Determinan Konflik Pekerjaan-Keluarga dan Konflik Keluarga-Pekerjaan, Dalam Domain atau Antar Domain.

(1)

LAPORAN PENELITIAN

“DETERMINAN KONFLIK

PEKERJAAN-KELUARGA DAN KONFLIK PEKERJAAN-

KELUARGA-PEKERJAAN:

DALAM DOMAIN ATAU ANTAR DOMAIN?”

OLEH:

I GUSTI AYU MANUATI DEWI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena berkat asung kerta wara nugrahaNya, penelitian yang berjudul “Determinan Konflik Pekerjaan-Keluarga: Dalam Domain atau Antar Domain”? ini dapat deselesaikan dalam waktu yang ditargetkan. Penelitian ini dilakukan terkait dengan Mata Kuliah Perilaku Keorganisasian, khusunya mengenai konflik peran. Konflik peran menjadi subjek penelitian yang mengemuka dewasa ini, khusunya yang dialami oleh pasangan bekerja. Hal ini karena individu yang mengalami konflik peran kemungkinan besar akan mengalami gangguan dalam upaya pencapaian kinerja di tempat kerja maupun dalam kehidupan keluarganya.

Kami menyadari bahwa penelitian ini perlu disempurnakan demi mnghasilkan penelitian yang lebih baik. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Perilaku Keorganisasian.

Denpasar, Oktober 2015 Peneliti


(3)

Daftar Isi

Judul ...i

Kata Pengantar ...ii

Daftar Isi...iii

Daftar Tabel & Gambar ...v

Abstrak ...vi

Abstact...vii

BAB I. PENDAHULUAN ...1

1.1. ...Lat ar Belakang ...1

1.1.1. Tanggung jawab perean domestik dan publik ...8

1.1.2. Teori-teori yang relevan...10

1.2. ...Tuj uan Penelitian ...13

BAB II. LANDASAN KONSEPTUAL DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS...15

2.1. Tipe Konflik Peran ...15

2.2. Anteseden Konflik Peran...20

2.3. Karakteristik Peran Pekerjaan...20

2.4. Karakteristik Peran Keluarga...26

BAB III. METODE PENELITIAN ...32

3.1. Pendahuluan ...32

3.2. Latar Penelitian ...33

3.3. Populasi dan Sampel...33

3.4. Penyebaran dan Respon Kuesioner ...35

3.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...39


(4)

3.5.2. Konflik keluarga-pekerjaan...40

3.5.3. Otonomi kerja...40

3.5.4. Keterlibatan dalam pekerjaan...41

3.5.5. Komitmen waktu terhadap pekerjaan...41

3.5.6. Keterlibatan dalam keluarga...41

3.5.7. Komitmen waktu terhadap keluarga ...42

3.5.8. Dukungan pasangan ...42

3.6. Penilaian Instrumen Penelitian ...43

3.7. Teknik dan Analisis Data ...43

BAB IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN...45

4.1. Hasil Analisis dan Pembahasan ...45

4.1.1.Analisis deskreiptif...45

4.1.2. Hasil analisis inferensial ...52

4.1.3. Hasil analisis regresi linier berganda ...54

BAB V. SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI HASIL PENELITIAN ...58

5.1. Simpulan Penelitian ...58

5.2. Keterbatasan Penelitian ...59

5.3. Imiplikasi Hasil Penelitian...60

DAFTAR REFERENSI ...62

LAMPIRAN ...67

LAMPIRAN 1 Nama-nama dan Definisi Konseptual Teori yang Digunakan Sebagai Pedoman dalam Studi/kajian Terkait dengan Konflik Peran...67

LAMPIRAN 2 Hasil Pengolahan Data (Output) SPSS...74


(5)

Daftar Tabel

Tabel 3.1. Distribusi Lokasi Penyebaran Kuesioner menurut Institusi ...36

Tabel 3.2. Distribusi Responden menurut Kecamatan di Kota Denpasar ...39

Tabel 4.1. Distribusi Sampel Istri dan Suami Menurut Umur, Tingkat Pendidikan, Sektor Pekerjaan, Jenis Pekerjaan, dan Masa Kerja (n istri=188, n suami=188)...46

Tabel 4.2. Prevalensi KPK dan KKP (n=376)...49

Tabel 4.3. Korelasi Antara KPK dan KKP (n=376) ...49

Tabel 4.4. Pengaruh Imbas Antara KPK dan KKP ...50

Tabel 4.5. Perbandingan antara Suami dan Istri Menurut Tipe Konflik Peran ...51

Tabel 4.6. Hasil Uji Validitas Instrumen ...53

Tabel 4.7. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ...53

Table 4.8. The Impact of Work Role and Family Role Determinants on WFC and FWC. ...55


(6)

ABSTRAK

Studi yang disajikan secara spesifik bertujuan untuk menguji apakah determinan dari dua jenis konflik peran yaitu konflik pekerjaan-keluarga (KPK) dan konflik keluarga-pekerjaan (KKP) bersifat dalam domain atau antar domain. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasangan bekerja di Kota denpasar. Sampel dalam studiiniadalah 188 pasangan bekerja atau 376 orang yang bekerja di sektor formal di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Metode pengambilan sampel adalah purposive sampling. Metode pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada responden pasangan bekerja yang terpilih di empat kecamatan di kota Denpasar, yaitu Kecamatan Denpasar Utara, Selatan, Timur, dan Barat. Teknik Analisis yang diterapkan adalah Regresi Linier Berganda. Hasil studi menunjukkan bahwa anteseden KPK dan KKP bersifat antar domain yaitu determinan KPK berasal dari karakteristik peran keluarga, sedangkan faktor-faktor yang berkontribusi pada variasi KKP bersumber dari karakteristik peran pekerjaan. Dari tiga determinan peran pekerjaan, keterlibatan dalam pekerjaan muncul sebagai determinan KKP yang paling penting. Di lain pihak, komitmen waktu untuk keluarga tampak sebagai kontibutor yang dominan terhadap prevalensi KPK. Implikasi studi menunjukkan bahwa untuk menyeimbangkan peran pekerjaan dan keluarga, individu harus mempertimbangkan baik faktor-faktor yang berasal dari peran pekerjaan maupun keluarga. Arah untuk riset selanjutnya, juga didiskusikan.

Kata-kata kunci: konflik pekerjaan-keluarga, konflik leluarga-pekerjaan, dalam domain, antar domain.


(7)

ABSTRACT

The study reported here attempted to specifically examine whether the determinant of two types of role conflict, i.e., work-family conflict (WFC) and family-work conflict (FWC) is within-domain or cross-domain. The population of this study was all dual-earner couples in Denpasar City-Bali Province. Sample of this research is 188 dual-earner couples or 376 individuals working in formal sector in Denpasar City, Bali Province. Sampling method implemented was purposive sampling. Data were collected trhough distribution of questionnaire chosen in four municipalities that are Nort Denpasar, South Denpasar, East Denpasar, and West Denpasar. Analysis Technique used was Multiple Regression Analysis.The results show that antecedent of WFC and FWC is cross-domain in nature i.e., antecedent of WFC come from family cross-domain and antecedent of FWC come from work domain. From the three work role characteristics, job involvement emerges as dominant FWC precursor. Whereas, time commitment to family occurs as the strongest variable affects WFC. The findings imply that for balancing work and family roles, individual have to be considered both work role and family role factors. Direction for future research is discussed.

Keywords: work-family conflict, family-work conflict, within-domain, cross-domain


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anggota pasangan bekerja, baik sebagai orang tua atau pasangan hidup, menghadapi kehidupan yang kompleks. Mereka harus memenuhi tanggung jawab berkaitan dengan domain pekerjaan dan keluarga. Sayangnya, realisasi tugas-tugas dan kewajiban pada dua domain kehidupan ini seringkali tidak harmonis atau bahkan bertentangan satu sama lain. Dengan demikian, integrasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab peran pekerjaan dan keluarga harus diupayakan guna mencapai kinerja yang optimal di kedua domain. Akan tetapi, upaya ini sangat sulit dilakukan karena penunaian tugas dan tanggung jawab kedua peran kehidupan ini cenderung bersifat bertentangan satu sama lain (incompatibility). Konsekuensinya, akan timbul konflik antar peran (interrole conflict) yang sering disebut konflik pekerjaan-keluarga (work-family conflict/WFC). Studi ini mengacu pada pendapat O’Driscoll dan Humphries (1994) yang mengklasifikasi KPK sebagai konflik/tekanan antar peran (interrole conflict/stress), khususnya yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga.

Spillover theory (Teori Imbas) muncul sebagai teori yang paling banyak digunakan sebagai pedoman studi-studi empiris tentang konflik peran. Teori ini


(9)

digunakan sebagai acuan utama dalam studi ini. Argumen kunci teori ini adalah bahwa pengalaman pada satu domain kehidupan (misalnya, pekerjaan), cenderung berimbas pada pengalaman pada domain yang lain (misalnya, keluarga) (Kinnunen & Mauno, 2001). Pada dasarnya imbas ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu imbas positif dan imbas negatif. Imbas positif akan tampak jika kepuasan yang diperoleh dan energi yang dikeluarkan di tempat kerja, misalnya, menyebabkan perasaan dan energi positif dalam tumah tangga. Sebaliknya, imbas negatif terjadi jika masalah dan tekanan di tempat kerja, menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab keluarga. Namun, sebagian besar hasil-hasil studi empiris menunjukkan bahwa pengalaman pekerjaan-keluarga muncul sebagai proses imbas negatif. Hal ini disebabkan sebagain besar studi peran ganda mengarah pada “kerugian” yang ditimbulkan dibandingkan “manfaat” yang diperoleh (William & Alliger, 1994).

Selain Teori Imbas, berdasarkan kajian terhadap hasil-hasil studi empiris terdapat sekitar 43 teori yang digunakan sebagai dasar untuk mengkaji riset tentang konflik pekerjaan-keluarga (Dewi, 2013). Teori-teori tersebut dapat dilihat pada lampiran.

Riset WFC diawali dengan diangkatnya isu konflik peran sebagai salah satu sumber tekanan di tempat kerja. Kondisi ini diakibatkan oleh saling ketergantungan peran pekerjaan dan keluarga, sehingga memecahkan mitos yang oleh Kanter disebut sebagai ‘myth of separate world” (Duxbury et al., 1992). Maknanya,


(10)

komponen pekerjaan dan keluarga ini bukanlah merupakan dua domain yang terpisah, melainkan berhubungan, bahkan, secara rekursif (Lilly et al., 2006). Akibatnya, terdapat dua tipe konflik peran antara pekerjaan dan keluarga yakni Konflik Pekerjaan-Keluarga (KPK) dan Konflik Keluarga-Pekerjaan (KKP).Konflik jenis pertama (KPK) terjadi jika waktu dan energi yang dicurahkan untuk domain pekerjaan menyebabkan gangguan alokasi waktu dan energi untuk keluarga. Sebaliknya, KKP dialami jika penunaian tanggung-jawab keluarga menghambat penyelesaian tugas-tugas di tempat kerja ( Beauregard, 2006).

Riset- empiris menunjukkan bahwa determinan KPK dan KKP. Disebutkan bahwa Secara umum, anteseden KPK dan KKP berasal dari domain keluarga dan domain pekerjaan (Jennings & McDougald, 2007; Lilly et al. 2006; Luk & Shaffer, 2005). Secara spesifik, akibat dari hubungan rekursif antara KPK dengan KKP, model yang dikembangkan oleh Frone (1992) menunjukkan bahwa dua jenis konflik ini memiliki anteseden yang berbeda. Dijelaskan lebih lanjut bahwa anteseden KPK berasal dari karakteristik peran pekerjaan, sedangkan anteseden KKP bersumber dari karakteristik peran keluarga. Hubungan ini disebut dengan hubungan dalam domain (within domain). Di lain pihak, peneliti yang lain menyebutkan bahwa terdapat kemungkinan bahwa hubungan antara kedua tipe konflik ini dengan antesedennya, bersifat antar domain (cross domain), seperti misalnya Grandey et al., (2005) dan Greenhaus dan Powel (2006). Hal ini berarti bahwa KPK disebabkan oleh peran-peran yang terdapat dalam wilayah keluarga,


(11)

sedangkan KKP disebabkan oleh pemenuhan peran-peran yang berasal dari wilayah pekerjaan.

Otonomi kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, dan komitmen waktu terhadap pekerjaan antara lain merupakan variabel-variabel bebas dari domain peran pekerjaan yang dipandang dapat menjelaskan konflik yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga

(Parasuraman & Simmers, 2001). Sementara itu, keterlibatan dalam keluarga, komitmen waktu terhadap keluarga, dukungan karir dan dukungan emosi dari pasangan (suami atau istri) muncul sebagai determinan (prekusor) yang domain keluarga.

Otonomi pekerjaan diprediksi berhubungan negatif dengan konflik peran. Individu yang memiliki diskresi yang tinggi dalam pekerjaannya, cenderung memiliki intensitas konflik peranyang lebih rendah dibandingkan mereka dengan yang diberikan keleluasaan pekerjaan yang lebih rendah tingkatannya (Grant-Vallone & Donaldson, 2001). Hal ini disebabkan adanya fleksibelitas jadual pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang karena yang bersangkutan dapat menyusun atau mengatur pemenuhan kewajibannya sendiri terhadap pekerjaan. Sebaliknya, keterlibatan dalam pekerjaan dan komitmen terhadap pekerjaan diharapkan berhubungan dengan pengalaman konflik. Semakin tinggi tingkat kedua elemen pekerjaan ini, maka semakin tinggi pula insiden konflik yang terjadi, melalui


(12)

peningkatan waktu dan energi yang yang didedikasikan dalam peran pekerjaan dan keluarga.

Isu tentang penyeimbangan antar peran kehidupan menjadi penting untuk dijadikan bahan kajian, karena pengalaman sehari-hari dalam pelaksanaan berbagaiperan akan berdampak pada kehidupanindividual, khususnya yang sudahberkeluarga, bekerja di luar rumah.Hal tersebutmenjadi semakin krusial mengingat harmonisasi peran pada kedua domain yang bersangkutan,relatif sulit untuk direalisasikan. Kegagalan upaya integrasi ini dapat berdampak pada ketegangan atau tekanan baikdi tempat kerja, keluarga, maupun masyarakat, yang pada gilirannya dapat menghambat pencapaian kinerja pada kedua peran.Hambataninipadaakhirnyaakanberujungpadagangguanpencapaiankinerjaorga nisasisecarakeseluruhan.

Studi-studi mengenai peran ganda dapat dikategorikan ke dalam dua kelompokutama, yaitu azas manfaat dan biaya (Williams & Alliger, 1994).Menurut azas manfaat, pelaksanaan peran ganda memungkinkan individual untuk mendapat manfaat psikologis berupa perolehan status, gratifikasi ego, dan peningkatan rasa percaya diri. Sementara itu, azas biaya mempostulasi bahwa pelaksanaan peran ganda dapat menimbulkan biaya potensial berkaitan dengan akumulasi peran, seperti ketegangan peran, gangguan psikologis, dan gangguan somatik. Berdasarkanpenelusuranliteratur, nampak sebagian besar studi berada pada posisi bahwa peran ganda lebih banyak mengarah pada biaya atau “kerugian” yang


(13)

ditimbulkan, dibandingkan manfaat yang diperoleh. Dengan lain perkataan, peran ganda cenderung dilukiskan sebagai sumber konflik bagi individual yang menyandangnya. Konflik semacam ini disebut dengan konflik peran (interrole conflict), didefinisi sebagai konflik yang timbul antara berbagai peran kehidupan (Walls et al., 2001).

Dalam kehidupan orang dewasa, aspek pekerjaan dan nonpekerjaan merupakan realisme dwi-tunggal yang saling terkait satu sama lain.Individual yang bekerja dan berada dalam suatu ikatan perkawinan,mau tidak mauharus mengupayakan perimbangan antara dua kepentingan tersebut, karena menurut Lo et al. (2003), akhir-akhir ini, tekanan pekerjaan-keluarga diidentifikasi sebagai masalah utama pekerja.

Data yang diterbitkan olehThe National Institute for Occupational Safety and Health juga mengidentifikasi KPK sebagai satu dari sepuluh sumber tekanan utamadi tempat kerja (Robbins, 2004).Kondisi inimenggambarkan bahwakonflik peran merupakan aspek kehidupan yang perlu mendapat perhatian serius bukan saja dari individual, melainkan juga dari organisasi yang mempekerjakan karyawan, khususnyayang termasuk kategori pasangan bekerja.Masifnya keterlibatan perempuan di pasarkerja, secara otomatis meningkatkan jumlah pasangan bekerja dan menyebabkan semakin besarnya tekanan peran ganda, dengan konsekuensi semakin tingginya konflik peran (Kulik & Rayyan, 2006).


(14)

Studi tentang konflik peran sejatinya berakar dari studi klasik yangpertama kali dilakukan oleh Khan dan kawan-kawanpadatahun 1964 (Grant-Valone& Donaldson, 2001). Pada masa lalu, ketika karakteristik keluarga masih dicirikan oleh dominasi suami sebagai pencari nafkah utama, konflik peran tidaklah merupakan topik pembahasan yang semenarik sekarang. Dengan meningkatnya jumlah keluarga pasangan bekerja,optimalisasi pemenuhan tuntutan antara peran pekerjaan dan keluarga menjadi semakin sulit untuk diupayakan.Terlebih lagi mengingat konflik yang bersumber dari ketidakseimbangan tuntutanantar domain kehidupan ini merupakan suatu realitas dengan tingkat insiden yang relatif tinggi.

MengacupadahasilstudiGalinsky et al. (1993), Allen et al.(2000)menyatakan bahwa sekitar 41 persen orang tua bekerja mengalami KPK, paling tidak pada waktu-waktu tertentu. Seturut itu, survai terhadap 6.451 orang karyawan IBM (International Business Machine), menunjukkanbahwa sekitar 50 persen responden melaporkan kesulitan dalam pencapaian keseimbangan pekerjaan-keluarga ( work-family balance)(Lambert et al., 2006a).Kondisi ini secara tidak langsung mencerminkanbahwa separuhdarijumlahkaryawan yang diteliti, mengalami konflik peran.

Sepintas, tampak bahwa KPK dan keseimbangan pekerjaan-keluarga bersifat paralel. Meskipun KPK dan keseimbangan pekerjaan-keluarga sama-sama mengacupada teori tekanan (stress theory), sejatinya keduanya merupakan hal yang bertentangan (Fischlmayr & Kollinger, 2010). Individual denganpengalamanKPK


(15)

yang tinggi akan mencapai keseimbangan pekerjaan-keluarga dengan intensitas yang rendah (Lambert et al., 2006a). Jika terjadi konflik peran,berarti terdapat gangguan pada keseimbangan pekerjaan-keluarga (Burchielli, et al., 2008).Secara konseptual, terdapat perbedaan mendasar antara kedua kondisi tersebut. Konflik pekerjaan-keluarga merupakan salah satu bentuk konflik antar peran yang dicirikan dengan ketidakcocokan antara tuntutan-tuntutan peran pekerjaan dan keluarga,sedangkan keseimbangan pekerjaan-keluarga adalah suatu kondisi dengan mana seseorang merasa puas terhadap baik peran keluarga maupun pekerjaannya (Voydanoff, 2004a).

1.1.1. Tanggung jawab peran domestik dan publik

Riset KPK diawali dengan diangkatnya isu konflik peran sebagai salah satu sumber tekanan atau ketegangan di tempat kerja. Kondisi ini diakibatkan oleh saling ketergantungan antara peran pekerjaan dan keluarga, sehingga memecahkan mitos yang oleh Kanter (1977) disebutsebagai‘myth of separate world’(Duxbury et al., 1992). Komponen rasional dan nonrasional ini tidak hanya berasosiasi, namun juga memiliki hubungan yang bersifat rekursif (Lilly et al., 2006).

Isu ini menjadi semakin penting karena dua alasan.Pertama, hasil-hasil studi empiris menunjukkan bahwa konflik yang bersumber dari dua wilayah kehidupan ini dapat menyebabkan tekanan-tekanan lain, selainberdampak negatif pada kesehatan dan kesejahteraan pekerja, baik bagi laki-laki maupunperempuan. Kedua,


(16)

melalui temuan-temuan tentang hubungan konflik peran dan anteseden serta konsekuensinya, diharapkan organisasi dapat merancang kegiatan intervensi untukmembantukaryawandalampengelolaantuntutan-tuntutanperanganda.

Meningkatnya proporsi perempuan di pasar kerjayang ditunjukkan melalui semakin tingginya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan, secara otomatis memperbesar jumlah keluarga pasangan bekerja bukan saja di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara sedang berkembang. Di semua wilayah, kecuali Timur Tengah dan Afrika Utara, paling tidak sepertiga angkatan kerjanya terdiri dari perempuan (Heymann et al., 2004).

Proses pergerakan terjunnya perempuan ke pasar kerja disebut sebagai revolusi sosial yang mendasar dalam kehidupan manusia(Shirley & Wallace, 2004). Sejak tahun 1970, di Australia terjadi penurunan proporsi keluarga dengan suami sebagai pencari nafkah tunggal dibarengi dengan kenaikan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hingga mencapai 53 persen pada tahun 2004 (Australian Bureau of Statistics, 2006)(dalam Burchielli et al., 2008).Kondisi serupa terjadi di Indonesia dengan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang jugasenantiasa mengalami peningkatan, yaitudari 32,65% pada tahun 1980 menjadi 38,79%; 40,95%; 43,98%; 48,41%; dan 49,52%; dan 55,13% secara berturut-turut pada tahun 1990, 1995, 2000, 2005,2007, dan 2011 (Badan Pusat Statistik, 1982; Badan Pusat Statistik, 1992; Badan Pusat Statistik, 1997; Badan Pusat Statistik, 2002;


(17)

Badan Pusat Statistik, 2007a; Badan Pusat Statistik, 2007b; dan Badan Pusat Statistik, 2012).

Tren dan perubahan struktur tenaga kerja ini merupakan faktor penting yang menyebabkan isu konflik peran menjadi semakin krusial.Disamping berperan di pasar kerja, keterlibatan dalam masyarakat juga merupakan peran publik yang menjaditanggungjawab individual, khususnya yang sudah berkeluarga dan bekerja di luar rumah. Tugasdan tanggung jawab sebagai anggota masyarakat yang seringkali menuntut waktu serta energi tidak sedikit (terutama di negara-negara Timur yang memiliki ikatan kekerabatan dan kemasyarakatanyang erat), akan menimbulkan konflik peran yang lebih intensifdibandingkan jika seseorang hanya mengemban peran pekerjaan dan keluarga.

1.1.2. Teori-teori yang relevan

Atas dasar studi-studi konseptual dan empiris yang dapat diakses, terdapat 43 teori yang digunakan sebagai acuanpada studi konflik peran (nama serta tinjauan konseptual masing-masing teori dapat dilihat pada lampiran). Secara umum,teori-teori tersebut dapat dikelompokkan menjadi perspektif konflik/argumen penipisan/ hipotesiskelangkaan(conflict perspective/depletion argument/scarcity hypothesis)dan perspektifpeningkatan/argumen pengkayaan/hipotesisperluasan (enhancement perspective/enrichment argument/expansionist hypothesis).Secara prinsip, hipotesis kelangkaan yang pertama kali dikembangkan oleh Goode


(18)

padatahun1960 menjelaskan bahwa waktu dan energi yang dimiliki manusia terbatas jumlahnya, sedangkan hipotesis perluasan yang awal mulanya diajukan oleh Marks (1977) menyebutkan bahwa waktu dan energi merupakan dua unsur posesi manusia yang dapat dikembangkan jumlahnya (Hammer et al., 2005a).

Terdapat perbedaan yang mendasar antara perspektif konflik dan perspektif peningkatan.Menurut Jennings dan McDougald (2007), perspektif konflik didasarkan pada teori kelangkaan dan teori penipisansumberdaya yang menyatakan bahwa akibat ketidakcocokanantara tuntutan pekerjaan dan keluarga, pengalaman konflikdipersepsikan sebagai suatu hal yang problematik dan penuh tekanan. Sementara itu, perspektif peningkatanmuncul dari riset-riset akumulasi peran dengan postulasi bahwa peran ganda dapat bermanfaat melalui potensi terjadinya aliran emosi, sikap, serta perilaku positif.

Hingga saat ini, belum tercapai suatu kesepakatan mengenai eksistensi kedua perspektif tersebut. Tompson dan Werner (1997) (dalam Greenhaus & Powell, 2006) menyatakan bahwa konflik dan peningkatanperan (fasilitasi peran) merupakan titik-titik berlawanan dari satu kontinum yang sama (opposite ends of the same continuum). Selain itu, Grzywacs dan Butler (2005) juga mengajukan argumen bahwa fasilitasi peran bukan merupakan kebalikan bipolar konflik peran karena faktor-faktor yang berkontribusi pada fasilitasi peran, tidak sama dengan yang berkontribusi pada konflik peran. Artinya, jika seseorang mengalami konflik peran, pada saat yang sama dia tidak akan mengalami fasilitasi peran. Sementara


(19)

itu, Wadsworth dan Owens (2007) mengajukan argumen bahwa keduanya bukan merupakan titik-titik berlawanan dari satu kontinum (notopposite ends of the same continuum). Jadi, memungkinkan bagi individual untuk mengalami baik prevalensi konflik peran maupun fasilitasi peran yang tinggi secara bersamaan.

Jika diadakan perbandingan antara kedua perspektif yang dijadikan acuan pada studi KPK, sebagian besar teori mengarah pada perspektif konflikyang menggambarkan bahwa pengalaman dalam menjalankan peran ganda,cenderung merugikan. Hasil-hasil studi empiris juga menunjukkan bahwa peran ganda lebih banyak berdampak negatif dari pada bermanfaat bagi individual(Netemeyer et al.,2005). Hal ini cenderung disebabkan oleh fasilitasi peran merupakan studi yang masih berada pada tahap awal serta tampak kurang intiutif dibandingkan dengan konflik peran (Wadsworth & Owens, 2007). Terhambatnya atau relatif lambatnya perkembangan riset fasilitasi peran juga diakibatkan belum adanya teori yang kuat sebagai acuan (Greenhaus & Powell, 2006). Hal ini diklarifikasi melalui laporan dari berbagai organisasi dan publikasi bisnis yang menunjukkan bahwa terlepas dari dukungan manajerial terbaik yang dapat disediakan oleh organisasi, tuntutan keluarga dan rumah tangga karyawan akan berimbas pada kehidupan di tempat kerja. Tampaknya, penguatan riset tentang fasilitasi peran di masa mendatang memerlukan suatu pendekatan kontemporer.


(20)

Berdasarkan uraian pada latar belakang, serta dipandu oleh teorispillover, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Apakah otonomi pekerjaan berpengaruh negatif pada KPK dan KKP?

2. Apakah keterlibatan dalam pekerjaan berpengaruh positif pada KPK dan KKP?

3. Apakah komitmen waktu terhadap pekerjaan berpengaruh positif pada KPK dan KKP?

4. Apakah keterlibatan dalam pekerjaan berpengaruh positif pada KPK dan KKP?

5. Apakah keterlibatan dalam keluarga berpengaruh positif terhadap KPK dan KKP?

6. Apakah dukungan karir pasanganberpengaruh negatif pada KPK dan KKP? 7. Apakah dukungan emosional pasangan berpengaruh negatif pada KPK dan

KKP?

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuanuntukmenguji sifat hubungan antara karakteristik peran pekerjaan dan keluarga dengan KPK dan KKP.Secara spesifik dapat dikatakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sifat hubungan


(21)

kedua tipe konfli peran ini dengan antesedennya bersifat dalam domain ( domain-specific) atau antar domain (cross domain). Serangkaian tujuan tersebut dicapai melalui beberapa pengujiansebagai berikut.

1. Pengaruh otonomi pekerjaan pada KPK dan KKP.

2. Pengaruh keterlibatan dalam pekerjaan pada KPK dan KKP.

3. Pengaruh komitmen waktu terhadap pekerjaan pada KPK dan KKP. 4. Pengaruh keterlibatan dalam pekerjaan pada KPK dan KKP.

5. Pengaruhketerlibatan dalam keluarga berpengaruh pada KPK dan KKP. 6. Pengaruh dukungan karir pasanganpada KPK dan KKP.


(22)

BAB II

LANDASAN KONSEPTUAL DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Tipe konflik peran

Pada awalnya, penelitian-penelitian yang mengangkat isu konflik peran di antara domain kehidupan ini hanya mempertimbangkan aliran gangguan yang berasal dari peran pekerjaan menuju peran keluarga (KPK). Seiring dengan perkembangan dan perluasan kegiatan riset serta pengujian pada berbagai konteks penelitian, ditemukan bahwa konstruk ini tidak berdimensi tunggal, melainkan memiliki dimensi ganda. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan dua tipe konflik peran yakni gangguan dari pekerjaan menuju keluarga yang disebut dengan konflik pekerjaan-keluarga (KPK), serta gangguan dari keluarga ke pekerjaan (KKP) (Martins et al., 2002; Yang et al., 2000).

Dalam kaitannya dengan pendekatan imbas negatif dan positif, keduanya tidak hanya dapat terjadi dari pekerjaan menuju keluarga, namun dapat juga bergerak dari keluarga ke arah pekerjaan (Grzywacs & Marks, 2000). Dengan demikian, tipe konflik yang pada awalnya hanya dikelompokkan menjadi KPK dan KKP, kemudian berkembang menjadi empat kategori yaituKPK negatif, KKP negatif, KPK positif, dan KKP positif.

Dimensi KPK dan KKP dibedakan berdasarkan sumber gangguan. Di satu pihak, KPK terjadi jika sumber gangguan berasal dari pekerjaan, dalam artian peran pekerjaan menghambat pemenuhan kewajiban rumah tangga. Di lain pihak, KKP akan dialami jika penyelenggaraan fungsi domestik


(23)

menghalangi kinerja di tempat kerja. Pada dasarnya, kedua tipe konflik ini merupakan hal yang terpisah meskipun berhubungan satu dengan yang lain (Boyar et al. 2003). Mengingat hubungan antara kedua konflik ini cenderung bersifat resiprokal, idealnya, keduanya diuji secara simultan (Martins et al., 2002).

Hasil studi kelompok peneliti terakhirmenggambarkan bahwa terdapat hubungan resiprokal positif antara KPK dengan KKP. Dengan demikian, berdasarkan teori imbas, akan terdapat hubungan positif antara kedua dimensi konflik peran ini. Jika dilakukan perbandingan antar budaya, ternyata hubungan resiprokal tersebuttidak bersifat spesifik untuk budaya tertentu. Aryee et al. (1999) yang melakukan studi pada parakaryawan Amerika Serikat dan Hong Kong, menemukan bahwa hubungan positif resiprokal antara KPK dengan KKP terlihat bukan saja untuk kelompok sampel pertama, namun juga untuk yang kedua.

Kontras dengan hasil pengujian yang memberikan konfirmasi terhadap keterkaitan kedua tipe konflik ini, beberapa peneliti justru mengabaikan hubungan antara KPK dengan KKP karena yang dipentingkan adalah sumber konflik, bukan arah hubungan kedua konflik (Yang et al., 2000). Atas dasar pemikiran ini, maka hanya KPK yang menjadi fokus penelitian (Allen et al., 2000; Butler et al., 2005; Edwards & Rothbard, 2000; Judge & Colquit, 2004; Mauno et al., 2006; Shaffer et al., 2001). Dasar pertimbangannya adalah karena hasil-hasil studi empiris menunjukkan bahwa dibandingkan dengan KKP, KPK lebih besar pengaruhnya pada tingkat kesejahteraan individual yang diukur


(24)

melalui kepuasan kerja, kepuasan karir, dan kepuasan keluarga (Martins et al., 2002).

Tilikan terhadap perbedaan prevalensi KPK dan KKP semakin banyak mendapat sorotan. Hasil-hasil riset konsisten dengan hasil studi Grandey et al. (2005) dan Kirby et al. (2004) yang secara tipikal menunjukkan bahwa peran pekerjaan berpengaruh lebih besar pada peran keluarga, dibandingkan sebaliknya. Kondisi ini diduga terjadi karena responden menganggap bahwa kegiatan-kegiatan nonpekerjaan tidak bertentangan dengan tanggung jawab pekerjaan, sedangkan kewajiban pekerjaan seringkali mencampuri komitmen dan minat pada peran nonpekerjaan. Konsekuensinya, prevalensi KPK cenderung lebih tinggi dibandingkan KKP.

Kinnunen et al. (2004) melaporkan bahwa KPK tiga kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan KKP, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Penyebabnya adalah tuntutan-tuntutan pekerjaan lebih mudah dikuantifisir dari pada tuntutan padaperan keluarga.Dikemukakan pula bahwapada kenyataannya, evaluasi pekerja diwarnai oleh perasaan untuk menjadi seorang karyawan yang baik, sehingga mereka memandang bahwa seharusnya tidak terlalu banyak memikirkan urusan keluarga di tempat kerja karena dapat mengganggu pencapaian prestasi kerja.

Menarik untuk disimak, sebagian besar laki-laki (suami) menyatakan bahwa mereka menempatkan peran pekerjaan lebih penting dari pada tugas dan tanggung jawab keluarga.Peran ganda perempuantampak nyata karenamengindikasikanbahwawewenanguntukmengelolaurusandomestik,


(25)

berada di tangankaumistri. Disamping aktifsecaraekonomi, istri bertindak sebagai nakhoda dalam rumah tangga. Suami dapat dengan leluasa bekerja di luar rumah dan disebut sebagai “kepala rumah tangga yang baik” karena mencurahkan banyak waktu untuk giat bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang tidak giat bekerja atau sering mangkir di tempat kerja (terlebih karena alasan keluarga), akan dinilai secara lebih negatif dari pada perempuan dalam kondisi yang sama sebab dianggap melanggar harapan bahwa laki-laki diasumsikan bertindak sebagai aktor utama dalam pengelolaan rumah tangga (Butler & Skattebo, 2004). Dengan demikian, tidak menjadi masalah, bahkan diharapkan, seorang laki-laki menghabiskan waktu kerja yang panjang di tempat kerja, tanpa dianggap mengabaikan tanggung jawab dalam keluarga. Meski kondisi kehidupan pekerjaan dan keluarga dewasa ini sudah dianggap tidak lagi bersifat konvensional, peran gender yang dengan jelas memisahkan peran keluarga berada pada pundak perempuan dan peran pekerjaan merupakan wilayah kekuasaan kaum laki-laki, tampaknya masih berlaku.

Para perempuan melaporkan keberatannya karena pembagian (sharing) dalam penanganan pekerjaan rumah tangga dirasakan tidak proporsional antara suami-istri. Keadaan ini sesuai dengan pandangan Shirley dan Wallace (2004) bahwa perempuan/istri menganggap kesetaraan atau keadilan dalam pembagian tugas rumah tangga denganlaki-laki/suamimerupakan hal yang penting.Di Bali, mungkin juga di wilayah lain, urusan rumah tangga lebih banyak dilimpahkan pada istri, sedangkan suami hanya “ikut nimbrug” sekali-sekali jika dianggap perlu (Sunasri, 2004). Cara pandang tersebut tampak konsisten dengan argumen


(26)

Choi dan Chao (2006), bahwa perempuan yang memiliki sub-identitas sebagai istri, ibu rumah tangga, sekaligus penyedia jasa tenaga kerja, cenderung menjadikan identitas-identitas ini sebagai beban. Alasannya, perempuan merasa berhadapan dengan tuntutan keluarga yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki, sehingga menganggapnya sebagai penyebab utama munculnya tekanan dan konflik peran.

Pada dua dekade terakhir, para peneliti di bidang organisasional menekankan pada isu-isu yang berhubungan dengan peran pekerjaan dan cenderung mengabaikan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga (Muchinky, 2003). Padahal, penelusuran terhadap hasil-hasil studi empiris memberikan gambaran bahwa elemen keluarga juga dapat berkontribusi terhadap insiden dan pengalaman konflik peran. Ini karena elemen-elemen pekerjaan lebih mudah diatur oleh pihak manajemen dibandingkan dengan unsur-unsur keluarga (Grund et al., 2010). Hasil studi Yang et al. (2000) menunjukkan bahwaketerlibatan dalam keluarga berpengaruh positif terhadap konflik peran. Selain itu, komitmen waktu terhadap pekerjaan cenderung memiliki hubungan positif dengan KPK (Parasuraan & Simmers, 2001). Serupa dengan keterlibatan dalam pekerjaan, komitmen waktu dalam pekerjaan juga diharapkan berhubungan positif dengan tipe konflik ini.

Beberapa temuan riset menggambarkan bahwa KPK dan KKP berhubungan secara berturut-turut dengan variabel-variabel pada domain pekerjaan dan keluarga (within domain), sedangkan riset yang lain menunjukkan bahwa tipe konflik ini justru berasosiasi dengan variabel-variabel


(27)

pada domain keluarga dan pekerjaan (cross domain). Hasil studi Yang et al. (2000) menunjukkan bahwa keterlibatan dalam pekerjaan berhubungan positif dengan konflik peran. Selain itu, komitmen terhadap pekerjaan juga cenderung berdampak positif terhadap KPK (Parasuraan & Simmers, 2001). Serupa dengan itu, semakin tinggi keterlibatan dalam keluarga dan komitmen terhadap keluarga, maka semakin tinggi pula pengalaman konflik peran yang akan dirasakan oleh seseorang.

2.2. Anteseden Konflik Peran

Para peneliti di bidang konflik antar peran mengemukakan bahwa anteseden atau determinan konflik pekerjaan-keluarga (KPK) dan konflik keluarga-pekerjaan (KKP) dapat berasal dari domain pekerjaan (karakteristik peran pekerjaan) dan domain keluarga (karakteristik peran keluarga).

2.3. Karakteristik peran pekerjaan

Hasil penelusuran studi-studi empiris menunjukkan bahwa konflik peran dipengaruhi oleh beberapa variabel. Secara umum anteseden KPK berasal dari domain keluarga dan domain pekerjaan (Jennings & McDougald, 2007; Lilly et al., 2006; Luk & Shaffer, 2005), karakteristik kemasyarakatan (sosial-budaya) (Voydanoff, 2001), serta karakteristik disposisional (Noor, 2002; Cinamon, 2006). Determinan yang digunakan untuk menjelaskan KPK pada domain pekerjaan antara lain karakteristik peran pekerjaan, yang terdiri dari otonomi


(28)

kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, dan komitmen waktu terhadap pekerjaan. Di satu pihak, otonomi kerja berhubungan negatif dengan KPK. Melalui diskresi pekerjaan (kontrolterhadap jam kerja), individual dapat mengendalikan dan mengatur pekerjaannya sedemikian rupa untuk menurunkan KPK (Batt&Valcour, 2003). Di lain pihak, semakin tingginya keterlibatan dalam pekerjaan, dan komitmen waktu terhadap pekerjaan, ditengarai akan berhubungan dengan semakin tingginya pengalaman KPK melalui peningkatan waktu dan energi yang dicurahkan terhadap pekerjaan (Parasuraman & Simmers, 2001).

Pasangan bekerja cenderung mengalami kehidupan pekerjaan-keluarga yang lebih dinamis dibandingkan dengan keluarga tradisional. Selama duadasawarsaterakhir, riset-riset industrial/organisasional lebih banyak difokuskan pada isu-isu terkait pekerjaan dan organisasi, sehingga cenderung mengabaikan hal-hal yang berhubungan dengan variabel-variabel domestik/keluarga (Muchinky, 2003). Parasuraman dan Simmers (2001) dan Yang et al. (2000)menguji hubungan domain keluarga, dalam hal ini karakteristik peran keluarga, dan KPK. Ditemukan bahwa keterlibatan dalam keluarga dan komitmen waktu terhadap keluarga berpengaruh positif pada pengalaman konflik. Semakin tinggi keterlibatan dalam keluarga dan semakin banyak waktu yang dialokasikan untuk keluarga cenderung menyebabkan waktu yang dialokasikan untuk urusan pekerjaan akan semakin kecil, sehingga penuntasan tanggung jawab dalam peran pekerjaan menjadi terganggu. Kedua


(29)

variabel ini berpengaruh positif paling tidak pada KPK yang dialami oleh salah satu anggota pasangan bekerja (Parasuraman & Simmers, 2001).

Hubungan antara KPK dengan antesedennya tergambarkan dengan jelas melalui teori ketegangan peran (role strain theory) yang dikembangkan oleh Goode (1960). Secara konseptual dikemukakan bahwa semua individual terlibat dalam berbagai hubungan peran pada domain yang berbeda dengan kewajiban-kewajiban untuk masing-masing peran yang berbeda pula. Umumnya, tanggung jawab pada berbagai peran ini harus dilakukan secara simultan. Individual menginginkan semua peran terpenuhi dengan baik(Mulki et al., 2008a).Akan tetapi, harapan ini acapkali tidak tercapai, sehingga ketidakcocokan (incompatibility) tuntutan-tuntutan tersebut akhirnya menimbulkan konflik peran (Beauregard, 2006). Atas dasar itu, ketegangan peran merupakan suatu konsekuensi normal dari kesulitan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan berbagai peran.

Postulasi dalam teori ketegangan peran mencerminkan bahwa tanggung jawab dari domain-domain yang berbeda dan terpisah akan saling bersaing satu sama lain untuk memperoleh sumberdaya waktu, energi pisik, dan energi psikologis yang relatif terbatas jumlahnya (Grzywacsz& Marks, 2000). Metafora kue pastel (pie metaphorical) seringkali digunakan untuk menggambarkan fenomena ini−waktu dan energi yang diwakili oleh satu “potong” aktivitas mengurangi bagian kue yang tersisa untuk kegiatan-kegiatan pada peran lain (Ruderman et al., 2002). Dalam hubungannya dengan KPK, Perrone dan Worthington, 2001 (dalam Engle & Dimitriadi, 2007) mendefinisi


(30)

ketegangan peran (role strain) sebagai suatu bentuk konflik antara dua atau lebih peran (interrole conflict), ketika partisipasi dalam satu peran menyebabkan kesulitan untuk berpartisipasi dalam peran yang lain. Dengan demikian, ketegangan peran merupakan proses transaksional yang mencerminkan ketidakseimbangan antara tuntutan dan ketersediaan sumberdaya untuk mengatasi tuntutan-tuntutan tersebut (Scharlach, 2001). Jadi, tuntutan pekerjaan dan keluarga yang lebih besar, berhubungan dengan ketegangan peran yang lebih tinggi prevalensinya.

Model atau teori ketegangan peran bersifat komprehensif dan luas, yakni mencakup ketegangan peran yang muncul dari tuntutan-tuntutan pekerjaan dan keluarga (Beitman et al., 2004). Para peneliti yang menggolongkan konflik pekerjaan dan keluarga menjadi KPK dan KKP, menyatakan bahwa kedua tipe konflik ini memiliki anteseden yang berbeda. Anteseden KPK berupa domain pekerjaan, sedangkan anteseden KKP berasal dari domain keluarga (Boyar et al., 2003; Carlson & Kacmar, 2000; Hammer et al., 2005a; Lilly et al., 2006). Kelompok peneliti ini menyatakan bahwa tekanan yang bersumber dari satu domain (misalnya, pekerjaan), akan mengarah kepada kelelahan, masalah, atau hambatan pada domain yang bersangkutan, sehingga membatasi kemampuan seseorang untuk memenuhi tuntutan pada domain yang lain (misalnya, keluarga). Diprediksi bahwa sumber tekanan kerja berhubungan langsung dan positif dengan KPK, sedangkan sumber tekanan yang berasal dari keluarga berhubungan langsung dan positif dengan KKP.


(31)

Disamping sumber-sumber tekanan, karakteristik peran yang berasal dari kedua domain juga dapat mempengaruhi konflik peran, namun dengan tanda hubungan yang berlawanan. Otonomi kerja misalnya, akan berpengaruh secara langsung dan negatif pada KPK, karena individual yang memiliki otonomi dapat meningkatkan kontrol terhadap tuntutan-tuntutan yang berasaldari peran pekerjaannya, sehingga mengalami konflik yang relatif lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak memiliki otonomi kerja (Batt & Valcour, 2003). Studi ini mengajukan model perluasan berdasarkan pandangan bahwa hubungan antara prediktor dan konsekuensinya bersifat within domain

dan cross-domain. Maka dari itu, antesedennya adalah variabel-variabel yang berasal dari domain pekerjaan, keluarga, dan budaya.

Secara umum, anteseden KPK dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tanggung jawab dan harapan; tuntutan psikologis; serta kebijakan dan aktivitas organisasi (Judge & Colquitt, 2004). Dalam penelitian yang membandingkan kondisi konflik di antara berbagai tipe pekerjaan,Parasuraman dan Simmers (2001) menggunakan karakteristik peran pekerjaan dan karakteristik peran keluarga sebagai anteseden KPK. Aspek-aspek karakteristik peran pekerjaan dalam hal ini adalah otonomi kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, dan komitmen waktu terhadap pekerjaan. Sementara itu, keterlibatan dalam keluarga, komitmen waktu terhadap keluarga, dukungan pasangan, dan keberadaan pembantu rumah tangga merupakan indikator karakteristik peran keluarga yang diprediksi berhubungan dengan KPKB.


(32)

Otonomi kerja merupakan salah satu karakteristik peran pekerjaan yang dianggap penting dalam berbagai konteks jenis pekerjaan. Otonomi kerja memungkinkan karyawan memiliki kebebasan dan fleksibelitas untuk mengelola beban kerja sedemikian rupa, sehinggadapat meminimalkan tekanan, kelelahan dan konflik (Ahuja et al., 2007). Sesuai dengan hipotesis, tampak bahwa otonomi kerja berhubungan negatif dengan KPK, namun dengan hasil yang tidak signifikan. Terdapat dugaan bahwa kelompok karyawan yang dijadikan responden tidak memiliki kesempatan untuk mengambil istirahat pada pertengahan hari kerja untuk menunaikan tugas keluarga atau mengantar anak-anak mereka bertanding sepak bola, misalnya, karena tinggal jauh dari rumah. Jadi, meskipun memiliki otonomi, konflik peran tidak terpengaruh adanya.

Berbeda halnya dengan otonomi kerja yang berhubungan negatifdengan KPK, tingginyaketerlibatan dalam pekerjaancenderung menyebabkan intensitas konflik yang semakin tinggi. Diprediksi bahwa semakin tinggi keterlibatan dalam pekerjaan yang mencerminkan derajat dengan mana pekerjaan merupakan hal sentral dalam konsep diri atau rasa keidentitasan seseorang, akan meningkatkan intensitas KPK (Parasuraman& Simmers, 2001).

Nodenmark (2002) secara spesifik mempertimbangkan jumlah jam kerja sebagai salah satu indikator untuk mengukur komitmen waktu terhadap pekerjaan. Hasilstudinyamenunjukkanbahwakaryawan yang

ditelitimelaporkanhambatandalammenjalankanperan-perannonpekerjaanakibatpanjangnya jam kerjamereka. Kondisiiniakanmembatasiwaktudanenergi yang


(33)

dapatdidedikasikanuntukperankeluargadankemasyarakatan (budaya). Oleh karena jam kerja merupakan indikator faktual dan relatif objektif dari tuntutan kerja (Spector et al., 2007), maka komitmen waktu terhadap pekerjaan yang diukur dari jumlah jam yang dicurahkan pada pekerjaan, berhubungan signifikan dengan peningkatan konflik peran (Batt & Valcour, 2003; Shaffer et al. 2001). Pengaruh komitmen waktu terhadap pekerjaan ini dipertimbangkan sebagai variabel yang potensial untuk mempengaruhi variasi kedua jenis konflik peran.

H1: Otonomi kerja berpengaruh negatif pada KPK dan KKP.

H2:Keterlibatan dalam pekerjaan berpengaruh positif pada KPK dan KKP H3: Komitmen waktu terhadap pekerjaan berpengaruh positif pada KPK dan

KKP

2.4. Karakteristik peran keluarga

Konflik peran juga dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel pada domain keluarga, khususnya yang termasuk dalam kelompok karakteristik peran keluarga. Intensitas waktu dan jumlah energi yang dicurahkan untuk kepentingan keluarga, sedikit banyak akan berdampak pada waktu dan energi yang dapat dialokasikan pada pekerjaan. Komitmen waktu terhadap keluarga yang merupakan investasi waktu total dalam aktivitas-aktivitas rumah tangga dan pengasuhan anak, berhubungan positif dengan konflik (Luk& Shaffer, 2005; Parasuraman & Simmers, 2001).


(34)

menyatakan bahwa kedua jenis dukungan ini akan berpengaruh negatif pada KPK dan KKP.

Hasil-hasil studi empiris menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan karir dan dukungan emosional dengan konflik peran, tidak konsisten. Riset yang dilakukan oleh Wadsworth and Owens (2007) menunjukkan hasil bahwa dukungan pasangan berhubungan negatif dengan KPK. Di lain pihak, temuan studi Grzywacs and Marks (2000) menunjukkan bahwa kedua jenis dukungan ini justru berdampak negatif pada KKP. Semakin besar kedua dukungan ini yang diperoleh dari pasangan, maka semakin rendah prevalensi KPK dan KKP.

Jika keterlibatan dalam keluarga dan komitmen waktu terhadap keluarga merupakan tekanan/tuntutan, dukungan dipandang sebagai sumberdaya yang diharapkan berkontribusi pada pengalaman konflik. Dalam analisis hubungan sumber tekanan-ketegangan (stressor-strainrelationship), dukungan keluarga berasal dari variabel dukungan sosial yang belakangan mulai dipertimbangkan dalam kajian konflik peran. Hal ini logis, mengingat konflik peran dipandang sebagai salah satu elemen sumber ketegangan.

Para peneliti mengajukandefinisi dukungan sosialsecaraberbeda. Pada prinsipnya, variabel ini mencerminkan informasi tentangpersepsiterhadapterpenuhinya kebutuhan akan perlindungan, dukungan, dan umpan balik. Dengan demikian, dukungan sosial dicirikan oleh tindakan-tindakan yang menunjukkan ketanggapan terhadap kebutuhan orang lain (Wadsworth & Owens, 2007). Kelompok peneliti ini membedakan dukungan


(35)

sosial ke dalam dua kategori umum yaitu yang bersumber dari pekerjaan dan nonpekerjaan (work-based and non-work-based social support).

Pada studi ini, dukungan sosial difokuskan pada dukungan yang bersumber dari aspek nonpekerjaan, yaitu pasangan, sebagai sumberdaya domain keluarga. Dukungan sosial yangberasal dari wilayah pekerjaan tidak menjadi pertimbangan. Pertama, sumberdaya aspek pekerjaan dalam penelitian ini diwakili oleh otonomi kerja. Kedua, mengingat penelitian ini menggunakan sampel suami dan istri, akan terdapat hubungan perkawinan (marital relationship). Dengan demikian, dukungan dari anggotakeluarga, dalamhalinipasangan, akan memegang peranan penting dalam hubungan tersebut. Disamping itu, pasangan merupakan seseorang yang paling dekat hubungannya dengan individual yang bersangkutan (closest significant-others), sehingga sedikit banyak diharapkan berkontribusi pada pengalaman konflik peran (Watkins et al., 2012).

Studi-studi empiris tentang hubungan antara dukungan pasangan dengan konflik peran menunjukkan hasil yang tidak konklusif. Temuan studi Wadsworth dan Owens (2007) menunjukkan bahwa dukungan pasangan justru berpengaruh signifikan pada fasilitasi pekerjaan-keluarga (FPK), bukan pada KPK. Sementara itu, Grzywacz dan Marks (2000)menemukanbahwa dukungan suami/istri yang semakin rendah berhubungan dengan semakin tingginya konflik peran yang dialami oleh istri/suami.

Dukungan pasangan, bervariasi jenisnya. Peeters dan Le Blanc (2001) mengelompokkannya menjadi dukungan emosional (empati, kasih sayang, dan


(36)

kepercayaan), penilaian (penyaluran informasi yang relevan sebagai evaluasi diri), informasional (bantuan terhadap diri sendiri), dan instrumental (bantuan praktis). Sementara itu, Wallace (2005), yang menggolongkannya menjadi dukungan emosional dan karir, menemukan bahwa kedua jenis dukungan ini berhubungan negatif dengan KPK.

Tampaknya, dukungan serta pengertian yang diperoleh dari suami/istri dapat mengurangi konflik yang dialami istri/suami. Pada penelitian ini, dukungan pasangan mengacu pada kategorisasi dari Wallace (2005), denganargumenbahwaselama ini dukungan emosional dipandang sebagai karakteristik yang dominan dalam konsep dukungan sosial. Selain itu, karena respondendalampenelitian ini adalahpasangan bekerja, maka dukungan suami/istri terhadap karir/pekerjaan pasangannya merupakan suatu hal yang dipandang esensial. Baik dukungan emosional maupun dukungan karir diprediksi berhubungan negatif dengan konflik peran. Semakin besar dukungan secara emosional terhadappekerjaandan eksistensi karir pasangan, prevalensi KPK dan KKP diharapkan akan semakin rendah.

H4: Keterlibatan dalam keluarga berpengaruh positif pada KPK dan KKP

H5: Komitmen waktu terhadap keluarga berpengaruh positif pada KPK dan KKP

H6: Dukungan emosional pasangan berpengaruh negatif pada KPK dan KKP H7: Dukungan karir pasangan berpengaruh negatif pada KPK dan KKP


(37)

Berdasarkan hipotesis yang diajukan, maka dapat digambarkan rerangka konseptual seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rerangka konseptual

Waktu kerja

Keterlibatan dlm pekerjaan

KPK Otonomi kerja

Dukungan karir Keterlibatan dlm keluarga

Waktu keluarga


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan tahap-tahap penelitian serta teknik analisis yang digunakan untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis yang diajukan.Secara berturut-turut dipaparkanlatar penelitian; populasi, sampel, definisi operasional danpengukuranvariabel; pengujian instrumen penelitian;dan teknikanalisis data.

3.1. Pendahuluan

Guna menjawab permasalahan yang diajukan, studi dilakukan dengan menerapkan metode survai. Metode semacam ini umum digunakan untuk pengukuran perseptual dantepat diaplikasikanpadapengukuran opini, sikap, atau perilaku tentang isu tertentu(King et al.2007).Lebih lanjut dinyatakan bahwa survai adalah suatu metode pengumpulan informasi terstandarisasi dengan wawancara atau penggunaan kuesioner kepada sampel (sebagai perwakilan suatu populasi), melalui komponen-komponen yang terdiri dari pemilihan desain survai; pemilihan sampel representatif; administrasi dan desain kuesioner; pengumpulan data; serta analisis dan interpretasi data.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji model hubungan konflik pekerjaan-keluarga (KPK) dan konflik pekerjaan-keluarga-pekerjaan dengan anteseden serta konsekuensinya, termasuk efek pemoderasian dan hubungan antara konflik dengan kesejahteraan antar pasangan dengan berpedoman pada 9 (sembilan) teori secara


(39)

terintegrasi sesuai dengan hubungan strain-stress (ketegangan dan tekanan).Tujuan pelaksanaan survai sesuai dengan tujuan umum riset survaiseperti yang dikemukakan oleh Neuman (200:21) yaitu mendeskripsikan, menjelaskan, dan menggali (descriptive, explanatory, exploratory). Aras analisis pada penelitian ini adalah individual serta pasangan (suami dan istri).

3.2. Latar penelitian

Penelitian dilakukan padalatar budaya Timuryaitu Provinsi Bali, yang dikenaldengankekayaanbudayadankekuatanikatankekerabatannya. Lokasi penelitian dipilih di daerah perkotaan, yaitu Kota Denpasar, dengan menyasar keempat kecamatan yang ada yakniKecamatan Denpasar Utara, Denpasar Selatan, Denpasar Timur, dan Denpasar Barat. Pemilihan daerah perkotaan didasarkan atas pertimbangan bahwaupaya penyeimbangan tuntutan-tuntutan peran pekerjaan, keluarga, dan budaya cenderunglebih sulit dibandingkan di wilayah perdesaan.Selain itu, karena implikasi penelitian ini lebih banyak ditujukan bagi intervensi kebijakan sumberdaya manusia pada baik institusi publik maupun swasta, maka pemilihan daerah perkotaan dianggap tepat, mengingat kedua institusi ini umumnya berada di daerah perkotaan.

3.3. Populasi danSampel

Populasi dalam penelitian ini adalah pasanganbekerjayang terikat dalam satu perkawinan dan hidup dalam satu rumah,serta berasal dari keluarga inti atau


(40)

keluarga luasyang berdomisili di daerah perkotaan. Secara praktis, mereka dapat digunakan sebagai sampel penelitian. Beda halnya dengan pendapat Hall dan Hall(1980) (dalam Cherpas, 1985) bahwa pasangan tidak berarti harus menikah, monogami, dan heteroseksual, pada studi ini, yang dimaksud dengan pasangan adalah menikah, monogami, dan heteroseksual. Hammer et al. (2003) juga menjelaskan bahwa dalam penelitian tentang konflik peran, pasangan yang dijadikan responden harus heteroseksual karena pada ‘pasangan sejenis’, isu konflikperan akan berbeda.

Untuk mempermudah pembatasan sampel, beberapa kriteria tambahan perlu ditetapkan.Dengan demikian, sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Asumsi dasar dari purposive sampling adalah dengan penilaian yang baik dan strategi yang layak, sampel dapat dikembangkan secara memuaskan gunamenjawab tujuan penelitian yang ingin dicapai (Cron, 2001).

Kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan sampel adalah 1) bekerja dalam sebuah organisasi/perusahaan baik di sektor publik maupun swasta;2) bekerja minimal 35 jam per minggu (jam kerja normal adalah 35 jam/minggu menurut ketentuan Badan Pusat Statistik Indonesia); 3) berasal dari keluarga dengansuami dan istri bekerja; 4) telah menikah selama paling sedikit satu tahun; 5) telah bekerja minimal selama satu tahun; 6) beragama Hindu;dan 7) terlibatsebagaianggotabanjaradat di kecamatantempattinggalnya.


(41)

Studi-studi tentang konflik peran yang dilakukan selama ini,difokuskan kepada perempuan bekerja, jarang sekali penelitian yang menyentuh kaum laki-laki (Wallace, 1999).Sampel dalam studi ini adalah pasangan bekerja dengan ukuran yang ditentukan secara kuota yaitu 200 pasangan (400 responden).Dengan demikian, data studi ini terdiri dari 200 orang laki-laki (suami) dan 200 orang perempuan (istri).

3.4. Penyebaran dan Respon Kuesioner

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Berdasarkan sifat dasarnya, kuesioner dirancang untuk fokus pada serangkaian topik yang bersifat diskrit (Fairhurst, 2000). Seturut ukuran sampel, jumlah kuesioner yang disebarkanadalah 200 paket atau400 eksemplar (untuk 200 pasangan bekerja).Penyebaran kuesioner diupayakan bersifat proporsional, yaitu 50 paket atau 100 eksemplaruntuk masing-masing kecamatan di Kota Denpasar. Tiap pasangan diberikan dua eksemplar kuesioner, satu untuk suami dan satu untuk istri, dalam amplop terpisah. Amplop disertai kode yang sesuai untuk setiap anggota pasangan.Responden diminta mengisi daftar pertanyaan secara independen. Hal ini ditujukan untuk menghindari terjadinya konfirmasi jawaban di antara suami dan istri.

Setelah mendapat ijin dari pihak-pihak yang berwenang, kuesionerkemudiandisebarkandengan terlebih dahulu mengidentifikasi responden


(42)

potensial di masing-masing institusi. Ini dilakukan, disamping untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan, juga untuk mengupayakan agar komposisi responden untuk masing-masing kecamatan, berimbang.Sebagai catatan, tidak semua institusi yang dipilih berlokasi di Kota Denpasar, ada juga yang berlokasi di Kabupaten Badung. Alasannya, banyak karyawannya berdomisili di Kota Denpasar, mengingat lokasinya yang relatif dekat dengan wilayah kota ini. Bahkan, di salah satu institusi terpilih, yaitu Kantor Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Kabupaten Badung, dari 176 orang total karyawan, 101 orang (sekitar 57,38 %)personilnya berdomisili di Kota Denpasar (penelusuran data tahun 2011).

Secara rinci distribusi responden untuk masing-masing institusi disajikan pada Tabel 3.1, sedangkan untuk masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.1. Distribusi Lokasi Penyebaran Kuesioner menurut Institusi. Banyaknyaresponde n (istri) Banyaknyaresponde n (suami) N o Institusi/keterangan Kuesione r yang disebark an

Kuesion er yang kembali

Kuesione r yang disebark an

Kuesion er yang kembali

1 Kantor GubernurProvinsi Bali 24 21 24 21

2 Kantor DinasKesehatanProvinsi Bali

5 5 5 5

3 Kantor

DinasKelautandanPerikananProvi nsi Bali

18 16 18 16

4 Kantor PT Bank Pembangunan Daerah Bali

10 10 10 10

5 Kantor

YayasanKesejahteraanKorpriProvi nsi Bali


(43)

6 Kantor DinasTenagaKerja, Transmigrasi,danKependudukanPr ovinsi Bali

12 10 12 10

7 Kantor

BadanPusatStatistikProvinsi Bali

7 5 7 5

8 RumahSakitInderaProvinsi Bali 10 10 10 10

9 Kantor Dinas Perkebunan Provinsi Bali

9 9 9 9

10 SekolahTinggiPariwisata Bali 7 7 7 7

11 PoliteknikNegeri Bali 5 5 5 5

12 SekolahMenengahKejuruanNegeri 3 Denpasar

10 10 10 10

13 Kantor BupatiBadung 12 12 12 12

14 Kantor

BappedaLitbangKabupatenBadun g

15 15 15 15

15 Kantor DPRDKabupatenBadung 10 10 10 10

16 Kantor

DinasPerhubungan,Komunikasi, danInformatikaKabupatenBadung

7 6 7 6

17 Kantor

AsuransiJiwaBersamaBumiputera 1912 Cabang Denpasar Ubung

8 8 8 8

18 RumahSakitUmumWangaya Denpasar

6 6 6 6

19 RumahSakit Surya Usadha Denpasar

10 10 10 10

20 Kantor

DinasKependudukandanCatatanSi pil Kota Denpasar

10 9 10 9

Jumlah 200 188 200 188

Tingkat pengembaliankuesioner 94% 94%

Tingkat respon (response rate) menunjukkan persentase pengembalian kuesioner secara lengkap dari seluruh kuesioner yang disebarkan. Besar kecilnya angka ini merupakan tantangan tersendiri bagi riset survai. Jika tingkat respon, rendah, peneliti harus berhati-hati mengenai generalisasi hasil risetnya (Neuman, 2000:266). Data pada Tabel 3.1 danTabel 3.2


(44)

menggambarkanbahwatingkatpengembaliandanpengisiankuesionersecaralengkapol ehrespondentergolongtinggi,yaitu 94 persen. Hal inidisebabkanpada proses pengumpulan

data,penelitimemastikankelengkapanpengisiankuesionerdengancaramemeriksanyap adasaatpengembalian. Kuesioner dikembalikan kepada responden untuk dilengkapi, jika ada yang tidak tuntas pengisiannya.

Tenggat waktuyang ditentukan mulai kuesioner diberikan hinggapengembaliannya adalah dua minggu, dengan batas maksimal satu bulan.Jika kuesioner tidak kembali dalam dua minggu, maka responden dihubungi untuk konfirmasi pengembalian kuesioner. Dalam proses ini, setelah diadakan upaya untuk menghubungi responden secara berulang sebanyak 3 kali, 6 persen (24 eksemplar) kuesioner yang disebarkan tidak dikembalikan hingga waktu yang ditentukan. Seluruh proses pengumpulan data dalam studi utama ini dilakukan selama lebih kurang satu setengah bulan.

Jumlahkuesioner yang kembali tidak sama,meskipun padaawalnyasudahdiupayakan agar proporsipenyebarankuesionerdi masing-masingkecamatan, berimbang. Kuesioner yang tidakkembali, paling banyakberasaldaripasanganyang bertempattinggal di Denpasar Utara, yaitusekitar 13,7persendarijumlahkeseluruhankuesioner yang disebarkan. Sementara itu, semua responden di Kecamatan Denpasar


(45)

Tabel 3.2. Distribusi Responden menurut Kecamatan di Kota Denpasar. N o Kecamatan/keteranga n Banyaknyaresponden (istri) Banyaknyaresponden (suami) Kuesioner yang disebarka n Kuesione r yang kembali Kuesioner yang disebarka n Kuesione r yang kembali

1 Denpasar Utara 51 44 51 44

2 Denpasar Selatan 50 49 50 49

3 Denpasar Barat 48 48 48 48

4 Denpasar Timur 51 47 51 47

Jumlah 200 188 200 188

Tingkat

pengembaliankuesion er

94% 94%

Barat mengisi dan mengembalikan kuesioner, bahkan jauh sebelum batas waktu yang ditentukan berakhir.

3.5.Definisi Operasional danPengukuran Variabel

Kuesioner dalam penelitian ini merupakan daftar pertanyaan terstruktur dengan beberapa alternatif jawaban. Variabel-variabel komposit diukur melalui nilai rata-ratanya, kecuali komitmen waktu terhadap pekerjaan dan komitmen waktu terhadap keluarga. Dengan demikian, skor yang lebih tinggi mengindikasikan tingkat/insiden yang lebih tinggi. Kondisi berlawanan berlaku untuk pernyataan-pernyataan kebalikan (reverse questions). Untuk jenis pernyataan ini, skor yang lebih tinggi mengindikasikan insiden yang lebih rendah.Komitmen waktu terhadap pekerjaan dan komitmen waktu terhadap keluargaberupacontinous


(46)

variable, sedangkan keberadaan pembantu rumah tangga, lokus pengendalian, dan coping strategy merupakan discrete variable.

3.5.1. Konflik Pekerjaan-keluarga

Konflik pekerjaan-keluarga (KPK) didefinisi sebagai gangguan pada pemenuhan peran keluarga akibat tuntutan yang dialami ketika menjalankan peran pekerjaan. Variabel ini dukur melalui 3 pertanyaan yang diacu dari Parasuraman dan Simmers (2001). Butir-butir pernyataan diukur dengan skala lima poin, mulai dari 1= tidak pernah, sampai dengan 5= sangat sering.

3.5.2. Konflik keluarga-pekerjaan

Konflik keluarga-pekerjaan (KKP) didefinisi sebagai gangguan pada pemenuhan peran pekerjaan akibat tuntutan yang dialami ketika menjalankan peran keluarga. Variabel ini dukur melalui 3 pertanyaan yang diacu dari Parasuraman dan Simmers (2001). Butir-butir pernyataan diukur dengan skala lima poin, mulai dari 1= tidak pernah, sampai dengan 5= sangat sering.

3.5.3. Otonomi kerja

Otonomi kerja didefinisi sebagai tingkat kebebasan/diskresi yang dimiliki dalam melaksanakan pekerjaan. Variabel ini diukur dengan 4 butir pernyataan yang dikembangkan oleh Beehr, 1976 (dalam Ahuja et al., 2007). Contoh pernyataan adalah ‘saya memiliki kewenangan untuk memprakarsai


(47)

proyek-proyekataukegiatan-kegiatan dalam pekerjaan saya’. Butir-butir pernyataan diukur dengan skala lima poin, mulai dari 1= tidak pernah, sampai dengan 5= sangat sering.

3.5.4. Keterlibatan dalam pekerjaan

Keterlibatan dalam pekerjaan didefinisi sebagai pentingnya pekerjaan bagi individualdan bagi keterlibatan psikologis dalam menjalankan peran pekerjaan. Variabel ini diukur dengan 4 butir pernyataan yang dikembangkan oleh Lodahl dan Kejner (1965)(dalamFrone et al., 1992).Contoh pernyataan adalah ‘kepuasan utama dalam hidup saya berasal dari pekerjaan saya’. Butir-butir pernyataan diukur dengan skala lima poin, mulai dari 1= sangat tidak setuju, sampai dengan 5= sangat setuju.

3.5.5. Komitmen waktu terhadap pekerjaan

Variabel ini didefinisi sebagai keluasan tuntutan terhadap peran pekerjaan. Variabel ini diukur dengan laporan responden terkait dengan pertanyaan tentang: ‘Berapa jam rata-rata anda bekerja dalam sehari, termasuk waktu yang dihabiskan di tempat kerja, waktu yang dihabiskan di perjalanan, dan waktu yang dicurahkan untuk melakukan pekerjaan kantor di rumah’?

3.5.6. Keterlibatan dalam keluarga

Secara operasional, variabel ini didefinisi sebagai pentingnya keluarga bagi individual dan seberapa jauh investasi psikologi yang ditanamkan dalam keluarga. Variabel ini diukur melalui4 butir pernyataan yang dikembangkan oleh Lodahl dan


(48)

Kejner (1965) (dalamParasuraman& Simmers, 2001). Contoh pernyataan adalah ‘tujuan hidup saya pada dasarnya berorientasi keluarga’. Butir-butir pernyataan diukur dengan skala lima poin, mulai dari 1= sangat tidak setuju, sampai dengan 5= sangat setuju.

3.5.7. Komitmen waktu terhadap keluarga

Operasionalisasi komitmen waktu terhadap keluarga adalah keluasan tuntutan peran keluarga yang dicerminkan dari investasi waktu total untuk mengerjakan kegiatan rumah tangga dan pengasuhan anak. Variabel ini diukur berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan: ‘rata-rata padaharikerja, kuranglebihberapawaktu (jam) yang andahabiskanuntukmelakukan pekerjaan rumah tangga dan/atau pengasuhan anak’?

3.5.8. Dukungan pasangan

Dukungan pasangan dibedakan ke dalam dua kategori yaitu dukungan emosional dan karir. Dukungan emosional mengacu pada sejauh mana pasangan memberikan perhatian, empati, dukungan, dandorongan terhadap tekanan kerja pasangan. Variabel ini diukur dengan 4 butir pernyataan yang dikembangkan oleh Thomas dan Ganster (dalam Wallace, 2005). Contoh pernyataan adalah ‘suami/istri saya berempati terhadap strespekerjaansaya’. Sementara itu, dukungan karir didefinisi sebagai seberapa jauh pasangan menghormati danmemberikan dorongan terhadap karir pasangannya.Variabel ini diukur dengan 7 butir pernyataan dari Wallace (2005). Contoh pernyataan adalah ‘suami/istri saya


(49)

sangatmendukungkarirsaya’. Butir-butir pernyataan keduavariabelinidiukur dengan skala lima poin, mulai dari 1= sangat tidak setuju, sampai dengan 5= sangat setuju. 3.6. Penilaian Instrumen Penelitian

Validitas merupakan unsur penting pengukuran, karena menunjukkan sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Validitas konstruk menunjukkan keakuratan suatu alat ukur atau serangkaian pengukuran dalam mempresentasikan suatu konsep atau teori. Dalam penelitian ini digunakan batasan factor loadings sebesar 0,30 sebagai nilai signifikansi minimal secara statistik dalam pengujian validitas menurut Hair et al. (2006:128).

Dalam menilai reliabilitas data, digunakan nilai Cronbach’salpha, yang bertujuan untuk mengetahui unidimensionalitas butir-butir pernyataan terhadap

variabel yang diteliti.

PenilaianreliabilitasdalamstudiiniditetapkandenganbatasannilaiCronbach’s

alphasebesar 0,60. Menurut Hair et al. (2006:139), batasannilaiinidapatditerimauntukpenelitian yang bersifateksplorasikonstruk, sepertihalnyastudiini.

3.7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Linier berganda. Analisis regresi pada dasarnyadigunakan untuk menguji hubungan kausal


(50)

antar variabel pada studi mengenai ketergantungan suatuvariabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas/penjelas(Lilly et al., 2006). Tujuannya adalah untuk mengestimasi dan/atau memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel terikat berdasarkan nilai variabel bebas yang diketahui.

Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktualnya dapat diukur melalui kebaikan-suai (goodness-of-fit)model yang ditunjukkan dari empat besaran. Pertama, koefisien determinasi, yang ditunjukkan melalui besar kecilnya nilai R2 yang mengukur kemampuan model dalam menjelaskan variasi variabel terikatolehadanyavariasivariabelbebas. Kedua, nilai statistik F, yang diperoleh dari hasil analisis varian sebagai pengukuran apakah model regresi menunjukkan serangkaian koefisien regresi yang secara total signifikan secara statistik. Ketiga, nilai statistik t, untuk pengujian suatu hipotesis mengenai koefisien regresi parsial setiap variabel penjelas yang dipertimbangkan dalam model regresi. Keempat, koefisien regresi parsial yang terstandardisasi (standardized β), untuk melihat tingkat penting variabel-variabel penjelas secara relatif.Koefisien ini digunakan karena mampu mengeliminir perbedaan unit ukuran pada variabel bebas.


(51)

BAB IV DAN

Pada Bab ini akan dijelaskan mengenaihasil analisis data pembahasannya. Aspek-aspek yang dilaporkan meliputi karakteristik sampel, pengujian validitas dan reliabilitas konstruk, serta hasil analisis data. Pembahasan hasil analisis disertai komparasi dengan hasil-hasil studi terdahulu baik secara teoritis maupun empiris, diuraikan pada bagian akhir.

Data dalam penelitian ini dianalisis melalui dua kategori, yakni analisis deskriptif dan inferensial. Analisis jenis pertama dilakukan untuk melakukan deskripsi terhadap responden penelitian, sedangkan analisis jenis kedua digunakan untuk menguji hipotesis, sehingga dapat digunakan untuk menarik simpulan.

4.1. Hasil Analisis dan Pembahasan

4.1.1. Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahuikarakteristik sampel pada penelitian ini diuraikan menurut variabel umur, tingkat pendidikan, sektor pekerjaan, jenis pekerjaan, dan masa kerja (Tabel 4.1). Umuristri dan suami secara berturut-turut terpusat pada kelompok 41-45 tahun dan 46-50 tahun dengan rerata yang sedikit berbeda yaitu sekitar 42 dan 45 tahun. Ini menunjukkan bahwa umur suami pada umumnya lebih tinggi dibandingkan istrinya. Berbeda halnya dengan para istri yang berusia maksimal 55 tahun, sekitar 3 persen dari jumlah keseluruhan kepala keluarga (suami) masih bekerja di atas umur 55 tahun. Kondisi ini merupakan suatu indikasi bahwa suami tetap bertindak sebagai pencari nafkah utama dalam sebuah keluarga. Hal ini berimbas pada masa kerja para suami yang mencapai lebih dari 31 tahun, sedangkan hanya mencapai maksimal 30 tahun bagi para istri.


(52)

Tabel 4.1. Distribusi Sampel Istri dan Suami Menurut Tingkat

Jenis dan Kerja (n

n

Variabel Klasifikasi Istri

Jumlah % Jumlah %

Umur ≤ 30

31-35 36-40 41-45 46-50 51-55

≥ 56 Rerata 12 30 35 46 47 18 0 41,72 6,4 16 18,6 24,5 25 9,5 0 11 12 33 41 49 37 5 44,29 5,9 6,4 17,6 21,8 26 19,7 2,6 Tingkat pendidikan SLTA/sederajat Akademi/diploma/ sederajat Sarjana Pasca sarjana (S2/S3) 58 18 92 20 30,9 9,6 48,9 10,6 50 14 90 34 26,6 7,4 47,9 18,1

Sektor pekerjaan Publik Swasta 135 53 71,8 28,2 117 71 62,2 37,8 Jenis pekerjaan Tenaga

professional/tek nisi,dll Tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan Tenaga tata usaha/sejenis Tenaga usaha penjualan Tenaga usaha jasa

60 17 101 4 6 31,9 9 53,7 2,1 3,2 80 8 81 8 11 42,6 4,3 43,1 4,3 5,9

Masa kerja 1-10

11-20 21-30

≥ 31

56 82 50 0 29,9 43,6 26,6 0 57 69 56 6 30,3 36,7 29,8 3,2 Data primer diolah, 2015.

Untuk tingkat pendidikan sarjana, terdapat perimbangan yang ditunjukkan oleh persentase yang relatif sama antara istri dan suami. Perbedaan yang besar terlihat dari proporsi


(53)

sarjana.Terindikasi bahwa perempuan masih merupakan kelompok dalam pencapaian pendidikan tinggi dalam suatu masyarakat.

Sektor pekerjaan dalam penelitian ini digolongkan ke dalam sektor publik dan swasta. Bidang pekerjaan pada instansi pemerintahan termasuk dalam kategori sektor publik. Sementara itu, bidang pekerjaan yang tergolong dalam sektor swasta antara lain hotel, bank swasta, rumah sakit swasta, sekolah swasta, dan perusahaan swasta. Pada studi ini, baik istri maupun suami, sebagian besar berkecimpung di sektor publik. Proporsi yang tidak berimbang antara responden yang berkecimpung di sektor publik dan swasta ini, diakui sebagai keterbatasan studi. Kirby et al. (2004) mengajukan argumen bahwa status atau sektor pekerjaan responden dapat mempengaruhi variasi konflik peran. Alasannya, mereka dengan status/sektor pekerjaan berbeda, cenderung memiliki tingkat okupasi yang berbeda pada peran pekerjaannya, sehingga mempersepsikan konflik peran secara berbeda pula.

Untuk memperoleh hasil yang baik, seharusnya diupayakan agar sampel bersifat representatif, dalam artian terdapat proporsi yang berimbang antara responden yang bekerja di sektor publik dan swasta. Dalam studi ini, meskipun pengumpulan data dilakukan secara purposive, komposisi mengenai sektor pekerjaan, tidak dapat dikontrol. Seperti yang dijelaskan pada Bab (poin 3.3), responden yang disasar adalah suami atau istri pada instansi tertentu. responden kebetulan adalah laki-laki (suami), maka peneliti tidak memiliki informasi tentang sektor pekerjaan istrinya. Sebaliknya, bila responden yang diberikan kuesioner adalah perempuan (istri), peneliti mengetahui sektor pekerjaan suaminya hanya setelah kuesioner dikembalikan. Untuk ke depan, sebaiknya peneliti menetapkan sektor pekerjaan suami dan istri yang akan dijadikan sampel, sehingga dapat diupayakan proporsi yang berimbang antara kedua sektor pekerjaan ini.


(54)

lebih banyak dicurahkan untuk urusan domestik dari pada para suami. Di sektor publik, jadual kerja lebih mudah disesuaikan dengan waktu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab di luar pekerjaan, seperti yang dikemukakan oleh responden perempuan dalam wawancara mendalam pada studi eksploratori. Dengan demikian, pekerjaan di sektor publik dirasakan cocok bagi para istri sebagai pengelola utama urusan domestik.

Berkaitan dengan jenis pekerjaan, tampaknya terjadi perimbangan proporsi antara tenaga profesional/teknisi dengan tenaga tata usaha/sejenis, khususnya bagi suami. Sementara itu, bagi para istri, pekerjaan di bidang tata usaha/sejenis kelihatan mendominasi jenis pekerjaan lainnya. Satu gambaran yang cukup mencolok adalah bahwa proporsi perempuan yang bertindak sebagai tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan tampak dua kali lipat dari kaum laki-lakinya. Pada sampel penelitian ini, stereotip bahwa bidang kepemimpinan lebih pas dipegang oleh laki-laki dibandingkan perempuan, tampak tidak berlaku.

Berdasarkan kajian terhadap hasil-hasil studi empiris mengemuka bahwa prevalensi KPK lebih tinggi dibandingkan dengan KKP baik untuk laki-laki maupun perempuan (Frone et al., 1992). Hasil analisis menunjukkan hal yang mendukung pendapat ini. Hasil pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan rata-rata prevalensi KPK lebih tinggi dibandingkan dengan KKP. Tampak dari Tabel 4.2 bahwa untuk keseluruhan responden, rata-rata KPK yang dialami jauh lebih tinggi dibandingkan dengan KKP. Kinnunen et al. (2004) melaporkan bahwa KPK tiga kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan KKP, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Penyebabnya adalah tuntutan-tuntutan pekerjaan lebih mudah dikuantifisir dari pada tuntutan pada peran keluarga.Dikemukakan pula bahwa pada kenyataannya, evaluasi pekerja diwarnai oleh perasaan untuk menjadi seorang karyawan yang baik, sehingga mereka memandang bahwa seharusnya tidak terlalu banyak memikirkan urusan keluarga di tempat kerja karena dapat mengganggu pencapaian


(55)

Tabel 4.2. KPK dan KKP Dimensi

konflik

KPK KKP

KPK Rata-rata Standar

deviasi

Rata-rata Standar deviasi

KKP 2,55 0,8390 1,93 0,6683

Sumber: data primer diolah, 2015

Hubungan antara KPK dan KKP dapat dilihat pada Tabel 4.3. Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa koefisien korelasi (Pearson’s product moment) antara KPK dan KKP menunjukkan tanda positif sebesar 0,361 Hal ini berarti bahwa kedua dimensi konflik peran tersebut berhubungan secara positif. peran pekerjaan mengganggu peran keluarga, maka dapat terjadi hal yang berkebalikan, bahwa peran keluargapun dapat mengganggu peran pekerjaan.

Tabel 4.3. Korelasi Antara KPK dan KKP Dimensi

konflik

KPK KKP Rata-rata

si

KPK 1.000 2.555 0.839

KKP 0.361*** 1.000 1.932 0.668

***

Sumber: data primer diolah, 2015

Para peneliti tentang konflik peran menggunakan Spillover Theory sebagai acuan dalam melakukan studinya. Teori ini menyatakan bahwa terdapat pengaruh imbas antara kedua jenis konflik ini. Hasil analisis pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa KPK berdampak positif pada KKP (β=0,278; 0,001). Hasil ini mendukung adanya perbedaan konseptual antara kedua jenis konflik peran tersebut dan mendukung kondisi bahwa terjadi pengaruh imbas antara kedua variabel. Lebih tingginya pengaruh KPK pada KKP dibandingkan dengan pengaruh KKP pada KPK dapat menjadi suatu indikasi bahwa pengaruh buruk terhadap KKP lebih besar dibandingkan dengan KPK. Hal ini logis mengingat bahwa pentingnya


(1)

Validitas dan Reliabilitas Dukungan Karir

Warnings

The space saver method is used. That is, the covariance matrix is not calculated or used in the analysis.

Case Processing Summary

N %

Valid 376 100.0

Excluded(

a) 0 .0

Cases

Total 376 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.830 7

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

H2DK1 3.25 1.141 376

H2DK2 3.55 1.427 376

H2DK3 3.56 1.430 376

H2DK4 3.48 1.364 376

H2DK5 4.15 .954 376

H2DK6 3.43 1.288 376

H2DK7 3.62 .881 376

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

H2DK1 21.78 28.166 .593 .804

H2DK2 21.49 22.874 .861 .751

H2DK3 21.48 22.757 .869 .750

H2DK4 21.55 24.243 .785 .768

H2DK5 20.88 35.340 .036 .871

H2DK6 21.61 25.509 .729 .780

H2DK7 21.41 34.974 .087 .863

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


(2)

Validitas dan Reliabilitas dukungan emosi

Warnings

The space saver method is used. That is, the covariance matrix is not calculated or used in the analysis.

Case Processing Summary

N %

Valid 376 100.0

Excluded(

a) 0 .0

Cases

Total 376 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.766 4

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

H1DE1 4.03 .673 376

H1DE2 3.76 .845 376

H1DE3 4.17 .649 376

H1DE4 4.25 .626 376

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

H1DE1 12.19 2.868 .585 .701

H1DE2 12.45 2.590 .496 .767

H1DE3 12.04 2.825 .646 .672

H1DE4 11.96 3.007 .579 .708

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


(3)

Regresi PK-anteseden karakteristik pekerjaan

Variables Entered/Removed(b)

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Libatkerja,

Waktukerja, Otonomi(a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: PK

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of

the Estimate Durbin-Watson

1 .119(a) .014 .006 .83641 1.630

a Predictors: (Constant), Libatkerja, Waktukerja, Otonomi b Dependent Variable: PK

ANOVA(b)

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 3.747 3 1.249 1.785 .149(a)

Residual 260.247 372 .700 Total 263.994 375

a Predictors: (Constant), Libatkerja, Waktukerja, Otonomi b Dependent Variable: PK

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

B Std. Error Beta t

Sig.

1 (Constant) 2.013 .259 7.782 .000

Waktukerja .001 .004 .020 .391 .696

Otonomi .062 .049 .069 1.271 .205

Libatkerja .082 .062 .072 1.322 .187

a Dependent Variable: PK

Residuals Statistics(a)

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 2.2731 2.8311 2.5549 .09996 376 Residual -1.76395 2.30805 .00000 .83306 376 Std. Predicted Value -2.819 2.764 .000 1.000 376

Std. Residual -2.109 2.759 .000 .996 376


(4)

Regresi KP-anteseden karakteristik pekerjaan

Variables Entered/Removed(b)

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Libatkerja,

Waktukerja, Otonomi(a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: KP

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of

the Estimate Durbin-Watson

1 .170(a) .029 .021 .66126 1.585

a Predictors: (Constant), Libatkerja, Waktukerja, Otonomi b Dependent Variable: KP

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 4.866 3 1.622 3.709 .012(a)

Residual 162.662 372 .437

Total 167.527 375

a Predictors: (Constant), Libatkerja, Waktukerja, Otonomi b Dependent Variable: KP

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

B Std. Error Beta t

Sig.

1 (Constant) 1.288 .204 6.300 .000

Waktukerja .003 .003 .048 .929 .354

Otonomi .065 .038 .092 1.703 .089

Libatkerja .091 .049 .101 1.865 .063

a Dependent Variable: KP

Residuals Statistics(a)

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 1.6141 2.2868 1.9324 .11391 376 Residual -1.06968 2.18537 .00000 .65861 376 Std. Predicted Value -2.795 3.111 .000 1.000 376

Std. Residual -1.618 3.305 .000 .996 376


(5)

Regresi PK-anteseden karakteristik keluarga

Variables Entered/Removed(b)

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Dukemosi,

DukKarir, WktKelrga, Libatkelrga( a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: PK

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of

the Estimate Durbin-Watson

1 .153(a) .023 .013 .83364 1.615

a Predictors: (Constant), Dukemosi, DukKarir, WktKelrga, Libatkelrga b Dependent Variable: PK

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 6.164 4 1.541 2.217 .067(a)

Residual 257.830 371 .695

Total 263.994 375

a Predictors: (Constant), Dukemosi, DukKarir, WktKelrga, Libatkelrga b Dependent Variable: PK

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

B Std. Error Beta t

Sig.

1 (Constant) 2.765 .416 6.643 .000

WktKelrga -.042 .019 -.117 -2.270 .024

Libatkelrga .001 .080 .001 .018 .986

DukKarir -.062 .037 -.086 -1.680 .094

Dukemosi .051 .085 .033 .603 .547

a Dependent Variable: PK

Residuals Statistics(a)

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 2.0326 2.8750 2.5549 .12821 376 Residual -1.73255 2.20374 .00000 .82918 376 Std. Predicted Value -4.074 2.497 .000 1.000 376

Std. Residual -2.078 2.644 .000 .995 376


(6)

Regres KP-anteseden karakteristik keluarga

Variables Entered/Removed(b)

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Dukemosi,

DukKarir, WktKelrga, Libatkelrga( a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: KP

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of

the Estimate Durbin-Watson

1 .132(a) .017 .007 .66611 1.560

a Predictors: (Constant), Dukemosi, DukKarir, WktKelrga, Libatkelrga b Dependent Variable: KP

ANOVA(b)

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 2.912 4 .728 1.641 .163(a)

Residual 164.616 371 .444 Total 167.527 375

a Predictors: (Constant), Dukemosi, DukKarir, WktKelrga, Libatkelrga b Dependent Variable: KP

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

B Std. Error Beta t

Sig.

1 (Constant) 2.451 .333 7.368 .000

WktKelrga -.033 .015 -.114 -2.204 .028

Libatkelrga -.048 .064 -.042 -.758 .449

DukKarir -.022 .030 -.039 -.755 .451

Dukemosi -.019 .068 -.015 -.276 .782


Dokumen yang terkait

PENGARUH KONFLIK PEKERJAAN KELUARGA DAN KONFLIK KELUARGA PEKERJAAN PADA KEPUASAN KERJA DENGAN SENTRALITAS PEKERJAAN KELUARGA SEBAGAI VARIABEL MODERATOR (Studi pada Perawat Instalasi Rawat Inap Ji

1 51 122

Menguji efek moderasi konflik dari domain pekerjaan dan keluarga pada Work Family Conflict Outcomet

0 6 12

Efek Moderasi Konflik dari Domain Pekerjaan dan Keluarga pada Work Family Conflict Outcomes

0 3 12

HUBUNGAN KONFLIK PEKERJAAN – KELUARGA, STRES, KOMITMEN ORGANISASIONAL, KINERJA DAN HUBUNGAN KONFLIK PEKERJAAN – KELUARGA, STRES, KOMITMEN ORGANISASIONAL, KINERJA DAN KEINGINAN UNTUK MENINGGALKAN ORGANISASI.

0 4 15

PENGARUH KONFLIK PEKERJAAN KELUARGA TERHADAP KINERJA PEGAWAI Pengaruh Konflik Pekerjaan Keluarga Terhadap Kinerja Pegawai (Studi Kasus Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta).

0 2 14

Resiliensi Pada Remaja Dengan Yang Mengalami Konflik Antara Keluarga dan Pekerjaan.

0 2 3

HUBUNGAN KONFLIK PERAN, KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA DAN PEKERJAAN BERLEBIH DENGAN KINERJA BIDAN PUSKESMAS DI KOTA SURAKARTA.

0 1 13

Hubungan Konflik Peran, Konflik Pekerjaan-Keluarga dan Pekerjaan Berlebih dengan Kinerja Bidan Puskesmas di Kota Surakarta IMG 20150521 0001

0 0 1

PENGARUH KONFLIK PERAN, KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA DAN PEKERJAAN BERLEBIH TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT AIR MANCUR DI WONOGIRI

0 0 12

KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA DAN KONFLIK KELUARGA-PEKERJAAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN KINERJA PASANGAN BERKARIR GANDA PADA PEGAWAI UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA

0 0 9