekerjaan KKP Martins et al., 2002; Yang et al., 2000. Dalam kaitannya dengan pendekatan imbas negatif dan positif,
keduanya tidak hanya dapat terjadi dari pekerjaan menuju keluarga, namun dapat juga bergerak dari keluarga ke arah pekerjaan Grzywacs Marks, 2000.
Dengan demikian, tipe konflik yang pada awalnya hanya dikelompokkan menjadi KPK dan KKP, kemudian berkembang menjadi empat kategori
yaituKPK negatif, KKP negatif, KPK positif, dan KKP positif. Dimensi KPK dan KKP dibedakan berdasarkan sumber gangguan. Di
satu pihak, KPK terjadi jika sumber gangguan berasal dari pekerjaan, dalam artian peran pekerjaan menghambat pemenuhan kewajiban rumah tangga. Di
lain pihak, KKP akan dialami jika penyelenggaraan fungsi domestik
16
menghalangi kinerja di tempat kerja. Pada dasarnya, kedua tipe konflik ini merupakan hal yang terpisah meskipun berhubungan satu dengan yang lain
Boyar et al. 2003. Mengingat hubungan antara kedua konflik ini cenderung bersifat resiprokal, idealnya, keduanya diuji secara simultan Martins et al.,
2002. Hasil studi kelompok peneliti terakhirmenggambarkan bahwa terdapat
hubungan resiprokal positif antara KPK dengan KKP. Dengan demikian, berdasarkan teori imbas, akan terdapat hubungan positif antara kedua dimensi
konflik peran ini. Jika dilakukan perbandingan antar budaya, ternyata hubungan resiprokal tersebuttidak bersifat spesifik untuk budaya tertentu. Aryee et al.
1999 yang melakukan studi pada parakaryawan Amerika Serikat dan Hong Kong, menemukan bahwa hubungan positif resiprokal antara KPK dengan KKP
terlihat bukan saja untuk kelompok sampel pertama, namun juga untuk yang kedua.
Kontras dengan hasil pengujian yang memberikan konfirmasi terhadap keterkaitan kedua tipe konflik ini, beberapa peneliti justru mengabaikan
hubungan antara KPK dengan KKP karena yang dipentingkan adalah sumber konflik, bukan arah hubungan kedua konflik Yang et al., 2000. Atas dasar
pemikiran ini, maka hanya KPK yang menjadi fokus penelitian Allen et al., 2000; Butler et al., 2005; Edwards Rothbard, 2000; Judge Colquit, 2004;
Mauno et al., 2006; Shaffer et al., 2001. Dasar pertimbangannya adalah karena hasil-hasil studi empiris menunjukkan bahwa dibandingkan dengan KKP, KPK
lebih besar pengaruhnya pada tingkat kesejahteraan individual yang diukur
17
melalui kepuasan kerja, kepuasan karir, dan kepuasan keluarga Martins et al., 2002.
Tilikan terhadap perbedaan prevalensi KPK dan KKP semakin banyak mendapat sorotan. Hasil-hasil riset konsisten dengan hasil studi Grandey et al.
2005 dan Kirby et al. 2004 yang secara tipikal menunjukkan bahwa peran pekerjaan berpengaruh lebih besar pada peran keluarga, dibandingkan
sebaliknya. Kondisi ini diduga terjadi karena responden menganggap bahwa kegiatan-kegiatan nonpekerjaan tidak bertentangan dengan tanggung jawab
pekerjaan, sedangkan kewajiban pekerjaan seringkali mencampuri komitmen dan minat pada peran nonpekerjaan. Konsekuensinya, prevalensi KPK
cenderung lebih tinggi dibandingkan KKP. Kinnunen et al. 2004 melaporkan bahwa KPK tiga kali lebih sering
terjadi dibandingkan dengan KKP, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Penyebabnya adalah tuntutan-tuntutan pekerjaan lebih mudah dikuantifisir dari
pada tuntutan padaperan keluarga.Dikemukakan pula bahwapada kenyataannya, evaluasi pekerja diwarnai oleh perasaan untuk menjadi seorang karyawan yang
baik, sehingga mereka memandang bahwa seharusnya tidak terlalu banyak memikirkan urusan keluarga di tempat kerja karena dapat mengganggu
pencapaian prestasi kerja. Menarik untuk disimak, sebagian besar laki-laki suami menyatakan
bahwa mereka menempatkan peran pekerjaan lebih penting dari pada tugas dan tanggung
jawab keluarga.Peran
ganda perempuantampak
nyata karenamengindikasikanbahwawewenanguntukmengelolaurusandomestik,
18
berada di tangankaumistri. Disamping aktifsecaraekonomi, istri bertindak sebagai nakhoda dalam rumah tangga. Suami dapat dengan leluasa bekerja di
luar rumah dan disebut sebagai “kepala rumah tangga yang baik” karena mencurahkan banyak waktu untuk giat bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang
tidak giat bekerja atau sering mangkir di tempat kerja terlebih karena alasan keluarga, akan dinilai secara lebih negatif dari pada perempuan dalam kondisi
yang sama sebab dianggap melanggar harapan bahwa laki-laki diasumsikan bertindak sebagai aktor utama dalam pengelolaan rumah tangga Butler
Skattebo, 2004. Dengan demikian, tidak menjadi masalah, bahkan diharapkan, seorang laki-laki menghabiskan waktu kerja yang panjang di tempat kerja, tanpa
dianggap mengabaikan tanggung jawab dalam keluarga. Meski kondisi kehidupan pekerjaan dan keluarga dewasa ini sudah dianggap tidak lagi bersifat
konvensional, peran gender yang dengan jelas memisahkan peran keluarga berada pada pundak perempuan dan peran pekerjaan merupakan wilayah
kekuasaan kaum laki-laki, tampaknya masih berlaku. Para perempuan melaporkan keberatannya karena pembagian sharing
dalam penanganan pekerjaan rumah tangga dirasakan tidak proporsional antara suami-istri. Keadaan ini sesuai dengan pandangan Shirley dan Wallace 2004
bahwa perempuanistri menganggap kesetaraan atau keadilan dalam pembagian tugas rumah tangga denganlaki-lakisuamimerupakan hal yang penting.Di Bali,
mungkin juga di wilayah lain, urusan rumah tangga lebih banyak dilimpahkan pada istri, sedangkan suami hanya “ikut nimbrug” sekali-sekali jika dianggap
perlu Sunasri, 2004. Cara pandang tersebut tampak konsisten dengan argumen
19
Choi dan Chao 2006, bahwa perempuan yang memiliki sub-identitas sebagai istri, ibu rumah tangga, sekaligus penyedia jasa tenaga kerja, cenderung
menjadikan identitas-identitas ini sebagai beban. Alasannya, perempuan merasa berhadapan dengan tuntutan keluarga yang lebih berat dibandingkan dengan
laki-laki, sehingga menganggapnya sebagai penyebab utama munculnya tekanan dan konflik peran.
Pada dua dekade terakhir, para peneliti di bidang organisasional menekankan pada isu-isu yang berhubungan dengan peran pekerjaan dan
cenderung mengabaikan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga Muchinky, 2003. Padahal, penelusuran terhadap hasil-hasil studi empiris memberikan
gambaran bahwa elemen keluarga juga dapat berkontribusi terhadap insiden dan pengalaman konflik peran. Ini karena elemen-elemen pekerjaan lebih mudah
diatur oleh pihak manajemen dibandingkan dengan unsur-unsur keluarga Grund et al., 2010.
Hasil studi Yang et al. 2000 menunjukkan bahwaketerlibatan dalam keluarga berpengaruh positif terhadap konflik peran.
Selain itu, komitmen waktu terhadap pekerjaan cenderung memiliki hubungan positif dengan KPK Parasuraan Simmers, 2001. Serupa dengan keterlibatan
dalam pekerjaan, komitmen waktu dalam pekerjaan juga diharapkan berhubungan positif dengan tipe konflik ini.
Beberapa temuan riset menggambarkan bahwa KPK dan KKP berhubungan secara berturut-turut dengan variabel-variabel pada domain
pekerjaan dan keluarga within domain, sedangkan riset yang lain menunjukkan bahwa tipe konflik ini justru berasosiasi dengan variabel-variabel
20
pada domain keluarga dan pekerjaan cross domain. Hasil studi Yang et al. 2000 menunjukkan bahwa keterlibatan dalam pekerjaan berhubungan positif
dengan konflik peran. Selain itu, komitmen terhadap pekerjaan juga cenderung berdampak positif terhadap KPK Parasuraan Simmers, 2001. Serupa
dengan itu, semakin tinggi keterlibatan dalam keluarga dan komitmen terhadap keluarga, maka semakin tinggi pula pengalaman konflik peran yang akan
dirasakan oleh seseorang.
2.2. Anteseden Konflik Peran