7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Istilah Tingkat Tutur pertama kali digunakan oleh Geertz 1960 untuk mengelompokkan etika tutur masyarakat Jawa. Kemudian penggunaan istilah itu diikuti
oleh Martin 1964 dalam tulisannya tentang Tingkat Tutur pada Masyarakat Jepang dan Korea. Martin membedakan dua tipe bentuk-bentuk honorifik dalam bahasa-bahasa
tersebut, yaitu “honorifik penghormatan petutur penerima lawan bicara addressee dan
honorifik referen”. Pembedaan tersebut kemudian diadaptasi oleh linguis lainnya, seperti Poedjasoedarma 1979 yang mengangkat tentang masyarakat Jawa, Suharno 1980 yang
juga mengangkat hal yang sama, dan Wang 1990 pada masyarakat Korea. Sehubungan dengan bentuk dan fungsi sosial dari tingkat tutur, Kersten 1970,
Bagus 1981, Ward 1973 Zurbuchen 1987, Hunter 1988, Clynes 1989, dan Suastra 2001 juga telah melakukan penelitian yang senada, tetapi dengan menggunakan
terminologi, sistem, dan model yang berbeda. Pada penelitian ini kajian tentang pengkategorisasian dari bentuk-bentuk honorifik
yang meliputi “honorifik penutur Sorhumble, petutur Singgihrefine, referen Sor dan
Singgihhumble and refine, dan bentuk- bentuk kasar” dari tingkat tutur akan diterapkan.
Bentuk-bentuk ini akan ditelaah berdasarkan dua aspek, yaitu:dari hubungan sintagmatik dan paradigmatiknya mengikuti kerangka kerja Errington yang menganalisis tentang
tingkat-tingkat tutur bahasa Jawa 1985: 5. Aspek paradigmatik nantinya akan menjelaskan kata-kata alternatif yang meliputi kategorisasi dari unsur-unsur leksikalnya.
Sementara itu, hubungan sintagmatiknya akan menjelaskan kombinasi-kombinasi kata yang digunakan untuk menyusun kalimat-kalimat pada masing-masing tingkat tutur.
Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan yang ditemukan dalam bentuk-bentuk fonologis dan morfologis juga akan dianalisis.
Gagasan Hymes 1974 dalam karyanya tentang etnografi komunikasi yang menjabarkan tentang “SPEAKING” SettingTempat Tutur dan ScenesSuasana Tutur,
ParticipantsPartisipan, EndTujuan Tutur, Act sequenceTopik Pembicaraan, KeyNada Bicara, InstrumentalitiesSarana Tutur, NormsNorma Tutur, dan GenreJenre diadopsi
untuk mengevaluasi fungsi-fungsi dari tingkat-tingkat tutur. Setting dan Scene berhubungan dengan komponen-komponen dari situasi dan tindak tutur. Setting mengacu
pada tempat dan waktu dari sebuah tindak tutur, dan scene merupakan definisi kultural dari sebuah situasi tutur. Partisipan mengacu pada petutur atau pendengar, serta penutur
8 atau pembicara sebagai subjek dari komponen-komponen tutur. Endtujuan tutur
merupakan dua aspek tujuan, yaitu tujuan peristiwa tutur dalam bentuk sasaran-sasaran yang ingin dicapai goal, dan tujuan yang berupa hasil yang diharapkan outcomes. Act
sequencetopik pembicaraan mengacu pada bentuk pesan dan isi pesan.
Keys
nada tutur mengacu pada ton nada, cara, dan penjiwaan pada saat peristiwa tutur itu terjadi.
Instrumentalities
sarana tutur mengacu pada saluran dan bentuk tutur.
Norms
norma- norma tutur terdiri atas norma-norma interaksi yang berhubungan dengan perilaku dan
sifat yang khusus yang melekat pada tuturan; dan norma interpretasi melibatkan sistem kepercayaan dalam sebuah komunitas tutur. Pada akhirnya,
genre
jenre menyiratkan kemungkinan mengidentifikasi karakteristik formal dari sebuah peristiwa tutur.
PETA JALAN PENELITIAN
Kajian Sekarang
Geertz 1960, Martin 1964, Poedjasoedarma 1979, Wang 1990 o, , Kersten 1970, Bagus 1981, Ward 1973 Zurbuchen 1987, Hunter
1988, Clynes 1989, Suastra 2001
K a
j i
a n
t e
r d
a h
u
l u
1. untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat
tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat bahasa-bahasa tersebut dituturkan
2. untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori
sosial yang utamanya berkaitan dengan statuskedudukan sosial, jenis kelamin, dan umur yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat
tutur tersebut. 3.
untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan struktur dari tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda
T u
j u
a n
o u
t p
u t
Publikasi dalam:
1.
Artikel dalam Jurnal Internasional
2.
Artikel dalam Jurnal Nasional Terakreditasi
9
BAB III METODE PENELITIAN