rendah. Setelah obat dihentikan, perbaikan parsial biasanya terjadi Istiantoro, 2007.
Penggunaan bersamaan atau sekuensial aminoglikosida yang lain dengan streptomisin harus dihindari untuk mengurangi kemungkinan ototoksisitas.
Streptomisin yang digunakan selama masa kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonatus Jawetz, 1998.
2.3. Gangguan Pendengaran
2.3.1. Definisi Gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran
hearing impairment berarti kehilangan total atau sebagian dari kemampuan untuk mendengar dari salah satu atau kedua telinga. Ketulian deafness berarti
kehilangan total kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga WHO, 2012.
2.3.2. Klasifikasi Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran dapat berasal dari kelainan pada aurikel, kanal
auditori eksternal, telinga tengah, telinga dalam atau jalur sentral auditori. Berdasarkan letak lesi, gangguan pendengaran dibedakan menjadi dua kategori
utama, yaitu : Gangguan pendengaran konduktif, letak lesi pada aurikel, kanal auditori
eksternal atau telinga tengah. Gangguan ini disebabkan adanya obstruksi pada kanal auditori eksternal oleh serumen, debris, atau benda asing;
swelling pada kanal; atresia atau neoplasma pada kanal; perforasi membran timpani; gangguan pada tulang osikular, sebagaimana muncul
pada nekrosis tulang incus akibat trauma atau infeksi; otosklerosis; cairan, jaringan parut atau neoplasma pada telinga tengah.
Gangguan pendengaran sensorineural, letak lesi pada bagian telinga dalam atau saraf kranial ke-8. Kerusakan pada hair cell dari organ korti mungkin
disebabkan oleh suara yang keras, infeksi virus, obat ototoksik misal,
Universitas Sumatera Utara
salisilat, kuinin, dan sintetik analog, antibiotik aminoglikosida, loop diuretic seperti furosemide dan ethacrynic acid, dan obat kemoterapi
seperti cisplatin, fraktur pada tulang temporal, meningitis, otosklerosis koklear, penyakit meniere, dan penuaan.
Anil, 2005 Tabel 2.4. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran
Derajat Gangguan Nilai ISO audiometric
Deskripsi gangguan 0 tidak ada gangguan
25 dBHL atau kurang telinga yang lebih baik
Tidak atau
masalah pendengaran
ringan. Dapat mendengar bisikan
1 gangguan ringan 26-40 dBHL
telinga yang lebih baik Dapat mendengar dan
mengulangi kata yang diucapkan secara normal
dengan jarak 1 meter 2 gangguan sedang
41-60 dBHL telinga yang lebih baik
Dapat mendengar dan mengulang
kata yang
diucapkan dengan suara yang lebih keras dengan
jarak satu meter 3 gangguan berat
61-80 dBHL
telinga yang lebih baik
Dapat mendengar
beberapa kata
ketika diteriakkan ke telinga
yang lebih sehat 4 tuli
81 dBHL atau lebih telinga yang lebih baik
Tidak dapat mendengar dan
mengerti bahkan
dengan suara yang lebih keras
WHO 1991
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Diagnosis Anamnese dilakukan pada pasien untuk mendapatkan karakteristik dari
gangguan pendengaran, termasuk durasi ketulian, unilateral atau bilateral, onset kejadiannya tiba-tiba atau tersembunyi , dan perkembangan kejadiannya cepat
atau lambat Anil, 2005. Pemeriksaan telinga penderita harus melihat bagian aurikel, kanal
eksternal telinga serta membran timpani. Kanal eksternal telinga pada orang tua sering kering dan rapuh, lebih mudah untuk membersihkan serumen dengan wall-
mounted suction dan cerumen loops dan hindari irigasi. Pada pemeriksaan gendang telinga, bentuk dari membrane timpani lebih penting daripada ada atau
tidaknya refleks cahaya Anil, 2005. Pemeriksaan dengan otoskopi dilakukan untuk memastikan bahwa kanal
telinga terbuka secara penuh. Pemeriksaan ini juga dapat menentukan apakah ada infeksi telinga tengah dengan adanya cairan yang terakumulasi pada telinga
tengah Rubben, 2007. Tes awal kemampuan dengar dilakukan dengan menggosokkan ibu jari
dengan jari telunjuk sekitar 2 inci dari telinga. Jika pasien tidak dapat mendengar gosokan jari, maka dilakukan tes selanjutnya Greenberg, 2002.
Rinne and weber tuning fork test, dengan garpu tala 256-512 Hz, dapat digunakan untuk skrining gangguan pendengaran, membedakan antara gangguan
pendengaran konduktif atau sensorineural, dan untuk memastikan evaluasi audiologi Anil., 2005.
Tes rinne digunakan untuk membandingkan kemampuan dengar pada hantaran udara dengan kemampuan dengar pada hantaran tulang. Ujung garpu tala
dipegang dekat dengan kanal auditori eksternal, dan kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus. Pasien kemudian diminta untuk menentukan mana nada
suara yang lebih nyaring terdengar, antara hantaran tulang atau hantaran udara. Anil, 2005. Jika terdapat gangguan pendengaran tipe sensorineural, maka nada
akan lebih nyaring terdengar pada hantaran udara dibanding pada hantaran tulang. Jika terdapat ganggguan pendengaran tipe konduktif, maka stimulus hantaran
Universitas Sumatera Utara
tulang lebih nyaring terdengar dibanding stimulus pada hantaran udara Greenberg, 2002.
Kalau hantaran tulang didengar lebih lemah atau lebih kecil, hasil tes disebut Rinne positif. Hal ini ditemukan pada pendengaran normal dan pada
gangguan pendengaran sensorineural. Kalau hantaran tulangnya didengar lebih lama atau lebih jelas, hasil tes disebut Rinne negatif. Hal ini dijumpai pada
gangguan pendengaran hantaran konduktif van den Broek, 2007. Untuk tes weber, gagang pegangan garpu tala diletakkan di garis tengah
kepala dan pasien ditanya apakah nada terdengar pada kedua telinga ataukah terdengar lebih jelas pada satu telinga Anil, 2005. Jika terdapat gangguan
pendengaran tipe konduktif pada satu sisi saja, nada akan terdengar pada telinga yang mengalami gangguan. Jika terdapat gangguan pendengaran tipe
sensorineural pada satu sisi saja, nada akan terdengar pada telinga yang mengalami tidak mengalami gangguan Greenberg, 2002.
Langkah berikutnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan audiometri. Pada tes ini, pasien menggunakan headphones yang memainkan nada dengan
berbagai frekuensi dan lebih nyaring pada telinga. Pasien akan memberikan tanda ketika nada terdengar, biasanya dengan mengangkat tangan. Untuk setiap nada,
tes akan mengidentifikasi nada yang paling diam yang bisa didengar oleh tiap telinga. Hasilnya dibandingkan dengan nilai ambang pendengaran normal
Rubben, 2007.
2.4. Patofisiologi