107
BAB IV PELAKSANAAN PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH
A. Pengertian Putusan dan Putusan Lembaga Adat
Putusan atau keputusan apabila dilihat dari sudut etimologi dapat diartikan sebagai suatu ketetapan yang diambil secara bersama-sama. Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia keputusan adalah apa yang diputuskan atau ketetapan yang diambil secara bersama-sama.
144
Jadi, keputusan adalah segala putusan yang sudah ditetapkan berdasarkan pertimbangan, pemikiran, dan penelitian yang matang.
Menurut Soesilo Prajogo, Putusan diartikan dengan keputusan, putusan hakim, kepastian, hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara yang didasarkan pada
pertimbangan yang menetapkan apa yang dihukum, atau hasil-hasil dari suatu pemeriksaan suatu perkara, penyelesaian.
145
Keputusan merupakan
pedoman dalam
menentukan langkah-langkah
berikutnya. Keputusan dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
146
1. Keputusan Pribadi Individu.
Keputusan pribadi individu yaitu keputusan yang sifatnya pribadi dan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Contohnya ketika diajak bermain atau melakukan
suatu pekerjaan sebagai individu tentunya akan berpikir untuk memutuskan ikut
144
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, 2005, hlm 914.
145
Soesilo Prajogo, Kamus Hukum, Internasional dan Nasional, Wacana Intelektual, Jakarta, 2007, hlm. 397.
146
Servista Bukit, Keputusan, http:servista-bukit.blogspot.comhtml, Diakses April 2013.
107
Universitas Sumatera Utara
108
bermain atau melakukan pekerjaan tersebut dan keputusan tersebut akan menjadi tanggung jawabmu sendiri secara individu. Oleh karena itu, berani mengambil
keputusan maka berarti harus berani menanggung akibatnya. 2.
Keputusan Bersama Keputusan bersama adalah keputusan yang diambil atas dasar persetujuan
atau kesepakatan bersama. Keputusan bersama bersifat mengikat dan tidak dapat diganggu gugat. Hasil keputusan bersama biasanya diambil berdasar hasil
musyawarah mufakat yang telah dipertimbangkan dengan baik dan benar. Keputusan bersama merupakan ketentuan, ketetapan, dan penyelesaian yang dilakukan
sekelompok orang terhadap suatu hal atau permasalahan. Semua pihak diharapkan dapat menerima keputusan bersama dengan ikhlas, bertanggung jawab, dan lapang
dada. Pengambilan
keputusan untuk
kepentingan bersama
berbeda dengan
pengambilan keputusan untuk kepentingan perorangan, karena pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama dilakukan dengan melibatkan banyak orang,
baik secara langsung, maupun tidak langsung. Keputusan merupakan pilihan yang diambil seseorang atau kelompok untuk dilaksanakan. Keputusan bersama yang
diambil harus bijaksana, bisa bermanfaat untuk semua dan tidak memihak pada kelompok tertentu,
artinya kepentingan umum harus lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi.
Keputusan atau putusan yang dimaksud dalam penulisan ini adalah putusan lembaga adat dalam penyelesaian suatu perselisihan atau sengketa. Dalam Pasal 1
Universitas Sumatera Utara
109
angka ayat 5 Perda No 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, disebutkan bahwa Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang
dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan
mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. Putusan lembaga adat dimaksud adalah putusan peradilan adat merupakan
hasil musyawarah dalam rangka mencapai kedamaian di antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, putusannya berupa sanksi mulai dari sanksi yang sangat ringan
seperti menasihati sampai pengusiran dari Gampong. Pada saat mencapai suatu keputusan pentinglah digarisbawahi bahwa kedua belah pihak harus menyetujui
secara bebas dan mandiri sanksi atau hukuman yang akan diberikan.
147
Pengertian keputusan sebagaimana dijelaskan di atas apabila dikaitkan
dengan putusan lembaga adat dimaksud, maka perangkat adat yang terlibat dalam pengambilan keputusan meliputi keputusan perangkat adat tingkat gampong dan juga
tingkat mukim. Perangkat Peradilan AdatHakim Perdamaian pada tingkat Gampong, terdiri atas:
a. Keuchik, sebagai ketua;
b. Sekretaris Gampong, sebagai Panitera;
c. Imeum Meunasah, sebagai anggota;
d. Tuha Peuet, sebagai anggota;
147
Badruzzaman Ismail, Op.Cit., hlm 27.
Universitas Sumatera Utara
110
e. Ulama, Tokoh adatcendikiawan lainnya di Gampong yang bersangkutan ahli di
bidang nya, selain Tuha Peuet Gampong sesuai dengan kebutuhan.
148
Sedangkan perangkat adat Perangkat Peradilan AdatHakim Perdamaian pada tingkat Mukim terdiri atas:
a. Imeum Mukim, sebagai ketua;
b. Sekretaris Mukim, sebagai Panitera;
c. Tuha Peuet Mukim, sebagai anggota;
d. Ulama, tokoh adatcendikiawan lainnya, selain Tuha Peuet Mukim sesuai dengan
kebutuhan. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut para penyelenggara peradilan
adat sebagaimana ditulis di atas tidak ditunjuk atau diangkat “secara resmi”, tetapi karena jabatannya sebagai Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peuet, dan perangkat
adat lainnya yang diakui masyarakat maka mereka secara otomatis menjadi para penyelenggara peradilan adat. Mereka “secara resmi” menjadi penyelenggara
peradilan adat justru dipercayai oleh masyarakat. Pada saat ini, keanggotaan
peradilan adat pada umumnya kaum lelaki, namun demikian tetap harus melibatkan kaum perempuan. Mereka terlibat dalam proses penyelenggaraan peradilan adat
melalui jalur Tuha Peuet dimana salah satu unsur Tuha Peuet harus ada wakil dari kaum perempuan.
149
148
Ibid., hlm 9.
149
Ibid., hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
111
Hal ini juga diakui oleh Wahyu Mimbar bahwa walaupun terkadang dalam penyelesaia sengketa dalam pembagian warisan di tingkat gampong lebih banyak
melibatkan kaum laki-laki, namun kaum perempuan juga tidak dapat diabaikan
mengingat pihak perempuan juga dapat menjadi bagian dari penyelenggaraan penyelesaian sengketa warisan
khususnya dalam pemberian kesaksian dan pembuktian. Keterlibatan perempuan di sini juga disebabkan karena
tujuan penyelesaian secara adat adalah untuk bermusyawarah.
150
Pola-pola penyelesaian sengketa pembagian warisan yang terdapat di dalam masyarakat adat di Kota Banda Aceh ini didominasi oleh pola penyelesaian konflik
secara nonlitigasi, yaitu perdamaian, dengan melalui mediasi dan negosiasi, musyawarah dan mufakat seharusnya bentuk keputusannya juga dibuat dalam suatu
kesepakatan bersama. Dalam mediasi ini, yang bertindak selaku mediator adalah pemuka adat, seperti keuchik dan perangkat gampong lainnya. Jadi dengan demikian
jelaslah bahwa putusan lembaga adat dimaksud adalah yang putusan yang diambil sebagai suatu kesepakatan antara para pihak yang bersengketa dengan perantaraan
keuchik dan perangkat gampong lainnya sebagai lembaga adat. Dalam pengambilan keputusan lembaga adat ini, keuchik dalam kapasitasnya
sebagai pimpinan berkewajiban menciptakan suasana yang aman dan tenteram bagi masyarakatnya. Setelah keamanan dan ketentraman ini terwujud, maka terbentuklah
sebuah sistem pengendalian sosial yang utuh dalam bingkai agama dan adat.
150
Wawancara dengan Wahyu Mimbar, UstadTokoh Masyarakat di Kecamatan Meuraxa Banda Aceh, Tanggal 6 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
112
Pengendalian sosial merupakan suatu kegiatan direncanakan maupun tidak
direncanakan, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum adat
memegang peran penting dalam pengendalian sosial masyarakat untuk mewujudkan kelompok masyarakatyang memiliki nilai-nilai agama.
Keuchik sebagai lembaga adat gampong dapat menciptakan pengendalian sosial dengan beberapa cara:
1 Mempertebal keyakinan masyarakat akan kebaikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat,
2 Memberikan penghargaan kepada masyarakat yang mentaati kaidah-kaidah yang berlaku dengan menerapkan sanksi positif,
3 Mengembangkan rasa
malu dalam
diri masyarakat
apabila mereka
menyimpang dari kaidah-kaidah tertentu, 4 Menimbulkan rasa takut dengan penerapan sanksi yang efektif, dan
5 Menyusun perangkat aturan-aturan hukum.
151
Apabila dalam komunitas masyarakat di suatu gampong terjadi pelanggaran hukum syari’at maupun hukum adat, maka keuchik harus bertindak adil dalam
menyelesaikan suatu perkara dan diselesaikan dalam konteks budaya lokal. Sebagai pengendali sosial, keuchik harus mencari penyelesaian yang arif dan bijaksana,
bukannya mencari siapa yang benar dan salah. Agar terciptanya keseimbangan sosial, keuchik dalam menyelesaikan perkara harus mengacu pada asas-asas sebagai
berikut: 1 Kedudukan pihak-pihak yang bertikai adalah sama,
151
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 79-80
Universitas Sumatera Utara
113
2 Peradilan dilaksanakan dengan hakim kolegial dengan hakim terdiri dari keuchik, imuem meunasah, dan tuha peut,
3 Hukum harus ditegakkan, akan tetapi harusdiperhatikan pula jangan sampai dengan putusan itu menimbulkan perpecahan dalam masyarakat,
4 Penyelesaian diwujudkan dalam bentuk perdamaian, dan 5 Penyelesaian perkara pidana dilakukan secara formal dan material.
152
Setiap terjadinya kasus-kasus pidana maupun perdata baik di lingkungan keluarga, masyarakat dalam satu
gampong maupun dengan gampong lain,
maka keuchik harus
memberikan solusi
akhir dari
penyelesaian kasus
berupa perdamaian. Dalam hal ini, Badruzzaman Ismail, salah seorang tokoh adat Aceh mengatakan bahwa :
Dalam membangun penyelesaian damai, biasanya mekanismenya “damai adat” ditempuh melalui dua jalan:
Pertama prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif hukum adat, melalui forum “Adat Musapat”, musyawarah para tokoh adatlembaga terkait dan
pihak-pihak
bersangkutan dalam
hubungan penyelesaian sengketa
pelanggaran dengan menggunakan asas “lukatasipat, darah tasukat”
kompensasikerugian, “buet nyan geit peureuleekeu bagah, beik jeut susah watei iblih teuka”.
Kedua, prosesi penyelesaian formal melalui seremonial adat publik di depan umum, dengan inti acara khanduri, peusijuek, bermaafan dan salaman,
sayam penyerahan kompensasi, nasehat dan do’a.
153
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam hal pengambilan keputusan lembaga adat termasuk dalam hal ini penyelesaian sengketa dalam
masyarakat adat Aceh khususnya di tingkat Gampong adalah wujud penyelesaian perkara diakhiri dengan suatu keputusan perdamaian karena ini merupakan ajaran
152
T. Juned, Penerapan Sistem dan Asas-asas Peradilan Hukum Adat Dalam Penyelesaian Perkara, dalam M. Isa Sulaiman dan H. T. Syamsuddin ed., Pedoman Adat Aceh: Peradilan dan
Hukum Adat, LAKA, Banda Aceh, 2001, hlm. 18-23
153
H. Badruzzaman Ismail, Pengaruh Faktor Budaya Aceh Dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi, diambil dari www.acehinstitute.org pada tanggal 10 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
114
hukum syari’at Islam dan hukum adat Aceh. Adanya sikap dendam, saling caci-maki dan merasa dirugikan tentunya tidak
dirasakan lagi oleh para pihak yang bersengketa apabila sudah ada suatu putusan damai karena para pihak yang
bersengketa melalui
proses perdamaian
sesuai hukum
syari’at dapat
menyelesaiankannya secara musyawarah dengan perantara keuchik dan perangkat gampong lainnya sebagai lembaga adat.
Demikian pula halnya dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan batas keuchik sebagai lembaga adat juga berperan menjadi penengah dengan dibantu
oleh imeum meunasah, tuha peut dan tuha lapan, juga mendamaikan para pihak guna mencari solusi yang menguntungkan kedua pihak yang bersengketa. Kondisi
inilah menunjukkan peranan lembaga adat dalam pengambilan keputusan guna membina terjalinnya pengendalian sosial yang menciptakan rasa aman, tenteram,
dan tertib dalam masyarakat. Setelah seluruh penyelesaian perkara selesai, maka segala
perkara telah
dilupakan masing-masing
pihak yang
bertikai. Masyarakat pun dapat merasakan manfaat dan dapat menjalankan kehidupan adat
sesuai norma-norma yang berlaku.
B. Pengambilan Putusan oleh Lembaga Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Warisan