Pengambilan Putusan oleh Lembaga Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Warisan

114 hukum syari’at Islam dan hukum adat Aceh. Adanya sikap dendam, saling caci-maki dan merasa dirugikan tentunya tidak dirasakan lagi oleh para pihak yang bersengketa apabila sudah ada suatu putusan damai karena para pihak yang bersengketa melalui proses perdamaian sesuai hukum syari’at dapat menyelesaiankannya secara musyawarah dengan perantara keuchik dan perangkat gampong lainnya sebagai lembaga adat. Demikian pula halnya dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan batas keuchik sebagai lembaga adat juga berperan menjadi penengah dengan dibantu oleh imeum meunasah, tuha peut dan tuha lapan, juga mendamaikan para pihak guna mencari solusi yang menguntungkan kedua pihak yang bersengketa. Kondisi inilah menunjukkan peranan lembaga adat dalam pengambilan keputusan guna membina terjalinnya pengendalian sosial yang menciptakan rasa aman, tenteram, dan tertib dalam masyarakat. Setelah seluruh penyelesaian perkara selesai, maka segala perkara telah dilupakan masing-masing pihak yang bertikai. Masyarakat pun dapat merasakan manfaat dan dapat menjalankan kehidupan adat sesuai norma-norma yang berlaku.

B. Pengambilan Putusan oleh Lembaga Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Warisan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam hukum waris, pembagian harta warisan yang diberikan kepada ahli waris dalam prosesnya dapat saja berlangsung tanpa adanya sengketa atau dengan terjadinya sengketa antara para ahli Universitas Sumatera Utara 115 waris. Pada prinsipnya pelaksanaan pembagian harta warisan berlangsung secara musyawarah. Musyawarah dilakukan oleh keluarga secara internal untuk menentukan bagian masing-masing ahli waris. Apabila musyawarah tidak dapat menyelesaikan sengketa, maka persengketaan diselesaikan melalui pengadilan. Secara teoritik dalam menyelesaikan sengketa perdata, terdapat alternatif yang dapat digunakan sebagai pilihan oleh para pihak. Salah satunya adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan non litigasi yang dilakukan dengan melibatkan lembaga adat seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat di Kota Banda Aceh. Dalam perkembangannya alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih banyak digunakan dalam kehidupan di tingkat Gampong. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk terhadap sengketa pembagian warisan biasanya dilaksanakan di Meunasah. Mengenai tempat pelaksanaan ini melalui Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, meunasah mulai difungsikan kembali sebagai tempat musyawarah dan tempat menyelesaikan sengketaperkara, yaitu tercantum dalam Pasal 14 ayat 4 yang berbunyi “Sidang musyawarah penyelesaian sengketaperselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan Imeum Mukim atau nama lain”. 154 154 Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat Universitas Sumatera Utara 116 Meunasah sebagai lembaga musyawarah berfungsi menjalankan tugas-tugas peradilan dan menemukan hukum untuk digunakan pada tingkat Gampong, yang bersumber dari fungsionaris perangkat Gampoeng, yaitu Keuchik, Teungku Sagoe, Tuha Peut, Tuha Lapan, Tokoh-tokoh Adat dan berbagai cerdik pandai lainnya yang berwibawakharismatik, berkedudukan, berilmu, bahkan berharta sebagai prasyarat penghargaan dari masyarakatnya. Para tokoh masyarakat dan lembaga adat tersebut mempunyai kemampuan dalam menggali dan menemukan norma-norma hukum adat untuk keperluan penyelesaian sengketa yang tergambar dalam pepatah adat : Meulugot oen padee meupue ciceim, oh ji khem meupu le bahsa, meunka muemet oen kayee ka meukri angen, meutho ie meupu eungkoet. Meulugot oen padee meupue ciceim jenis burung ditandai dengan tersoyoknya daun padi, oh jikhem meupue bahsa waktu tertawa ketahuan bahasanya, meunka muemet oen kayee ka meukri angen jika bergerak daun kayu ketahuan angin apa, maksud dari peribahasa di atas ialah hukum adat adalah hukum yang mengendap dalam masyarakat, kapan saja ada permasalahan. 155 Jadi dalam penyelesaian suatu perselisihan dalam masyarakat adat suatu hukum akan muncul sesuai dengan kebutuhan sebagaimana, dikatakan oleh Moch. Koesnoe tentang Ilmu Adat sebagai salah satu khazanah Ilmu Hukum Nasional yang dikutip oleh Amrin Ali sebagai berikut: Terlaksananya hukum adat secara nyata dalam masyarakat bergantung kepada para pelaksanapetugas yang merupakan penjaga dan pengawas adat itu. Disitu letak pendirian adat, bahwa segala pedoman adat yang dimuliakan itu hanya terlaksana secara baik, bilamana pengawalnya mempunyai persyaratan-persyaratan kepribadian yang ditentukan 155 Amrin Ali, Op.Cit., http:sahabat-amrin.blogspot.comhtml, diakses Maret 2013 Universitas Sumatera Utara 117 dalam melaksanakannya menjadi kenyataan isi pedoman adat yang dimuliakan itu”. 156 Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan Meunasah juga berfungsi menjalankan keputusan hukumeksekusi atas keputusan perdamaian yang telah ditetapkan. Dalam proses pengambilan keputusan suatu rapat adat Gampong dalam menyelesaikan suatu perkara termasuk dalam penyelesaian sengketa kewarisan juga harus cukup syarat- syarat hukumnya. Adapun syarat hukum yang selalu menjadi pegangan keuchik dan lembaga adat lainnya dalam masyarakat adat Aceh, yaitu: 1. Kalau menimbang sama berat; 2. Kalau mengukur sama panjang 3. Tidak boleh berpihak-pihak; 4. Lurus dan benar menjadi pegangan; 5. Benar menurut kehendak adat dan syara’; Jelaslah bahwa di dalam masyarakat adat Aceh lembaga adat merupakan lembaga yang mendapat tempat terhormat. Lembaga adat dalam peran dan fungsinya digambarkan sebagai “Udeep tan adat, lagee kapai tan nahkoda” hidup tanpa adat, semacam kapal tidak mempunyai nahkoda. Eratnya hubungan adat dan lembaga adat dengan masyarakat, dalam aktualisasinya dikaitkan dengan agama menjadi “Hukom ngoen adat, lagee zat ngoen sifeut” agama dengan adat seperti zat dengan sifat. 157 Para pihak yang duduk sebagai fungsionaris lembaga Adat Aceh punya peran penting dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dalam 156 Ibid. 157 Wawancara dengan Sanusi Husein, Ketua Majelis Adat Kota Banda Aceh, Tanggal 6 Mei 2013 Universitas Sumatera Utara 118 bidang hukum adat. Fungsionaris lembaga Adat merupakan para pelaksana peradilan yang terdiri dari Keuchik sebagai hakim ketua peradilan, Sekretaris Gampoeng sebagi Panitera Pengganti, Tuha Peut sebagai hakim anggota, Imeum Meunasah sebagai hakim anggota, Ulama sebagai hakim anggota, dan para tokoh masyarakat lainnya yang dilibatkan dalam peradilan tersebut. Proses pemeriksaan sengketaperkara dilakukan melalui persidanganmusyawarah dan dilakukan di Meunasah. Keuchik di samping didampingi oleh Tuha Peut dan Imeum Meunasah dalam pelaksanaan Peradilan Adat tersebut. Mengenai sketsa dan tata letak eradilan Adat Gampong ini dapat dilihat pada gambar berikut: Sketsa Letak Proses SidangPeradilan Adat Gampong Sumber : Pedoman Peradilan Adat Di Aceh, 2008 Apabila ditelaah gambar berikut dan dikaitkan dalam praktiknya hukum adat atau peradilan yang melibatkan lembaga adat tidak membedakan antara kasus perdata dan pidana. Namun untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya, ada pertimbangan-pertimbangan dan prosedur-prosedur yang perlu diterapkan jika Universitas Sumatera Utara 119 kasus pidana sedang ditangani dan diselesaikan. Kasusperkara pidana yang paling umum jatuh dibawah payung adat adalah pencurian dan kekerasan. Untuk kasus- kasus tersebut, prosedur yang berlaku tercatat dibawah ini. Namun, ada pertimbangan-pertimbangan khusus, terutama jika perempuan danatau anak terlibat. Secara umum prosedur penyelesaian sengketa melalui peradilan perdamaian adat termasuk dalam hal ini penyelesaian masalah pembagian warisan dilakukan dengan prosedur dan tahapan-tahapan tertentu. 158 Berdasarkan ketentuan Pedoman Peradilan Adat di Aceh yang dijadikan petunjuk untuk sengketa perdata termasuk dalam hal ini sengketa pembagian warisan, maka para pihak dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 159 1. Pelaporan yang dilakukan oleh pihak yang dirugikan atau kedua belah pihak, kepada Kadus atau kepala lorong atau Peutuwa Jurong tempat di mana peristiwa hukum tersebut terjadi asas teritorialitas. Namun tidak tertutup kemungkinan laporan langsung ditujukan kepada Keuchik. Adakalanya kepala dusun atau Peutuwa Jurong itu sendiri yang menyelesaikannya, jika kasusnya tidak serius. Namun jika kasus tersebut serius dan rumit serta melibatkan kepentingan umum, maka kepala dusun segera melapor kepada Keuchik; 158 Wawancara dengan Sanusi Husein, Ketua Majelis Adat Kota Banda Aceh, Tanggal 6 Mei 2013 159 Rancangan konsep ini dilahirkan dalam Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Majelis Adat Aceh tanggal 2 September 2007 di Banda Aceh, hlm 19 Universitas Sumatera Utara 120 2. Segera setelah Keuchik menerima laporan dari Kadus atau dari pihak korban, maka Keuchik membuat rapat internal dengan Sekretaris Keuchik, Kepala Dusun, dan Imeum Meunasah guna menentukan jadwal sidang; Pelaporan tersebut tidak boleh dilakukan di sembarang tempat seperti pasar dan warung kopi, tetapi harus di rumah atau di Meunasah; 3. Sebelum persidangan digelar, Keuchik dan perangkatnya Sekretaris Keuchik atau Sekretaris Gampong, Imeum Meunasah dan Para Kadus atau Peutuwa Jurong melakukan pendekatan terhadap kedua belah pihak. Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan sekaligus menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. Pada saat pendekatan tersebut, para pelaksana peradilan adat akan menggunakan berbagai metode mediasi dan negosiasi, sehingga kasus itu dapat segera diselesaikan; 4. Pendekatan tidak hanya dilakukan oleh Keuchik dan perangkatnya, tetapi dapat juga dilakukan oleh orang bijak lainnya. Untuk kasus yang sensitif yang korbannya kaum perempuan atau kaum muda, maka pendekatan biasanya dilakukan oleh istri Keuchik atau tokoh perempuan bijak lainnya; 5. Jika kesepakatan penyelesaian secara damai telah disetujui oleh kedua belah pihak, maka Sekretaris Keuchik akan mengundang secara resmi kedua belah pihak untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan; Universitas Sumatera Utara 121 6. Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya atau saudaranya yang lain sebagai juru bicara; 7. Persidangan bersifat resmi dan terbuka yang biasanya digelar di Meunasah atau tempat-tempat lain yang dianggap netral; 8. Forum persidangan terutama posisitata letak duduk para pihak dan para pelaksana peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatannya formil secara adat; 9. Penetapan tempat duduk adalah sebagai berikut: Keuchik, selaku Ketua Sidang, duduk dalam satu deretan dengan Tuha Peuet, Imeum Meunasah, Cendikiawan, Ulama dan Tokoh Adat Gampong lainnya. Di sebelah kiri Keuchik, agak sedikit ke belakang, duduk Sekretaris Keuchik sebagai Panitera. Di deretan depan atau di hadapan Keuchik merupakan tempat untuk para pihak atau yang mewakilinya. Sementara itu, para saksi mengambil tempat disayap kiri dan kanan forum persidangan. Di belakang para pihak, duduk sejumlah peserta atau pengunjung sidang yang terdiri dari masyarakat Gampong dan keluarga serta sanak saudara dari para pihak; 10. Persidangan berlangsung dengan penuh khitmad dan Keuchik mempersilahkan para pihak atau yang mewakilinya untuk menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat oleh Panitera Sekretaris Gampong; Universitas Sumatera Utara 122 11. Keuchik mempersilahkan para saksi untuk menyampaikan kesaksiannya dan biasanya, jika dirasa perlu, para saksi sebelum menyampaikan kesaksiannya akan diambil sumpah terlebih dahulu; 12. Keuchik memberikan kesempatan kepada Tuha Peuet atau Tuha Lapan menanggapi sekaligus menyampaikan alternatif penyelesaiannya; 13. Keuchik mempersilahkan para ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya untuk menanggapi dan menyampaikan jalan keluar terhadap kasus tersebut; 14. Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa yang akan diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang akan disepakati, maka Keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah mereka siap menerima putusan damai tersebut. Jika jawaban mereka adalah menerima putusan itu, maka panitera menulis diktum putusan tersebut yang sering disebut surat perjanjian perdamaian; 15. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak setuju terhadap putusan perdamaian, maka para pihak dapat mengajukan ke forum persidangan Mukim. Ketidaksetujuan para pihak terhadap putusan peradilan adat Gampong juga harus dinyatakan dalam surat penetapan putusan dan berdasarkan surat penetapan tersebut kasus itu dapat diajukan ke persidangan Mukim; Universitas Sumatera Utara 123 16. Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk menandatangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan sungguh-sungguh; 17. Putusan tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak, disimpan sebagai arsip baik di kantor Keuchik maupun di kantor Mukim; 18. Setelah putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya putusan tersebut akan dilaksanakan melalui suatu upacara perdamaian. Apabila semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka barulah pada hari yang ditetapkan dilakukan pelaksanaan kesepakatan melalui suatu upacara perdamaian di Meunasah di hadapan umum. Terhadap perkara-perkara yang telah diputuskan dan telah diterima, maka pelaksanaan kesepakatan perdamaian dilakukan di Meunasah di depan umum, atau di tempat lain di rumah atau Mesjid atas persetujuan bersama dan biasanya tempat yang dipilih adalah meunasah. Mengingat meunasah merupakan tempat Rapat Dewan Meusapat, Rapat Dewan Meupakat, Rapat Tuha Peut, Rapat Tuha Lapan, dan Rapat Umum dari musyawarah melahirkan fungsi Meunasah menjadi otoritas, kewenangan dan tanggung jawab untuk mengendalikan segala tatanan kehidupan Gampong. Di samping itu, Meunasah memiliki kewenangan untuk membina dan mengawasi, agar semua tatanan perilaku hidup masyarakatnya dapat berfungsi sebagaimana semestinya. Universitas Sumatera Utara 124 Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa mekanisme pengambilan putusan oleh lembaga adat dalam penyelesaian sengketa warisan dilakukan melalui suatu proses peradilan adat dengan melibatkan lembaga adat ditingkat gampong seperti keuchik dan aparatur gampong lainnya guna memutuskan dengan adil perselisihan dan mengakhiri sengketa dengan suatu kesepakatan damai. Keputusan dari penyelesaian tersebut ditujukan untuk melindungi para pihak yang bersengketa, mencatat proses dan putusan peradilan dan mengarsipkan perkara. Struktur jabatan dalam peradilan adat gampong dilaksanakan oleh keuchik sebagai ketua sidang. imeum meunasah, tuha peut, ulamacendikiawan dan tokoh adat lainnya sebagai anggota sidang. Dalam persidangan peadilan adat bersifat terbuka untuk umum dikarenakan pelaksanaan peradilan adat dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat.

C. Analisis Terhadap Pelaksanaan Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam