BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis TB merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Sejak tahun 1993, World Health Organization WHO menyatakan
bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Indonesia berada pada ranking kelima negara dengan penderita TB tertinggi di dunia. Dengan
berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di
seluruh dunia WHO, 2009. Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per
100.000 penduduk. PNPT, 2009. Di Provinsi Sumatera Utara, jumlah cakupan penemuan semua kasus TB
Paru meningkat dari 16.815 kasus pada tahun 2009 menjadi 19.673 kasus pada tahun 2010, dengan jumlah penderita TB Paru BTA positif sebesar 16.078 kasus
Depkes RI, 2011. Prinsip pengobatan kasus TB adalah pemberian obat anti TB dalam bentuk
kombinasi beberapa jenis obat dengan jumlah cukup dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Paduan obat anti TB OAT yang digunakan oleh
Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis PNPT di Indonesia menggunakan kombinasi obat isoniazid H, rifampisin R, pirazinamid Z,
streptomisin S, serta etambutol E PNPT, 2009. Penggunaan streptomisin, berdasarkan PNPT tahun 2009, menjadi
pengobatan fase inisial untuk tuberkulosis kategori dua. Selain itu, streptomisin masih sering digunakan pada beberapa kondisi TB berat seperti meningitis
tuberkulosis, miliaris, perikarditis, peritonitis, atau spondilitis dengan gangguan neurologis PNPT, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Streptomisin, golongan aminoglikosida, yang berhasil mengobati berbagai macam jenis tuberkulosis ternyata menimbulkan toksisitas irreversibel pada organ
koklear dan vestibular pada sejumlah besar pasien Briggs, 2001. Salah satu studi yang dilakukan di Brazil pada satu kelompok pasien TB yang mendapatkan
pengobatan streptomisin 75 diantaranya mengalami gangguan pendengaran Vasconcelos et al, 2012.
Laporan WHO tahun 2003 dan 2007 menunjukkan bahwa kejadian ketulian akibat ototoksisitas pada daerah Asia Tenggara masih belum terdeteksi.
WHO, 2007. Literatur internasional lain menunjukkan bahwa kejadian ototoksisitas sebagai efek samping penggunaan aminoglikosida bervariasi dari 5-
64 . Hal ini dapat dikarenakan oleh berbagai faktor, seperti jenis pengobatandosis, lama penggunaan obat, umur pasien, komorbiditas, faktor
genetik, pemakaian alkohol, merokok, dan kondisi tempat hidupkerja Vasconcelos et al, 2012.
Sampai saat ini, belum adanya data pemeriksaan status pendengaran yang berhubungan dengan penggunaan streptomisin pada penderita TB di kota Medan,
khususnya di RSUPH Adam Malik, membuat peneliti merasa tertarik untuk meneliti status pendengaran pada penderita TB yang mendapatkan pengobatan
streptomisin.
1.2. Rumusan Masalah