Sengketa dan Penyelesaian Sengketa Warisan

83

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN OLEH

LEMBAGA ADAT ACEH DI KOTA BANDA ACEH

A. Sengketa dan Penyelesaian Sengketa Warisan

Dalam kehidupan masyarakat termasuk dalam hal ini masyarakat adat yang penuh dengan kekerabatan dan kekeluargaan tidak menutup kemungkinan terjadi juga permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kepentingan. Kekerabatan dan suasana hidup yang penuh kekeluargaan tidak akan dapat memberikan jaminan dalam lingkungan tersebut dapat terjaga untuk selalu hidup dengan suasana nyaman dan tentram. Hal ini disebabkan perkembangan dan kebutuhan yang semakin hari makin menuntut bagi siapapun masyarakat adat untuk selalu siap berkompetisi dalam meningkatkan taraf hidup rumah tangganya sendiri. Dalam prinsip kesamaan, persoalan yang timbul adalah bagaimana antara semua yang sama itu dapat bertahan menjadi suatu keutuhan, dan dapatkah hidup bersama benar-benar wujud sebagai suatu kesatuan. Hidup bersama dapat dipertahankan dengan berpedoman pada prinsip rukun, yaitu ajaran hidup bersama. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Masyarakat adat memiliki sifat demokratis yang mana kepentingan bersama lebih diutamakan, tanpa mengabaikan atau merugikan kepentingan perorangan. Suasana hidup domkratis dan berkeadilan sosial berjalan bersama dengan semangat komunal dan gotong royong dalam masyarakat hukum adat. Perilaku demokratis dijiwai oleh asas hukum adat yang 83 Universitas Sumatera Utara 84 bernilai universal. Nilai ini berupa kekuasaan umum, asas musyawarah, dan perwakilan dalam sistem pemerintahan adat. Tradisi penyelesaian sengketa masyarakat hukum adat didasarkan pada nilai filosofi kebersamaan komunal, pengorbanan, nilai supernatural, dan keadilan. Dalam masyarakat hukum adat kepentingan bersama merupakan filosofi hidup yang meresap pada dada setiap anggota masyarakat. Masyarakat hukum adat dalam kesadarannya selalu mementingkan kepentingan komunal, dan mencegah terjadinya intervensi kepentingan individual dalam kehidupan sosial mereka. Sengketa yang terjadi antar-individual maupun antara kelompok, dalam pandangan masyarakat hukum adat adalah tindakan yang menggangu kepentingan bersama dan oleh karena itu harus cepat diselesaikan secara arif dengan menggunakan pola penyelesaian adat. Apabila ditelaah dari ketentuan hukum Islam yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Aceh, maka apabila terjadi pembagian warisan menurut syariat Islam telah ditetapkan bahwa bagian ahli waris laki-laki lebih banyak dari pada bagian ahli waris perempuan, yakni ahli waris laki-laki dua kali bagian ahli waris perempuan. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT, yang artinya “Allah mensyari’atkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan dua orang anak perempuan… An- Nisa: 11”. Allah SWT menjanjikan surga bagi orang-orang yang beriman yang mentaati ketentuan-Nya dalam pembagian harta warisan dan ancaman siksa bagi mereka yang mengingkari-Nya. Universitas Sumatera Utara 85 Namun, dalam masyarakat, banyak terjadi penyimpangan secara tidak langsung dari ketentuan Al-Qur’an tersebut, dimana sebagian kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan yang mendahului atau membagi sendiri warisan sebelum ia meninggal walaupun ketentuan hukum Islam telah mengatur secara jelas mengenai pembagian warisan. Dalam hal penyelesaian sengketa kewarisan menurut hukum Islam para ulama fiqih, sebagaimana kemudian diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam, menegaskan kemungkinan penggunaan prinsip musyawarah atau kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah waris. Cara penyelesaian pembagian harta waris yang dilakukan secara kekeluargaan yaitu berdasarkan kesepakatan para ahli waris, merupakan solusi yang bijaksana untuk menyikapi perbedaan kondisi ekonomi para ahli waris. Melalui sistem ini, ahli waris yang secara teoritis dapat mendapatkan bagian yang besar, dapat saja menyerahkan bagiannya kepada ahli waris lain yang normalnya mendapatkan porsi yang lebih kecil tetapi secara ekonomis membutuhkan perhatian khusus. Perdamaian dalam tradisi Islam dikenal dengan “Al Sulh” yang berarti “Perdamaian”. Secara bahasa, “sulh” berarti “meredam pertikaian”, sedangkan menurut istilah “sulh” berarti jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselsisihan atau pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai. 122 Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhir suatu perkara 122 AW. Munawir, Kamus Al Munawir, Pondok Pesantren Al Munawir Yogyakarta, 1984. hal. 843. Universitas Sumatera Utara 86 sangat dianjurkan oleh Allah Swt sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nisa’ ayat 126 yang artinya “Perdamaian itu adalah hal yang baik”. Sulh juga mempunyai bentuk lain yaitu Al Islah yang memiliki arti memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan. Islah merupakan kewajiban umat Islam, baik secara personal maupun sosial. Penekanan Islah ini lebih terfokus pada hubungan antara sesama ummat manusia dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT. 123 Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian dan harus dilakukan oleh orang yang melakukan perdamaian yaitu, ijab, Qabul dan lafadz dari perjanjian tersebut. Jika ketiga hal tersebut sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. 124 Dari perjanjian damai tersebut lahir suatu ikatan hukum yang masing-masing pihak berkewajiban melaksanakannya dan perjanjian damai yang telah disepakati tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian tersebut, maka pembatalan perjanjian tersebut juga harus dilakukan atas persetujuan kedua pihak. Dalam perjanjian perdamaian juga harus dipenuhi beberapa syarat agar perjanjian damai atau perdamaian tersebut sah sebagaimana layaknya suatu 123 H. Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al Qur’an V, Pustaka Bangsa, Medan, 2008, hal. 147-148 124 Rahmatsyah Purba, Penyelesaian Sengketa pada Perbankan Syariah Pasca Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Thesis, MKN, USU, Medan, 2009, hal. 28. Universitas Sumatera Utara 87 perjanjian. Adapun syarat-syarat sahnya satu perjanjian damai dapat diklasifikasi dalam beberapa hal sebagai berikut. a. Hal yang menyangkut subjek b. Hal yang menyangkut objek c. Persoalan yang boleh didamaikan d. Pelaksanaan perdamaian 125 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut: a. Hal yang menyangkut subjek Subjek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap menurut hukum. Selain itu, orang yang melaksanakan perdamaian harus merupakan orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksud dalam perdamaian itu. Belum tentu setiap orang yang telah cakap bertindak mempunyai kekuasaan atau wewenang melakukan perdamaian tersebut. Orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak memiliki wewenang untuk memiliki, antara lain Pertama Wali atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannya, Kedua Pengampu atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya, Ketiga Nazir Pengawas wakaf atas hak milik wakaf yang ada dibawah pengawasannya. b. Hal yang menyangkut objek 125 Ibid., hal. 28-29. Universitas Sumatera Utara 88 Mengenai objek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni Pertama, Berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak milik intelektual, yang dapat dinilai dan dihargai, dapat diserahterimakan dan bermanfaat, Kedua, dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap objek yang sama. 126 c. Persoalan yang boleh didamaikan Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah SWT tidak dapat didamaikan. d. Pelaksanaan perdamaian Pelaksanaan perjanjian damai dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dilakukan di luar sidang pengadilan atau melalui sidang pengadilan. Perdamaian di luar sidang pengadilan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri yang melakukan perdamaian tanpa melibatkan pihak lain atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi 126 Ibid., hal. 29. Universitas Sumatera Utara 89 penengah wasit. Wasit tersebut kemudian disebut dengan arbitrase atau dalam Islam disebut dengan “Hakkam”. 127 Pelaksanaan perjanjian damai melalui sidang pengadilan dilakukan pada saat perkara diproses dalam sidang pengadilan. Di dalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses, atau dapat juga selama diproses bahkan sudah diputus oleh pengadilan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap inkrah, tetapi hakim menganjurkan agar pihak yang bersengketa supaya berdamai. Seandainya hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatkah putusan perdamaian, kedua belah pihak yang melakukan perdamaian itu dihukum untuk mematuhi perdamaian yang telah mereka sepakati. Berdasarkan uraian di atas perjanjian perdamaian sebagaimana yang diuraikan di atas dapat pula dipergunakan dalam penyelesaia pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan dapat juga dilakukan dengan cara bagi rata, artinya masing-masing ahli waris mendapat bagian yang sama dari harta warisan tanpa memandang apakah ahli warisnya itu laki-laki atau perempuan dengan jalan berdamai berdasarkan kesepakatan bersama antara ahli waris dengan syarat perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing pihak menyadari bagiannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beragam permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat adat tersebut sudah pasti menghendaki pemecahan atau solusi yang secepat dan sesegera mungkin dalam rangka menjaga kenyamanan dan 127 Ibid., hal. 30. Universitas Sumatera Utara 90 ketentraman masyarakat itu sendiri. Tanggung jawab terhadap berbagai permasalahan yang timbul menyangkut kepentingan masyarakat tentu melekat pada diri pimpinan masyarakat beserta perangkatnya yang dalam hal ini di Kota Banda Aceh untuk tingkat Gampong adalah Keuchik dan perangkat Gampong. 128 Salah satu sumber obyek sengketa dalam kehidupan sehari-hari antar manusia satu dengan manusia yang lain, terutama dalam suatu keluarga yang dulunya bersatu kemudian bercerai-berai adalah persoalan pembagian warisan yang tidak proporsional sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa warisan merupakan bentuk harta yang dapat saja membuat orang menjadi kaya raya karena hal tersebut. Sebaliknya juga orang atau setiap manusia dapat menjadi miskin karena tidak mendapatkan harta warisan tersebut, bahkan dapat saja membuat setiap orang menjadi gila sampai meninggal dunia akibat tidak mendapatkan harta warisan. 129 Dalam hukum waris, pembagian harta warisan yang diberikan kepada ahli waris dalam prosesnya dapat berlangsung tanpa sengketa atau dengan sengketa. Pada prinsipnya pelaksanaan pembagian harta warisan berlangsung secara musyawarah. Musyawarah dilakukan oleh keluarga secara internal untuk menentukan bagian 128 Wawancara dengan Sanusi Husein, Ketua Majelis Adat Kota Banda Aceh, Tanggal 6 Mei 2013 129 Wawancara dengan Marzuki Hasyim, Tokoh Masyarakat di Kecamatan Bandaraya Banda Aceh, Tanggal 9 Mei 2013 Universitas Sumatera Utara 91 masing-masing ahli waris. Apabila musyawarah tidak dapat menyelesaikan sengketa, maka persengketaan diselesaikan melalui pengadilan. 130 Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa pembagian warisan baik dalam bentuk tanah maupun pembagian warisan lain yang sering menimbulkan sengketa dalam lingkungan keluarga mereka sendiri. Dengan kata lain, pembagian warisan sangat berisiko menimbulkan sengketa. Sengketa atau perselisihan merupakan suatu permasalahan yang paling sering muncul dalam pembagian warisan sebagaimana juga terjadi dalam masyarakat adat Aceh. Tidak jarang, sesama saudara bertikai akibat berselisih paham dalam hal warisan. Salah satu pihak merasa paling berhak atau ingin mendapat pembagian harta lebih besar. Menyangkut tentang pembagian warisan, karena umumnya warisan mempunyai nilai ekonomis dan religius yang tinggi. Dengan kata lain warisan dapat menimbulkan kebahagian satu pihak dan di pihak lain dapat menimbulkan kesengsaran, apabila dalam pengaturan dan pembagian tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya diikuti bersama. Persoalan pembagian dan sengketa warisan di kalangan masyarakat adat di Kota Banda Aceh merupakan hal yang biasa dan sering terjadi. Namun demikian apapun model permasalahan yang terjadi menyangkut sengketa warisan, tetap saja dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini tentu merupakan suatu keunggulan tersendiri bagi masyarakat desa dalam menghadapi setiap masalah di lingkungan masyarakat adat Aceh dibanding dengan permasalahan 130 Wawancara dengan Wahyu Mimbar, UstadTokoh Masyarakat di Kecamatan Meuraxa Banda Aceh, Tanggal 6 Mei 2013 Universitas Sumatera Utara 92 yang terjadi di wilayah lainnya. Keunggulan dalam penyelesaian setiap sengketa yang terjadi di desa dengan hasil yang lebih baik tersebut, tentunya dipengaruhi juga oleh faktor panutan atau yang memimpin masyarakat adat itu sendiri. 131

B. Fungsi Lembaga Adat dalam Penyelesaian Sengketa Warisan