Streptomisin, golongan aminoglikosida, yang berhasil mengobati berbagai macam jenis tuberkulosis ternyata menimbulkan toksisitas irreversibel pada organ
koklear dan vestibular pada sejumlah besar pasien Briggs, 2001. Salah satu studi yang dilakukan di Brazil pada satu kelompok pasien TB yang mendapatkan
pengobatan streptomisin 75 diantaranya mengalami gangguan pendengaran Vasconcelos et al, 2012.
Laporan WHO tahun 2003 dan 2007 menunjukkan bahwa kejadian ketulian akibat ototoksisitas pada daerah Asia Tenggara masih belum terdeteksi.
WHO, 2007. Literatur internasional lain menunjukkan bahwa kejadian ototoksisitas sebagai efek samping penggunaan aminoglikosida bervariasi dari 5-
64 . Hal ini dapat dikarenakan oleh berbagai faktor, seperti jenis pengobatandosis, lama penggunaan obat, umur pasien, komorbiditas, faktor
genetik, pemakaian alkohol, merokok, dan kondisi tempat hidupkerja Vasconcelos et al, 2012.
Sampai saat ini, belum adanya data pemeriksaan status pendengaran yang berhubungan dengan penggunaan streptomisin pada penderita TB di kota Medan,
khususnya di RSUPH Adam Malik, membuat peneliti merasa tertarik untuk meneliti status pendengaran pada penderita TB yang mendapatkan pengobatan
streptomisin.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana status pendengaran pada penderita TB yang mendapatkan
pengobatan streptomisin di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui status pendengaran pada penderita TB yang mendapatkan pengobatan streptomisin di Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui lamanya penggunaan streptomisin pada penderita TB yang mengalami gangguan pendengaran.
2. Mengetahui keluhan yang muncul dengan pengobatan streptomisin.
3. Mengetahui pengetahuan penderita TB tentang efek samping
pengobatan streptomisin.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1.
Bagi Subjek Penelitian Edukasi tentang efek samping pengobatan penyakit TB agar lebih sadar
dengan pengobatan yang dijalani. 1.4.2.
Bagi RSUP Haji Adam Malik Medan Bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya di RSUP Haji Adam Malik
Medan yang berhubungan dengan penelitian ini. 1.4.3.
Bagi Peneliti a.
Sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah dalam bentuk melakukan penelitian ilmiah secara
mandiri b.
Memenuhi tugas mata kuliah Community Research Program sebagai prasyarat
untuk menyelesaikan
program pendidikan
Sarjana Kedokteran.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular yang berkembang dari infeksi
sistemik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya bakteri ini menyebar dari orang ke orang melalui transmisi udara. Lobue et al,
2008. Penyakit ini biasanya menyerang organ paru. Walaupun begitu, sepertiga dari jumlah kasus tuberkulosis menyerang organ ekstra paru Raviglione,2005.
2.1.2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan 4 minggu.
Kasus kambuh Relaps
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif apusan atau kultur.
Kasus setelah putus berobat Default
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
Kasus setelah gagal Failure
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Kasus Pindahan Transfer In
Universitas Sumatera Utara
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik biakan, radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik PNPT, 2007.
2.1.3. Pengobatan TB Dalam guideline WHO tahun 2009 tentang panduan pengobatan
tuberkulosis, WHO memberikan rekomendasi dosis untuk tiap jenis obat berdasarkan berat badan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.1. Rekomendasi dosis pada OAT untuk orang dewasa.
Drug Rekomendasi dosis
Harian 3 Kali Seminggu
Dosis dan rentang
mgkgBB Maksimum
mg Dosis dan
rentang mgkgBB
Maksimum harian mg
Isoniazid H 5 4-6
300 10 8-12
900 Rifampicin R
10 8-12 600
10 8-12 600
Pirazinamid Z 25 20-30
- 35 30-40
- Ethambutol E
15 15-20 -
30 25-35 -
Streptomisin S 15 12-18
- 15 12-18
1000 WHO, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Untuk streptomisin, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun mungkin tidak bisa menoleransi dosis lebih dari 500-750 mg sehari, oleh karena itu
direkomendasikan untuk mengurangi dosis 10 mgkg per hari pada pasien dengan umur tersebut. Selain itu, pasien dengan berat kurang dari 50 kg mungkin tidak
bisa menoleransi dosis di atas 500-750 mg sehari WHO, 2009.
2.1.3.1 Pengobatan TB kategori-1 2HRZE 4H3R3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif • Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.2. Dosis Untuk Paduan OAT KDT Kategori-1
Berat Badan Tahap intensif tiap hari
selama 56 hari RHZE 15075400275
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16
minggu RH 150150 30-37 kg
2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT 55-70 kg
4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT PNPT,2009
2.1.3.2. Pengobatan TB kategori-2 2HRZES HRZE 5H3R3E3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya : • Pasien kambuh
• Pasien gagal •Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat default
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori-2
Berat badan Tahap intensif tiap hari RHZE
15075400275 + S Tahap lanjutan 3 kali
seminggu RH 150150 + E400
Selama 56 hari Selama 28 hari
Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500
mg streptomisin inj.
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750
mg streptomisin inj.
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT +
1000 mg streptomisin inj.
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4KDT +
1000 mg streptomisin inj
5 tab 4 KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
etambutol PNPT, 2009
2.1.3.3. Pengobatan TB kategori-3 Pasien TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas
dan kasus ekstra pulmonal selain dari kategori 1. Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2H
3
R
3
E
3
Z
3
, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H
3
R
3
Amin, Zulkifli dan Asril Bahar, 2009.
2.1.3.4. Pengobatan TB kategori-4 Tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda,
sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H saja WHO atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda
MDR-TB Amin, Zulkifli dan Asril Bahar, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Streptomisin
Streptomisin di dalam darah hampir seluruhnya terdapat di dalam plasma dan hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit maupun makrofag
Istiantoro, 2007 . Suntikan intramuskular merupakan cara yang paling sering dikerjakan.
Dosis total sehari berkisar 1-2 g 15-25 mgkgBB; 500-1 g disuntikkan setiap 12 jam. Untuk infeksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 g dibagi dalam 2-4 kali
pemberian. Dosis untuk anak ialah 20-30 mgkgBB sehari, dibagi untuk dua kali penyuntikan Istiantoro, 2007.
Streptomisin bekerja melalui inhibisi dari sintesis protein. Streptomisin hanya efektif melawan bakteri ekstraseluler di kavitas dimana pH netral.
Streptomisin harus diadministrasi secara parenteral, dan tidak diabsorbsi di usus. Puncak konsentrasi serum dari 40 mikrogramml muncul kira-kira setelah satu
jam 15 mgkg dosis intramuscular. Banyak dari strain M. tuberculosis diinhibisi dengan konsentrasi 8 mikrogramml. waktu paruh streptomisin dalam darah
adalah 5 jam Kreider, 2008. Kejadian nefrotoksisitas dan ototoksisitas meningkat pada pasien dengan
umur lebih dari 50 tahun dan penggunaan streptomisin harus lebih hati-hati pada pasien ini. Pada pengobatan tuberkulosis, penggunaan streptomisin terbatas hanya
untuk 2 bulan Kreider,2008.
2.2.1 Sifat-sifat fisik dan kimia streptomisin Streptomisin berbeda dengan jenis aminoglikosida lain dimana
aminoglikosida mempunyai struktur streptidine yang lebih dibanding 2- deoxystreptamine, dan aminosilitol tidak terletak di posisi sentral. Struktural
formula daripada streptomisin dapat dilihat di bawah ini Chambers, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Struktur Streptomisin
2.2.2. Mekanisme kerja Aminoglikosida bersifat bakterisid untuk organisme yang peka dengan
cara penghambatan irreversible sintesis protein. Namun, mekanisme yang tepat ialah aktivitas bakterisid ini tidak jelas. Proses awal ialah penetrasi melalui
selubung sel. Proses ini sebagian berupa transport aktif, sebagian lagi berupa difusi pasif. Karena transport aktif merupakan proses yang bergantung pada
oksigen, aminoglikosida relatif tidak efektif terhadap kuman anaerob Jawetz, 1998.
Setelah memasuki sel, aminoglikosida akan mengikatkan diri dengan reseptor pada subunit 30S ribosom bakteri. Sintesis protein ribosom dihambat oleh
aminoglikosida paling sedikit melalui 3 cara : 1 dengan mengganggu “kompleks awal” pembentukan peptida. 2 dengan menginduksi kesalahan membaca kode
pada mRNA template, yang menyebabkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptida; dan 3 menyebabkan suatu pemecahan polisom menjadi
monosom yang tak berfungsi Jawetz, 1998.
2.2.3. Farmamokinetik Aminoglikosida merupakan persenyawaan yang saat polar sehingga sangat
buruk penyerapannya di dalam gastrointestinal. Kurang dari 1 dosis diserap setelah pemberian melalui oral ataupun rectal. Obat tidak diaktivasi di usus dan
dieliminasi melalui feses Chambers, 2006. Setelah suntikan intramuskular, aminoglikosida diabsorbsi dengan baik,
memberikan konsentrasi puncak di dalam darah dalam 30-90 menit. Hanya 10
Universitas Sumatera Utara
dari obat-obat yang diabsorsi terikat pada protein plasma. Jawetz dalam katzung, 1998. Pengikatan oleh protein plasma darah hanya jelas terlihat pada
streptomisin, yaitu ½ dari seluruh aminoglikosida dalam darah. Yang lain praktis tidak diikat oleh protein plasma Istiantoro, 2007.
Konsentrasi aminoglikosida yang rendah ada pada sekresi dan di jaringan. Konsentrasi yang tinggi hanya terdapat di korteks ginjal dan di endolimph serta
perilimph dari telinga bagian dalam. Konsentrasi obat yang tinggi pada tempat ini menyebabkan nefrotoksisitas dan ototoksisitas Chambers, 2006.
Aminoglikosida diekskresi hampir seluruhnya melalui filtrasi glomerular, dan konsentrasi urin 50-200 µgml tercapai, paling banyak muncul pada 12 jam
pertama Chambers, 2006.
2.2.4. Efek samping Gangguan pendengaran dan gangguan vestibular muncul pada semua
penggunaan jenis aminoglikosida. Hal ini dikarenakan akumulasi di konsentrasi plasma tinggi. Difusi kembali ke aliran darah lambat; waktu paruh aminoglikosida
di cairan telinga lima sampai enam kali lebih lama dibanding di plasma. Ototoksisitas cenderung terjadi pada pasien yang menetap peningkatan
konsentrasi obatnya di dalam plasma Chambers, 2006. Alergi, demam, rash kulit, dan manifestasi alergik lainnya mungkin terjadi
karena hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi pada kontak lama dengan obat ini, baik pasien yang menerima suatu seri pengobatan
jangka panjang misalnya untuk tuberkulosis, maupun pada orang-orang medis yang menangani obat ini Jawetz, 1998.
Rasa sakit pada tempat suntikan biasanya terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik yang paling serius ialah gangguan fungsi vestibular-vertigo dan hilang
keseimbangan. Frekuensi dan beratnya gangguan ini sesuai dengan umur pasien, kadar obat dalam darah, serta lama pemberian. Disfungsi vestibular terjadi setelah
beberapa minggu kadar dalam darah tinggi yang tidak biasa misalnya pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau berbulan-bulan dengan kadar yang relatif
Universitas Sumatera Utara
rendah. Setelah obat dihentikan, perbaikan parsial biasanya terjadi Istiantoro, 2007.
Penggunaan bersamaan atau sekuensial aminoglikosida yang lain dengan streptomisin harus dihindari untuk mengurangi kemungkinan ototoksisitas.
Streptomisin yang digunakan selama masa kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonatus Jawetz, 1998.
2.3. Gangguan Pendengaran