Analisis Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kota Medan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:

Arsyad, Lincolin., 1997, Ekonomi Pembangunan, STIE YKPN, Yogyakarta. Eko, Yuli. 2009. Ekonomi 1 : Untuk SMA dan MA Kelas X. Pusat Perbukuan

Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.

Emil Salim, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, tp. Jakarta, 1984

Pratama, Rahardja. dan Manurung, Mandala. 2006. “Teori Ekonomi Mikro Suatu Pengantar”. Jakarta: FE UI. Distribusi Pendapatan

Mulyati, sri Nur dan Mahfudz, Agus dan Permana, Leni. 2009. Ekonomi 1 : Untuk Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Kelas X. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.

Mudrajad Kuncoro, 1997, Ekonomi Pembangunan, Teori, masalah dan kebijakan, Cetakan pertama, Unit penerbitan dan percetakan akademi manajemen perusahaan YKPN, Yogyakarta.

Suparlan, Parsudi,. Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993

Tambunan, Tulus, TH, 2001, Perekonomian Indonesia: Teori dan TemuanEmpiris, Ghalia Indonesia,Jakarta.

Todaro, Michael P, dan Smith,Stephen C, 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan, Jakarta : Penerbit Erlangga.

Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C. 2006. PembangunanEkonomi, Jakarta: Erlangga.

Todaro, Michael P, dan Smith,Stephen C, 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan, Jakarta : Penerbit Erlangga.


(2)

Sumber website :

sofyan71sbw.files.wordpress.com/…/distribusi-pendapatan-dan-kemiskinan-di-indonesia.pdf


(3)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dan juga langkah yang akan dilakukan dalam pengumpulan data secara empiris untuk memecahkan masalah dan menguji hipotesis penelitian.

3.1.Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif

kuantitatif.Penelitian deskriptif kuantitatif, yaitu menjelaskan hubungan antar variabel dengan menganalisis data numerik (angka) menggunakan metode statistik melalui pengujian hipotesa.

3.2.Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan. yang terdapat 21 kecamatan yaitu Medan Johor, Medan Maimun, Medan Kota, Medan Tuntungan, Medan Amplas, Medan Denai, Medan Area, MedanPolonia, Medan Baru, Medan Selayang, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Barat, Medan Timur, Medan Perjuangan, Medan Tembung, Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan, Medan Belawan.

3.3.Definisi Operasional

1. Pertumbuhan Ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.


(4)

Penduduk yang tidak mempunyai kemampuan dalam memenuhikebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak, baik kebutuhan dasarmakanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan di Kota Medan tahun 2004-2010. Satuan dari variabel jumlah penduduk miskin adalah dalam ribujiwa.

3. Ketimpangan Pendapatan merupakan distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

3.4.Pengolahan Data

Dalam penulisan skripsi ini, data diolah dengan menggunakan program Eviews 6.0

3.5.Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini merupakan data BPS tahun 2004-2010 jumlah penduduk miskin kota Medan di 21 kecamatan.

3.6.Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari buku referensi, jurnal, penelitian terdahulu, internet dan sumber lainnya yangberhubungan dengan masalah penelitian. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan.

3.7.Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu :

Teknik studi kepustakaan merupakan cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi melalui berbagai literatur yang berhubungan


(5)

dengan penelitian ini. Data dan informasi dapat diperoleh melalui Badan Pusat Statistik, buku-buku, internet, jurnal, tesis, dan sebagainya.

3.8.Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Metode Tipology Klassen

Pendekatan tipologi daerah digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur ekonomi masing-masing daerah.Dengan menggunakan alat tipologi klassen adalah dengan pendekatan wilayah/daerah untuk mengetahui klasifikasi daerah, yaitu Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan.Dengan garis ketimpangan pendapatan sebagai sumbu vertikal dan garis kemiskinan sebagai sumbu horizontal.

Pendekatan wilayah juga menghasilkan empat klasifikasi kecamatan yang masing-masing mempunyai karakteristik tingkat ketimpangan dan tingkat kemiskinan yang berbeda yaitu:

Tipologi I : Daerah maju, yakni daerah yang memiliki tingkat

kemiskinan rendah dan tingkat ketimpangan yang tinggi. Tipologi II : Daerah yang sangat tidak merata, yakni daerah yang

memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dan tingkat ketimpangan yang tinggi.

Tipology III : Daerah tertinggal, yakni daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dan tingkat ketimpangan yang rendah.


(6)

Tipology IV : Daerah sangat merata, yakni daerah yang memiliki tingkat kemiskinan rendah dan tingkat ketimpangan rendah.

KT I

Daerah maju

II

Daerah sangat tidak merata

III

Daerah sangat merata

IV

Daerah tertinggal

Dimana : KT : Ketimpangan pendapatan KM : Kemiskinan

Gambar 3.1 Tipologi Klassen

Diharapkan dari analisis ini dapat ditentukan tipologi masing-masing kecamatan yang dapat digunakan sebagai acuan pendukung untuk menentukan prioritas dalam pengembangan pembangunan wilayah.

2. Indeks Williamson

adalah indeks untuk mengukur ketimpangan pembangunan antarkecamatan di suatukabupaten/kota atau antarkabupaten/kota di suatu provinsi dalam waktu tertentu. Satuan dari variabel Williamson adalah rasio.


(7)

3. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan Granger Causality Test. Digunakan metode ini adalah untuk melihat hubungan kausalitas antar ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan di Kota Medan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengujian terhadap perilaku data runtun waktu (time series) dan integrasinya dapat dipandang sebagai uji prasyarat bagi digunakan metode Granger Causality Test. Sebelum dilakukan estimasi terhadap metode Granger Causality Test diatas, maka terlebih dahulu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Uji Akar Unit (Unit roots test)

Sebelum melakukan uji kointegrasi dan uji granger causality dengan menggunakan data time series, maka perlu dilakukan uji stasioner terhadap seluruh variable yang ada dalam penelitian. Pengertian stasioner terkait erat dengan konsistensi pergerakan data time series. Data time series dikatakan stasioner jika data tersebut tidak mengandung akar-akar unit (unit root). Secara sederhana suatu data stasioner akan bergerak stabil dan konvergen disekitar nilai rata-rata dengan kisaran tertentu (deviasi yang kecil) tanpa pergerakan tren positif maupun negatif. Apabila data time series tidak stasioner maka model yang tepat bagi data time series tersebut adalah model regresi kesalahan atau ECM (Error Correction Model). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji akar-akar unit (unit roots test) yang bertujuan untuk mengetahui apakah data tersebut mengandung unit roots atau tidak. Jika variabel tersebut mengandung unit roots, maka data tersebut dikatakan data yang tidak stasioner.Terdapat beberapa metode pengujian


(8)

untuk uji akar unit dan diantarannya adalah Augmented Dickey Fuller(ADF) dan Phillips Perron(PP), adapun model dari uji Augmented Dickey Fuller(ADF) dengan intercept (β1) dapat dinyatakan sebagai berikut:

∆�� = β1 + δ��−1 + �1∑∆��−1 + Ɛ�...

Sedangkan model untuk uji Phillips Perron(PP) dengan intercept (β1) adalah : ∆�� = β1 + ���−� + Ɛ�...

Kedua uji dilakukan dengan hipotesis null δ = 0 untuk ADF dan λ =1 untuk PP. Stasioner tidaknya data didasarkan pada perbandingan nilai statistik ADF dan PP yang diperoleh dari nilai t statistik δ dan λ dengan nilai kritis statistik dari Mac Kinnon. Jika nilai absolute statistik ADF dan PP lebih besar dari nilai kritis Mac Kinnonmaka data stasioner dan jika sebaliknya maka data tidak stasioner.

2. Uji Kointegrasi

Uji Kointegrasi (Cointegrasi test) uji kointegarsi bertujuan untuk melihat hubungan jangka panjang antara 2 variabel atau lebih.Maka uji kointegrasi ini bertujuan untuk mengetahui ketimpangan daerah dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang atau tidak dengan menggunakan Johansen test.Johansen dapat digunakan untuk menentukan kointegrasi sejumlah variabel, maka Johansen menyarankan untuk melakukan 2 uji statistik.Uji statistik Pertamaadalah uji trace (trace test, λtrace) yaitu menguji Ho yang mensyaratkan bahwa jumlah dari arah kointegrasi adalah kurang dari atau sama dengan dan uji ini dapat dilakukan sebagai berikut:


(9)

p

������(r) = T ∑ in (1-�i) i=r+i

dimana λr+1, ... λn adalah nilai eigenvectorsterkecil (p – r). Null hypothesis yang disepakati adalah jumlah dari arah kointegrasi sama dengan banyaknya r. dengan kata lain, jumlah vektor kointegrasi lebih kecil atau sama dengan (≤) r, dimana r = 0,1,2 dan seterusnya.Uji statistikyang keduaadalahuji maksimum eigenvalue(λmax) yang dilakukan dengan formula sebagai berikut:

����(r,r + 1) =T in (1-��+1)

Uji ini menyangkut kepada uji null hypothesis bahwa terdapat r dari vektor kointegrasi yang berlawanan (r+1) dengan vektor kointegrasi.Untuk melihat hubungan kointegarsi tersebut maka dapat dilihat dari besarnya nilat Trace statistic dan Max Eigen statistik dibandingkan dengan nilai critical value pada tingkat kepercayaan 5 persen.

3. Uji Granger Causality

Pengujian dengan metode Granger Causality Test digunakan untuk melihat hubungan kausalitas (hubungan timbal balik) antara variabel-variabel yang diteliti yakni pertumbuhan ekonomi, jumlah masyarakat miskin di Kota Medandan ketimpangan pendapatan. Sehingga dapat diketahui ketiga variabel tersebut secara statistik saling mempengaruhi (hubungan dua arah), memilikihubungan searah atau sama sekali tidak ada hubungan (tidak saling


(10)

mempengaruhi). Berikut ini metode Granger Causality Test seperti berikut ini:

r s

Y= ∑ Ci Yt-i + ∑ dj Xt-i + Vt ... (1)

i= 1 j= 1

m n

X1 = ∑ Ct Yt-i + ∑ Yt-i+ µt...(2)

i= 1 j= i

m n

X2 = ∑ Ct Yt-i + ∑ Yt-i+ µt...(3)

i= 1 j= i

X1 = Pertumbuhan Ekonomi

X2 = Jumlah Masyarakat Miskin di Kota Medan

X3 = Ketimpangan Pendapatan

µt dan Vt adalah error terms yang diasumsikan tidak mengandung korelasi serial dan m = n = r = s. Berdasarkan hasil regresi dari ketiga bentuk model regresi linear diatas akan menghasilkan empat kemungkinan mengenai nilai koefisien-koefisien yaitu:

n s

1. Jika ∑ bj≠ 0 dan ∑ dj = 0

J= 1 j= 1

Maka terdapat kausalitas satu arah dariX1 ke X2

n s 2. Jika ∑ bj = 0 dan ∑ dj≠ 0

J= 1 j= 1

Maka terdapat kausalitas satu arah dariX2 ke X3

n s

3. Jika ∑ bj = 0 dan ∑ dj = 0

J= 1 j= 1


(11)

n s

4. Jika ∑ bj≠ 0 dan ∑ dj≠ 0

J= 1 j= 1


(12)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambar Umum Kota Medan 4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis

Sebagai salah satu daerah otonom dengan status kota, maka kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis baik secara regional maupun nasional. Bahkan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dan tolok ukur dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara sehingga relatif dekat dengan kota-kota/negara yang lebih maju seperti Pulau Penang, Kuala Lumpur Malaysia dan Singapura.

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 Tanggal 29 September 1951 yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha yang meliputi 4 kecamatan dengan 59 kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951 agar daerah Kota Medan diperluas menjadi 3 (tiga) kali lipat.

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 Tanggal 29 September 1951


(13)

yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha yang meliputi 4 kecamatan dengan 59 kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951 agar daerah Kota Medan diperluas menjadi 3 (tiga) kali lipat.

Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973, Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 kecamatan dengan 116 kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD tanggal 5 Mei 1986 dimana Kota Medan melakukan pemekaran kelurahan menjadi 144 kelurahan. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefinitipan 7 kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan yang dimekarkan kembali menjadi 21 kecamatan dengan 151 kelurahan dan 2.001 lingkungan.

Berdasarkan data BPS Kota Medan (2014) menunjukkan bahwa Kota Medan memiliki luas wilayah mencapai 265,10 km2 dan kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Kecamatan Medan Labuhan dengan luas wilayah sebesar 36,67 km² dengan persentase mencapai 13,83 % dari luas wilayah Kota Medan. Sedangkan untuk kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Medan Maimun dengan luas wilayah sebesar 2,98 km2 atau hanya


(14)

sekitar 1,13 % dari luas wilayah Kota Medan. Berikut ini adalah luas wilayah masing-masing kecamatan yang berada di wilayah Kota Medan.

Tabel 4.1

Luas Wilayah Kota Medan Berdasarkan Kecamatan

No Kecamatan Jumlah

Kelurahan

Jumlah Lingkungan

Luas (km2)

Presentase (%)

1. 9 75 20,68 7,80 9

2. 6 81 14,58 5,50 6

3. 7 77 11,19 4,22 7

4. 6 82 9,05 3,41 6

5. 12 172 5,52 2,08 12

6. 12 146 5,27 1,99 12

7. 6 66 2,98 1,13 6

8. 5 46 9,01 3,40 5

9. 6 64 5,84 2,20 6

10. 6 63 12,81 4,83 6

11. 6 88 15,44 5,83 6

12. 7 88 13,16 4,97 7

13. 7 69 6,82 2,57 7

14. 6 98 5,33 2,01 6

15. 11 128 7,76 2,93 11

16. 9 128 4,09 1,54 9

17. 7 95 7,99 3,01 7

18. 6 105 20,84 7,86 6

19. 6 99 36,67 13,83 6

20. 5 88 23,82 8,99 5

21. 6 143 26,25 9,90 6

151 2.001 265,10 100 151

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan (2014)

Sementara itu, secara astronomis Kota Medan terletak pada posisi 3°30’ - 3°43’ Lintang Utara dan 98°35’ - 98°44’ Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 km2. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah dengan topografi yang cenderung miring ke Utara dan menjadi tempat pertemuan 2 sungai penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Disamping itu, Kota Medan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut dan secara administratif mempunyai batas wilayah sebagai berikut :


(15)

- Sebelah Utara : Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka

- Sebelah Selatan : Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang

4.1.2 Kondisi Demografis

Masyarakat Kota Medan merupakan masyarakat yang memiliki kemajemukan yang meliputi unsur agama, suku, etnis budaya dan adat istiadat.Kehidupan yang penuh kemajemukan tersebut dapat berjalan cukup baik dan harmonis yang dilandasi oleh rasa kebersamaan dan saling toleransi serta memiliki rasa kekeluargaan yang cukup tinggi.Kondisi ini menunjukkan bahwa karakteristik masyarakat Kota Medan memiliki sifat keterbukaan dan siap menerima perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan data BPS Kota Medan, jumlah penduduk Kota Medan telah mencapai 2.191.140 jiwa pada tahun 2014 dan menempatkan Kota Medan pada posisi pertama dalam hal jumlah penduduk terbanyak dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Dari data BPS tersebut, baik secara absolut maupun relatif (yang dilihat dari laju pertumbuhan penduduk) terlihat bahwa jumlah penduduk Kota Medan terus bertambah selama kurun waktu 2000 - 2014. Pada tahun 2000, jumlah penduduk Kota Medan sebesar 1.905.587 jiwa dan meningkat secara absolut menjadi 2.191.140 jiwa pada tahun 2014 atau mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 1,01 persen. Namun dilihat dari laju pertumbuhannya, perkembangan penduduk Kota Medan selama kurun waktu 2000 –


(16)

2014mengalami laju pertumbuhan yang fluktuatif. Untuk laju pertumbuhan penduduk yang paling tinggi selama kurun waktu tersebut terjadi pada tahun 2014, yakni sebesar 2,60 persen. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk yang mengalami penurunan signifikan terjadi pada tahun 2010 hingga mencapai -1,11 persen.

Gambar 4.1

Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Medan

Sementara itu, jika dilihat jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan masing-masing kecamatan yang ada diwilayah Kota Medan tahun 2014 menunjukkan bahwa kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Medan Deli dengan jumlah penduduk sebesar 178.147 orang yang dihuni sebanyak 87.954 orang laki-laki dan 90.193 orang perempuan. Sebaliknya kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terkecil adalah


(17)

Kecamatan Medan Baru dengan jumlah penduduk sebesar 40.519 orang yang dihuni sebanyak 20.005 orang laki-laki dan 20.514 orang perempuan.

Tabel 4.2

Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2014

No Kecamatan Jenis Kelamin Jumlah Kepadatan

Penduduk Laki-Laki Perempuan

1. Medan Tuntungan 41.855 42.920 84.775 4.099

2. Medan Johor 64.387 66.027 130.414 8.945

3. Medan Amplas 59.918 61.444 121.362 10.846

4. Medan Denai 71.923 73.754 145.677 16.097

5. Medan Area 48.856 50.099 98.955 17.927

6. Medan Kota 36.735 37.671 74.406 14.119

7. Medan Maimun 20.057 20.567 40.624 13.632

8. Medan Polonia 27.337 28.032 55.369 6.145

9. Medan Baru 20.005 20.514 40.519 6.938

10. Medan Selayang 51.570 52.884 104.454 8.154

11. Medan Sunggal 57.116 58.571 115.687 7.493

12. Medan Helvetia 73.961 75.845 149.806 11.383

13. Medan Petisah 31.268 32.065 63.333 9.286

14. Medan Barat 35.853 36.767 72.620 13.625

15. Medan Timur 54.984 56.385 111.369 14.352

16. Medan

Perjuangan 47.293 48.497 95.790

23.421

17. Medan Tembung 67.670 69.392 137.062 17.154

18. Medan Deli 87.954 90.193 178.147 8.548

19. Medan Labuhan 57.447 58.910 116.357 3.173

20. Medan Marelan 77.214 79.180 156.394 6.566

21. Medan Belawan 48.394 49.626 98.020 3.734

KOTA MEDAN 1.081.797 1.109.343 2.191.140 8255,33

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan

Sedangkan dilihat dari tingkat kepadatan penduduk Kota Medan maka kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk terbesar pada tahun 2014 terdapat di Kecamatan Medan Perjuangan yang mencapai sebesar 23.421 jiwa per km2 dan tingkat kepadatan penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Medan Labuhan yang hanya mencapai sebesar 3.173 jiwa per km2.Melihat kenyataan tersebut, perkembangan penduduk Kota Medan perlu mendapat perhatian yang


(18)

serius dari Pemerintah Kota Medan.Hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang besar dan tingkat pertumbuhan yang tinggi dapat mengakibatkan beban pembangunan yang semakin berat guna mencukupi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.Tetapi jika mampu diseimbangkan atau diselaraskan dengan daya dukung dan daya tampung serta kondisi perkembangan sosial ekonomi serta sosial budaya maka jumlah penduduk yang besar tersebut dapat menjadi salah satu modal dasar dan faktor dominan bagi keberhasilan pembangunan Kota Medan dimasa mendatang.

4.2. JumlahPenduduk Miskin

Sumatera Utara merupakanProvinsikeempatdenganjumlahpendudukterbesar di Indonesia.Kota

yang terbesar di Provinsi Sumatera Utara yaitu Kota Medan yang jumlah penduduknya lebih banyak dibandingkan dengan kota lain yang ada Sumatera Utara. Jumlah penduduk Kota Medan pada tahun 2013 berjumlah 2.123.210 jiwa.

Jumlahpendudukmiskin di Kota Medan mengalami perubahan dari tahun 2004-2010. Pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Kota Medan berjumlah 258.585 jiwa dan pada tahun 2005 menjadi 252.857 jiwa.Tetapi pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Kota Medan meningkat yang berjumlah 284.384 jiwa. Pada tahun 2007-2010 jumlah penduduk miskin di Kota Medan selalu mengalami penurunan.


(19)

Tabel 4.3

JumlahPendudukMiskin Kota Medan Tahun 2004-2010 (ribu)

No

Tahun Angka

1 2004 258.585

2 2005 252.857

3 2006 284.384

4 2007 254.045

5 2008 231.823

6 2009 215.423

7 2010 214.168

Sumber: BPS SUMUT

4.3 Perkembangan perekonomian di Kota Medan

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator membaiknya ekonomi di Kota Medan.Pertumbuhan ekonomi juga merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijakan pembangunan yang dilaksakan khususnya dalam bidang ekonomi.

Perekonomian Kota Medan tumbuh sebesar 7,92% pada tahun 2009. Kemudian pertumbuhan perekonomian Kota Medan pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 7,33% dan pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi di Kota Medan mengalami peningkatan menjadi 7,69%.

Pada tahun 2012 perekonomian Kota Medan menurun menjadi 7,63% kemudian pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 7,81%. Perkembangan dan pertumbuhan di Kecamatan di Kota Medan mengalami perkembangan yang cukup besar. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi di Kecamatan Kota Medan yang tertinggi ialah Kecamatan Medan Deli, sebesar 8,72% diikuti Kecamatan Medan Petisah sebesar 8,14%. Kemudian untuk


(20)

tingkat perekonomian yang terendah ialah Kecamatan Medan Barat sebesar 3,42%. Untuk tahun 2010 pertumbuhan ekonomi di kecamatan di Kota Medan yang tertinggi ialah Kecamatan Medan Amplas sebesar 7,81% dan diikuti lagi Kecamatan Medan Maimun sebesar 7,75%. Kemudian untuk tingkat perekonomian yang terendah ialah Kecamatan Medan Denai sebesar 5,04%. Untuk tahun 2011 pertumbuhan ekonomi di kecamatan di Kota Medan yang tertinggi ialah Kecamatan Medan Maimun sebesar 9,22%, diikuti Kecamatan Medan Area sebesar 8,45%, Kecamatan Medan Polonia sebesar 7,61% serta Kecamatan Medan Baru sebesar 7,48%. Kemudian untuk tingkat perekonomian terendah ialah Kecamatan Medan Area sebesar 4,42%. Untuk tahun 2012 pertumbuhan ekonomi di kecamatan di Kota Medan yang tertinggi ialah Kecamatan Medan Maimun sebesar 9,15%, diikuti Kecamatan Medan Area sebesar 8,39%, Kecamatan Medan Polonia sebesar 7,55% serta Kecamatan Medan Baru sebesar 7,42%. Kemudian untuk tingkat perekonomian yang terendah ialah Kecamatan Medan Marelan sebesar 4,38%. Selanjutnya untuk tahun 2013 pertumbuhan ekonomi di kecamatan di Kota Medan yang tertinggi ialah Kecamatan Medan Maimun sebesar 9,37%, diikuti Kecamatan Medan Area sebesar 8,,58%, Kecamatan Medan Polonia sebesar 7,73% serta Kecamatan Medan Baru sebesar 7,60%. Kemudian untuk tingkat perekonomian yang terendah ialah Kecamatan Medan Marelan 4,49%.

Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya adalah gambaran dari aktifitas perekonomian masyarakat di suatu daerah dan sebagai salah satu tolok ukur dari keberhasilan pembangunan dibidang ekonomi. Berdasarkan PDRB harga konstan


(21)

tahun 2000, laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan mengalami trend peningkatan selama periode 2000 – 2013 kecuali pada tahun 2008 dan 2009 yang sedikit mengalami perlambatan sebagai dampak dari krisis global.

Gambar 4.2

Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan

Selama kurun waktu tahun 2000 – 2005, laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan cenderung meningkat dari 4,40 persen pada tahun 2000 menjadi 6,98 persen pada tahun 2005. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada tahun 2006 dan 2007 meningkat menjadi 7,77 persen dan 7,78 persen. Akan tetapi pada tahun 2008 terjadi perlambatan akselerasi menjadi 6,89 persen dan kembali mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 menjadi 6,55 persen. Namun demikian, kinerja ekonomi Kota Medan pada tahun 2010 mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat dari 7,16 persen pada tahun 2010 dan puncaknya mencapai 7,69 persen pada tahun 2011.


(22)

Selanjutnya pada tahun 2012, laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan kembali mengalami perlambatan menjadi 7,63 persen dan mencapai laju pertumbuhan ekonomi terendah hingga 4,30 persen pada tahun 2013.

Sementara itu, dilihat dari sisi penawaran, kinerja pertumbuhan ekonomi Kota Medan selama periode 2010 – 2013 menunjukkan kondisi yang menggembirakan dan secara rata-rata (6,69 persen) masih berada diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara dan nasional. Namunsecara umum, tingginya laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan lebih didorong oleh kelompok sektor tersier yang terdiri dari sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang rata-rata tumbuh sebesar 8,91 persen pertahun.

Tabel 4.4

Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan (%)

Kategori 2010 2011 2012 2013

Pertanian 0,70 2,80 1,84 3,34

Pertambangandan Penggalian -2,86 -0,60 -0,82 -2,00

Industri Pengolahan 4,37 3,51 3,70 3,67

Listrik, Gas dan Air Bersih 7,04 4,33 2,64 4,19

Bangunan 6,85 7,57 7,05 7,36

Perdagangan, Hotel dan Restoran

8,62 8,67 8,69 9,40

Pengangkutan dan Komunikasi

6,98 7,74 8,33 -8,47

Keuangan, Persewaan dan Jasa Usaha

8,75 9,07 8,67 9,16

Jasa-Jasa 7,08 10,14 9,29 6,99

Pertumbuhan Ekonomi (%) 7,16 7,69 7,63 7,81

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Selanjutnya didukung oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang tumbuh dengan rata-rata sebesar 8,85 persen pertahun. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Kota Medan juga didorong oleh sektor jasa-jasa yang tumbuh rata-rata sekitar 8,38 persen, diikuti oleh sektor pengangkutan dan komunikasi dengan


(23)

rata-rata tumbuh sekitar 3,65 persen pertahun. Sementara itu, kontribusi sektor sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor konstruksi mengalami pertumbuhan dengan rata-rata sekitar 3,81 persen untuk sektor industri pengolahan dan 4,55 persen untuk sektor listrik, gas dan air bersih serta 7,21 persen pertahun untuk sektor konstruksi atau bangunan.

Namun demikian, sektor ekonomi yang secara signifikan kurang berkontribusi terhadap laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan adalah kelompok sektor primer melalui sektor pertambangan dan penggalian yang melambat dengan rata-rata sebesar -1,57 persen pertahun. Perlambatan ini dikarenakan peranan sub sektor pertambangan dan sub sektor penggalian yang relatif semakin berkurang dan cenderung tidak ada lagi. Sedangkan untuk kelompok sektor primer lainnya terjadi perlambatan pada sektor pertanian dengan rata-rata sebesar 2,17 persen pertahun. Penurunan sektor ini terkait dengan semakin sempitnya lahan pertanian yang ada di Kota Medan sehingga hasil produksi dari sektor pertanian semakin menurun setiap tahunnya.

Disamping itu, dalam struktur perekonomian Kota Medan selama kurun waktu 2010 – 2013 menunjukkan kontribusi sektor primer dalam pembentukan PDRB Kota Medan cenderung mengalami penurunan dari 2,67 persen tahun 2010 menjadi 2,27 persen pada tahun 2013 atau berkontribusi secara rata-rata sekitar 2,47 persen pertahun. Penurunan ini sebagai dampak dari semakin menurunnya peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Kota Medan dari 2,67 persen pada tahun 2010 menjadi 2,27 persen pada tahun 2013.


(24)

Begitupun kontribusi sektor sekunder yang cenderung menurun dari 26,45 persen pada tahun 2010 menjadi 25,90 persen ditahun 2013 atau secara rata-rata berkontribusi sebesar 26,29 persen pertahun. Penurunan ini terjadi pada sektor pendukungnya, yaitu sektor industri pengolahan dari 14,97 persen tahun 2010 menjadi 13,40 persen pada tahun 2013. Begitupun untuk sektor listrik, gas dan air bersih yang mengalami penurunan dari 1,70 persen pada tahun 2010 menjadi 1,51 persen pada tahun 2013. Namun demikian, sektor bangunan memberi kontribusi yang meningkat dalam pembentukan PDRB Kota Medan dari 9,78 persen pada tahun 2010 menjadi 10,99 persen pada tahun 2013.

Kategori 2010 2011 2012 2013

Sektor Primer 2,67 2,50 2,44 2,27

Pertanian 2,67 2,50 2,44 2,27

Pertambangan dan Penggalian 0,00 0,00 0,00 0,00

Sektor Sekunder 26,45 26,62 26,20 25,90

Industri Pengolahan 14,97 14,41 13,86 13,40

Listrik, Gas dan Air Bersih 1,70 1,69 1,54 1,51

Bangunan 9,78 10,52 10,80 10,99

Sektor Tersier 70,87 70,88 71,35 71,82

Perdagangan, Hotel dan Restoran 26,92 25,96 25,92 27,99

Pengangkutan dan Komunikasi 18,95 19,05 19,27 17,43

Keuangan, Persewaan dan Jasa usaha

14,27 14,97 15,21 15,43

Jasa-Jasa 10,72 10,90 10,95 10,97

Gambar 4.3

Pertumbuhan PDRB Kota Medan

Sementara itu, kontribusi sektor tersier cenderung mengalami peningkatan dari 70,87 persen pada tahun 2010 menjadi 71,82 persen pada tahun 2013 atau secara rata-rata berkontribusi dalam pembentukan PDRB Kota Medan sebesar 71,23 persen pertahun. Peningkatan ini dikarenakan tumbuhnya sektor


(25)

keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang meningkat dari 14,27 persen pada tahun 2010 menjadi 15,43 persen pada tahun 2013. Begitupun sektor perdagangan, hotel dan restoran yang cenderung meningkat kontribusinya dari 26,92 persen pada tahun 2010 menjadi 27,99 persen pada tahun 2013.

Selain itu, meningkatnya kontribusi sektor tersier juga didukung oleh kontribusi sektor jasa-jasa yang cenderung meningkat dari 10,72 persen pada tahun 2010 menjadi 10,97 persen pada tahun 2013. Sedangkan sektor pengangkutan dan komunikasi cenderung mengalami fluktuasi dalam memberikan kontribusinya terhadap pembentukan PDRB Kota Medan. Untuk tahun 2010, sektor ini mampu memberi kontribusi sebesar 18,95 persen dan meningkat menjadi 19,05 persen pada tahun 2011 serta 19,27 persen pada tahun 2012. Namun pada tahun 2013, kontribusi sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami penurunan kontribusi menjadi 17,43 persen terhadap pembentukan PDRB Kota Medan.

4.4Perkembangan Penduduk Miskin di Kota Medan

Jumlah penduduk miskin di Kota Medan mengalami penyusutan yang cukup baik dari tahun ke tahun.Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin sebesar 258.585 jiwa. Pada tahun 2005, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 252.857 jiwa dan mengalami kenaikan pada tahun 2006 sebesar 284.384 jiwa. Dan mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008 yaitu sebesar 254.045 dan 206.745 jiwa. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin sebesar 215,432 jiwa dan pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 214,168 jiwa.


(26)

Persentase penduduk miskin kecamatan Kota Medan tahun 2004-2010 mengalami fluktuasi yang menggembirakan. Jumlah penduduk miskin untuk Kecamatan di Kota Medan yangtertinggi pada tahun 2004 adalah Kecamatan Medan Belawan sebesar 24.483 jiwa, untuk tahun 2006 Kecamatan di Kota Medan yang tertinggi adalah Kecamatan Kota Belawan sebesar 26.926 jiwa. Dan pada tahun 2010 yang tertinggi masih Kecamatan Medan Belawan sebesar 20.278 jiwa yang terus mengalami penurunan.Untuk jumlah penduduk miskin Kecamatan di Kota Medan yang terendah pada tahun 2004-2010 adalah Kecamatan Medan Baru. Pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin kecamatan medan baru sebesar 3.959 jiwa dan pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 3.871 jiwa. Kemudian pada tahun 2009-2010 mengalami penurunan yang cukup drastis sebesar 3.298 jiwa dan 3.279 jiwa.


(27)

Tabel 4.5

Penduduk Miskin Kecamatan Kota Medan Tahun 2004-2010 (ribu)

No Kecamatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Average 1 M.Tuntungan 7.727

7.555 8.497 7.591 6.927

6.437 6.399 7.305 2 M. Johor

14.648 14.323 16.109 14.391 13.132

12.203 12.132 13.848 3 M. amplas

9.320 9.114 10.250 9.156 8.355

7.765 7.719 8.811 4 M. Denai

19.919 19.478 21.907 19.570 17.858

16.595 16.498 18.832 5 M. Area

15.054 14.721 16.556 14.790 13.496

12.542 12.468 14.232 6 M. Kota

11.859 11.596 13.042 11.651 10.632

9.880 9.822 11.212 7 M. Maimun

6.465 6.322 7.110 6.351 5.796

5.386 5.354 6.112 8 M. Polonia

6.915 6.762 7.605 6.794 6.199

5.761 5.727 6.538 9 M. Baru

3.959 3.871 4.354 3.890 3.549

3.298 3.279 3.743 10 M. Selayang

6.621 6.475 7.282 6.505 5.936

5.516 5.484 6.260 11 M. Sunggal

9.700 9.485 10.668 9.530 8.696

8.081 8.034 9.171 12 M. Helvetia

6.532 6.387 7.184 6.417 5.856

5.442 5.410 6.175 13 M. Petisah

11.692 11.433 12.859 11.487 10.482

9.741 9.684 11.054 14 M. Barat

18.663 18.249 20.525 18.335 16.731

15.548 15.457 17.644 15 M. Timur

13.143 12.852 14.455 12.913 11.783

10.950 10.886 12.426 16 M.Perjuangan

10.427 10.196 11.467 10.244 9.348

8.687 8.636 9.858 17 M. Tembung

12.979 12.692 14.274 12.751 11.636

10.813 10.750 12.271 18 M. Deli

18.422 18.014 20.260 18.098 16.515

15.347 15.257 17.416 19 M. Labuhan

20.146 19.700 22.156 19.792 18.061

16.784 16.686 19.046 20 M. Marelan

9.910 9.690 10.899 9.736 8.884

8.256 8.208 9.369 21 M. Belawan

24.483 23.941 26.926 24.053 21.949

20.397 20.278 23.147 TOTAL 258.585 252.857 284.384 254.045 231.823

215.432 214.168 244.471 Sumber: Badan Pusat Statistik Sumut


(28)

4.5. Analisis Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan di Kota Medan

Untuk memberikan gambaran terhadap ketimpangan kecamatan antar Kota Medan, maka alat analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson (Vw).Ketimpangan pendapatan kecamatan Kota Medan selama tahun 2004-2010 yang dihitung menggunakan Indeks Williamson untuk Kota Medan menunjukan kecenderungan peningkatan. Pada tahun 2010 nilai indeks Williamson Kota Medan sebesar 0,20 atau lebih meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,17. Kondisi ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.Tingginya tingkat ketimpangan ini dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam perkembangan ekonomi antar wilayah yang memiliki aktifitas ekonomi yang berbeda di setiap wilayah dan tidak semua daerah mempunyai daya tarik yang mendorong investor menanamkan modalnya sehingga distribusi pendapatan antar daerah tidak merata.Ketidakmerataan distribusi pendapatan yang diterima masyarakat menjadi salah satu penyebab ketimpangan antar daerah pada tahun tersebut. Ketimpangan antar wilayah dapat di tekan kenaikannya dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan baru pada wilayah kurang berkembang, munculnya penanaman modal investasi pada sektor wilayah tersebut sehingga dapat mendukung perkembangan perekonomian di wilayah tersebut. Perkembangan sarana transportasi akan membantu mobilitas masyarakat dalam melaksanakan kegiatan ekonomi sehingga ketimpangan antar daerah menyusut.


(29)

Tabel 4.4

Indeks Williamson kecamatan di Kota Medan pada tahun2001-2010

Pada tahun 2001, nilai indeks williamson tertinggi adalah 0,87 pada Kecamatan Medan Barat. Diikuti dengan Kecamatan Medan Deli sebesar 0,25. Pada tahun 2002-2003, nilai indeks Williamson tertinggi ialah Kecamatan Medan Barat sebesar 0,78 dan 0,79. nilai Pada tahun 2004 nilai indeks Williamson tertinggi ialah Kecamatan Medan Barat sebesar 0,96 diikuti Kecamatan Medan Polonia sebesar 0,33 ini berarti angka indeks yang semakin mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar. Dan untuk ketimpangan yang terendah ialah Kecamatan Medan Helvetia dan Medan Kota sebesar 0,05. Pada tahun 2005 ke tahun 2006 mengalami kenaikan nilai indeks, nilai indeks tertinggi ialah Kecamatan Medan Barat sebesar 0,92 kemudian diikuti Kecamatan Medan KECAMATAN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Average M.TUNTUNGAN 0,12 0,12 0,12 0,13 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 0,14 0,129 M.JOHOR 0,16 0,16 0,16 0,17 0,16 0,17 0,17 0,17 0,17 0,18 0,17 M.AMPLAS 0,08 0,09 0,1 0,12 0,11 0,12 0,12 0,23 0,11 0,11 0,12 M.DENAI 0,2 0,2 0,2 0,21 0,20 0,21 0,21 0,21 0,20 0,20 0,21 M.AREA 0,15 0,14 0,14 0,15 0,14 0,14 0,14 0,14 0,13 0,11 0,13 M.KOTA 0,04 0,05 0,05 0,05 0,04 0,05 0,05 0,05 0,05 0,08 0,06 M.MAIMUN 0,17 0,18 0,2 0,19 0,18 0,20 0,20 0,16 0,16 0,25 0,20 M.POLONIA 0,22 0,25 0,29 0,33 0,37 0,40 0,40 0,42 0,43 0,43 0,41 M.BARU 0,13 0,13 0,15 0,16 0,15 0,16 0,16 0,15 0,14 0,16 0,16 M.SELAYANG 0,13 0,13 0,13 0,14 0,13 0,10 0,10 0,14 0,13 0,15 0,13 M.SUNGGAL 0,08 0,08 0,08 0,09 0,09 0,09 0,09 0,10 0,09 0,10 0,10 M.HELVETIA 0,08 0,08 0,09 0,05 0,09 0,10 0,10 0,10 0,9 0,09 0,09 M.PETISAH 0,09 0,11 0,1 0,10 0,09 0,10 0,10 0,10 0,10 0,13 0,11 M.BARAT 0,87 0,78 0,79 0,96 0,92 0,89 0,89 0,94 0,89 0,95 0,92 M.TIMUR 0,02 0,08 0,08 0,08 0,06 0,07 0,07 0,07 0,08 0,08 0,22 M.PERJUANGAN 0,17 0,17 0,17 0,18 0,17 0,18 0,18 0,18 0,17 0,15 0,17 M.TEMBUNG 0,19 0,19 0,18 0,19 0,18 0,19 0,19 0,19 0,18 0,17 0,18 M.DELI 0,25 0,24 0,22 0,23 0,23 0,24 0,24 0,24 0,23 0,19 0,22 M.LABUHAN 0,16 0,17 0,17 0,19 0,18 0,18 0,19 0,19 0,18 0,20 0,19 M.MARELAN 0,17 0,18 0,19 0,21 0,20 0,20 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 M.BELAWAN 0,15 0,18 0,17 0,16 0,14 0,15 0,15 0,13 0,13 0,12 0,14 MEDAN 0,17 0,17 0,18 0,20 0,19 0,19 0,19 0,20 0,19 0,20 0,129


(30)

Polonia sebesar 0,89. Dan untuk ketimpangan yang terendah pada tahun 2005 ialah Kecamatan Medan Kota sebesar 0,04 dan tahun 2006 ialah 0,05. Pada tahun 2007 ke tahun 2008 mengalami kestabilan nilai indeks, nilai indeks tertinggi ialah Kecamatan Medan Barat sebesar 0,89 dan 0,94. kemudian diikuti Kecamatan Medan Polonia sebesar 0,40 dan 0,42. Dan untuk ketimpangan yang terendah pada tahun 2006 dan 2007 ialah Kecamatan Medan Kota sebesar 0,05. Pada tahun 2009 ke tahun 2010, nilai indeks tertinggi ialah Kecamatan Medan Barat sebesar 0,89 dan 0,95.

4.6Tipologi Klassen

Pendekatan tipologi daerah digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur ekonomi masing-masing daerah.Dengan menggunakan alat tipologi klassen adalah dengan pendekatan wilayah/daerah untuk mengetahui klasifikasi daerah yaitu Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan.Dengan garis ketimpangan pendapatan sebagai sumbu vertikal dan garis kemiskinan sebagai sumbu horizontal.

Pendekatan wilayah juga menghasilkan empat klasifikasi kecamatan yang masing-masing mempunyai karakteristik tingkat ketimpangan dan tingkat kemiskinan yang berbeda yaitu:

Tipologi I : Daerah maju, yakni daerah yang memiliki tingkat kemiskinan rendah dan tingkat ketimpangan yang tinggi.

Tipologi II :Daerah yang sangat tidak merata, yakni daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dan tingkat ketimpangan yang tinggi.


(31)

Tipologi III :Daerah tertinggal, yakni daerah yang memiliki tingkatkemiskinan yang tinggi dan tingkat ketimpangan yang rendah.

Tipology IV :Daerah sangat merata, yakni daerah yang memiliki tingkat kemiskinan rendah dan tingkat ketimpangan rendah.

Gambar 4.4 Tipologi Klassen

Keterangan:

1. Medan Tuntungan 12. Medan Helvetia

2. Medan Johor 13. Medan Petisah

3. Medan Amplas 14. Medan Barat

4. Medan Denai 15. Medan Timur

5. Medan Area 16. Medan Perjuangan

6. Medan Kota 17. Medan Tembung

7. Medan Maimun 18. Medan Deli

8. Medan Polonia 19. Medan Labuhan

9. Medan Baru 20. Medan Marelan

10. Medan Selayang 21. Medan Belawan 11. Medan Sunggal

I II

III IV


(32)

Dari gambar diatas menunjukkan bahwa kecamatan Medan Polonia dan Medan Marelan termasuk dalam kategori maju yaitu kemiskinan rendah tetapi ketimpangan tinggi.

Sementara itu, kecamatan Medan Deli, Medan Barat, dan Medan Labuhan termasuk kategori daerah sangat tidak merata yaitu memiliki Ketimpangan yang tinggi dan kemiskinan yang tinggi.

Selanjutnya, kecamatan Medan Johor, Medan Denai, Medan Area, Medan Tembung, Medan Belawan termasuk kategori daerah tertinggal yaitu tingkat kemiskinan tinggi tetapi ketimpangan rendah.

Terakhir, kecamatan Medan Tuntungan, Medan Petisah, Medan Amplas, Medan Kota, Medan Maimun, Medan Baru, Medan Selayang, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan perjuangan termasuk kategori daerah yang sangat merata yaitu tingkat kemiskinan tinggi dan ketimpangan tinggi.

4.7 Hasil Estimasi

4.7.1 Hasil Uji Akar Unit

Sebelum melakukan uji kointegrasi dan uji granger causality dengan menggunakan data time series, maka perlu dilakukan uji stasioneritas yang tujuannya adalah untuk mengetahui apakah data tersebut mengandung unit roots atau tidak. Jika variabel tersebut mengandung unit roots, maka data tersebut dikatakan data yang tidak stasioneritas. Berikut ini untuk variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan tingkat kemiskinan (TK) di Kota Medan dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Phillips-Perron.


(33)

Tabel 4.7

Hasil Pengujian ADF dan Phillips-Perron

Null Hypothesis: D(PE,2) has a unit root

Adj. t-Stat Prob.* Phillips-Perron test statistic -6.704528 0.0016 Test critical values: 1% level -4.803492

5% level -3.403313

10% level -2.841819 Null Hypothesis: D(TK,2) has a unit root

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.578150 0.0069 Test critical values: 1% level -3.271402

5% level -2.082319

10% level -1.599804

Dari hasil uji akar unit di atas menunjukkan bahwa hasil uji akar unit untuk variabel laju pertumbuhan ekonomi (LPE) stasioner pada derajat integrasi 2 atau pada I (2) dan tingkat kemiskinan (TK) stasioner pada derajat integrasi 2 atau pada none (2). Dimana laju pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini stasioner pada data first difference dan variable tingkat kemiskinan ini stasioner pada data second difference dengan tingkat signifikan α=1 %. Hal tersebut diketahui dari nilai probabilitas 0.0016 (untuk LPE) dan 0.0069 (untuk TK).Kedua nilai tersebut lebih kecil daripada 0.01 (α 1 %), yang menjelaskan bahwa variabel laju pertumbuhan ekonomi (LPE) stasioner pada derajat integrasi 2 dan variabel tingkat kemiskinan (TK) stasioner pada derajat integrasi 2.

4.7.2. Hasil Uji Kointegrasi

Uji ini dilakukan untuk melihat hubungan jangka panjang dari variabel-variabel yang diteliti yakni variabel-variabel ketimpangan daerah dan pertumbuhan


(34)

ekonomi.hasil estimasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk melihat hubungan keseimbangan jangka panjang.

Tabel 4.8

Hasil Uji Kointegrasi dengan Metode Johansen

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.791081 18.09441 15.49471 0.0198 At most 1 * 0.501421 5.567948 3.841466 0.0183

Dari hasil uji Kointegrasi pada tabel 4.6. Dapat dilihat bahwa nilai trace statistic lebih besar dari critical value pada α = 5%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua variable pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki hubungan jangka panjang.Dengan demikian dapat disimpulkan adanya hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara Pertumbuhan Ekonomi dan ketimpangan di Kota Medan.

4.7.3. Hasil Uji Granger Causality

Untuk melihat hubungan kausalitas (timbal-balik) antara variabel-variabel yang diteliti yakni Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan tingkat ketimpangan.maka dapat dilakukan pengujian dengan menggunakan metode Granger Causality.


(35)

Tabel 4.9

Hasil Uji Granger Causality

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob. KETIM does not Granger Cause PE 8 0.27196 0.7789 PE does not Granger Cause KETIM 1.98200 0.2827

Pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa nilai probability lebih kecil dari α = 0,05 (0,7789 > 0,05) sehingga H1 ditolak yang akan mempengaruhi variabel

lainnya. Ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan daerah di Kota Medan tidak memiliki hubungan dua arah (timbal balik).


(36)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil estimasi dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal antara lain:

1. Jumlah penduduk miskin di Kota Medan mengalami penyusutan yang cukup baik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin sebesar 258.585 jiwa. Pada tahun 2005, penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 215,432 jiwa dan pada tahun 2006, mengalami kenaikan sebesar 284.384 jiwa. Kemudian pada tahun 2007-2009 mengalami penurunan yang cukup drastis sebesar 254.045 jiwa, 231.823 jiwa dan 206.745 jiwa.Pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 214.168 jiwa.

2. Ketimpangan pendapatan Kecamatan di Kota Medan selama tahun 2001-2010 yang dihitung menggunakan Indeks Williamson untuk Kota Medan menunjukan kecenderungan mengalami kenaikan yaitu sebesar 0,17, 0,17, 0,18 , 0,20 , 0,19 , 0,19 , 0,19 , 0,20 0,19 , 0,20.Ketimpangan pendapatan di Kota medan termasuk dalam kategori ketimpangan rendah.

3. Hasil analisis tipologi Klassen menunjukkan bahwa Kecamatan yang termasuk dalam daerah maju (Kuadran I) terdapat 2 kecamatan dan untuk daerah sangat tidak merata (Kuadran II) terdapat 3 kecamatan, sedangkan daerah tertinggal (Kuadran III) terdapat 6 kecamatan dan daerah sangat merata (kuadran IV) ada 10 kecamatan.


(37)

4. Dari hasil Uji Kointegrasi terdapat hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara laju perumbuhan ekonomi dan ketimpangan daerah di Kota Medan.

5. Dari hasil uji Granger Causalitytidak ditemukan adanya hubungan timbal balik antara laju pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan daerah di Kota Medan.

5.2. Saran

Dari beberapa kesimpulan diatas dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Kota Medan, maka perlu peningkatan

kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan. Sehingga menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dan untuk daerah-daerah yang terisolir, diperlukan infrastruktur yang merata disetiap daerah sehingga akan mengurangi tingkat kemiskinan serta mengurangi ketimpangan antar daerah. 2. Dimana pemerintah daerah sebaiknya lebih banyak lagi mempromosikan

potensi ekonominya kepada para investor. Untuk mengurangi ketimpangan perlu diamati secara cermat sektor ekonomi mana yang perlu dikembangkan.Untuk daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang tinggi dapat lebih memaksimalkan penggunaan sumber daya alam tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sementara untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam yang memadai dapat mengkonsentrasikan kegiatan ekonomi pada sektor lain yang potensial di daerah tersebut.

3. Pemerintah daerah juga dapat memilih kebijakan pembangunan ekonomi yang tepat dan bersifat struktural. kebijakan yang diambil tidak hanya


(38)

menyokong satu sektor saja melainkan pemerataan di seluruh sektor (pertanian, industri, pemabangunan) dan kebijakan itu tidak terpusat di wilayah tertentu saja melainkan kesemua wilayah yang ada sehingga ketimpangan pendapatan bisa dikurangi.

4. Sektor ekonomi yang lebih dominan kontribusinya perlu dilakukan

pengembangan secara berkualitas agar dapat menjadi lokomotif pembangunan ekonomi Kota Medan ditahun-tahun mendatang. Namun, untuk sektor yang masih kecil peranannya juga harus tetap diperhatikan sehingga sektor-sektor ekonomi tersebut dimasa mendatang secara bersama-sama akan mampu menjadi salah satu pilar dalam mendorong perekonomian Kota Medan yang lebih progresif, dinamis dan berkesinambungan.


(39)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan menurut BPS dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (diukur dari sisi pengeluaran).

Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya (BAPPENAS,2003)

Menurut Friedman dalam Mudrajad Kuncoro (1997), kemiskinan adalah ketidaksamaankesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: modal produktif, sumber keuangan, organisasi sosial dan politik, jaringan sosial, pengetahuan dan keterampilan, dan informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Menurut Suparlan (2004) kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.

Menurut Ritonga (2003) memberikan definisi bahwa kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal atau yang layak bagi


(40)

kehidupannya.Kebutuhan dasar minimal yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan kebutuhan pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan sosial yang diperlukan oleh penduduk atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.

Kemiskinandapat dibagi menjadi dua yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di mana kebutuhan minimumuntuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi, sedangkan kemiskinan relatif adalahsuatu ukuran mengenaikesenjangan/ketimpangan di dalam distribusi pendapatanyang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata daridistribusi yang dimaksud (Widodo, 2006: 99).

2.2. Metode Pengukuran Kemiskinan

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) cara mengukur kemiskinan yaitu dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari.Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.

Secara umum metode pengukuran kemiskinan dikaitkan dengan tiga konsep, yaitu:

1. Garis kemiskinan pendapatan (income-based poverty line),

2. Garis kemiskinan konsumsi (consumption-based poverty line), dan 3. Karakteristik penduduk atau rumah tangga miskin.


(41)

Jhingan (1992) mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan.Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki keterampilan ataupun keahlian.Kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif.Ketiga, penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalam zaman.Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto,2004).

2.3. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan

Faktor penyebab kemiskinan menurutSharp (2000), meliputi: 1. Rendahnya kualitas angkatan kerja.

Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah karena rendahnya kualitas angkatan kerja. Kualitas angkatan kerja ini bisa dilihat dari angka buta huruf. Sebagai contoh Amerika Serikat hanya mempunyai angka buta huruf sebesar 1%, dibandingkan dengan Ethiopia yang mempunyai angka diatas 50%.

2. Akses yang sulit terhadap kepemilikan modal.

Kepemilikan modal yang sedikit serta rasio antara modal dan tenaga kerja (capital-to-labor ratios) menghasilkan produktivitas yang rendah yang pada akhirnya menjadi faktor penyebab kemiskinan.

3. Rendahnya tingkat penguasaan teknologi.

Negara-negara dengan penguasaan teknologi yang rendah mempunyai tingkat produktivitas yang rendah pula. Tingkat produktivitas yang rendah


(42)

menyebabkan terjadinya pengangguran. Hal ini disebabkan oleh kegagalan dalam mengadaptasi teknik produksi yang lebih modern. Ukuran tingkat penguasaan teknologi yang rendah salah satunya bisa dilihat dari penggunaaan alat-alat produksi yang masih bersifat tradisional.

4. Penggunaan sumber daya yang tidak efisien.

Negara miskin sumber daya yang tersedia tidak dipergunakan secara penuh dan efisien. Pada tingkat rumah tangga penggunaan sumber daya biasanya masih bersifat tradisional yang menyebabkan terjadinya inefisiensi.

5. Pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Menurut teori Malthus jumlah penduduk berkembang sesuai deret ukur sedangkan produksi bahan pangan berkembang sesuai deret hitung. Hal ini mengakibatkan kelebihan penduduk dan kekurangan bahan pangan.

Selain itu kemiskinan dapat terjadi akibat sistem ekonomi yang berlaku karena yang kuat menindas yang lemah, tidak adanya sumber pendapatan yang memadai bagi golongan yang bersangkutan, struktur pemilikan, dan penggunaan tanah, pola usaha yang terbelakang, dan pendidikan angkatan kerja yang rendah.Dengan rendahnya faktor-faktor diatas menyebabkan rendahnya aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Dengan rendahnya aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan berakibat terhadap rendahnya produktivitas dan pendapatan yang diterima, pada gilirannya pendapatan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimun yang menyebabkan terjadinya proses kemiskinan.


(43)

2.4. Ukuran Kemiskinan

Pada umumnya terdapat 2 indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan di suatu wilayah, yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif.Mengukur kemiskinan dengan mengacu pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan relatif (Tulus, 2011 dalam Andono (2011).

1. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut merupakan ketidakmampuan seseorang dengan pendapatan yang diperolehnya mencukupi kebutuhan dasar minimum yang diperlukan untuk hidup setiap hari.Kebutuhan minimum tersebut digunakan sebagai batas garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencapai standar kehidupan yang ditetapkan masyarakat setempat sehingga proses penentuannya sangat subjektif. Mereka yang berada dibawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secararelatif.Kemiskinan relatif ini digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan.Menurut Azhari (1992), menggolongkan kemiskinan kedalam tiga macam kemiskinan yaitu : 1. Kemiskinan alamiah, Kemiskinan yang


(44)

timbul sebagai akibat sumber daya yang langka jumlahnya, atau karena perkembangan tingkat tehnologi yang sangat rendah. Termasuk didalamnya adalah kemiskinan akibat jumlah penduduk yang melaju dengan pesat di tengah- tengah sumber daya alam yang tetap. 2. Kemiskinan structural, Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial sedemikian rupa, sehingga masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural ini terjadi karena kelembagaan yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas- fasilitas secara merata. Dengan perkataan lain kemiskinan ini tidak ada hubungannya dengan kelangkaan sumber daya alam. 3. Kemiskinan cultural, Kemiskinan yang muncul karena tuntutan tradisi / adat yang membebani ekonomi masyarakat, seperti upacara perkawinan, kematian atau pesta pesta adat lainnya termasuk juga dalam hal ini sikap mentalitas penduduk yang lamban, malas, konsumtif serta kurang berorientasi ke masa depan.

2.5. Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan pada dasarnya merupakan suatu konsep mengenai penyebaran pendapatan di antara setiap orang atau rumah tangga dalam masyarakat.Konsep pengukuran distribusi pendapatan dapat ditunjukkan oleh dua konsep pokok, yaitu konsep ketimpangan absolut dan konsep ketimpangan relatif.Ketimpangan absolut merupakan konsep pengukuran ketimpangan yang menggunakan parameter dengan suatu nilai mutlak. Ketimpangan relatif


(45)

merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dengan besarnya total pendapatan yang diterima oleh masyarakat secara keseluruhan (Ahluwalia dalam Sukirno,2006).

Ada beberapa indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi

pendapatan yaitu dengan menggunaka metode Willamson Index.Ukuran

ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula-mula ditemukan adalahWilliamson Index. Dalam Ilmu Statistik, indeks ini sebenarnyaadalah coefficient of variationyanglazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Istilah Williamson Index muncul sebagaipenghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang pertama kali menggunakan teknik ini untukmengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

1. Williamson Index (Vw)

Williamson Index adalah suatu ukuran yang digunakan agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai dinikmati secara merata diantara wilayah dalam suatu negara. Pemerataan dapat dilihat melalui indeks williamsonyang menunjukkan nilai mendekati 1 maka pembangunan semakin tidak merata, dan sebaliknya jika mendekati 0 maka pembangunan semakin merata.Walaupun indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan dalam mengukur

ketimpangan pembangunan antar wilayah

.

VW= �∑( ��−�)2 ��/�


(46)

Dimana : VW : Koefisien Ketimpangan Yi : Pendapatan Perkapita di daerah Y : Pendapatan Perkapita di Provinsi Fi : Penduduk di daerah

N : Jumlah Penduduk

2.6. Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan

Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincoln Arsyad, 1997) ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara sedang berkembang :

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya

pendapatan perkapita.

2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.

3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.

4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (Capital Insentive), sehingga persentase pendapatan modal dari kerja tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.

5. Rendahnya mobilitas sosial.

6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.

7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi Negara Sedang Berkembang dalam perdagangan dengan Negara-negara maju, sebagai akibat


(47)

ketidakelastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor Negara Sedang Berkembang.

8. Hancurnya industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dll.

2.7.Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Kemiskinan

Penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan distribusi pendapatan merupakan salah satu inti masalah pembangunanterutama di negara sedang berkembang.Todaro dan Smith (2004), mengatakan penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak daerah.

Menurut Todaro (2000), Pengaruh antara ketimpangan distribusi pendapatan terhadap kemiskinan dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk cenderung berdampak negatif terhadap penduduk miskin, terutama bagi mereka yang sangat miskin.Sebagian besar keluarga miskin memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak sehingga kondisi perekonomian mereka berada di garis kemiskinan semakin memburuk seiring dengan memburuknya ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan.Penyebab dari kemiskinan adalah adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang selanjutnya akan menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.

Menurut Todaro (2003), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin tinggi ketimpangan distribusi pendapatan di suatu


(48)

negara atau daerah, akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Ketimpangan pendapatan antar daerah, tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima pendapatan dalam daerah tersebut, baik itu golongan masyarakat maupun wilayah tertentu dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya perbedaan tersebut akan menentukan tingkat pemerataan pendapatan (ketimpangan pendapatan) daerahtersebut. Oleh karena itu, ketimpangan pendapatan ini akan tergantung dari besar kecilnya perbedaan jumlah pendapatan yang diterima oleh penerima pendapatan. Sehingga timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur melalui distribusi penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat ataupun antar wilayah tertentu, dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat pada nilai PDRB-nya, sedangkan untuk golongan masyarakat tentunya adalah jumlah yang diterimanya pula.Ketimpangan pendapatan sebenarnya telah terjadi di seluruh negara di dunia ini, baik negara yang sudah maju maupun negara-negara yang sedang berkembang.Namun perbedaannya adalah ketimpangan pendapatan lebih besar terjadi di negara-negara yang baru memulai pembagunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya rendah.

Keadaan ini antara lain dijelaskan oleh Todaro (1981), bahwa negara-negara maju secara keseluruhan memperlihatkan pembagian pendapatan yang lebih merata dibandingkan dengan negara dunia ketiga yakni negara-negara yang tergolong sedang berkembang. Nicholas Kaldor (1960), menyatakan


(49)

bahwa semakin tidak merata pola distribusi pendapatan, semakin tinggi pula laju pertumbuhan ekonomi karena orang-orang kaya memiliki rasio tabungan yang lebih tinggi dari pada orang-orang miskin sehingga akan meningkatkan aggregate saving rate yang diikuti oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika laju pertumbuhan PDRB merupakan satu-satunya tujuan masyarakat, maka strategi terbaik adalah membuat pola distribusi pendapatan setimpang mungkin.Dengan demikian, model Kuznets dan Kaldor menunjukkan adanya trade off atau pilihan antara pertumbuhan PDRB yang lambat tetapi dengan distribusi pendapatan yang lebih merata.

2.8.Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sadono Sukirno, 1994:10). Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP (Gross Domestic Bruto) tanpa memandang bahwa kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari pertumbuhan penduduk dan tanpa memandang apakah ada perubahan dalam struktur ekonominya.

Menurut Hicks dalam kutipan Azulaidin (2003), menarik kesimpulan dari

perbedaanyang umum terdapat dalam konteks perkembangan dan

pertumbuhan.Pendapattersebut diperjelas dengan mengatakan bahwa perkembangan ekonomi mengacu padamasalah negara-negara dengan ekonomi yang terbelakang, sedangkan pertumbuhanlebih mengacu pada masalah di negara-negara maju.


(50)

Teori Schumpeter (1934) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalahperubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang senantiasamengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya.Pembangunanekonomi mengacu pada masalah negara berkembang, sedangkan pertumbuhanekonomi adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadimelalui kanaikan tabungan, pendapatan dan pertumbuhan ekonomi mengacu kepadamasalah negara maju.

Menurut Boediono (1992) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, sehingga persentase pertambahan output tersebut harus lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlahpenduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Dalam upaya meningkatkan pendapatan perkapita daerah (PDRB perkapita) juga harus dilibatkan berbagai faktor produksi (sumber-sumber ekonomi)dalam setiap kegiatan produksi.Pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi faktor produksi tenaga kerja, kapital, sumberdaya alam, teknologi dan faktor sosial (seperti adat istiadat, keagamaan, sistem pemerintahan).

Menurut Tarigan (2004) pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut.Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan.Hal itu juga menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di wilayah tersebut (tanah, modal,tenaga kerja dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain


(51)

ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta diwilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer-payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana di luar wilayah.

2.9.Penelitian Terdahulu

Studi empiris mengenai kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusipendapatan telah banyak dilakukan.Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yangberkaitan dengan topik tersebut.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No . Nama Penulis

Judul Penelitian Metode

Analisis

Hasil Penelitian 1. Daniel

Suryadarma , dkk (2005)

A Reassessment of Inequality and Its Role in Poverty Reduction in Indonesia Gini Rasio, Generalized Entropy (GE) Index, dan Atkinson Index Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa walaupun ketikaterjadi krisis semua metode pengukuran menunjukkan penurunan ketimpangan, namunsebenarny a terjadi peningkatan tetapi dibawah garis kemiskinan. Penelitian inimenunjukkan adanya penjelasan penting yaitu bahwa tingkat kemiskinan menurundengan cepat antara


(52)

tahun 1999 dan 2002, yang disebabkan karena ketimpangan selamakrisis pada tahun 1999 berada pada tingkat paling rendah.

2. Bosman

Pangaribua n (2005)

Analisis

KetimpanganPendapata n Antar Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blora Analisis ShiftShare, LQ, dan Index Williamson Menururt Bosman berdasarkan analisis Indeks Williamson, Kabupaten Blora dapat dikatakan mengalami pemerataan tingkat pendapatan. Indeks Williamson menunjukkan rata-rata 0,314 selama tahun pengamatan. Angka ini masih di bawah

ambang kritis 0,5.

3. R.

Gunawan Setianegara (2008) Ketimpangan Distribusi Pendapatan, Krisis Ekonomi dan Kemiskinan penelitian ini juga menggambarka n bagaimana keadaan ketimpangan pendapatan Indonesia dimulai dari tahun 1960-an hingga akhir tahun 1999 menggunakan alat pengukur ketimpangan Menurut Gunawan, ada banyak analisis yang membuktikan bahwa walaupun tingkat pertumbuhan tinggi akan selalu menyebabkan tingkat ketimpangan pendapatan tinggi. Selain itu


(53)

yaitu Gini Rasio.

jumlah penduduk miskin di Indonesia juga akan

selalu berubah seiring tinggi rendahnya tingkat ketimpangan pendapatan.

2.10.Kerangka Konseptual

Berdasarkan dasar pemikiran tersebut di atas, maka kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah bagaimana hubunganantara ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dengan peningkatan jumlah masyarakat miskin di Kota Medan.Setinggi apapun tingkat pendapatannasional per kapita jika tidak diimbangi pemerataan distribusi pendapatan, makatingkat kemiskinan akan terus meningkat. Akan tetapi jika pemerataan pendapatansudah sangat baik sedangkan tingkat pendapatan nasional tidak mengalamipeningkatan yang berarti maka kemiskinan juga akan meluas. Secara sederhanakerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(54)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.11.Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan kausalitas (timbal balik) antara tingkat kemiskinan dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Medan.

Jumlah masyarakat Miskin di Kota

Medan

Ketimpangan pendapatan Pertumbuhan


(55)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan.Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan.Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki oleh setiap individu dimana satu individu/kelompok mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan individu/kelompok lain, sehingga ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga terjadi di beberapa negara di dunia. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.

Masalah distribusi pendapatan mengandung dua aspek.Aspek pertamaadalah bagaimana menaikkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih berada dibawah garis kemiskinan, sedang aspek kedua adalah pemerataan pendapatansecara menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatanantarpenduduk atau rumah tangga.Keberhasilan mengatasi aspek yang pertamadapat dilihat dari penurunan persentase penduduk yang masih berada di bawahgaris kemiskinan.Sementara keberhasilan memperbaiki distribusi


(56)

pendapatansecaramenyeluruh, adalah jika laju pertambahan pendapatan golongan miskinlebih besar dari laju pertambahan pendapatan golongan kaya.

Ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan sebuah realita yang ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini baik di negara maju maupun negara berkembang,Perbedaannya terletak pada proporsi tingkat ketimpangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara.

Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro poor hanya akan menciptakankemakmuran bagi golongan tertentu saja, sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi angka kemiskinan hingga saat ini.

Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan terjadi di seluruh Indonesia khususnya kota besar seperti Medan. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu wilayah.Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya.

Kota Medan merupakan kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di provinsi Sumatera Utara yaitu 3.418.645 jiwa dengan luas wilayah 265,10 km2 tahun 2016. Secara administratif, kota Medan dibagi atas 21 kecamatan yang mencakup 151 kelurahan.


(57)

Tabel 1.1

DataJumlah Penduduk Miskin Tahun 2010 di Kota Medan

NO

KECAMATAN JUMLAH PENDUDUK MISKIN

2010

1 Medan Tuntungan 6.399

2 Medan Johor 12.132

3 Medan Amplas 7.719

4 Medan Denai 16.498

5 Medan Area 12.468

6 Medan Kota 9.822

7 Medan Maimun 5.354

8 Medan Polonia 5.727

9 Medan Baru 3.279

10 Medan Selayang 5.484

11 Medan Sunggal 8.034

12 Medan Helvetia 5.410

13 Medan Petisah 9.684

14 Medan Barat 15.457

15 Medan Timur 10.886

16 Medan Perjuangan 8.636

17 Medan Tembung 10.750

18 Medan Deli 15.257

19 Medan Labuhan 16.686

20 Medan Marelan 8.208

21 Medan Belawan 20.278

TOTAL 214.168

Sumber : BPS Kota Medan dalam angka 2011

Berdasaran tabel di atas, jumlah penduduk miskin paling besar terjadi di kecamatan Medan Belawan sebesar 20.278 penduduk miskin. Dan jumlah penduduk miskin terkecil berada pada kecamatan Medan Baru sebesar 3.279 penduduk miskin.

Kondisi ini membuat ketimpangan terhadap pendapatan dan jumlah penduduk miskin serta distribusi yang tidak merata. Maka, harus ditingkatkan pemerataan distribusinya agar jumlah penduduk miskin dapat berkurang dan kesejahteraan masyarakat pun dapat meningkat.


(58)

Berdasarkan permasalahan diatas, penulis tertarik mengadakan penelitian untuk mengetahui sejauhmana kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan di kota Medan dengan judul “Analisis Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Ketimpangan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Kota Medan”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana Tingkat Kemiskinan di Kota Medan?

2. Bagaimana Tingkat Ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Medan? 3. Bagaimana hubungan antara tingkat kemiskinan dengan tingkat ketimpangan

distribusi pendapatan di Kota Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui tingkat kemiskinan di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Medan. 3. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kemiskinan dengan tingkat

ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini yaitu secara teoritis maupun praktis,yakni:


(59)

1. Sebagai bahan masukan dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca khususnya yang berkaitan dengan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan.

2. Sebagai referensi bagi penulis lainnya yang ingin melakukan penelitian selanjutnya berkenaan dengan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan.

3. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah, dalam hal pemerataan pembangunan dan pemberantasan kemiskinan.


(60)

ABSTRACT

This research has a purpose to relationship between regional inequality with poverty in Medan city 21 districts. This research used secondary data as data time series started from 2004-2010, and using Williamson Indexs to know about regional inequality, Granger Causality method, and Cointegration test. The result of the Williamson Indexs in Medan city during the started from 2004-2010 showed predisposition rise. At 2010 Williamson Indexs value as big as 0,20or more increase be compared at 2004 as big as 0,17. This inequality condition is worrying in view of Indexs nominal almost 1 show inequality is widening. Next the result from Granger Causality test found no relationship between regional inequality with economic growth in Medan city. And the result of Cointegration test showed variables regional inequality and economic growth used in this study has a long term no relationship between regional inequality and economic growth. Keywords : Inequality, Poverty, Granger Causality, Cointegration


(61)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan antar kecamatan di Kota Medan. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series dari tahun 2004-2010, dan menggunakan Indeks Williamson untuk mengetahui tingkat ketimpangan daerah, metode Granger Causality, dan Uji Kointegrasi. Hasil dari Indeks Williamson di Kota Medan selama tahun 2004-2010 menunjukan kecenderungan kenaikan. Pada tahun 2010 nilai indeks Williamson sebesar 0,20atau jauh lebih meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,17. Kondisi ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.Selanjutnya hasil dari uji Granger Causality ditemukan tidak adanya hubungan timbal balik antara ketimpangan daerah dan pertumbuhan di Kota Medan.Dan hasil dari uji Kointegrasi menunjukkan bahwa kedua variabel ketimpangan daerah dan pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki hubungan jangka panjang antara ketimpangan daerah dan pertumbuhan ekonomi di Kota Medan.


(62)

SKRIPSI

ANALISIS TINGKAT KEMISKINAN DAN TINGKAT KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KOTA MEDAN

OLEH

PRADISA ASPRIANTI PUTRI 120501173

PROGRAM STUDI STRATA-1 EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(63)

ABSTRACT

This research has a purpose to relationship between regional inequality with poverty in Medan city 21 districts. This research used secondary data as data time series started from 2004-2010, and using Williamson Indexs to know about regional inequality, Granger Causality method, and Cointegration test. The result of the Williamson Indexs in Medan city during the started from 2004-2010 showed predisposition rise. At 2010 Williamson Indexs value as big as 0,20or more increase be compared at 2004 as big as 0,17. This inequality condition is worrying in view of Indexs nominal almost 1 show inequality is widening. Next the result from Granger Causality test found no relationship between regional inequality with economic growth in Medan city. And the result of Cointegration test showed variables regional inequality and economic growth used in this study has a long term no relationship between regional inequality and economic growth. Keywords : Inequality, Poverty, Granger Causality, Cointegration


(64)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan antar kecamatan di Kota Medan. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series dari tahun 2004-2010, dan menggunakan Indeks Williamson untuk mengetahui tingkat ketimpangan daerah, metode Granger Causality, dan Uji Kointegrasi. Hasil dari Indeks Williamson di Kota Medan selama tahun 2004-2010 menunjukan kecenderungan kenaikan. Pada tahun 2010 nilai indeks Williamson sebesar 0,20atau jauh lebih meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,17. Kondisi ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.Selanjutnya hasil dari uji Granger Causality ditemukan tidak adanya hubungan timbal balik antara ketimpangan daerah dan pertumbuhan di Kota Medan.Dan hasil dari uji Kointegrasi menunjukkan bahwa kedua variabel ketimpangan daerah dan pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki hubungan jangka panjang antara ketimpangan daerah dan pertumbuhan ekonomi di Kota Medan.


(65)

DAFTARISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB IPENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.3.1Tujuan Penelitian ... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB IITINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kemiskinan ... 6

2.2 Metode Pengukuran Kemiskinan ... 7

2.3 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan ... 8

2.4 Ukuran Kemiskinan ... 10

2.5 Ketimpangan Distribusi Pendapatan ... 11

2.6 Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan ... 13

2.7 Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Kemiskinan ... 14

2.8 Pertumbuhan Ekonomi ... 16

2.9 Penelitian Terdahulu ... 18

2.10 Kerangka Konseptual ... 20

2.11 Hipotesis ... 21

BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Jenis Penelitian ... 22

3.2Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

3.3 Definisi Operasional ... 22

3.4 Pengolahan Data ... 23

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ... 23

3.6 Jenis dan Sumber Data ... 23

3.7 Metode Pengumpulan Data ... 23

3.8 Metode Analisis Data ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambar Umum Kota Medan ... 31

4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis ... 31

4.1.2 Kondisi Demografis ... 34

4.2 Jumlah Penduduk Miskin ... 37

4.3 Perkembangan Perekonomian di Kota Medan ... 38


(66)

4.5 Analisis Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan

di Kota Medan ... 47

4.6 Tipologi Klassen ... 49

4.7 Hasil Estimasi ... 51

4.7.1 Hasil Uji Akar Unit ... 52

4.7.2 Hasil Uji Kointegrasi ... 53

4.7.3 Hasil Granger Causality ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(1)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan antar kecamatan di Kota Medan. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data time series dari tahun 2004-2010, dan menggunakan Indeks Williamson untuk mengetahui tingkat ketimpangan daerah, metode Granger Causality, dan Uji Kointegrasi. Hasil dari Indeks Williamson di Kota Medan selama tahun 2004-2010 menunjukan kecenderungan kenaikan. Pada tahun 2010 nilai indeks Williamson sebesar 0,20atau jauh lebih meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,17. Kondisi ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.Selanjutnya hasil dari uji Granger Causality ditemukan tidak adanya hubungan timbal balik antara ketimpangan daerah dan pertumbuhan di Kota Medan.Dan hasil dari uji Kointegrasi menunjukkan bahwa kedua variabel ketimpangan daerah dan pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki hubungan jangka panjang antara ketimpangan daerah dan pertumbuhan ekonomi di Kota Medan.


(2)

DAFTARISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB IPENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.3.1Tujuan Penelitian ... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB IITINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kemiskinan ... 6

2.2 Metode Pengukuran Kemiskinan ... 7

2.3 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan ... 8

2.4 Ukuran Kemiskinan ... 10

2.5 Ketimpangan Distribusi Pendapatan ... 11

2.6 Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan ... 13

2.7 Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Kemiskinan ... 14

2.8 Pertumbuhan Ekonomi ... 16

2.9 Penelitian Terdahulu ... 18

2.10 Kerangka Konseptual ... 20

2.11 Hipotesis ... 21

BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Jenis Penelitian ... 22

3.2Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

3.3 Definisi Operasional ... 22

3.4 Pengolahan Data ... 23

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ... 23

3.6 Jenis dan Sumber Data ... 23

3.7 Metode Pengumpulan Data ... 23

3.8 Metode Analisis Data ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambar Umum Kota Medan ... 31

4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis ... 31

4.1.2 Kondisi Demografis ... 34

4.2 Jumlah Penduduk Miskin ... 37

4.3 Perkembangan Perekonomian di Kota Medan ... 38


(3)

4.5 Analisis Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan

di Kota Medan ... 47

4.6 Tipologi Klassen ... 49

4.7 Hasil Estimasi ... 51

4.7.1 Hasil Uji Akar Unit ... 52

4.7.2 Hasil Uji Kointegrasi ... 53

4.7.3 Hasil Granger Causality ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(4)

DAFTAR TABEL

1.1 Jumlah Kemiskinan Kota Medan 2010 ... 3

2.3 Penelitian Terdahulu ... 18

4.1 Luas Wilayah Kota Medan Berdasarkan Kecamatan ... 33

4.2 Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2014 ... 36

4.3 Jumlah Penduduk Miskin di Kota Medan Tahun 2004-2010 ... 38

4.4 Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan ... 41

4.5 Penduduk Miskin Kecamatan Kota Medan Tahun 2004-2010 (ribu) ... 46

4.6 Indeks Williamson Kota Medan Tahun 2001-2010 ... 48

4.7 Hasil Pengujian ADF dan Philips Perron ... 52

4.8 Hasil Kointegrasi Dengan Metode Johansen ... 53

4.9 Hasil Uji Granger Causality ... 54

No. Tabel


(5)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.2 Kerangka Konseptual ... 21

2.2 Tipologi Klassen ... 25

4.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Medan ... 36

4.2 Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan ... 41

4.3 Pertumbuhan PDRB Kota Medan ... 43


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Gambar Judul Halaman