Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dalam Tindak Pidana Korupsi

BAB III PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL YANG BERFUNGSI

POSITIF MAUPUN BERFUNGSI NEGATIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dalam Tindak Pidana Korupsi

Sifat melawan hukum materil terdiri dari sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif dan sifat melawan hukum dalam fungsi negatif. Pengertian sifat melawan hukum secara materil dalam arti positif akan merupakan pelanggaran asas legalitas, pada Pasal 1 ayat 1 KUHP, artinya ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu meskipun suatu perbuatan secara materil merupakan perbuatan melawan hukum apabila tidak ada aturan tertulis dalam perundang-undangan pidana, perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. 59 Ajaran sifat melawan hukum materil hanya diterima dalam fungsinya yang negatif, dalam arti bahwa suatu perbuatan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum, apabila secara materil perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum. 60 59 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara Konsultan Hukum “ Prof. Oemar Seno Adji rekan”, Jakarta, 2002, hal. 18 60 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2002, hal. 26 Melawan Hukum materil dalam Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001 diartikan sebagai suatu perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut pidana. Hal tersebut seperti yang tercantum dalam penjelasan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo Undang- Undang no 20 tahun 2001, yaitu sebagai berikut : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Meskipun suatu perbuatan tidak diatur dalam peraturan Perundang- undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana Dengan adanya penjelasan seperti tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa pembuat undang-undang korupsi telah menggeser berlakunya ajaran sifat melawan hukum materil negatif yang telah dianut selama ini. Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan dalam rumusan delik, dan hanya ditegaskan dalam penjelasan pasal, pembuat Undang-Undang korupsi dapat dikatakan telah mengimplementasikan ajaran sifat melawan hukum materil dengan fungsi yang positif. Dengan penerapan fungsi yang demikian, berarti pembuat Undang-Undang telah membuka peluang dan memberikan kemungkinan kepada praktek peradilan pidana untuk mengadili seseorang yang telah melakukan perbuatan yang sifatnya koruptif, hanya semata-mata berdasarkan perasaan keadilan masyarakat atau norma kehidupan sosial yang menganggap perbuatan itu tercela. Dalam kontruksi seperti itu tidaklah perlu selalu diperhatikan, apakah perbuatan itu telah memenuhi rumusan Undang-undang sebagai tindak pidana korupsi atau tidak. Sepanjang perasaan keadilan masyarakat atau norma-norma sosial dalam masarakat menganggap perbuatan itu tercela, maka itu sudah cukup untuk memidana seseorang. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penerapan fungsi ajaran sifat melawan hukum materil, selama ini dianggap bertentangan dengan azas legalitas sebagi suatu asas fundamental negara hukum dan merupakan soko gurunya hukum pidana. Oleh karena itu penolakan terhadap asas legalitas sebagai suatu asas dalam lapangan hukum pidana adalah bertentangan dengan makna dari hukum pidana itu sendiri. 61 Akan tetapi bila dikaitkan dengan karateristik Undang-Undang korupsi sebagai Undang-undang hukum pidana khusus extra ordinary Crime, maka penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materil patut dipertimbangkan sebagai sesuatu yang eksepsional Pemberantasan tindak pidana korupsi yang hanya bersandar pada kontruksi melawan hukum hukum secara formil saja, akan mengakibatkan pelaku perbuatan yang dipandang koruptif dan tercela akan dilindungi dibalik asas legalitas. sifatnya. Kenyataan yang berkembang dewasa ini, apabila pemberantasan tindak pidana korupsi hanya bersandar pada segi melawan hukum formil saja, maka banyak pelaku perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat bersifat koruptif dan merugikan keuangan Negara dalam skala sangat besar tidak mampu dijangkau oleh ketentuan Undang-Undang yang ada. Akibatnya para pelaku perbutaan yang dipandang koruptif dan tercela itu manjadi tidak dapat dijatuhi pidana. 62 Sebagai contoh adanya pelaku crime as business 61 http;waktuterindah.blogspot.com201106perkembangan-sifat-melawan- hukum.html?m=1 diakses pada tanggal 4 Maret 2013, pukul 17.05. WIB 62 Ibid. yaitu kejahatan yang bertujuan mendapat keuntungan melalui kegiatan bisnis atau industri yang pada umumnya UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan suatu pemikiran konklusif, bahwa terdapat alasan yang rasional untuk menerapkan fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum materil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Akan tetapi di dalam penerapannya harus dilakukan degan sikap kehati- hatian agar tidak menjurus kearah penerapan yang membati buta, Artinya fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum materil harus diterapkan secara ketat, situatif dan kasuistis. Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas legalitas. Hal tersebut ternyata terdapat dalam Yurisprudensi antara lain pada Putusan Nomor 81KKr1973 tanggal 30 Maret 1977. Selanjutnya juga harus diperhatikan Yurisprudensi yakni Putusan MA Nomor 572 KPid2003 tanggal 12 Februari 2004, dimana dalam perkara tersebut terdapat fakta dari ahli Loebby Loqman yang menyatakan bahwa ajaran melawan hukum materil negatif ada Apabila terjadi suatu perbuatan yang tidak memenuhi rumuasan delik, namun dipandang dari segi kepentingan hukum, perbutan itu menimbulkan kerugian yang besar dan kurang seimbang bagi masyarakat dan Negara dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan perbutaan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik itu dan perbuatan itu dicela oleh masyarakat, maka dalam kondisi semacam itu perlu dipertimbangkan untuk menerapkan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materil. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA batasannya, yaitu harus dicari aturan formilnya dan orang tidak boleh dihukum kalau tidak ada aturan formil yang dilanggar. 63 Tetapi Yurisprudensi tersebut bukanlah Yurisprudensi yang konstan karena Mahkamah Agung RI ternyata mengakui juga adanya sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif yakni sebagaimana dalam putusannya Nomor 275KPid1982 dalam Perkara Korupsi Bank Bumi Daya. Mahkamah Agung secara jelas mengartikan sifat melawan hukum materil, yaitu menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas berlebihan serta keuntungan lainnya dengan maksud agar ia menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya. Hal itu menurut Mahkamah Agung merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang menusuk rasa keadilan masyarakat banyak. 64 Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materil kearah fungsi positif melalui kriteria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakatnegara dibanding dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut. 65 63 M. Sudrajad Basar 1998:5 dalam Guse Prayudi , “Sifat Melawan Hukum Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, IKAHI , Jakarta , 2007, hal. 25. 64 Ibid. 65 Lilik Mulyadi, Pergeseran Perspektif dan Praktek dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXI, No. 246, Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, Jakarta, 2006, hal. 22 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung ini dianggap sebagai perkembangan interprestasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan lainnya berpendapat bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materil telah mempunyai fungsi positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas. 66 Akan tetapi, yurisprudensi tetap Veste Jurisprudentitie yang mengacu kepada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 67 Adanya Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang– Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ir. DAWUD DJATMIKO, yang tersangkut perkara dugaan Korupsi dalam Jakarta Outer Ring Road, dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 003 PUU- 66 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, PT Alumni, Bandung, 2007, hal. 83 67 Ibid., hal. 85 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA IV2006 Tanggal 25 Juli 2006 berdampak pada penerapan unsur perbuatan melawan hukum materil dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 68 68 Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materil Materiel Wederrechtelijkeheid Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, 2009 , hal. 7 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 PUU-IV2006 Tanggal 25 Juli 2006 telah memutuskan rumusan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 tahun 1999 yang berkaitan dengan dengan unsur perbuatan melawan hukum materil bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mampunyai kekuatan hukum mengikat. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 PUU- IV2006 tersebut maka tidak diatur lagi mengenai unsur perbuatan melawan hukum materil dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi namun dalam praktik apakah perbuatan melawan hukum materil tersebut masih dapat diterapkan hakim dalam praktik peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sehingga Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1. Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis lex scripta yang telah lebih dulu ada; 2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta; 3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis formele wederrechtelijk yang mewajibkan pembuat Undang-Undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin Vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 200: 358 merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum lex certa atau dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot; -Bahwa berdasarkan uraian diatas, konsep melawan hukum materil materiele wederrechtelijk, yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, SH dalam persidangan. - Bahwa oleh karena Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi kalimat pertama tersebut , merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 Ayat 1 Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi sepanjang mengenai frasa“ yang dimaksud dengan “Secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, walaupun demikian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 PUU-IV2006 Tanggal 25 Juli 2006 tersebut dalam praktiknya Mahkamah Agung RI tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materil materiele wederrechtelijkheid sebagaimana dari sekian banyak Putusan tersebut nampak diantaranya adalah pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2064KPid2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama Terdakwa H. Fahrani Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 KPid2006 Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama Terdakwa Hamdani Amin, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974KPid2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kantaprawira, S.H., kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 91Pid.B2008PN. Kpj. Tanggal 29 April 2008 atas nama terdakwa Abdul Mukti dan Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1079Pid.B2007PN.Kpj. Tanggal 23 April 2008 atas nama terdakwa Prayitno. 69

B. Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi