13
dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam sebuah penulisan ilmiah termasuk dalam penulisan karya tulis di bidang hukum tentunya tidak terlepas dari adanya teori yang dijadi kerangka pikir di
dalam penulisan. Teori yang dimaksud adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,
11
dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak
benarannya.
12
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.
13
Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, maka kerangka teori yang digunakan juga yang berkaitkan dengan masalah hukum waris juga telah ada aturan yang dapat
dipedomani oleh masyarakat sebagai hukum positif, baik menurut hukum perdata, hukum adat maupun hukum Islam. Salah satunya adalah teori aliran hukum positif
dari Jhon Austin yang mengartikan: Hukum itu sebagai a command of the lawgiver perintah dari pembentuk
undang-undang atau penguasa, yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap
11
M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hlm. 203.
12
Ibid., hlm. 203
13
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80
Universitas Sumatera Utara
14
sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup closed logical system. Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak
didasarkan pada penilaian baik-buruk.
14
Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan
bahwa: Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan
landasan di atas mana dibangun tertib hukum.
15
Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri
dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.
16
Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.
Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.
17
Mengenai kewarisan hukum Islam telah menetapkan peraturan-peraturan mawaris di atas sebaik-baik aturan, terjelas dan paling adil sebab Islam mengakui
pemilikan seseorang atas harta, baik ia laki-laki atau perempuan melalui jalan yang dibenarkan syari’at, sebagaimana Islam mengakui berpindahnya sesuatu yang
14
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hlm 55.
15
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hlm 15.
16
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, 1991, Bandung, hlm. 56.
17
Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal, yakni pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas
bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio
legis dari peraturan hukum.
Universitas Sumatera Utara
15
dimiliki oleh seseorang ketika hidupnya kepada ahli warisnya sesudah matinya, baik ahli waris itu laki-laki atau perempuan, tanpa membedakan antara anak kecil atau
dewasa. Dimana hal ini sama sekali berbeda dengan hukum kewarisan sebelum Islam yang sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada.
18
Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan
bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih hidup.
19
Harta benda yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia, di samping berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan pemiliknya dalam upaya mengabdi kepada yang maha pemberi, juga antara lain untuk mempererat hubungan persaudaraan. Namun kematian seseorang
sering berakibat timbulnya silang sengketa dikalangan ahli waris mengenai harta peninggalannya. Hal seperi ini sangat mungkin terjadi, bilamana pihak-pihak terkait
tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Pembagian harta warisan menurut hukum Islam sesuai dengan petunjuk Al-
Qur’an dan hadis, bertujuan positif dan konstruktif untuk menyelamatkan umat Islam dari perbuatan tercela. Jadi sistem kewarisan menurut hukum Islam secara jelas dan
rinci telah diatur baik mengenai tata cara pembagian dan peralihan harta si pewaris kepada para ahli waris, harta waris, serta hal-hal yang menghalangi ahli waris untuk
18
Muhammad Ali Aş-Şabǔnī, Hukum Waris Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1998, hlm. 47.
19
A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003. hlm 356.
Universitas Sumatera Utara
16
mendapatkan harta warisan dari si pewaris. Tata cara pembagian dan peralihan harta waris dari si pewaris kepada ahli waris antara lain dengan cara menyerahkan harta
waris tersebut pada ahli waris yang berhak dan ada kalanya dengan jalan wasiat. Apabila dikaitkan dengan proses pewarisan dapat pula dijelaskan bahwa para
ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal dunia, baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan zunnasbi, hubungan periparan
asshar, maupun hubungan perwalian mawali. Hal ini dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:
1. Golongan yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam.
2. Golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan ikhtilaf oleh para sarjana hukum Islam.
20
Berdasarkan dua golongan tersebut diatas, maka golongan ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.
Kelompok Ahli Waris laki-laki adalah sebagai berikut : 1.
Anak laki-laki 2.
Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya ke bawah 3.
Bapak 4.
Kakek shaih dan seterusnya keatas 5.
Saudara laki-laki sekandung 6.
Saudara laki-laki sebapak 7.
Saudara laki-laki seibu 8.
Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 9.
Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak. 10. Paman sekandung.
20
Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997, hlm. 63
Universitas Sumatera Utara
17
11. Paman sebapak 12. Anak laki-laki paman sekandung
13. Anak laki-laki paman sebapak 14. Suami
15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak
Kelompok Ahli waris Perempuan adalah sebagai berikut : 1.
Anak perempuan 2.
Cucu perempuan pancar laki-laki 3.
Ibu 4.
Nenek dari pihak bapak dan seterusnya keatas 5.
Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas 6.
Saudara perempuan sekandung 7.
Saudara perempuan sebapak 8.
Saudara perempuan seibu 9.
Isteri 10. Orang perempuan yang memerdekakan budak.
Kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian fardh tertentu, yakni bagian yang sudah ditentukan kadarnya, mereka disebut ahli waris
ashhabul furudh; sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashhabul furudh, mereka
disebut ahli waris ashabah. Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah
keluarga terdekat sebelah ibu dzul arham, yang tidak disebutkan dalam Kitab Allah Al-Quran tentang bagiannya fardh, ataupun tentang ‘ushbat. Mereka dikenal
dengan sebutan ahli waris dzawil al-arham. Anak laki-laki berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana anak
perempuan juga berhak menerimanya. Misalnya, kandungan Pasal 174 ayat 1 KHI dinyatakan bahwa ayah, anak laki-laki paman dan kakek golongan laki-laki, juga
Universitas Sumatera Utara
18
ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek golongan perempuan adalah kelompok ahli waris karena hubungan darah yang sama-sama mewarisi. Dengan
demikian, tidak ada diskriminasi jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam yang ada dalam KHI. Hal tersebut disebabkan asas-asas yang terkandung dalam Hukum
Kewarisan Islam dalam KHI.
21
Ahli waris yang telah disepakati hak warisnya, dapat memperoleh warisan jika memenuhi syarat warisan, sebagai berikut :
a. Pewaris benar-benar telah meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan
telah meninggal;
misalnya, orang
yang tertawan
dalam peperangan dan orang hilang yang telah lama meninggalkan tempat tanpa
diketahui hal ihwalnya. b. Ahli Waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan
keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saa pewaris meninggal. c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau
dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan berhak waris.
d. Tidak terdapat penghalang warisan. Penghalang warisan yang dimaksud adalah berbeda agama, membunuh, serta menjadi budak orang lain.
22
Lajnah ulama Mesir mengemukakan, seperti halnya waladin dan aqrabin yang kafir, atau mereka mukmin tetapi terhijab untuk mendapatkan warisan,
misalnya ibnu akhi anak laki-laki dari saudara laki-laki karena ada akhun saudara laki-laki, atau kalau mereka termasuk dzawil arham. Menurut Al-Qurthubi, artinya
: ………… ayat tersebut adalah mahkamah, lahir ayat adalah umum, dan artinya khusus bagi waladain dan aqrabain yang tidak menerima warisan, seperti keduanya
kafir atau hamba sahaya, dan bagi kerabat yang tidak mendapatkan warisan.
23
21
M. Hasballah Thaib, Op.Cit., hlm 14
22
Ibid.
23
Ibid., hlm. 175
Universitas Sumatera Utara
19
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa selain pembagian dengan cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak pewarisan dapat
juga dilakukan dengan cara perdamaian antara para ahli waris. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya sengketa dalam pembagian warisan sebagaimana dalam
masyarakat adat Aceh penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan dilakukan dengan melibatkan lembaga adat Aceh. Kondisi inilah yang menunjukkan
keunggulan hidup masyarakat di gampong kampung adalah kebersamaan menyelesaikan masalah secara musyawarah.
Musyawarah dan mufakat itu sendiri merupakan bagian dari budaya manusia, sementara kesepakatan yang dilakukan antara anggota masyarakat mengandung
komponen budaya yang disebut budaya hukum. Nilai-nilai budaya mempunyai
kaitan erat dengan hukum karena hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
24
Nilai tidak bersifat kongkrit melainkan sangat abstrak dan dalam prakteknya bersifat subjektif, agar dapat
berguna maka nilai abstrak dan subjektif itu harus lebih dikongkritkan. Wujud kongkrit dari nilai adalah dalam bentuk norma. Norma hukum bersifat umum yaitu
berlaku bagi siapa saja.
25
Nilai dan norma berkaitan dengan moral dan etika, moral akan tercermin dari sikap dan tingkah laku seseorang. Pada situasi seperti ini maka sudah memasuki
24
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op.Cit., hlm 80.
25
R. Rosjidi Rangga Widjaja, Ilmu Perundang-undangan Indonesia Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
20
wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
26
Sikap masyarakat yang patuh dan taat pada hukum akan memperlancar penegakan hukum
law enforcement.
27
Sikap moral masyarakat yang ada akan melembaga dalam suatu budaya hukum legal culture. Sikap kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum sangat
mempengaruhi bagi berhasil atau tidaknya penegakan hukum itu sendiri dalam kehidupan masyarakat.
Lawrence M. Friedmen menyatakan bahwa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum.
28
Beliau juga menyatakan bahwa budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak akan berdaya
29
jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor sarana atau fasilitas
merupakan faktor
yang cukup
penting dalam
upaya penegakan
hukum. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang mendukung, maka tidak mungkin
penegakan hukum
dapat berjalan
lancar. Hal
ini meliputi
sumber daya
26
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 250.
27
Law Enforcement adalah pelaksanaan hukum atau penegakan hukum. Lihat John M. Echols Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia, Jakarta 1989, hlm. 140.
28
Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah Wishnu Basuki, Second Edition, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm. 8.
29
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
21
manusia yang terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai serta keuangan yang cukup.
30
Penyelesaian sengketa di Indonesia biasanya memiliki pola tersendiri, Ade Maman Suherman mengutip pendapat Daniel S.Lev. mengatakan bahwa budaya
hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa mempunyai karakteristik tersendiri yang disebabkan oleh nilai-nilai tertentu.
31
Istilah budaya hukum digunakan untuk menunjukkan tradisi hukum dalam mengatur kehidupan suatu masyarakat.
32
Faktor penting dalam menyelesaikan sengketa yaitu konsensus antara para pihak yang
bersengketa. Kenyataannya
bahwa setiap
masyarakat mengenal
pembagian kewenangan atau otoritas authority
33
secara tidak merata. Pemikiran di atas dibedakan dengan apa yang dikenal dengan sosiologi
hukum yang tumbuh dan berkembang di Eropa Kontinental dan hukum sebagai gejala sosial. Perbedaan antara sosiologi hukum dan hukum sebagai gejala sosial di
antara keduanya ialah bahwa kalau “sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum
dan masyarakat dan sebaliknya”.
34
30
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 27
31
Ade Maman Suherman, Perbandingan Sistem Hukum RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 16
32
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Op.Cit., hlm. 108.
33
Authority menurut Mark Weber yang ia bedakan dari pengertian Power, ia mengartikan authority sebagai kemungkinan perintah-perintah seseorang di dalam posisi ataukedudukan tertentu
diikuti oleh sekelompok orang tertentu. Power bersumber dari dalam kepribadian seseorang, maka authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan orang yang memilikinya. Lihat Ralph
Dahrendorf, Case and Class Conflict in Industrial Society, Stanford University Press, Jakarta, 1959, hlm. 162.
34
Ibid., hlm. 66.
Universitas Sumatera Utara
22
Sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauhmana gejala dalam masyarakat itu
dapat mempengaruhi hukum tersebut di samping juga diselidiki, sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dengan demikian, yang terpenting adalah bahwa
“sociological jurisprudence” merupakan cara pendekatan yang bermula dari hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum”.
35
Mashab sociological jurisprudence ini mengetengahkan tentang: Pentinganya living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana
kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari thesenya, yaitu positivisme hukum dan antithesenya mashab sejarah. Dengan
demikian, “sociological `jurisprudence berpegang pada pendapat pentingnya baik akal maupun pengelaman dimanna pandangan ini berasal dari Rescoe
Pound yang inti sarinya adalah konsepsi masing-masing aliran yaitu positivisme hukum dan mashab sejarah.
36
Berdasarkan uraian di atas, kemudian lahir konsep law as a tool of social engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara
sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan
pengoptimalan efektifitas
hukum pun
menjadi salah
satu topik
bahasan sosiologi hukum.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengembangan Ilmu Hukum yang bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper bagitu saja Ilmu-ilmu
35
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986, hlm 1-25.
36
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986. hlm 56.
Universitas Sumatera Utara
23
Hukum yang bersal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak secara membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara selaras.
37
Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi di bidang hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum
di Indonesia. Sistem hukum yang hendak diwujudkan sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan kehidupan
nasional. Jimly Assiddqqie mengatakan bahwa : Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali
kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber daya manusia, kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring
dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.
38
Peran hukum dalam masyarakat memang sering menimbulkan banyak persoalan, hukum bahkan dianggap sebagai instrumen pengatur yang sah dalam
negara hukum. Dengan kedudukan yang demikian, hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa. Berkaitan dengan keberadaan hukum itu sendiri di tengah
masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan utama adanya hukum adalah jaminan ketertiban, keadilan, dan kepastian.
39
Dengan demikian, hukum adalah sebuah sistem yang mempunyai ciri dan karakteristik yang menjadi penggerak dan pengatur kehidupan masyarakat. Terkait
dengan ciri dan karakteristik hukum dan masyarakat tersebut, Roscoe Pound,
37
Ibid.
38
Jimly Asshiddiqie, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan Problematika Peraturan Daerah, makalah, 2005.
39
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002, hlm. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
24
mengenalkan lebih lanjut apa yang disebut sebagai law as a tool of social engineering.
40
Selanjutnya dengan mengilhami dari teori law as a tool of engineering dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran sociological
yurisprudence Mochtar Kususmaatmadja
menghasilkan teori
hukum sebagai
sarana pembaharuan
masyarakat. Beberapa karakteristik dari teori beliau yang membedakan dengan teori dari Roscoe Pound adalah:
a. Lebih menekankan peranan peraturan perundang-undangan dalam proses pembaharuan di Indonesia, sedangkan teori dari Roscoe Pound terutama
ditujukan pada
peranan pembaharuan
terhadap putusan
pengadilan, khususnya putusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi;
b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang menolak penerapan mekanistis dari konsepsi law as a tool of social
engineering. Penerapan secara mekanistis demikian, yang digambarkan dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda
dengan penerapan legisme yang dalam sejarah hukum di Indonesia telah dikritik banyak pihak.
c. Apabila ada pengertian hukum termasuk pula hukum internasional, maka Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan luhur.
41
Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool of social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of social
engineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial didominasi oleh kekuasaan negara. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat
Satjipto Raharjo bahwa Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial.
42
40
Ibid.
41
Ibid.
42
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hlm. 254.
Universitas Sumatera Utara
25
Lebih lanjut mengenai metode penelitian hukum Satjipto Raharjo mengatakan bahwa Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.
43
Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.
44
Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis ini mengenai sesuatu kasus
ataupun permasalahan problem, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam
penelitian ini.
45
2 .
Konsepsi
Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :
1. Lembaga adat adalah gabungan dari kata “lembaga” dan “adat”, di mana lembaga diartikan sebagai pola perilaku manusia yang mapan yang terdiri
43
Ibid.
44
Ibid.
45
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
26
dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai dan relevan sehingga lembaga adat diartikan sebagai pola perilaku masyarakat
adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai dan relevan.
2. Lembaga adat Aceh adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang
dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk
mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.
46
3. Masyarakat Adat adalah masyarakat kelompok manusia yang mendiami
wilayah tertentu, mempunyai pemimpin, dan mempunyai norma-norma hukum sendiri yang mereka taati bersama atau kesatuan-kesatuan masyarakat
yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri,
yaitu mempunyai
kesatuan hukum,
kesatuan penguasa
dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
47
4. Putusan lembaga Adat adalah putusan yang diambil oleh lembaga adat guna penyelesaian suatu permasalahan dalam masyarakat adat termasuk
dalam hal ini putusan terhadap penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan.
46
Pasal 1 ayat 5 Perda No. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat
47
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 93.
Universitas Sumatera Utara
27
5. Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli
waris termasuk dalam hal ini pusaka dan surat wasiat. Pewaris, adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan
sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat. Ahli waris, yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak
menerima harta peninggalan pewaris. Mewarisi, yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
Proses pewarisan merupakan Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu 1 berarti penerusan atau penunjukan para
waris ketika pewaris masih hidup; dan berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.
48
6. Pembagian Warisan adalah upaya yang dilakukan untuk melaksanakan pembagian harta warisan peninggalan dari pewaris kepada ahli waris yang
berhak. 7. Sengketa waris adalah sengketa atau perselisihan yang timbul dalam
pembagian warisan. 8. Banda Aceh adalah salah satu kota di Provinsi Aceh yang juga merupakan
ibukota Provinsi Aceh dan wilayahnya juga terdiri dari kecamatan dan gampong desa yang dipimpin oleh keuchik.
48
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Rafika Aditama, Bandung, 2005, hlm 4 – 5.
Universitas Sumatera Utara
28
G. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala- gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan mekanisme
penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan pembentukan hukum untuk dalam menyelesaikan
permasalahan pembagian warisan dalam masyarakat adat Aceh. Metode Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris untuk mengkaji mekanisme penyelesaian
sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan meng inventarisasi hukum positif yang mengatur dan
berkaitan dengan efektifitas putusan Lembaga Adat Aceh dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan. Sedangkan pendekatan yuridis empiris
dilakukan melalui penelitian lapangan yang diharapkan akan diperoleh gambaran yang
menyeluruh dan sistematis mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Dengan demikian, walaupun penelitian ini
merupakan penelitian normatif namun juga tidak terlepas dari pendekatan yuridis empiris dengan mengambil objek penelitian di salah satu wilayah masyarakat adat
Aceh yaitu di Kota Banda Aceh. Untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian maka penelitian ini juga akan mengikuti pendekatan-pendekatan yang
berlaku di dalam penelitian ilmu hukum khususnya yang terkait dengan penelitian hukum normatif.
Universitas Sumatera Utara
29
2 .
Sumber Data
Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.
Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber baik sumber data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai
macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal seorang peneliti diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang
terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.
a .
Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur
yang berkaitan dengan objek yang diteliti dan berbagai macam peraturan perundang- undangan yang ada kaitannya mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan
melalui Lembaga Adat Aceh. Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu:
1 Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan
hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara hukum karena dikeluarkan oleh instansi yang
sah. Bahan hukum primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan library research baik di
perpustakaan fakultas, universitas maupun perpustakaan umum lainnya.
Universitas Sumatera Utara
30
Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman bagi penelitian terkait hukum waris, penyelesaian sengketa waris maupun hukum adat
2 Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya memperkuat atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder biasanya
berupa bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal yang memberikan
penjelasan mengenai bahan primer, berupa buku teks,
konsideran, artikel dan jurnal, sumber data elektronik berupa internet, majalah dan surat kabar serta berbagai kajian yang menyangkut hukum waris
dan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh.
3 Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan pegangan atau acuan bagi kelancaran proses penelitian. Bahan hukum tersier biasanya
memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Di perpustakaan biasanya bahan hukum tersier berada
pada ruangan khusus dan dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan hanyalah kamus.
Penelitian mengenai
mekanisme penyelesaian
sengketa pembagian
warisan melalui Lembaga Adat Aceh berusaha untuk menemukan jawaban yang konkrit, jelas dan pasti terkait dengan objek masalah yang diteliti.
Sehingga peran data pendukung seperti kamus sangat dibutuhkan untuk
Universitas Sumatera Utara
31
mencari kebenaran sejati dari istilah-istilah hukum yang asing. Bahan hukum primer ini bukan hanya sekedar sebagai pelengkap informasi saja melainkan
juga dapat memberikan petunjuk awal terkait dengan masalah yang sedang diteliti.
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus hukum yang memuat informasi tentang arti beberapa istilah hukum yang
bersifat khusus.
b. Data Primer
Data primer digunakan untuk melakukan konfrontir terhadap berbagai macam data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan penegasan. Data-data
primer dalam bentuk data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dikhususkan untuk pemecahan masalah yang masih memerlukan informasi lebih lanjut dalam
memastikan validitas data-data sekunder yang telah diperoleh.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan library research. Penelitian kepustakaan
dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari dokumen- dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan
ilmiah yang ada hubungannya dengan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Selain itu, guna mendukung data primer yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula penelitian lapangan field research melalui wawancara dengan beberapa responden dan informan
sebagai narasumber yang dalam hal ini adalah :
Universitas Sumatera Utara
32
Responden : 1. Ketua Majelis Adat Kota Banda Aceh
2. Keuchik di wilayah Kota Banda Aceh 2 orang 3. Sekretaris Gampong di wilayah Kota Banda Aceh 2 orang
Informan : 1. Warga Masyarakat di Kota Banda Aceh
2. Tokoh Masyarakat di Kota Banda Aceh 3 orang 1 oang 3. Notaris di Banda Aceh 1 orang
4. Hakim dan Panitera Mahkamah Syariyah Banda Aceh 2 orang Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data
yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Studi Dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang
merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari ketentuan norma dan perundang-undangan yang berlaku.
b. Wawancara
43
dengan menggunakan pedoman wawancara interview quide.
44
Wawancara dilakukan terhadap narasumber dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya baik secara terarah maupun
wawancara bebas dan mendalam depth interview.
43
Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat
pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden
interview informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden interview pedoman wawancara, dan situasi wawancara.
44
Ibid, hlm. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi
pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
Universitas Sumatera Utara
33
4. Analisis Data
Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil
penelitian yang sudah terkumpul digunakan metode normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertolak dari peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif
sedangkan kualitatif, dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi.
Data yang
diperoleh melalui
penelitian kepustakaan
selanjutnya akan
dipilah-pilah guna
memperoleh pasal-pasal
yang berisi
kaedah- kaedah
hukum maupun
berbagai ketentuan
perundang-undangan yang
berlaku dan yang mengatur masalah mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh kemudian disistematisasikan sehingga
menghasilkan suatu klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang ditelaah
dalam penelitian ini akan dijawab.
49
Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan perspektif disiplin ilmu lainnya, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian
hukum, karena perspektif disiplin lain hanya sekedar alat bantu.
50
Dengan demikian, jelaslah bahwa data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif yaitu
menafsirkan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Penarikan kesimpulan dilakukan melalui induktif.
49
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002. hlm. 24.
50
Alvi Syahrin, Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan. Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
34
BAB II LEMBAGA ADAT ACEH SEBAGAI TEMPAT MENYELESAIKAN