demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan perhatian, dalam konteks perjanjian kredit
dimaksud.
2. Sifat Perjanjian Kredit
Berbicara tentang sifat perjanjian kredit ada berbagai pendapat dari para sarjana dengan mengkaitkannya dengan ketentuan Pasal 1754 BW. Pasal 1754
BW menentukan sebagai berikut : “Perjanjian pinjam rnengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah ketentuan barang-barang yang menghabis karena pemakaian. dengan syarat bahwa pihak yang belakangan
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Selanjutnya dalam Pasal 1765 BW disebutkan, bahwa diperbolehkan memperjanjikan, bunga atau peminjaman uang atau lain barang yang menghabis
karena pemakaian. Dari pengertian ini, terlihat bahwa unsur-unsur pinjam- meminjam adalah :
1. Adanva persetujuan antara peminjam dengan yang memberi pinjaman;
2. Adanya suatu jumlah barang tertentu habis karena memberi pinjaman;
3. Pihak yang menerima pinjaman akan mengganti barang yang sama;
4. Pinjaman wajib membayar bunga bila diperjanjikan.
25
Para ahli mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap Pasal 1754 KUH Perdata dan dikaitkan dengan perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan karena di
25
Sentosa Sembiring, Op. Cit, hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
dalam KUH Perdata sendiri tidak kita temukan istilah perjanjian kredit. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sendiri tidak mengenal istilah
perjanjian kredit, yang ada hanya pengertian kredit. Dalam penjelasan Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan ditegaskan bahwa perjanjian bersifat
konsensual dan riil, berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya bersifat riil.
Marhainis Abdul Hay menyatakan sebagai berikut: “Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti,
mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank.”
26
Subekti berpendapat bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diberikan atau diadakan. dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi
adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh BW, Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.
27
Begitu pula menurut Muhammad Djumhana, bahwa perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia adalah salah satu dari
bentuk perjanjian pinjam meminjam seperti diatur Pasal 1754 BW.
28
Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpuikan bahwa dasar perjanjian
Dengan demikian, pembuatan suatu perjanjian kredit dapat mendasarkan kepada
ketentuan-ketentuan yang ada pada BW maupun atas dasar kesepakatan para pihak. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Madam Darus Badrulzaman :
26
Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramitha, 1975 hal. 67.
27
R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,Bandung : Alumni, 1978 selanjutnva disebut Subekti II, hal. 13.
28
Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 472.
Universitas Sumatera Utara
kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Pasal 1754.
29
Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya
uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis
yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil,
yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah.
30
Djuhaendah Hasan berpendapat lain, yaitu bahwa perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUHPerdata, sebab antara
perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian
kredit terletak pada beberapa hal, antara lain: a.
Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah
ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat
menggunakan uangnya secara bebas.
29
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku Standar Perkembangannya Di Indonesia Pidato Pengukuhan Guru Besar, Bandung : Alumni, 1981, selanjutya disebut Mariam
Darus Badrulzaman II, hal. 110-111.
30
Ibid
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank
atau lembaga pembiayaan lihat ketentuan Pasal 1 ayat 12 UU Nomor 7 Tahun 1992 dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan
dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat oleh individu. c.
Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan
umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III KUHPerdata. Sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan bidang
ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUHPerdata, UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang
Ekonomi terutama bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia SEBI, dan sebagainya.
d. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman
itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga inipun baru
ada apabila diperjanjikan. e.
Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan
baik materiil maupun immaterial, sedangkan dalam perjanjian pinjam- meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan hutang
dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan itu hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja.
Universitas Sumatera Utara
Apapun yang merupakan pendapat dari para sarjana tentang sifat dari perjanjian kredit, namun tetap tidak bisa dilepaskan bahwa akar dari perjanjian
kredit itu adalah perjanjian pinjam-meminjam. Seperti dirumuskan oleh Undang- Undang Perbankan tentang pengertian “kredit”, adalah; “. . ., berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminiam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
31
Memahami sifat perjanjian kredit berbagai peraturan perlu ditelaah, seperti BW, Undang-Undang Perbankan dan ketentuan-ketentuan lainnya. Seperti
disampaikan oleh Edy Putra TjeAman, untuk mengetahui sifat perjanjian kredit bank, tidak cukup hanya melihat KUH Perdata BW dan Undang-Undang
Perbankan saja, tetapi juga harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlakudipakai dalam praktek perbankan.
32
3. Bentuk Perjanjian Kredit