Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia Terhadap Objek Jaminan Dalam Kepailitan

(1)

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA

TERHADAP OBJEK JAMINAN DALAM KEPAILITAN

TESIS

Oleh

ANGGIAT FERDINAN

077005002/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S EK

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA

TERHADAP OBJEK JAMINAN DALAM KEPAILITAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister

Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANGGIAT FERDINAN

077005002/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis

:

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT

JAMINAN

FIDUSIA

TERHADAP

OBJEK

JAMINAN DALAM KEPAILITAN

Nama Mahasiswa

: Anggiat Ferdinan

Nomor Pokok

: 077005002

Program Studi

: Ilmu Hukum

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

K e t u a

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS)

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum)

A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi

Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 17 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Berdasarkan titel eksekutorial, pemegang hak jaminan fidusia dapat langsung mengeksekusi hak-haknya atas benda jaminannya untuk mengambil pelunasan piutangnya yang tidak hapus oleh kepailitan dan likuidasi si pemberi fidusia. Dalam kepailitan ditetapkan seorang hakim pengawas untuk mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang diperlukan dalam pemberesan harta pailit, serta kurator yang melaksanakan pengurusan harta kekayaan debitur pailit dapat mengekang kebebasan pemegang hak jaminan fidusia dalam mengeksekusi jaminannya. Sertifikat jaminan fidusia dengan titel eksekutorial memiliki kekuatan hukum terhadap objek jaminan dalam kepailitan, hal demikian menghendaki kejelasan sehubungan kedudukan preferensi pemegang fidusia.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia terhadap objek jaminan dalam kepailitan. Sifat penelitian adalah penelitian normatif. Bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama, sementara data lapangan melalui wawancara sebagai data pendukung. Data yang terkumpul dipilah dan dianalisis secara yuridis, dan terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara logis sistematis dengan metode deduktif dan induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Eksekusi jaminan fidusia berupa eksekusi fidusia dengan titel eksekutorial ; eksekusi secara parate dilakukan melalui pelelangan umum atau dapat dilakukan dengan penjualan di bawah tangan. Pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia yang dinyatakan pailit memperhatikan pembatasan dalam ketentuan Pasal 56 yang menangguhkan hak untuk didahulukan tersebut selama 90 (sembilan puluh) hari. Sedangkan kendala-kendala eksekusi jaminan fidusia adalah objek jaminan fidusia tidak mau deserahkan oleh debitur ; objek jaminan fidusia telah beralih ke pihak ketiga ; persediaan barang/stok barang saat dieksekusi tidak ada ; nilai objek jaminan fidusia berubah ; mahalnya biaya lelang dan penyelenggaraan lelang. Permasalahan dalam praktek peradilan adalah benda jaminan fidusia dalam keadaan rusak atau tidak diketahui keberadaannya ; benda jaminan fidusia merupakan harta bersama. Selain itu ditemukan pula kendala dalam tahap pemberesan harta pailit oleh kurator.

Pembatasan berupa penangguhan eksekusi, diharapkan tidak digunakan untuk melakukan upaya yang merugikan kreditur, dalam hal ini peran hakim pengawas, kurator sangat dibutuhkan untuk mencegahnya. Berbagai putusan pengadilan diharapkan sebagai masukan bagi perkembangan pembentukan peraturan atau regulasi baru untuk menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak.


(6)

ABSTRACT

Based on executorial title, the holder of fiduciary guarantee reserve a right to execute his rights on the collateral to take the full payment of his account receriveble that can not eliminated by bankrutcy and liqudation of fiduciary giver. In bankruptcy case, a supervisor judge assingned to take a decision in settlement the bankrupted property and curator who handle the properties of bankrupt debtor that limit the freedom of the fiduciary holder in execution of the collateral. Fiduciary guarantee object with executorial title has a law power to the collateral in bankruptcy, need a description about the preferential position of fiduciary holder.

This research aims to study the executorial power of fiduciary certificate on the collateral in bankruptcy. This is a normative study. The liberary and document study is a field temporary rata collected throught interview as support data. The collated data is classified and analyzed juridically and the quantitative data is predicate by logical systematic by deductive and inductive method.

The result of study indicates that the executorial power of fiduciary certificate has an equal executorial power as well as the decision of court that a permanent law power. Executorial on fiduciary certificate such as fiduciary executive with executorial title; execution by prate execution in the general auction or execution in prate underhand. The execution on fiduciary collateral in bankruptcy must consider the trem of Artcle 56 that postpone the right for proceeded during 90 (ninety) days. While the execution obstacles on fiduciary collateral is collateral the of fiduciary that did not handover by debitor; the collateral had transferred to the third party; there are not stock of collateral when execution; the value of fiduciary collateral price is changed; the higher price of auction cost. The problem in justice is the fiduciary collateral is a mutual property. In addition, there is obstacles in handle the property of bankrupts by curator.

The limitation such as postponement of execution will applied to do any effort that make the the lost to creditor in which the role of supervisor jugde, curator is very necessary to prevent the lost. Various decision of the court will be input for the development of the new rule and regulation to assure the justice and law certainity for the any people.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

melimpahkan rahmat dan hikmatnya, karena Penulis dapat menyelesaikan studi

pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar

Magister Humaniora, Penulis harus melengkapi syarat tersebut dengan menulis

suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul

Kekuatan Eksekutorial

Sertifikat Jaminan Fidusia Terhadap Objek Jaminan Dalam Kepailitan

.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna

karena keterbatasan kemampuan Penulis. Untuk itu dengan segala kerendahan

hati, Penulis mengharapkan berbagai kritik yang sehat dan saran yang bersifat

membangun dari semua pihak untuk perbaikannya dikemudian hari.

Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepala Badan Pengembangan

Sumber Daya Manusia (BPSDM) Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia, dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan bea

siswa mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana ;

2.

Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis,

DTM&H., SpA(K), para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga

atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Sekolah Pascasarjana (S2) ;


(8)

3.

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr.

Ir. T. Chairun Nisa B, MSc ; Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH ; Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum, Ibu Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., beserta seluruh staf ;

4.

Komisi Pembimbing : Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., selaku

ketua ; Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS., dan Ibu Dr. Sunarmi, SH.,

M.Hum., selaku anggota. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum

beserta Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum selaku Dosen

Penguji.

Pada kesempatan ini, Penulis juga menyampaikan terima kasih dan rasa

hormat kepada isteri tercinta Linda Lasmawati br. Nababan ; anak-anakku

Evan Salomo Panjaitan, Veryan Lawrence Panjaitan dan Devita Priskilia

br. Panjaitan yang dengan hati tulus terus berdoa untuk memberikan dukungan

dan dorongan kepada Penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan penulisan

tesis ini. Terlebih kepada sahabatku Kurniaman Telaumbanua, SH., M.Hum.,

yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu, pikiran, saran dan pendapat,

sehingga Penulis merasa terpacu untuk secepatnya menyelesaikan penulisan tesis

ini. Juga kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebut satu persatu yang turut

serta membantu penyusunan tesis ini.


(9)

Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan

terutama bagi Penulis sendiri dan semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa

melimpahkan rahmat dan anugerahnya kepada kita semua. Amin.

Medan, Juli 2009

Penulis


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor

Judul

Hal

1 Jumlah permohonan pendaftaran jaminan fidusia di Kantor


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal


(12)

DAFTAR SINGKATAN

BHP : Balai Harta Peninggalan BW : Burgelijk Wetboek CV : Comanditaire Vennotschap HAM : Hak Asasi Manusia

HIR : Herziene Indonesische Reglement Kanwil : Kantor Wilayah

KP2LN : Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara KUHD : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPidana : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PN : Pengadilan Niaga

PT : Perseroan Terbatas

RBg : Reglement voor de Buiten gewesten Rv : Reglement of Verordening Tbk : Terbuka

UU : Undang-Undang

UUHT : Undang-Undang Hak Tanggungan UUJF : Undang-Undang Jaminan Fidusia

UUK dan PKPU : Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari keperluan akan dana guna menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat yang kelebihan dana, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakannya, dan di sisi lain ada kelompok masyarakat lain yang memiliki kemampuan untuk berusaha namun terhambat pada kendala karena hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki dana sama sekali. Untuk mempertemukan keduanya diperlukan intermediary yang akan bertindak selaku kreditor yang akan menyediakan dana bagi debitor. Dari sinilah timbul perjanjian utang piutang atau pemberian kredit.1

Kredit merupakan tulang punggung bagi pembangunan bidang ekonomi.2 Ini berarti perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi, dan sebagainya. Perkreditan juga memberikan perlidungan kepada golongan ekonomi lemah dalam pengembangan usahanya.3 Namun harus dipahami bahwa pemberian kredit khususnya oleh perbankan kepada pengusaha selalu mengandung risiko, sehingga sangat diperlukan unsur pengamanan dalam pengembaliannya. Unsur pengamanan (safety) adalah salah satu prinsip dasar dalam peminjaman kredit selain unsur keserasian (suitability) dan keuntungan (profitability). Bentuk pengamanan kredit dalam praktik perbankan dilakukan dengan pengikatan jaminan.

Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah unsur pengaman kredit bank, yang dilahirkan dengan didahului oleh perjanjian kredit bank.4 Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian jaminan

1

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. Vii.

2

Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Kajian Terhadap

Pelaksanaan Jaminan Fidusia Dalam Putusan Pengadilan Di Sumatera Utara, Disertasi, 2002,

hal. 1, sebagaimana dikutip dari Ali Said, Pidato Pengarahan Menteri Kehakiman R.I Dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perkreditan, (Jakarta : BPHN, 1985).

3

Ibid, sebagaimana dikutip dari Sumardi Mangunkusumo, Aspek-aspek Hukum

Perkreditan Golongan Ekonomi Lemah, Kertas Kerja dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum

Masalah Perkreditan, (Jakarta : BPHN Departemen Kehakiman, 1985), hal. 97.

4

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 28.


(14)

fidusia memiliki karakter assessor yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya ditulis UUJF),5 dimana dalam pemberian perjanjian jaminan selalu diikuti dengan adanya perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian utang piutang yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian jaminan ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian jaminannya juga berakhir.6

Sebagai suatu perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut :7

1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok ;

2. Keabsahan semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok ;

3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak terpenuhi.

Sebagai salah satu hak kebendaan, jaminan fidusia menganut prinsip droit de preference yaitu hak didahulukan terhadap kreditur lain untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda jaminan, dan hak tersebut tidak hapus oleh karena kepailitan dan likuidasi si pemberi fidusia.8 Dengan adanya prinsip mendahului ini, kreditur pemegang hak jaminan fidusia dapat langsung mengeksekusi hak-haknya atas benda jaminannnya untuk memenuhi utang dari debitur, hal ini juga terdapat dalam kepailitan yang menyatakan bahwa kreditur pemegang hak jaminan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004).

5

Pasal 4 UUJF menyatakan, “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu

perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. 6

Euginia Liliawati Muljono, Tinjauan Juridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, (Jakarta :

Harvarindo, 2003), hal. 18.

7 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada, 2003), hal. 131.

8


(15)

Sebagaimana dengan hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, UUJF juga mengatur sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama kekuatannya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan titel eksekutorial tersebut, penerima fidusia (kreditur) dapat langsung mengeksekusi melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan, di samping UUJF juga memberikan kemudahan eksekusi kepada penerima fidusia (kreditur) melalui lembaga parate eksekusi.9

Dalam eksekusi ini, bank sebagai kreditur fidusia memiliki kepentingan atas jaminan fidusia berdasarkan perjanjian jaminan khusus.10 Apabila debitur wanprestasi maka bank dapat mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang jaminan fidusia. Dalam hal terjadi kepailitan, maka menarik untuk dianalisa bagaimana status barang jaminan fidusia yang telah dibebani dengan fidusia. Apakah kreditur fidusia diakui sebagai kreditur murni sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UUJF. Sejauhmana sertifikat jaminan fidusia dengan titel eksekutorial yang dimiliki oleh kreditur memiliki kekuatan hukum terhadap objek jaminan dalam kepailitan, hal demikian menghendaki kejelasan sehubungan dengan kedudukan preferensi pemegang fidusia.

Terlepas dari masih adanya berbagai permasalahan hukum dalam pelaksanaan titel eksekutorial sertifikat jaminan fidusia, lembaga jaminan fidusia tetap menjadi lembaga pengamanan kredit bank. Dari data pra penelitian yang diperoleh dari Kantor Pendaftaran Fidusia di Medan sejak tahun 2003 sampai dengan Maret 2009 jumlah permohonan pendaftaran jaminan fidusia sebanyak 24.985 permohonan dengan perincian sebagai berikut:

9

Fred B.G. Tumbuan, Mencermati Pokok-Pokok Rencana Undang-Undang Fidusia, Penelitian Hukum Newsletter, No. 38/X/September/1999, hal. 18.

10

Perjanjian jaminan khusus maksudnya perjanjian jaminan yang bukan lahir karena Pasal 1131 KUH Perdata melainkan perjanjian yang dibuat antara kreditur penerima fidusia dengan debitur pemberi fidusia dengan menunjuk benda-benda tertentu sebagai jaminan fidusia, sebagaimana dikutip dari, Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Kajian

Terhadap Pelaksanaan Jaminan Fidusia Dalam Putusan Pengadilan Di Sumatera Utara,


(16)

Tabel 1. Jumlah Permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia Medan

No Tahun Jumlah Permohonan

1. 2003 2.542

2. 2004 2.506

3. 2005 3.077

4. 2006 2.342

5. 2007 3.907

6. 2008 8.333

7. s/d Maret 2009 2.278

Jumlah 24.985

Sumber: Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara.

Krisis moneter yang telah melanda negara-negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian dan perdagangan nasional, sehingga kinerja perekonomian di Indonesia menurun tajam dan berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di segala bidang. Krisis tersebut antara lain telah menimbulkan kesulitan pengembangan usaha yang sangat mempengaruhi kemampuannya untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya kepada kreditur, dikarenakan perbedaan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat yang sangat tinggi, utang dalam mata uang asing tidak dapat dibayar dalam mata uang rupiah.

Dalam penyelesaian utang piutang, diberikan kesempatan kepada kreditur dan debitur untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif dari suatu


(17)

perangkat hukum yang mendukungnya. Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang piutang tersebut adalah Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.11 Oleh karena itu lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam dunia usaha, karena dengan adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar atau terpaksa bahkan mungkin dipaksa keluar dari pasar, dalam hal inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan.12

Perkara permohonan kepailitan adalah perkara yang diajukan pada Pengadilan Niaga. Permohonan dapat diajukan oleh debitur, kreditur atau para kreditur, kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia apabila menyangkut debitur yang merupakan bank, serta Badan Pengawas Pasar Modal bila menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek. Apabila permohonan pailit diterima oleh pengadilan, maka akan ditetapkan siapa Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan Niaga untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit serta untuk mengeluarkan ketetapan yang diperlukan dalam proses pasca kepailitan. Di samping itu ditetapkan juga seorang kurator untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta pailit yang meliputi penyelamatan, pengelolaan, penjaminan, dan penjualan harta pailit yang dilakukan dimuka umum dengan seizin Hakim Pengawas.

Permasalahan yang akan dihadapi oleh kreditur separatis yang kedudukannya secara tegas telah dijamin oleh UUJF sebagai kreditur yang mempunyai hak-hak untuk didahulukan terhadap kreditur lainnya dan dapat melaksanakan eksekusi terhadap objek hak jaminan fidusia berdasarkan kekuasaannya sendiri tanpa memerlukan ijin dari pengadilan13, tetapi dalam kepailitan telah ditetapkannya seorang hakim pengawas untuk mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang diperlukan dalam pemberesan harta pailit dalam proses pasca kepailitan serta kurator yang akan melaksanakan pengurusan dan pemberesan terhadap harta kekayaan debitur pailit yang dapat

11

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 32.

12

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2002), hal.2

13


(18)

mengekang kebebasan hak dari kreditur separatis, khususnya kreditur pemegang hak jaminan fidusia dalam mengeksekusi jaminannya.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan hukum yang ada dalam jaminan fidusia khususnya mengenai kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia terhadap objek jaminan fidusia dalam hukum kepailitan, menarik untuk diteliti sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul, ”Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia Terhadap Objek Jaminan

Dalam Kepailitan”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti untuk dianalisa dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia dapat memberikan perlindungan kepada pemegang hak jaminan fidusia dalam kepailitan ?

2. Bagaimana proses pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dalam kepailitan ? 3. Kendala-kendala apa yang dapat menghambat proses eksekusi terhadap objek jaminan fidusia

dalam kepailitan ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia dapat memberikan perlindungan kepada pemegang hak fidusia dalam kepailitan ;

2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dalam kepailitan ;

3. Untuk mengatasi solusi terhadap kendala-kendala yang dapat menghambat proses eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dalam kepailitan.


(19)

Terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam tataran akademis maupun dalam tataran praktis, yakni

a. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum yang berkaitan dengan hukum jaminan fidusia dan hukum kepailitan ;

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi praktisi hukum sebagai bahan masukan dalam menangani masalah yang terjadi dalam eksekusi objek jaminan dalam kepailitan yang dibebani dengan jaminan fidusia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara Medan, penelitian terdahulu mengenai hukum jaminan fidusia dan kepailitan sudah pernah dilakukan antara lain: “Praktik Fidusia Sebagai Lembaga Jaminan Ditinjau dari Aspek Keamanan

Kredit Bank dan Perkembangannya”, oleh Dwi Pujo Prayitno (NIM: 923105006); “Perjanjian

Jaminan Fidusia Yang Bertendensi Hukum Setelah UU No. 42/1999 (Studi Kasus Pada Pengadilan Medan)”, oleh Ade Sofia Siregar (NIM: 027005027); “Eksekusi Barang Jaminan Fidusia Yang

Lahir Dari Perjanjian Kredit Bank (Studi Pada Bank Pemerintah di Kota Medan)”, oleh Emmi

Rahmiwita (NIM: 027005007); “Analisis Yuridis Fungsi dan Peran Kantor Pendaftaran Fidusia

Ditinjau Dari UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Suatu Penelitian di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumut)”, oleh Juraini Sulaiman (NIM: 047005035); namun penelitian ini berbeda dalam topik dan permasalahannya.

Dengan demikian, penelitian tesis ini dapat dikatakan “asli”, jauh dari unsur plagiat yang

bertentangan dengan asas-asas keilmuan yakni kejujuran, rasional, objektif dan terbuka, sehingga kebenaran penelitian juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(20)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Di dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa “untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis”.14

Tugas yang sangat fundamental hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan.15 Selanjutnya agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian di sini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan.16

Inti kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya berlakunya menurut wilayah atau golongan masyarakat tertentu. Hakekatnya adalah suatu kepastian, tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan masalah hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, apakah hak dan kewajiban para warga masyarakat, dan seterusnya.17

Berkaitan dengan penyelesaian masalah hukum yang terjadi di antara para warga masyarakat dan bagaimana peran dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).18 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750,19 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice). Smith

14

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia, 1982), hal. 37.

15

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta : Binacipta, 1983), hal. 42.

16

Ibid.

17

Ibid.

18

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal 85.

19

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5.


(21)

mengatakan bahwa : ‘Tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian’ (the goal of justice is to secure from injury).20

Menurut Satjipto Rahardjo, “Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasaan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.21

Salah satu filosofi hukum kepailitan ialah adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberi manfaat, kegunaan dan kepastian hukum. Keadilan menurut Aristoteles ialah perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik untuk menentukan siapa saja yang harus diperlakukan sama atau sebaliknya.22

Aristoteles menyatakan bahwa ukuran keadilan adalah bahwa :23

a. Seorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawfull” yaitu

hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti, dan ;

b. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan hak.

Menurut W. Friedman, suatu undang-undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi tersebut.24 Oleh karena itu hak preferen dari kreditur pemegang hak jaminan fidusia tersebut ditangguhkan agar memberikan keadilan kepada debitur agar tercapai perdamaian, kepada kreditur selain kreditur separatis agar harta pailit dapat dioptimalkan sehingga dapat dibagikan kepada setiap kreditur

Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith on Law”, Valvaraiso University Law

Review, Vol. 15, 1981 hal, 244

20

Ibid, sebagaimana dikutip dari R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of

jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982, hal. 9 21

Satjipto Rajardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, 2000), hal. 53.

22

Lawrance M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wishnu Bhakti, (Jakarta : PT. Tata Nusa, 2001), hal. 4.

23

Aristoteles, Ethics, Terjemahan kedalam Bahasa Inggeris oleh JAK Thomson, Harmondsworth, (Middlesex, England : Penguin Book Ltd, 1970), hal. 140.

24 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta : Raja


(22)

sesuai dengan haknya masing-masing, dan juga kepada kurator agar dapat mengoptimalkan hasil kerjanya.25

Selanjutnya jika dikaitkan nilai keadilan dan kepastian hukum yang terkandung dalam hukum kepailitan dengan lembaga fidusia maka keduanya terdapat hubungan hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang. Fidusia secara etimologi berasal dari kata “Fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, korelasi yuridis antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa Penerima Fidusia akan bersedia mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilakukan pelunasan utang.26 Dalam sejarahnya lembaga jaminan fidusia27 di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”.

Munculnya lembaga ini dikarenakan adanya perkembangan dari dunia perdagangan yang pesat, dimana kebutuhan akan modal dalam jumlah banyak juga sangat besar. Para pengusaha termasuk para importir sering kali melihat barang dagangannya sebagai benda yang bisa mempunyai nilai tinggi, akan tetapi mengingat bahwa barang dagangan itu berupa barang-barang bergerak yang apabila dijaminkan benda/barang-barang tersebut harus diserahkan kepada kreditur, sedangkan mereka menginginkan suatu jaminan yang benda/barang jaminannya tetap di tangan mereka dengan tujuan benda/barang tersebut tetap menghasilkan nilai atau mungkin mendapatkan nilai yang lebih. Akan tetapi apabila melakukan hal tersebut, maka mereka terbentur pada ketentuan Pasal 1152 KUHPerdata tentang gadai dikarenakan pada gadai asas umum mengenai

bezit adalah tidak memperbolehkan adanya penyerahan secara constitutum posessorium.

25

Pasal 56 UUK dan PKPU.

26

Lihat dalam Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Seri Hukum Bisnis, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000), hal.113.

27

Pasal 1 UU No.42 Tahun 1999, ayat (1) menyatakan “Fidusia adalah hak kepemilikian

suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

Bandingkan dalam ayat (2) memberikan pengertian tentang “Jaminan Fidusia adalah hak

jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”


(23)

Hukum jaminan dalam pengaturannya berdasarkan kepada KUHPerdata yang mengenal prinsip pembagian benda. KUHPerdata membagi benda menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu benda bergerak dan benda tetap atau tidak bergerak (Pasal 504 KUHPerdata). Pembagian benda tersebut lebih dijabarkan dalam Hukum Jaminan, yaitu untuk benda bergerak disediakan lembaga jaminan gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata), sedangkan untuk benda tetap disediakan lembaga jaminan hipotik (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata).

Dalam Pasal 1131 KUHPerdata28 disebutkan tentang dasar tanggung jawab perdata seseorang atas perikatan/hutang-hutangnya yaitu, ”segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.

Adapun yang dimaksudkan dengan pengertian perikatan dalam ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut adalah hutang-hutang perikatan, atau dengan perkataan lain, kewajiban prestasi perikatan yang berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata yang dapat dikelompokkan menjadi kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Maka dapat dikatakan bahwa Pasal 1131 KUHPerdatalah diatur prinsip tanggung jawab orang atas hutang-hutangnya.

Di dalam Pasal 1132 KUHPerdata ini dikenal dengan prinsip persamaan kedudukan dari para kreditur yaitu pada asasnya para kreditur sama tinggi, baik yang tagihannya sudah lama maupun masih baru. Perwujudan persamaan itu dirumuskan dalam bentuk pembagian hasil penjualan harta kekayaan debitur secara pond’s-gewijs, yaitu menurut perimbangan besar kecilnya

masing-masing tagihan.

Perkecualian atas prinsip persamaan kedudukan dari semua kreditur hanya bisa berlaku bila ada alasan yang sah untuk mendahulukan kreditur tertentu. Maksud mendahulukan kreditur dalam hal mengambil perlunasan atas hasil eksekusi harta kekayaan debitur, sehingga kreditur tersebut termasuk kedalam kelompok yang didahulukan (kreditor preferen).

28

Secara umum untuk pengertian benda seperti yang telah disebutkan dalam pasal ini sesuai dengan pasal 504 KUHPerdata dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu benda yang bergerak dan yang tidak bergerak, maka tanggung jawab si berhutang menurut pasal tersebut diatas pada asasnya adalah meliputi harta si berhutang.


(24)

Dalam hukum acara perdata terdapat tiga jenis pelaksanaan putusan yaitu :29

1. Eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang, eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg.

Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka setelah sita jaminan itu dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial, kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan. Sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim, ditambah biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.30

2. Eksekusi yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan.

Hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR atau Pasal 259 RBg. Pasal tersebut mengatur pelaksanaan putusan hakim dimana seseorang dihukum untuk melakukan atau perbuatan, misalnya memperbaiki pagar, saluran air yang dirusak olehnya, memasang kembali pipa gas yang karena kesalahannya untuk telah diangkat dan sebagainya. Perbuatan semacam itu tidak dapat dilaksanakan dengan paksa. Seandainyapun ada penghukuman uang paksa untuk tiap hari keterlambatan memperbaiki misalnya, tergugat dihukum untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 1000,- apabila tergugat tidak mau membayarnya, maka ia tidak dapat dipaksakan untuk melakukannya. Tidak dapat misalnya tergugat dibawa kekantor polisi untuk ditahan, tidak dapat misalnya disuruh untuk mengerjakan apa yang ia harus kerjakan itu dengan ditodong atau ditunggu atau diawasi oleh yang berwajib. Menurut Pasal 225 HIR yang dapat dilakukan ialah menilai perbuatan yang dilakukan tergugat dalam bentuk jumlah uang.31

3. Eksekusi riil.

Eksekusi riil32 tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam pasal 1033 Rv, yang dimaksudkan di sini ialah pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Apabila orang yang dihukum itu tidak mau memenuhi surat perintah hakim untuk

29

M. Yahya Harahap membagi eksekusi dalam 2 (dua) bentuk ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai yaitu eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang; M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan EKSEKUSI Bidang Perdata, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 20.

30

Ny. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam

Teori dan Praktik, (Bendung : Mandar Maju, 1989), hal.1. 31

Ibid, hal. 127-128.

32 Menurut M. Yahya Harahap, ada kalanya sasaran hubungan hukum yang hendak

dipenuhi sesuai dengan amar dictum putusan ialah melakukan tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut eksekusi riil, M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 21.


(25)

mengosongkan benda tetap itu, maka hakim akan merintahkan kepada juru sita dengan bantuan panitera pengadilan untuk mengosongkannya. Jika perlu dengan bantuan alat hukum negara, agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya. Dari beberapa teori dan pendapat para ahli tentang pelaksanaan putusan (eksekusi), bahwa di dalam jaminan fidusia apabila debitur wanprestasi (ingkar janji)33, sangat sulit dalam pengeksekusiannya. Hal ini dikarenakan barang jaminan seringkali tidak dapat ditemukan, ada tetapi tidak dalam kondisi yang baik ataupun habis terpakai.

Di dalam jaminan fidusia menurut UUJF, pelaksanaan dari eksekusi jaminan atas barang yang disita digunakan beberapa cara, yaitu :34

1. Dengan memakai title eksekutorial, yakni lewat suatu penetapan pengadilan ;

2. Secara parate eksekusi, yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan pengadilan di depan pelelangan umum ;

3. Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditur sendiri.

Dalam hal kreditur penerima fidusia mengambil pelunasan hutang atas tagihan dalam hal debitur wanprestasi, dapat menggunakan beberapa cara yaitu :

1. Melalui gugatan biasa ;

2. Mendasarkan kepada grosse sertifikat jaminan fidusia ; 3. Melalui parate eksekusi.

Walaupun tidak secara tegas dijelaskan, tetapi sesuai dengan pengertian parate eksekusi yang selama ini dianut, maka kreditur dapat melaksanakan parate eksekusi berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia, tanpa harus mengikuti prosedur hukum acara, tanpa perlu fiat eksekusi dari pengadilan, tanpa memerlukan penyitaan dan tanpa perantaraan juru sita. Akan tetapi untuk melindungi kepentingan pemberi jaminan fidusia, pelaksanaan eksekusi harus dilaksanakan di depan umum melalui juru lelang, kecuali untuk benda-benda tertentu, penjualannya dapat dilakukan menurut cara yang disebutkan dalam Pasal 31 UUJF, yaitu, “dalam

33

Istilah wanprestasi dalam UU Jaminan Fidusia adalah cidera janji atau ingkar janji. Hal ini tertuang dalam Pasal 15 ayat (3), Pasal 21 (2) dan (4), Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 38. Lihat Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : Alumni, 2004), hal. 238.


(26)

hal benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual dipasar atau bursa, penjualannya dapat dilakukan ditempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Bila diteliti antara Pasal 1155 KUHPerdata dengan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia memiliki perbedaan yang penting yaitu tentang pengaturan pelaksanaan parate eksekusi. Di dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak mengatur pelaksanaan daripada parate eksekusi, sedangkan dalam Pasal 1155 KUHPerdata ditetapkan bahwa eksekusi itu harus dilaksanakan melalui suatu penjualan di muka umum yang berarti harus dilelang menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta dengan syarat-syarat yang lazim berlaku. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia hanya menyatakan bahwa penjualan berdasarkan parate eksekusi dilakukan melalui pelelangan umum.

Untuk objek jaminan fidusia dapat dilihat tentang pembagian benda yang dikenal dalam Buku II KUHPerdata,35 yaitu benda dapat dibedakan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (4) UU Jaminan Fidusia memberikan pengertian bahwa benda yang dimaksud adalah benda yang berwujud dan tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak dan yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.36

Fidusia sendiri sebagai lembaga jaminan kebendaan dapat dibebankan terhadap benda bergerak yang meliputi benda bergerak berwujud dan benda bergerak tidak berwujud. Untuk benda bergerak berwujud seperti barang-barang perniagaan, inventaris, ternak, kapal yang tidak terdaftar, kendaraan bermotor, hasil pertanian, barang-barang rumah tangga dan lain-lain.37 Sedangkan benda bergerak tidak berwujud seperti piutang atas nama.38

34

Perhatikan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.

35

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, Objek fidusia meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak, sepanjang benda tidak bergerak itu tunduk kepada peraturan pendaftaran : Mariam Darus Badrulzaman, Aneka hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 99.

36

Lihat pengertian benda pada Pasal 1 ayat (4) UU Jaminan Fidusia.

37

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab tentang Credietverband Gadai & Fidusia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 102.

Mengingat luasnya benda bergerak yang dapat dijaminkan secara fidusia, maka Mariam Darus berpendapat perlu adanya pembatasan-pembatasan objek fidusia untuk melindungi rakyat


(27)

Mengenai benda tidak bergerak (tetap) sebagai objek jaminan fidusia di dalam pandangan para sarjana terdapat perbedaan, seperti pendapat Pitlo yang dikutip Sri Soedewi di dalam bukunya bahwa fidusia juga dapat dilaksanakan terhadap benda-benda tetap, meskipun dalam praktik tidak banyak terjadi karena jika dibandingkan dengan hipotik bagi para berpiutang, bentuk jaminan hipotik lebih kuat.39

Sekalipun dalam praktik, jaminan fidusia dapat diletakkan atas benda bergerak dan benda tetap, namun pengadilan hanya mengakui fidusia atas benda bergerak. Hal ini dapat dilihat dari Keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1951 Nomor 158/1950 dan Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 September 1971 Nomor 372 K/Sip/1970 yang berpendapat bahwa objek jaminan fidusia hanya dapat dipergunakan untuk barang-barang bergerak, tetapi apabila dilihat kembali UUJF, penangguhan hak preferen dari kreditur separatis yang dilakukan oleh UUK dan PKPU tersebut merupakan tindakan yang dapat mengekang hak dari kreditur separatis tersebut dan kurang dihormatinya lembaga jaminan tersebut. Hal ini karena ketentuan penangguhan tersebut yang terdapat dalam Pasal 56 UUK dan PKPU merupakan pelanggaran prinsip hukum yang ada di dalam Pasal 55 UUK dan PKPU dan prinsip hukum jaminan. Pada penjelasan Pasal 56 dikatakan tujuan penangguhan tersebut antara lain untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, atau untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit, atau untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Sebenarnya perdamaian dalam kepailitan lebih diutamakan kepada kreditor bersaing atau kreditur konkuren dan tidak terlalu memperhatikan kreditur separatis sebagaimana yang tersirat pada Pasal 162 UUK dan PKPU.40 Dengan adanya pengekangan hak kreditur separatis dan adanya ketidakpastian hukum dari UUK dan PKPU itu sendiri mengakibatkan kurangnya perlindungan hukum terhadap kreditur separatis tersebut terutama dalam saat eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.

kecil dan pengusaha ekonomi lemah sehingga objek fidusia hanya untuk barang-barang perniagaan saja.

38

Sri Soedewi, Bebarapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia

Di Dalam Praktik Dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Bandung : Fakultas Hukum Universitas

Gajah Mada, 1977), hal.32.

39


(28)

Roscoe Pond dalam bukunya Scope and Purpose Of Sociological Jurisprudence,41

menyebutkan ada beberapa kepentingan yang harus mendapat perlindungan atau dilindungi oleh hukum, yaitu : Pertama, kepentingan terhadap Negara sebagai suatu badan yuridis, Kedua, kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan sosial, Ketiga, kepentingan terhadap perseorangan terdiri dari pribadi, hubungan-hubungan domestik, kepentingan substansi. Dari pendapat Roscoe Pond tersebut, dapat dilihat bahwa sangat diperlukannya suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan perseorangan, karena dengan adanya perlindungan hukum akan tercipta suatu keadilan.

Melalui teori hukum jaminan yang menyatakan apabila si debitur mengalami kepailitan, maka benda yang ia jaminkan kepada kreditur pemegang hak jaminan fidusia berada di luar boedel kepailitan. Oleh karena itu kreditur separatis berhak atas pendahuluan akan haknya dari kreditur lainnya yaitu atas pelunasan utang dari debitur melalui mengeksekusi benda jaminan tersebut. Hal ini didukung oleh UUJF yang tersirat pada Pasal 27 UUJF dan juga pada UUK dan PKPU yang tersirat pada Pasal 55 UUK dan PKPU. Kurator tidak berhak mengambil benda jaminan yang ada pada si debitur karena benda jaminan tersebut tidak termasuk dalam harta pailit si debitur. Oleh karena itu maka penangguhan hak kreditur separatis oleh UUK dan PKPU tidak dapat dilakukan karena dapat memberikan ketidakadilan bagi kreditur separatis tersebut.

2. Konsepsional

Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan dalam tesis ini antara lain:

1. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda ;42

40

Pasal 162 UUK dan PKPU menyatakan bahwa “perdamaian yang disahkan berlaku

bagi semua kreditur yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan, dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak.

41

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra ASditya Bakti, 2000), hal. 298.

42


(29)

2. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya ;43

3. Objek Jaminan Fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik ;44

4. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum ;45

5. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum ;46

6. Kreditur Preferen adalah kreditur pemegang jaminan fidusia yang memiliki hak secara didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia ;

7. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah hakim pengawas.47

8. Kekuatan Eksekutorial adalah kekuatan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.48

9. Sertifikat Jaminan Fidusia adalah sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan oleh kantor pendaftaran fidusia yang mencantumkan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN

43

Pasal 1 ayat (2) UUJF.

44

Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 3 UUJF.

45

Pasal 1 ayat (2) UUK dan PKPU.

46 Pasal 1 ayat (3) UUK dan PKPU. 47

Pasal 1 ayat (1) UUK dan PKPU

48


(30)

KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang memiliki kekuatan eksekutorial yang sama

dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.49

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian normatif, yakni dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui telaah norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Menurut Ronald Dworkin, penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang menganalisa baik hukum sebagai law is written in book, maupun hukum sebagai law as it decided by the judge throught judicial process.50

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasikan dan menganalisa teori-teori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

2. Sumber Data

Sumber data diperoleh dari data primer dan sekunder. Dilihat dari sudut informasi sumber data penelitian kepustakaan (library research), dapat dibagi atas 3 (tiga) kelompok,51 yaitu : a. Bahan Hukum Primer, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ;

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti data dari Balai Harta Peninggalan (BHP) berupa putusan pengadilan,

49

Bandingkan dengan Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJF.

50

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

51

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan


(31)

hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek penelitian ini ;52

c. Bahan Hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedi, dan kamus bahasa Indonesia.53

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Hasil penelitian yang diperoleh melalui studi kepustakaan dianalisa secara kualitatif dengan pendekatan normatif, dan juga dilakukan penelitian ke lapangan guna melengkapi bahan primer berupa dokumen-dokumen dan wawancara dengan pihak Balai Harta Peninggalan (BHP) dan kepada pihak Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara sebagai instansi yang menerbitkan sertifikat jaminan fidusia.

4. Analisis Data

Setelah semua data primer dan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library

research) serta data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara, maka dilakukan pemeriksaan

dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

52

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.

53

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan


(32)

Metode induktif maksudnya menarik dari generalisasi yang berkembang dalam praktik eksekusi objek jaminan fidusia dalam kepailitan. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum dalam menganalisa kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia dalam hukum kepailitan.

Dengan menggunakan metode deduktif dan induktif ini, akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia dapat memberikan perlindungan kepada kreditur pemegang fidusia khususnya dalam hal eksekusi objek jaminan dalam kepailitan. Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.


(33)

BAB II

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN

FIDUSIA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN

KEPADA PEMEGANG HAK FIDUSIA DALAM KEPAILITAN

A. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia dan Kepailitan

1. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Fidusia

a. Pengertian Fidusia

Pengaturan umum yang berkaitan dengan lembaga jaminan di Indonesia diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, dimana ditentukan bahwa segala kebendaan pihak yang berutang atau debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Selanjutnya Pasal 1132 KUHPerdata mengatur bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara pihak yang mempunyai piutang tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Mengenai lembaga jaminan ini Mariam Darus B., menyatakan bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan54. Keberadaan lembaga jaminan diberikan guna melindungi kepentingan kreditur atas pengembalian modal yang telah diberikannya kepada debitur melalui suatu perikatan khusus yang bersifat accessoir dari perjanjian pokok oleh debitur dengan kreditur.

Jaminan yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia objeknya dapat berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak, bersifat hak kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 528 KUHPerdata yang absolut mutlak, dapat dipertahankan terhadap siapapun dan droit


(34)

accessoir atau ikutan yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya, yang biasanya berupa perjanjian pinjam uang, serta adanya hak preferen yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain. Mengenai hak preferen ini diatur dalam Pasal 1133, 1134 dan 1198 KUHPerdata.

Jenis jaminan terbagi atas jaminan perorangan dimana adanya pernyataan pihak ketiga untuk menjamin pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur dalam hal debitur wanprestasi dan jaminan kebendaan yaitu jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak kebendaan,55 yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari harta kekayaan baik debitur maupun pihak ketiga guna menjamin pemenuhan kewajiban debitur jika wanprestasi. Yang dapat digunakan sebagai jaminan bisa berupa benda berwujud, benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak berwujud. Guna melindungi kepentingan kreditur agar ia mendapat hak preferen dalam mengembalikan utang dan sebagai alat bukti yang sah, maka terhadap jaminan yang diberikan debitur haruslah dilakukan dengan pengikatan atau pembebanan hak. Karena bentuk jaminan tersebut merupakan perjanjian accessoir56 yang dibuat mengikuti perjanjian pokok antara kreditur dengan debitur.

Perjanjian pokok tersebut menimbulkan suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana pihak kreditur memberikan pinjaman modalnya sedangkan pihak debitur berkewajiban mengembalikan modal tersebut. Syarat sah dari perjanjian pokok menjadi dasar dan melahirkan adanya suatu jaminan sangatlah penting agar jaminan tersebut dapat dilaksanakan. Terhadap perjanjian pokok demikian juga dengan perjanjian jaminan tersebut syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian tunduk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

54

Bactiar Sibarani, Aspek Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia, Makalah disampaikan pada Seminar Sosialisasi UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jakarta, 9-10 Mei 2000.

55

Hak kebendaan adalah hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.

56

Adalah suatu perjanjian yang merupakan suatu “embel-embel” atau buntut daripada

suatu perjanjian lain yang dinamakan “perjanjian pokok” yang lazimnya adalah suatu perjanjian

pinjam uang. (kamus hukum oleh Subekti dan R. Tjitrosoedibyo, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal. 8).


(35)

a. Kesepakatan antara pihak yang mengadakan perjanjian ;

b. Kecakapan dari para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut ; c. Adanya objek yang dijadikan perjanjian ;

d. Adanya suatu sebab yang halal.

Syarat dari point a dan b disebut juga dengan syarat subjektif karena melihat dari subjek atau para pihak yang akan mengadakan perjanjian. Kata sepakat antara pihak diperlukan untuk adanya suatu perjanjian. Kesepakatan ini harus terlepas dari adanya paksaan baik terhadap pihak itu sendiri maupun terhadap kerabat dekatnya yang berpengaruh terhadap pihak yang akan mengadakan perjanjian. Juga adanya unsur kehilafan dan penipuan dari salah satu pihak dapat membatalkan adanya kesepakatan tersebut. Kesepakatan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap menurut undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum yang akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi dirinya, juga dalam kedudukannya baik sebagai kuasa maupun sebagai wali atau pengampu. Syarat subjektif tersebut dalam hal tidak dipenuhi dalam perjanjian maka berakibat pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan pembatalan.

Syarat selanjutnya adalah dalam point c dan d merupakan syarat objektif suatu perjanjian, dimana apabila tidak dipenuhinya syarat tersebut akan berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Yaitu adanya suatu objek yang akan diperjanjikan, secara logis apabila objek yang diperjanjikan tidak ada maka perjanjian itu sendiri tidak ada. Sedangkan syarat adanya suatu sebab yang halal berhubungan dengan adanya sebab-sebab yang secara jelas dalam undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum yang berlaku dalam masyarakat disebutkan sebagai sebab yang dilarang karena akan membawa dampak buruk terhadap masyarakat.

Kebebasan para pihak untuk membuat perjanjian apapun sepanjang telah dipenuhinya syarat-syarat tersebut oleh undang-undang diberikan perlindungan. Perjanjian yang memenuhi syarat-syarat di atas secara hukum telah mengikat para pihak dan harus dilaksanakan karena bagi para pihak berlaku sebagai undang-undang. Termasuk di dalamnya hak dan kewajiban bagi para pihak yang telah di sepakati dan di tuangkan dalam bentuk


(36)

perjanjian. Karena perjanjian tersebut melahirkan suatu perikatan yang memberikan kepada pihak yang satu untuk memberikan prestasi dan pihak yang lain untuk menuntut prestasi tersebut. Prestasi menurut undang-undang dapat berupa :57

1. Menyerahkan suatu barang ; 2. Melakukan suatu perbuatan ; 3. Tidak melakukan suatu perbuatan.

Sesuai dengan tata cara pembebannya maka bentuk jaminan tersebut akan memberikan kekuatan eksekutorial kepada para pemegangnya, yaitu suatu eksekusi atau pelaksanaan putusan dengan tanpa perlu adanya putusan pengadilan karena hak jaminan tersebut telah memberikan kekuatan untuk langsung melaksanakannya.

Dewasa ini dikenal sejumlah bentuk jaminan yang telah diatur oleh pemerintah, yaitu hak tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan beserta benda-benda yang ada di atasnya. Hipotik diatur dalam Pasal 1162 s/d 1232 KUHPerdata dan Pasal 314 KUHD. Untuk benda bergerak, jaminan gadai diatur dalam Pasal 1150 – 1160 KUHPerdata. Untuk Jaminan fidusia telah dikeluarkan UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Serta jaminan pribadi (borgtocht/personal guarantee) diatur dalam Pasal 1820–1850 KUHPerdata.

Jaminan fidusia merupakan lembaga yang diperuntukkan terhadap benda-benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud. Keadaanlah yang menimbulkan lembaga jaminan ini. Karena dengan kemudahan yang diberikan yaitu bagi debitur dapat memperoleh pinjaman sebagai modal usaha tanpa harus menyerahkan benda yang dijadikan sebagai jaminan. Apalagi jika benda tersebut adalah alat yang dipergunakan untuk menjalankan usahanya. Sebagai hak jaminan maka diberikan suatu keistimewaan oleh undang-undang yaitu dengan adanya kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bagi pemegang jaminan fidusia apabila debitur

57

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXVI (Jakarta : Intermasa, 1984) hal.123.


(37)

wanprestasi. Hak istimewa ini diberikan untuk memberikan jaminan bagi kepentingan kreditur dari debitur yang mencoba menghindari kewajibannya.

Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. UU No. 42 Tahun 1999 menggunakan istilah fidusia sehingga istilah tersebut telah menjadi yang resmi dalam hukum Indonesia. Pengertian fidusia dapat pula diartikan sebagai penyerahan hak milik secara kepercayaan. Dalam bahasa Belanda disebut Fiduciare Eigendom Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan Fiduciary Transfer of Ownership.

Fidusia adalah hak kepemilikian suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.58

Yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud dan tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana diatur dalam undang-undang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan debitur atau pemberi fidusia sebagai agunan59 bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur atau penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.60 Pengalihan hak kepemilikan tersebut semata-mata sebagai jaminan bagi pelunasan utang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh kreditur atau penerima fidusia.

Jaminan fidusia muncul dalam perkembangan akan kebutuhan suatu lembaga jaminan yang dapat memberikan kemudahan baik kepada kreditur maupun debitur. Adanya lembaga jaminan sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan dan kepastian serta rasa aman dalam dunia perekonomian. Kebutuhan akan modal yang terus meningkat dalam rangka memajukan suatu usaha tidak terlepas dari adanya lembaga jaminan ini. Modal diperlukan baik untuk memulai suatu usaha maupun untuk mengembangkan menjadi lebih maju dan dapat bersaing di pasaran. Kebutuhan akan peningkatan modal ini dapat diperoleh

58

Pasal 1 butir 1 UUJF.

59

Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah (Pasal 1 ayat (23) UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan).


(38)

salah satunya dengan cara memperoleh kredit baik dari bank maupun non bank sebagai pihak kreditur. Sehingga akan tercipta suatu perikatan, dalam hal ini hubungan hutang piutang.

Pihak kreditur akan memberikan modal kepada debitur dengan kewajiban debitur untuk mengembalikannya sesuai dengan yang diperjanjikan dan pihak kreditur berhak untuk memperoleh pengembalian atas modalnya beserta bunganya. Kreditur akan memberikan suatu pinjaman modal kepada debitur dengan terlebih dahulu memperoleh keyakinan akan mendapatkan modalnya kembali bahkan dengan memperoleh keuntungan. Untuk itu pihak kreditur akan memberikan syarat-syarat yang dirasa dapat melindungi kepentingannya. Salah satu syarat di antaranya dengan adanya suatu jaminan dari pihak debitur. Demikianlah lembaga jaminan dirasakan perlu keberadaan dalam dunia perekonomian. Jaminan bagi pihak kreditur dalam hukum Indonesia telah dilindungi dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

b. Sifat Jaminan Fidusia

Ketentuan UUJF secara tegas menyatakan jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid, security right in rem) yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya.61 Hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi pemberi fidusia.62

Pasal 4 UUJF juga secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut :63

a. sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok ;

b. keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok ;

60

Pasal 2 butir 2 UUJF.

61 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 131. 62

Perhatikan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UUJF.

63


(39)

c. sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

Penerima fidusia adalah kreditur baik perseorangan maupun korporasi yang memberi piutang kepada debitur yang menerima penyerahan hak milik dari tangan pemberi fidusia untuk kemudian penguasaannya diberikan kembali kepada debitur untuk dimanfaatkan. Kreditur berkedudukan sebagai penerima jaminan, oleh karena benda atau barang yang dijaminkan tersebut merupakan hak milik, maka kreditur dapat melakukan beberapa tindakan seperti layaknya seorang pemilik barang. Kreditur dalam hal ini adalah pemilik dari barang atau benda yang dijaminkan akan tetapi penguasaannya diserahkan kembali kepada debitur.

Pihak kreditur tidak menjadi pemilik sepenuhnya, karena kedudukannya sebagai pemegang jaminan, sedangkan kewenangan sebagai pemilik yang dipunyainya adalah kewenangan yang masih berhubungan dengan jaminan itu sendiri, sehingga dengan demikian kewenangannya adalah terbatas. Bentuk perjanjian fidusia harus dibuat dalam bahasa Indonesia dengan akta notaris. Akta notaris merupakan akta otentik.64 Hal ini berhubungan dengan kedudukan kreditur dalam hal mengeksekusi benda jaminan, kedudukan pembuktiannya terhadap keabsahan perjanjian jaminan menjadi kuat. Suatu akta notaris yang memuat tentang jaminan fidusia memual hal-hal sebagai berikut :

1. Identitas pihak pemberi fidusia yaitu nama, agama, tempat tinggal, tempat lahir, tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan serta pekerjaan ;

2. Identitas pihak penerima fidusia yaitu nama, agama, tempat tinggal, tempat lahir, tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan serta pekerjaan ;

3. Mencantumkan hari, tanggal dan jam pembuatan akta fidusia ;

64

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, yaitu kekuatan pembuktian lahiriah yang dimaksudkan sebagai kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formal, dibuktikan bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya dalam menjalankan jabatannya, serta kekuatan pembuktian material, yaitu akta itu memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu.


(40)

4. Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia ;

5. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yaitu tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti kepemilikannya. Jika bendanya berupa barang pesediaan, maka disebutkan tentang jenis, merek dan kualitas dari barang tersebut ;

6. Jumlah nilai penjaminan ;

7. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

c. Tahap-tahap Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan jaminan fidusia melalui beberapa tahap yaitu :65 1. Tahap perjanjian pokok kredit.

Tahap ini merupakan tahap awal dari adanya suatu jaminan fidusia, karena perjanjian jaminan fidusia bersifat perjanjian accesoir, yaitu perjanjian ikutan yang pembebanannya akan hapus apabila perjanjian pokoknya hapus ;

2. Tahap perjanjian yang bersifat konsensuil dan obligatoir.

Perjanjian kredit antara kreditur dan debitur dengan jaminan fidusia. Diantara pihak pemberi dan penerima fidusia diadakan perjanjian dimana ditentukan bahwa debitur meminjam sejumlah uang dengan janji akan menyerahkan hak miliknya secara fidusia sebagai jaminan kepada pemberi kredit ;

3. Tahap penyerahan secara Constutum Possesorium.

Adanya perjanjian kebendaan di antara pihak pemberi dan penerima fidusia dilakukan penyerahan secara constutum possesorium dimana benda tetap dikuasasi oleh pemberi fidusia. Tahap ini mengandung penyerahan semu, sebab benda fidusia tersebut masih tetap berada dalam kekuasaan pemberi fidusia. Penyerahan ini ditentukan sebagai cara yang sah untuk lahirnya hak jaminan kebendaan yang baru, walaupun penyerahannya tidak merupakan penyerahan nyata dikenal bagi benda bergerak.


(41)

4. Adanya perjanjian pinjam pakai.

Tahap ini ditentukan dalam akta notaris, bahwa antara pemberi fidusia dan penerima fidusia terjadi perjanjian pinjam pakai terhadap barang yang di fidusia kan. Bahwa pemberi fidusia meminjam pakai hak miliknya yang telah berada dalam kekuasaan penerima fidusia.

Dalam UUJF pembebanan jaminan fidusia dilakukan 2 (dua) tahap yaitu perjanjian pinjam uang dengan akte notaris dan pendaftaran jaminan.

d. Obyek Jaminan Fidusia

Pasal 2 UUJF mengatur mengenai ruang lingkup objek jaminan fidusia yang berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia. Untuk selanjutnya Pasal 3 mempertegas mengenai objek jaminan yang secara tegas menyatakan bahwa UUJF tidak berlaku terhadap :66

a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Akan tetapi hubungan di atas tanah milik orang lain tidak dapat dibebani hak tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia ;

b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20m³ (dua puluh meter

kubik) atau lebih ;

c. Hipotek atas pesawat terbang ; d. Gadai.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka selain dari yang tersebut di atas adalah objek jaminan fidusia. Selanjutnya dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 bahwa yang menjadi objek jaminan fidusia adalah sebagai berikut :67

65

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 90-92.

66

Pasal 3 UUJF.

67


(42)

a. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum ; b. Dapat atas benda berwujud ;

c. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang ; d. Benda bergerak ;

e. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan ; f. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotek ;

g. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian ; h. Dapat atas satu satuan atau jenis benda ;

i. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda ;

j. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek jaminan fidusia ;

k. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia ; l. Benda persediaan (stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.

e. Pendaftaran Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia berdasarkan UUJF lahir pada saat didaftarkan dan dicatatkan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Buku Daftar Fidusia.68 Perlunya pendaftaran tersebut untuk memenuhi asas publisitas dari jaminan fidusia tersebut. Hal ini merupakan suatu hal yang baru, dimana dapat melindungi kepentingan kreditur terhadap debitur yang beritikad tidak baik, selain itu juga agar dapat diketahui oleh pihak ketiga sehingga dapat mengikat pihak ketiga. Asas publisitas merupakan suatu hal yang penting dalam perkembangan jaminan hutang di masa dewasa ini. Karena semakin terpublikasinya jaminan utang akan semakin baik, karena akan menjadi lebih baik terhadap jaminan-jaminan utang yang fisik objek jaminannya tidak diserahkan kepada kreditur seperti jaminan fidusia. Kepada pihak penerima fidusia diberikan sertifikat fidusia yang merupakan salinan sesuai dengan aslinya dari buku daftar fidusia sebagai bukti memiliki hak fidusia. Permohonan pendaftaran fidusia disampaikan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terdapat di setiap Kantor Wilayah

68


(1)

2. Eksekusi jaminan fidusia sebagai suatu hak jaminan yang mempunyai kekuatan eksekutorial sudah seharusnya dapat langsung dilaksanakan tanpa adanya ketentuan pembatasan-pembatasan yang menghambat proses eksekusi meskipun terjadi kepailitan. Ketentuan tersebut akan mengaburkan lembaga jaminan fidusia, karena dengan ketentuan tersebut penjaminan benda dengan jaminan fidusia menjadi tidak lagi murni memiliki kekuatan eksekutorial. Hal ini disarankan dengan alasan bahwa pada prinsipnya objek jaminan fidusia hanya terletak pada benda yang dijadikan jaminan oleh pihak debitur kepada pihak kreditur pemegang hak jaminan, bukan kepada seluruh harta debitur, oleh karena itu eksekusi dari kreditur pemegang hak jaminan ini tidak berpengaruh kepada harta pailit dari si debitur ;

3. Untuk mengatasi berbagai hambatan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dalam kepailitan diharapkan kepada pemerintah dan pembentuk undang-undang agar menjadikan berbagai putusan pengadilan yang ada sebagai bahan masukan bagi perkembangan pembentukan peraturan atau regulasi baru untuk mengoptimalkan implementasi jaminan fidusia, sehingga lebih menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak. Khususnya mengenai ketentuan jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari yang menangguhkan hak didahulukan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56 UUK dan PKPU, dan disarankan kepada pembentuk undang-undang agar memikirkan apakah jangka waktu tersebut layak untuk menjual objek jaminan fidusia dengan memperhatikan realitas hukum yang ada. Selanjutnya untuk memberi masukan kepada pembentuk undang-undang terhadap pertimbangan


(2)

jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut disarankan kepada peneliti berikutnya agar hendaknya dapat melakukan penelitian secara mendalam mengenai hal ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta : PT. Gunung Agung Tbk, 2002.

Aristoteles, Ethics, Terjemahan kedalam Bahasa Inggeris oleh JAK Thomson, Harmondsworth, Middlesex, England : Penguin Book Ltd, 1970. Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia,

Cetakan I, Jakarta : Rajawali, 1991.

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka hukum Bisnis, Bandung ; Alumni, 1994. _____________Bab-Bab tentang Credietverband Gadai & Fidusia, Bandung :

Citra Aditya Bakti, 1991.

Bachar, Djazuli, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, Jakarta : Akademika Pressindo, 1987.

Friedman, Lawrance M., American Law an Introduction, Terjemahan Wishnu Bhakti, Jakarta : PT. Tata Nusa, 2001.

_____________, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993.

Fuady, Munir, Jaminan Fidusia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

_____________, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999.

_____________, Hukum Perbankan Modern, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003. Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan EKSEKUSI Bidang Perdata,

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993.

_____________, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatior Beslag, Bandung : Sinar Grafika, 1990.

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Jakarta : Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2002.


(4)

Hutagalung, Ny. Arie S., Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia.

Ibrahim, Johannes, Pengimpasan Pinjaman Dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Bandung : CV. Utomo, 2003. Kamelo, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,

Bandung : Alumni, 2004.

_____________, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung : Alumni, 2006.

_____________, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Kajian Terhadap Pelaksanaan Jaminan Fidusia Dalam Putusan Pengadilan Di Sumatera Utara, Bandung : Alumni, 2006.

Lontoh, Rudy A., Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : Alumni, 2001.

Muljono, Euginia Liliawati, Tinjauan Juridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, Jakarta : PT. Harvindo, 2003. Muljadi, Kartini, Actio Paulina dan Pokok-Pokok Tentang Pengadilan Niaga

Dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : Alumni, 2001.

Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra ASditya Bakti, 2000. Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002. ______________, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993.

Soemitro, Ronny H., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghali, 1982. Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Medan :

Pustaka Bangsa Press, 2008.


(5)

Sutantio, Ny. Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, Bandung : Mandar Maju, 1989.

Soedewi, Sri, Bebarapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia Di Dalam Praktik Dan Pelaksanaannya di Indonesia, Bandung : Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1977.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Garindo Persada, 1995.

Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Jakarta : Binacipta, 1983.

Sutantio, Ny. Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, Bandung : Mandar Maju, 1989.

Subekti dan R. Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1980. Subekti R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXVI, Jakarta : Intermasa, 1984.

______________, Hukum Acara Perdata, Bandung : Binacipta, 1996.

Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003. Tumbuan, Fred BG., Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan, Bandung

: Alumni, 2001.

Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad, Jaminan Fidusia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

_____________Jaminan Fidusia, Seri Hukum Bisnis, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000.

B. Karya Ilmiah

Mangunkusumo, Sumardi, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Golongan Ekonomi Lemah, Kertas Kerja dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perkreditan, Jakarta : BPHN Departemen Kehakiman, 1985.

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004.


(6)

____________, Makalah Akreditas, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Pebruari 2003.

Tumbuan, Fred B.G., Mencermati Pokok-Pokok Rencana Undang-Undang Fidusia, Penelitian Hukum Newsletter, No. 38/X/September/1999.

C. Undang-Undang

Subekti, dan Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramitha, 1985.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 UU tentang Hak Tanggungan. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 131.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 131.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang,

Republik Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Piutang Dan Lelang Negara Nomor PER-02/PL/2006 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.

D. Daftar Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Niaga Medan dalam perkara CV. WIDYA MANDIRI No. 01/PAILIT/2006/PN. Niaga. Mdn, tanggal 16 Agustus 2006


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

3 60 89

Eksekusi Di Bawah Tangan Objek Jaminan Fidusia Atas Kredit Macet Kepemilikan Mobil Di Lembaga Keuangan Non-Bank PT. Batavia Prosperindo Finance Cabang Medan

2 115 132

Tinjauan Atas Pelaksanaan Penghapusan Jaminan Fidusia (Studi Pada Lembaga Pendaftaran Fidusia Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Propinsi Aceh)

1 60 128

Pendaftaran Jaminan Fidusia : Hambatannya dilihat Dari Aspek Sistem Hukum

3 39 120

Fungsi Pendaftaran Fidusia Dalam Eksekusi Terhadap Objek Jaminan

0 23 131

Eksekusi Barang Jaminan Fidusia Yang Lahir Dari Perjanjian Kredit Bank

0 27 2

Tanggungjawab Kreditur (Bank) Dalam Mengembalikan Piutang Dengan Jaminan Fidusia (Studi Pada Bank Perkreditan Rakyat Mitra Dana Madani Medan)

2 73 113

Analisa Hukum Terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

4 24 95

KEDUDUKAN SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA SECARA ELEKTRONIK TANPA MENCANTUMKAN URAIAN MENGENAI BENDA YANG MENJADI OBJEK JAMINAN FIDUSIA DIKAITKAN DENGAN KETENTUAN MENGENAI JAMINAN FIDUSIA.

0 0 2

BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT 3.1. Klasifikasi Pemegang Jaminan Fidusia Atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Bilamana Debitor Pailit 3.1.1. Prosedur Pengajuan Kepailitan - EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA AT

0 0 28