Pendahuluan Perbuatan Melawan Hukum Materil Yang Berfungsi Positif Pandangan Dan Alasan Hakim Mahkamah Agung Dalam Kesimpulan dan Saran PANDANGAN DAN ALASAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG

BAB I Pendahuluan

Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai, latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Kajian Hukum Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana Bab ini menguraikan perkembangan penafsiran perbuatan melawan hukum dari waktu ke waktu, jenis-jenis perbuatan melawan hukum, dan perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana.

BAB III Perbuatan Melawan Hukum Materil Yang Berfungsi Positif

Maupun Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidan Korupsi Bab ini menjelaskan mengenai perbuatan melawan hukum materil yang diterapkan dalam tindak pidana korupsi baik penerapan melawan hukum materil yang berfungsi positif maupun penerapan perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi negatif.

BAB IV Pandangan Dan Alasan Hakim Mahkamah Agung Dalam

Pengambilan Putusan Pada Beberapa Kasus Yang Berkaitan Dengan Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Tindak Pidana Korupsi Bab ini mengemukakan apa yang menjadi pertimbangan, pandangan dan alasan hakim di mahkamah agung dalam beberapa pengambilan putusan terhadap kasus-kasus yang diputuskan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan menggunakan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi positif maupun dalam fungsi negatif dalam kasus tindak pidana korupsi.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penulisan dan saran dari penulis dari permasalahan tersebut. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL

DALAM HUKUM PIDANA

A. Sejarah Perbuatan Melawan Hukum

Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua catch all, berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang kita temukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum tort versi hukum Anglo Saxon 40 1. Sistem Civil Law Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum PMH di negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode: 41 40 Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 80. 41 Ibid., hal. 84-85 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA a. Periode sebelum tahun 1838 Burgerlijk Wetboek BW di negeri Belanda baru dikodifikasikan pada tahun 1838, secara otomatis ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di Indonesia bahkan belum ada di Belanda. b. Periode antara tahun 1838-1919 Setelah BW Belanda dikodifikasi, mulailah berlaku ketentuan dalam Pasal 1401 yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad. Meskipun kala itu sudah ditafsirkan bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik berbuat sesuatu aktif berbuat maupun tidak berbuat sesuatu pasif yang merugikan orang lain baik yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1366 KUH Perdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919, dianggap tidak termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain. c. Periode setelah tahun 1919 Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Munir Fuady menyebut rumusan dalam Pasal 1365 KUH Perdata sebagai “rumusan ajaib” yang diharapkan dapat mencakupi setiap macam perbuatan melawan hukum, seperti satu jenis obat yang dapat mengobati segala macam penyakit. Di Belanda sendiri, saat ini terdapat perumusan yang memiliki inti yang sama, namun dengan susunan kata yang berbeda yaitu dalam Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek, konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3 artikel 162. Perbuatan Melawan Hukum dirumuskan sebagai 42 Adalah hal yang sangat masuk akal bahwa perumusan baru ini lebih jelas, oleh karena mengenai unsur perbuatan melawan hukum, tidak hanya mencakup : “Als onrechtmatige daad worden aangemerkt een inbreuk op een recht en een doen of nalaten in strijd met een wettelijke plicht of met hetgeen volgens ongeschreven recht in het maatschappelijk verkeer betaamt, een ander behoudens de aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”. Terjemahannya bebasnya yaitu : Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau perbuatan atau tidak berbuat bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut hukum. 42 M. Erza Pahlevi, Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Perbuatan Menurut Hukum, http:semuatentanghukum.blogspot.com200912perbedaan-perbuatan-melawan-hukum- dan.html, diakses 4 maret 2013, pukul 16.12. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA melanggar hak orang lain atau melanggar kewajiban, namun juga mencakup kesusilaan dan sikap baik bermasyarakat, dimana dua unsur yang terakhir ini timbul pada tahun 1919 yang berasal dari suatu putusan Hoge Raad dan bukan dari peraturan perundang-undangan, sementara Belanda sebagai negara Civil Law membutuhkan perumusan yang baku melalui kodifikasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan bukan yurisprudensi demi terpenuhinya kepastian hukum. 2. Sistem Common Law Sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ model gugatan yang baku yang tidak terhubung satu sama lain. 43 Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian 44 1. Perbuatan dengan unsur kesengajaan dengan unsur kesalahan : 2. Perbuatan kelalaian dengan unsur kesalahan 3. Perbuatan tanpa kesalahan tanggung jawab mutlak 43 Munir Fuady, Op,Cit., hal. 81 44 Munir Fuady, Op,Cit., hal. 3 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum. Menurut Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari: a . Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya. b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain. c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis. d. Van hamel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak wewenang. e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. arrest 18-12-1911 W 9263. f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti ”hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”. 45 “onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat, antara lain sebagai berikut: 45 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 31-32 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.” 46 3 Harus ada kerugian. Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan melawan hukum formil namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat melawan hukum materil maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur: 1 Perbuatan tersebut melawan hukum; 2 Harus ada kesalahan pada pelaku; 47 Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak 46 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 44 47 Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, 2009, hal. 73 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.

B. Jenis – Jenis Sifat atau Perbuatan Melawan Hukum

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materil. a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang- undang. b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Sifat melawan hukum materil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang yang tertulis, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis. 48 Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat 48 Teguh Prasetyo,Op.cit., hal. 34-35 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D. Schaffmeister, pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu: 1 Sifat melawan hukum secara umum 2 Sifat melawan hukum secara khusus 3 Sifat melawan hukum secara materil 4 Sifat melawan hukum secara formil 49 49 D. Schaffmeister, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Liberty, Yogyakarta, 2003, Cet. Kedua, hal. 39 Ad. 1. Sifat melawan hukum secara umum semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan. Ad. 2. Sifat melawan hukum secara khusus Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas. Ad. 3. Sifat melawan hukum secara materil bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Ad. 4. Sifat melawan hukum secara formil seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum. Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan pandangan yang materil, maka perbedannya yaitu : 1. Mengakui adanya pengecualiaanpenghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa noodweer; dan 2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata- nyata, barulah menjadi unsur delik. 50 Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam 50 Moeljatno , Op.Cit., hal. 134 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan. 51

C. Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana

Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni: Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil mengandung dua pandangan sebagai berikut: 52 1. Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan delik. 51 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 115 52 http:gagasanhukum.wordpress.com20100325perbuatan-melawan-hukum-materil- Bagian III diakses tanggal 4 maret 2013, pukul 17. 30 WIB UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2. Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum materil dibagi menjadi sifat melawan hukum materl dalam negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana. Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. 53 53 Sudarto, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2005 hal. 102 Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan. Untuk menjatuhkan pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum wederrechtelijk baik yang secara eksplisit maupun yang ada secara implisit yang ada dalam suatu pasal. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Adanya sifat melawan hukum secara implisit dan eksplisit terdapat dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dapat dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan. Jika meneliti Pasal-Pasal dalam KUHP maka akan tercantum kata-kata melawan hukum wederrechlijk untuk menunjukan sah suatu tindakan atau suatu maksud. Penggunaan kata wederrechlijk untuk menunjukan sifat tidak sah suatu tindakan terdapat dalam Pasal 167 ayat 1, 168, 179, 180, 189, 190, 198, 253 – 257, 333 ayat 1, 334 ayat 1, 335 ayat 1 angka 1, 372, 429 ayat 1, 431, 433 angka 1, 448, 453 – 455, 472 dan 522 KUHP. Sedangkan penggunaan kata wederrechlijke untuk menunjukan suatu maksud dapat dijumpai dalam Pasal 328, 339, 362, 368 ayat 1, 369 ayat 1, 378, 382, 390, 446 dan 467 KUHP. 54 2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua Pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit; 54 Lamitang, Op.Cit., hal. 332 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA perbuatan pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan. 55 Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi persoalan karena secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan apakah seseorang itu wederrechtelijk atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik atau tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan materiele wederrechtlikheid. Terhadap hal ini memang menjadi persoalan karena di negeri Belanda sendiri ajaran materiele wederrechtlikheid kurang berkembang, sedangkan persoalannya menjadi lain karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak tertulis yaitu hukum adat yang memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan hukum tertulis dan terdapat dalam KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam kehidupan masyarakat yang tidak tertulis. Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang materil di Indonesia ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari Pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana yang meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf maka sifat melawan merupakan alasan pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan hapus atau tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat formil formele wederrechtelijkheid maupun sifat melawan hukum yang materil materiele wederretelijkheid. 55 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1987, hal. 269-270 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1962 No. 152 KKr1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan No. 42 KKr1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini secara terang-terangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang materil materiele wederrechtlikheid sebagai alasan pembenar. 56 Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut: 57 Keputusan ini dianggap sebagai yang pertama tentang pengakuan penggunaan ajaran materiele wederrechtlikheid yang selanjutnya digunakan pula dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang lain. ”Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor : a. negara tidak dirugikan; b. kepentingan umum dilayani;dan c. terdakwa tidak mendapat untung. 58 56 Verdianto I. Bitticaca, Op,Cit., hal. 52 57 http:repository.usu.ac.idbitstream12345678953296Chapter20II.pdf, diakses tanggal 4 Maret 2013, pukul 17.45 WIB 58 Lihat juga putusan MARI No. 30 KKr1969 dalam kasus jual beli vespa bekas, MARI NO. 72 KKr1970 dalam kasus penarikan cek kosong Caltex, MARI No. 43 KKr1973, dalam kasus Komisi Dokter Hewan, MARI No. 97 KKr1973 dalam kasus Deposito Telkom, MARI No. 81 KKr 1973 dalam kasus Reboisasi Hutan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL YANG BERFUNGSI

POSITIF MAUPUN BERFUNGSI NEGATIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Positif Dalam Tindak Pidana Korupsi

Sifat melawan hukum materil terdiri dari sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif dan sifat melawan hukum dalam fungsi negatif. Pengertian sifat melawan hukum secara materil dalam arti positif akan merupakan pelanggaran asas legalitas, pada Pasal 1 ayat 1 KUHP, artinya ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu meskipun suatu perbuatan secara materil merupakan perbuatan melawan hukum apabila tidak ada aturan tertulis dalam perundang-undangan pidana, perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. 59 Ajaran sifat melawan hukum materil hanya diterima dalam fungsinya yang negatif, dalam arti bahwa suatu perbuatan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum, apabila secara materil perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum. 60 59 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara Konsultan Hukum “ Prof. Oemar Seno Adji rekan”, Jakarta, 2002, hal. 18 60 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2002, hal. 26 Melawan Hukum materil dalam Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001 diartikan sebagai suatu perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut pidana. Hal tersebut seperti yang tercantum dalam penjelasan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo Undang- Undang no 20 tahun 2001, yaitu sebagai berikut : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Meskipun suatu perbuatan tidak diatur dalam peraturan Perundang- undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana Dengan adanya penjelasan seperti tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa pembuat undang-undang korupsi telah menggeser berlakunya ajaran sifat melawan hukum materil negatif yang telah dianut selama ini. Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan dalam rumusan delik, dan hanya ditegaskan dalam penjelasan pasal, pembuat Undang-Undang korupsi dapat dikatakan telah mengimplementasikan ajaran sifat melawan hukum materil dengan fungsi yang positif. Dengan penerapan fungsi yang demikian, berarti pembuat Undang-Undang telah membuka peluang dan memberikan kemungkinan kepada praktek peradilan pidana untuk mengadili seseorang yang telah melakukan perbuatan yang sifatnya koruptif, hanya semata-mata berdasarkan perasaan keadilan masyarakat atau norma kehidupan sosial yang menganggap perbuatan itu tercela. Dalam kontruksi seperti itu tidaklah perlu selalu diperhatikan, apakah perbuatan itu telah memenuhi rumusan Undang-undang sebagai tindak pidana korupsi atau tidak. Sepanjang perasaan keadilan masyarakat atau norma-norma sosial dalam masarakat menganggap perbuatan itu tercela, maka itu sudah cukup untuk memidana seseorang. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penerapan fungsi ajaran sifat melawan hukum materil, selama ini dianggap bertentangan dengan azas legalitas sebagi suatu asas fundamental negara hukum dan merupakan soko gurunya hukum pidana. Oleh karena itu penolakan terhadap asas legalitas sebagai suatu asas dalam lapangan hukum pidana adalah bertentangan dengan makna dari hukum pidana itu sendiri. 61 Akan tetapi bila dikaitkan dengan karateristik Undang-Undang korupsi sebagai Undang-undang hukum pidana khusus extra ordinary Crime, maka penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materil patut dipertimbangkan sebagai sesuatu yang eksepsional Pemberantasan tindak pidana korupsi yang hanya bersandar pada kontruksi melawan hukum hukum secara formil saja, akan mengakibatkan pelaku perbuatan yang dipandang koruptif dan tercela akan dilindungi dibalik asas legalitas. sifatnya. Kenyataan yang berkembang dewasa ini, apabila pemberantasan tindak pidana korupsi hanya bersandar pada segi melawan hukum formil saja, maka banyak pelaku perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat bersifat koruptif dan merugikan keuangan Negara dalam skala sangat besar tidak mampu dijangkau oleh ketentuan Undang-Undang yang ada. Akibatnya para pelaku perbutaan yang dipandang koruptif dan tercela itu manjadi tidak dapat dijatuhi pidana. 62 Sebagai contoh adanya pelaku crime as business 61 http;waktuterindah.blogspot.com201106perkembangan-sifat-melawan- hukum.html?m=1 diakses pada tanggal 4 Maret 2013, pukul 17.05. WIB 62 Ibid. yaitu kejahatan yang bertujuan mendapat keuntungan melalui kegiatan bisnis atau industri yang pada umumnya UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan suatu pemikiran konklusif, bahwa terdapat alasan yang rasional untuk menerapkan fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum materil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Akan tetapi di dalam penerapannya harus dilakukan degan sikap kehati- hatian agar tidak menjurus kearah penerapan yang membati buta, Artinya fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum materil harus diterapkan secara ketat, situatif dan kasuistis. Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas legalitas. Hal tersebut ternyata terdapat dalam Yurisprudensi antara lain pada Putusan Nomor 81KKr1973 tanggal 30 Maret 1977. Selanjutnya juga harus diperhatikan Yurisprudensi yakni Putusan MA Nomor 572 KPid2003 tanggal 12 Februari 2004, dimana dalam perkara tersebut terdapat fakta dari ahli Loebby Loqman yang menyatakan bahwa ajaran melawan hukum materil negatif ada Apabila terjadi suatu perbuatan yang tidak memenuhi rumuasan delik, namun dipandang dari segi kepentingan hukum, perbutan itu menimbulkan kerugian yang besar dan kurang seimbang bagi masyarakat dan Negara dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan perbutaan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik itu dan perbuatan itu dicela oleh masyarakat, maka dalam kondisi semacam itu perlu dipertimbangkan untuk menerapkan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materil. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA batasannya, yaitu harus dicari aturan formilnya dan orang tidak boleh dihukum kalau tidak ada aturan formil yang dilanggar. 63 Tetapi Yurisprudensi tersebut bukanlah Yurisprudensi yang konstan karena Mahkamah Agung RI ternyata mengakui juga adanya sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif yakni sebagaimana dalam putusannya Nomor 275KPid1982 dalam Perkara Korupsi Bank Bumi Daya. Mahkamah Agung secara jelas mengartikan sifat melawan hukum materil, yaitu menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas berlebihan serta keuntungan lainnya dengan maksud agar ia menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya. Hal itu menurut Mahkamah Agung merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang menusuk rasa keadilan masyarakat banyak. 64 Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materil kearah fungsi positif melalui kriteria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakatnegara dibanding dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut. 65 63 M. Sudrajad Basar 1998:5 dalam Guse Prayudi , “Sifat Melawan Hukum Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, IKAHI , Jakarta , 2007, hal. 25. 64 Ibid. 65 Lilik Mulyadi, Pergeseran Perspektif dan Praktek dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXI, No. 246, Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, Jakarta, 2006, hal. 22 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung ini dianggap sebagai perkembangan interprestasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan lainnya berpendapat bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materil telah mempunyai fungsi positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas. 66 Akan tetapi, yurisprudensi tetap Veste Jurisprudentitie yang mengacu kepada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 67 Adanya Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang– Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ir. DAWUD DJATMIKO, yang tersangkut perkara dugaan Korupsi dalam Jakarta Outer Ring Road, dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 003 PUU- 66 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, PT Alumni, Bandung, 2007, hal. 83 67 Ibid., hal. 85 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA IV2006 Tanggal 25 Juli 2006 berdampak pada penerapan unsur perbuatan melawan hukum materil dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 68 68 Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materil Materiel Wederrechtelijkeheid Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, 2009 , hal. 7 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 PUU-IV2006 Tanggal 25 Juli 2006 telah memutuskan rumusan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 tahun 1999 yang berkaitan dengan dengan unsur perbuatan melawan hukum materil bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mampunyai kekuatan hukum mengikat. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 PUU- IV2006 tersebut maka tidak diatur lagi mengenai unsur perbuatan melawan hukum materil dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi namun dalam praktik apakah perbuatan melawan hukum materil tersebut masih dapat diterapkan hakim dalam praktik peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sehingga Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1. Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis lex scripta yang telah lebih dulu ada; 2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta; 3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis formele wederrechtelijk yang mewajibkan pembuat Undang-Undang untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin Vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 200: 358 merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum lex certa atau dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot; -Bahwa berdasarkan uraian diatas, konsep melawan hukum materil materiele wederrechtelijk, yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, SH dalam persidangan. - Bahwa oleh karena Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi kalimat pertama tersebut , merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 Ayat 1 Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi sepanjang mengenai frasa“ yang dimaksud dengan “Secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, walaupun demikian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 PUU-IV2006 Tanggal 25 Juli 2006 tersebut dalam praktiknya Mahkamah Agung RI tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materil materiele wederrechtelijkheid sebagaimana dari sekian banyak Putusan tersebut nampak diantaranya adalah pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2064KPid2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama Terdakwa H. Fahrani Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 KPid2006 Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama Terdakwa Hamdani Amin, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974KPid2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kantaprawira, S.H., kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 91Pid.B2008PN. Kpj. Tanggal 29 April 2008 atas nama terdakwa Abdul Mukti dan Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1079Pid.B2007PN.Kpj. Tanggal 23 April 2008 atas nama terdakwa Prayitno. 69

B. Perbuatan Melawan Hukum Materil Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya, keseluruhan putusan tersebut yaitu baik yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Mahkamah Agung RI Nomor 2064KPid2006, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 KPid2006, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974KPid2006 maupun oleh Pengadilan Negeri Kepanjen Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 91Pid.B2008PN. Kpj. dan Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1079Pid.B2007PN.Kpj. dan kasus tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde. Hukum pidana kita memberlakukan sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif, merupakan hukum yang tidak tertulis, namun diterapkan dalam berbagai putusan pengadilan. Meskipun perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana tertentu, apabila perbuatan tersebut menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat tidak lagi mengandung sifat melawan hukum, telah merupakan social adequat, telah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, maka kepada terdakwa tidak dipidana. Di jatuhkan pelepasan dari segala tuntutan 69 Ibid., hlm. 86 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA hukum. Merupakan alasan peniadaan pidana disebabkan kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Merupakan alasan pembenar. 70 Di Indonesia, banyak sekali putusan MA yang memberlakukan menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Contohnya, Berlakunya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, merupakan alasan peniadaan pidana di luar UU, dan termasuk alasan pembenar. Dan sejak arres HR “dokter hewan dari kota Huizen” tanggal 2-2-1933 sampai sekarang sudah dianut dalam praktik baik di Belanda maupun di Indonesia. Telah menjadi suatu azas hukum yang tidak tertulis. 71 Pertimbangan hukum MA sbb: “Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formil namun Hakim secara materil harus memperhatikan juga adanya kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas dasar mana mereka tidak dapat 1. No.: 42KKr1965: 8-1-1966 Pertimbangan hukum MA sbb: “Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor: yakni: ”Negara tidak dirugikan; kepentingan umum dilayani; tertuduh tidak dapat untung” 2. No.: 72KKr1970: 27-5-1972 70 http:adamichazawi.blogspot.com201106sifat-mh-dalam-fungsi-yang-negatif.html diakses pada 13 maret 2013 jam 16.57 WIB 71 Ibid. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dihukum. 3. No. 97KKr1973 :17-10-1974 Pertimbangan hukum MA sbb: “Karena pebuatan-perbuatan sebagaimana dituduhkan pada terdakwa merupakan tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam mengelola uang Perusahaan Negara PN, yang menguntungkan PN serta sesuai dengan program kerja PN dan dibenarkan pula oleh atasan terdakwa, lagi pula tidak merugikan negara, kepentingan umum terlayani dan terdakwa pribadi tidak mendapatkan untung, maka perbuatan terdakwa kehilangan sifat melawan hukumnya”. 4. No. 81KKr1973: 16-12-1976 Pertimbangan hukum MA sbb: Azas “materiele wederrechtelijkheid” merupakan suatu “buitenwettelijke uitsluittinggrond”, suatu ’buiten wettelijke rechtsvaardigingsgrond” dan sebagai suatu alasan yang buiten wettelijk sifatnya merupakan suatu “fait d’exuse” yang tidak tertulis, seperti dirumuskan oleh dokrin dan yurisprudensi. Sesuai dengan tujuan dari azas “materiele wederrechtelijkheid” suatu perbuatan yang merupakan perbuatan pidana, tidak dapat dipidana apabila perbuatan tersebut adalah social adequat”. Dicontohkan Pasal 328 KUHP, terdapat unsur “dengan maksud menempatkan orang itu secara melawan hukum”. Sementara Pasal 333 Ayat 1 KUHP, terdapat unsur dengan sengaja dan melawan hukum. Karena di dahului oleh unsur maksud dan sengaja, maka sifat melawan hukumnya merupakan sifat melawan hukum subjektif. Ada 2 langkah untuk membuktikan adanya sifat melawan hukum subjektif. Pertama terlebih dulu harus dapat dibuktikan secara objektif bahwa di UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dalam suatu perbuatan yang didakwakan mengandung sifat celaan atau melawan hukum. Berdasarkan keadaan-keadaan tertentu yang terdapat sekitar perbuatan maupun objek perbuatan menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat mengandung sifat celaan. Kedua, harus dapat dibuktikan terdapatnya kesadaran pada diri si pembuatnya, bahwa apa yang dilakukannya adalah mengandung sifat celaan. Sebaliknya apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menurut nilai- nilai keadilan dan kepatutan dalam perbuatan tersebut tidak mengandung sifat celaan, maka tidak mungkin terdapat kesadaran tentang sifat melawan hukum perbuatan yang secara objektif pada perbuatan itu tidak mengandung sifat melawan hukum. Contohnya, terdapatnya suatu keadaan berupa gejala-gejala kelainan jiwa seseorang. Maka menjadi wajar apabila orang yang terdekat hubungan kekeluargaan meminta Rumah Sakit untuk memeriksa dan merawat orang itu. Dalam hal perbuatan meminta RS untuk memeriksa dan merawat seseorang yang terdapat gejala-gejala gangguan kejiwaanmental seperti itu, maka tidak mungkin adanya kehendakkesadaran bahwa perbuatan itu sebagai tercela atau bersifat melawan hukum. Justru perbuatan seperti itu merupakan perbuatan melaksanakan suatu kewajiban hukum. Suatu perbuatan dilakukan dengan itikad baik. Demikian juga, misalnya orang tua yang memukul anaknya sebagai bentuk pendidikan, atau seorang guru menjewer telinga muridnya, dan sebagainya. Semua perbuatan seperti itu kehilangan sifat melawan hukum perbuatan. Sehingga pelakunya tidak patut dijatuhi pidana karena perbuatan yang dilakukan telah kehilangan sifat melawan hukumnya, yang telah menjadi social adequat. Kalau dalam rumusan tindak pidana dicantumkan unsur sifat melwan hukum seperti UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pasal 328 atau 333 Ayat 1 atau 335 KUHP, sementara unsur tersebut tidak terbuktitiada, maka kepada terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. 72 1. Perbuatan : memaksa Pasal 335 Ayat 1 KUHP. Kalau dirinci, unsur-unsurnya sebagai berikut: 2. Objeknya : orang 3. Dengan melawan hukum 4. Cara melakukan perbuatan memaksa : a. - dengan kekerasan; atau - dengan kekerasan; atau - dengan perbuatan lain; - maupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan b. - dengan ancaman kekerasan; atau - dengan ancaman perbuatan lain; - maupun dengan ancaman perbuatan tidak menyenangkan 5. tujuan pembuat melakukan perbuatan : a. orang itu atau orang lain supaya melakukan sesuatu b. orang itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu c. orang itu atau orang lain membiarkan sesuatu Unsur sifat melawan hukum dalam perbuatan memaksa dari Pasal 335 KUHP, bersifat objektif. Artinya menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam suatu wujud perbuatan memaksa mengandung sifat celaan. Terdapat keadaan tertentu sebagai indikator adanya sifat celaan dalam suatu perbuatan. 72 Ibid, hal. 2 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sebaliknya apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menurut sifatnya merupakan suatu kewajaran, maka sifat melawan hukum yang diperlukan oleh Pasal 335 tersebut tidak ada atau menjadi tiada. Misalnya, seorang guru yang memaksa muridnya yang masuk kelas terlambat untuk lari mengelilingi lapangan sekolah, bila tidak dilakukan maka ia tidak boleh masuk sekolah hari itu. Pemaksaan dengan perbuatan tidak menyenangkan oleh guru tersebut tidak mengandung sifat melawan hukum. Karena perbuatan tersebut dalam rangka pendidikan, telah menjadi kewajaran dalam masyarakat, atau sosial adequat. Sama halnya juga, misalnya apabila terdapat gejala-gejala seseorang dalam keadaan adanya gangguan terhadap mentalkejiwaannya. Maka menjadi suatu kewajaran, apabila anggota keluarganya meminta pertolongan pada Rumah Sakit untuk memeriksa dan merawat orang tersebut. Keadaan seperti itu tidak boleh dianggap sebagai memaksanya untuk melakukan atau membiarkan sesuatu perbuatan secara melawan hukum. Ukuran melawan hukum suatu perbuatan harus diukur dari ketidak wajaran berdasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, dalam hal seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu. 73 Pasal 304 KUHP, terdapat unsur hubungan antara si pembuat yang menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan sengsara dengan orang yang ditempatkan dalam keadaan sengsara. Unsur hubungan tersebut adalah berupa suatu kewajiban hukum bagi si pelaku terhadap orang yang dibiarkan dalam keadaan sengsara. Kewajiban hukum tersebut berupa, kewajiban untuk memberi kehidupan, perawatan atau pemiliharaan. Kedudukan hukum seorang 73 Ibid , hal. 3 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA istri tidak merupakan kedudukan hukum yang membeban kewajiban hukum untuk memberikan kehidupan, perawatan atau pemiliharaan kepada suaminya. Sebaliknya justru suamilah yang membeban kewajiban hukum tersebut kepada istri dan anak-anaknya. Pasal 304 KUHP tidak dimaksudkan untuk istri yang tidak berbuat apa-apa membiarkan atau menempatkan pada suami pada waktu keadaan ekonomi dan kesehatan suami yang sulit. Pasal 45 Ayat 1 jo 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004. Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dalam UU 23 Tahun 2004, adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan dalam lingkup rumah tangga yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan psikologis”. Sifat melawan hukum tidak dicantumkan sebagai unsur dalam Pasal 45 Ayat 1 jo 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004. Unsur sifat melawan hukum dalam delik ini terdapat secara terselubung di dalam unsur perbuatan kekerasan. Tidak perlu dibuktikan secara khusus. Cukup membuktikan adanya unsur perbuatan kekerasan saja. Namun sebaliknya, apabila di dalam perbuatan kekerasan tersebut kehilangan sifat melawan hukum, maka ketiadaan sifat melawan hukum tersebut menjadi alasan peniadaan pidana di luar UU. Keadaan ini terjadi disebabkan dalam hukum pidana Belanda dan berlaku untuk Indonesia, menganut azas berlakunya sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif. Misalnya seorang petinju dalam pertandingan memukul lawannya di atas ring, mengakibatkan lawannya meninggal dunia. Seorang suami menampar muka istrinya yang terbukti berzina. Seorang ayah memukul anaknya yang mencuri uang ibunya. Perbuatan-perbuatan seperti contoh tersebut dapat menjadi kewajaran sosial adequat menurut nilai- UNIVERSITAS SUMATERA UTARA nilai yang hidup di masyarakat. Karena itu terhadap pelakunya tidak patut dijatuhi pidana, melainkan dilepaskan dari segala tuntutan hukum onslag van alle rechtsvervolging. 74 Terdapat perbedaan antara tidak terbuktinya atau tidak terdapatnya unsur sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam rumusan delik dengan hapusnya tiadanya sifat melawan hukum. Perbedaan itu adalah: 75 Penerapan fungsi negatif dari ajaran sifat melawan hukum materil erat kaitanya dengan masalah pertanggung jawaban pidana, dimana seseorang dapat dilepaskan dari segala tuntutan hukum apabila perbutannya tidak melawan hukum secara materil, sekalipun perbutan itu melawan hukum secara formil, jadi dengan fungsi negatif sifat melawan hukum materil hanya digunakan sebagai alasan menghapuskan pidana yang berada diluar Undang-Undang, yaitu sebagai alasan pembenar. - Dalam hal sifat melawan hukum dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Kemudian unsur tersebut tidak dapat dibuktikan atau tidak adatiada, maka tindak pidana tidak terjadi. Kepada terdakwa harus di bebaskan. - Sementara apabila unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, namun terbukti suatu perbuatan dalam tindak pidana tersebut telah kehilangan sifat melawan hukum perbuatan, maka kepada terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. 76 74 Ibid. 75 Ibid., hal. 4 76 Jon effendi, Fungsi Positif Melawan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidan Korupsi, Majalah Varia Peradilan, Edisi Bulan September 2005 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Mahakamah Agung RI dalam putusannya no 42Kkr1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam terdakwa Machrus Effendi secara tegas telah menerapkan ajaran sifat melawan hukum materil sebagai alasan pembenar. Kaidah Hukum yang dapat ditarik adalah bahwa suatu tindakan umumnya dapat hilang sifat melawan hukum bukannya hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum tidak tertulis dan sifatnya umum. Dalam hal ini misalnya faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat keuntungan. Jadi faktor ini oleh yurisprudensi telah diterima dan ditetapkan sebagai alasan pembenar diluar ketentuan Undang-Undang, karena hal tersebut Yurisprudensi diatas telah menjadi yurisprudensi yang konstan hal ini bisa dilihat dalam putusan Mahkamah Agung RI dalam putusannya dalam perkara nomor 71KKr1970 tanggal 27 Mei 1972 antara lain menyebutkan, tidak ditemukan dalam KUHP khususnya perihal alasan penghapusan pidana. meskipun dituduhkan secara formil, namun secara materil harus memperhatikan juga adanya kemungkinan keadaaan dari terdakwa atas dasar mana mereka tidak dapat dihukum. Sikap tersebut diatas seperti juga yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung no 81KKr1973 tanggal 20 Maret 1977. Terdakwa adalah seorang insinyur kehutanan dengan memperhitungkan biaya reboisasi yang tidak dikurangi kemanfaatannya dengan tidak mengurangi kemanfaatannya dengan tidak mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan dengan memperoleh tanah menambah mobilitas serta untuk mensejahterakan pegawai, kepentingan umum UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dilayani dan negara tidak dirugikan, secara materiil tidak melawan hukum walaupun perbuatannya termasuk rumusan delik yang bersangkutan. 77 Dari dua kasus tersebut Mahkamah Agung melepas dari segala tuntutan hukum terdakwa berarti tidak melawan hukum secara materil, merupakan dasar peniadaan pidana diluar undang-undang. 77 Wasis Priyanto, Perkembangan Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Tindak Pidana korupsi, Majalah Varia Keadilan, Edisi Bulan September 2005 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB IV PANDANGAN DAN ALASAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG

DALAM PENGAMBILAN PUTUSAN PADA BEBERAPA KASUS YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Kasus I : Putusan Mahkamah Agung Yang Menerapkan Pandangan Perbuatan Melawan Hukum Materil Yang Berfungsi Positif Dalam Tindak Pidana Korupsi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2608 KPid2006 Memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara terdakwa : Nama : ACHMAD ROJADI, S.Sos. Tempat Lahir : Jakarta. UmurTanggal Lahir : 54 Tahun21 September 1951 Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia. Tempat Tinggal : Jalan Mawar Merah IV734 Malaka Jaya, Jakarta Timur. Agama : Islam. Pekerjaan : Kepala Bagian Penyusun dan Rencana Kebutuhan Sekretariat Jenderal KPU Sekretaris Panitia Pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif Tahun 2004. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi pada pokoknya sebagai berikut : 1. Bahwa Judex facti dalam pertimbangannya telah menyatakan: Alinea ke 4 :…. “Menimbang, bahwa mengenai memori banding dari tim penasehat hukum pembanding sebagaimana tersebut pada ad.1 dan ad.2 Majelis Hakim Tipikor tingkat banding berpendapat bahwa memori banding tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Tipikor tingkat pertama telah sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan dipersidangan, dimana terdakwa telah bersama-sama Rusadi Kantraprawira dalam pengadaan tinta sidik jari pemilu 2004 telah menyimpang dan bahkan meninggalkan aturan-aturan yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana ditentukan dalam Keppres No.80Th.2003 sehingga telah memperkaya orang lain dan merugikan Negara…” Alinea ke 6 :……”Menimbang, bahwa mengenai memori banding tersebut pada ad.3 dan ad.4 memori banding tersebut telah menabrak aturan pengadaan barang dan jasa sebagaimana ditentukan dalam Keppres No.80Th.2003 yang seharusnya dilaksanakan dengan baik; 2. Bahwa judex facti telah menyatakan dengan tegas dalam pertimbangannya tersebut bahwa terdakwa bersama-sama dengan Rusadi Kantraprawira telah menyimpang dan bahkan telah meninggalkanmenabrak aturan-aturan yang berlaku dalam pengadaan barangjasa sebagaimana ditentukan dalam Keppres No.80Th.2003, dengan perkataan lain : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Terdakwa telah bersalah karena melanggar ketentuan Keppres No.80Th.2003 dan seharusnya dihukum berdasarkan peraturan yang telah ditinggalkanditabrak oleh Pemohon KasasiTerdakwa yaitu berdasarkan Keppres No.80Th.2003 yang sanksi hukumnya hanya berupa hukuman administratif serta bukan karena melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 No.1Th.1999 jo Undang-undang No.20Th.2001; 3. Bahwa pertimbangan judex facti yang menyatakan bahwa Pemohon KasasiTerdakwa telah memperkaya orang lain dan merugikan keuangan Negara adalah keliru terbukti: Pada kenyataannya panitia pengadaan tinta sidik jari telah menghemat anggaran sebesar Rp.5795.000.000,- lima milyar tujuh ratus sembilan puluh lima juta rupiah dari alokasi dana pengadaan tinta sidik jari pemilu legislatif tahun 2004, yakni sebesar Rp.41.831.090.000,- empat puluh satu milyar delapan ratus tiga puluh satu juta Sembilan puluh ribu rupiah untuk pengadaan 565.285 TPS yang masing – masing TPS 2 botol. Sementara dana yang digunakan untuk pengadaan tinta import tersebut sebesar Rp.33.202.109.000,- tiga puluh tiga milyar dua ratus dua juta seratus Sembilan ribu rupiah dan untuk tinta lokal sebesar Rp.2.832.995.625,- dua milyar delapan ratus tiga puluh dua juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu enam ratus dua puluh lima rupiah sehingga total keseluruhannya adalah sebesar Rp.36.035.995.625,- tiga puluh enam milyar tiga puluh lima juta Sembilan ratus Sembilan puluh lima ribu enam ratus dua puluh lima rupiah dan hal tersebut telah sesuai UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan ketentuan pasal 1 Keppres No.80Th.2003, yaitu dengan menerapkan azas efesiensi dan azas efektif di dalam pengadaan tinta sidik jari tersebut; PT. Fulcomas Jaya telah membayar dan mengembalikan bea masuk atas tinta import melalui Bank Permata Cabang Hayam Muruk sebesar Rp.1.204.381.999,- satu milyar duaratus empat juta tiga ratus delapan puluh satu ribu Sembilan ratus Sembilan puluh Sembilan rupiah kepada Negara; Adalah sangat wajar apabila perusahaanrekanan yang ikut berparti-sipasi megikuti tender pengadaan tinta pemilu dengan satu tujuan yaitu suksesnya pemilu dengan mengharapkan suatu keuntungan yang menurut teori hukum ekonomi dibenarkan; Apabila keuntungan perusahaanrekanan dianggap sebagai kerugian Negara a quo seharusnya perusahaanrekanan tersebut diajukan ke Pengadilan Tipikor sebagaimana Pemohon KasasiTerdakwa. Pertanyaannya adalah apakah adakah perusahaanrekanan pengadaan tinta sidik jari pemilu legislatif 2004 yang telah diajukan oleh JPUKPK ke Pengadila Tipikor? Dan apakah benar terdakwa telah mem-perkaya orang lain dan merugikan keuangan Negara?; Adalah merupakan fakta persidangan, bahwa Jaksa Penuntut UmumKPK tidak dapat membuktikan adanya perusahaanrekanan yang mampu untuk melaksanakan pengadaan tinta sidik jari dan berani menjamn tinta sidik jari tersebut akan sampai dilokasi tepat pada waktunya H-1; Keterangan ahli yang diajukan dalam perkara ini, terkesan dipaksa-kan untuk dapat memberikan penjelasan bahwa telah terjadi kerugian keuangan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Negara, sementara kesimpulan dari keterangan ahli tidak berdasarkan kehliannya secara professional sehingga kesaksiannya meragukan dan hanya berdasarkan pada bahan-bahan yang telah disedia-kan oleh penyidikJaksa penyidik, tetapi dalam perhitungan keuangan negara, ahli tidak dapat melakukan konfirmasi terhadap data yang masih diragukan kebenarannya kepada pejabat yang terkait, sehingga hasil perhitungan keuangan negara yang dibuat ahli akan sama dengan yang dikehendaki oleh penyidikJaksa penyidik, dengan perkataan lain bahwa hasil perhitungan ahli hanya bersifat pro forma, yakni hanya untuk melengkapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan; Pertanyaannya adalah apakah kita harus melakukanmengadakan pemilihan ulang untuk membenarkan teori Jaksa Penuntut UmumKPK dan Alhamdulillah panitia pengadaan tinta sidik jari tidak melakukan spekulasigambling dengan resiko gagalnya pemilu 2004; 4. Bahwa semua manusia Indonesia dan bahkan dunia mengetahui bahwa pemilu 2004 dilaksanakan dengan segala keterbatasan baik dana yang terbatas, maupun waktu yang sangat mendesak dan oleh karenanya Presiden Megawati Soekarno Putri telah mengeluarkan PERPU No.2Th.2004 yang membuktikan bahwa situasinya sangat mendesak dan dianggap sebagai keadaan darurat dan sesuai dengan ketentuan pasal 45 ayat 3 yang menyatakan : “Bahwa surat suara beserta perlengkapan pelaksaan pemilu harus sudah diterima Panitia Pemilihan Setempat PPS dan Panitia Pemilihan Luar Negeri PPLN selambat – lambatnya 1 satu hari sebelum pemungutan suara….” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Namun sukses pemilu 2004 telah diakui oleh seluruh dunia paling demokratis tanpa setetes darahpun menetes di bumi Indonesia; Bahwa perlengkapan pemilu termasuk tinta sidik jari adalah perlengkapan yang mutlak keberadaannya dan sebagai tanda khusus kepada pemilih setelah memberikan suaranya sehingga tercapai azas OPOFOV one person, one foot, one value sehingga apabila tinta sidik jari tidak sampai pada waktunya H-1 di TPS KabupatenKota dapat berakibat fatal dengan dapat menyebabkan gagalnya pemilu; Bahwa judex facti baik tingkat pertama maupun tingkat banding tidak pernah mempertimbangkan dalam putusannya dasar Permohonan Kasasi Terdakwa sebagaimana diuraikan pada butir 9 dan 10 diatas, yang telah diajukan di dalam pembelaanpledoi dan memori banding Pemohon KasasiTerdakwa; 5. Bahwa dengan telah tidak dapat dibuktikan adanya perbuatan Pemohon KasasiTerdakwa yang memperkaya orang lain dengan merugikan keuangan Negara maka judex facti telah keliru menerapkan pasal 2 ayat 1 Undang- undang No.31Th.1999 jo Undang – undang No.20Th.2001 untuk menghukum Pemohon KasasiTerdakwa; Menimbang, bahwa atas alasan – alasan yang diajukan oleh Pemohon KasasiTerdakwa tersebut, Mahkamah Agung berpendapat pada pokoknya sebagai berikut : mengenai keberatan – keberatan ad.1, ad.2, ad.3. bahwa keberatan-keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum dan lagi pula mengenai penilaian hasil pembuktian UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan sebagaimana mestinya atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 235 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana Undang - Undang No.8 Tahun 1981; mengenai keberatan ad.4. bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum, karena “dilaksanakannya Pemilu 2004 dengan segala keterbatasan baik dana yang terbatas, maupun waktu yang sangat mendesak” bukan merupakan alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman straf uitsluingsgronden, tetapi hanya alasan yang mengurangi beratnya hukuman stravverminderingsgronden yang oleh judex facti telah dipertimbangkan pada hal-hal yang meringankan pemidanaan yang berbunyi “terdakwa sebagai pejabat di KPU telah ikut mensukseskan pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2004 yang mendapatkan penghargaan Nasional maupun Internasional”; mengenai keberatan ad.5. bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum dalam hal tersebut dan lagi pula mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan- keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berkenaan dengan tidak diterapkan sebagaimana mestinya atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 235 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana Undang - Undang No.8 Tahun 1981; Selain itu sehubungan dengan keberatan tersebut tidak berkelebihan apabila dikemukakan pendirian Mahkamah Agung yang tetap memberi makna “perbuatan melawan hukum” yang tercantum dalam pasal 2 ayat 1 Undang – Undang No.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006, No.003PUU- IV2006 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang- Undang No.31 tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mengingat alasan-alasan sebagai berikut : 1. bahwa dengan dinyatakannnya Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang – Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud dengan unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang tersebut menjadi tidak jelas rumusannya, oleh karena itu berdasarkan doktrin “Sens-Clair” la doctrine du senclair hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA a. bahwa pasal 28 ayat 1 Undang – Undang No.4 Tahun 2004 yang menentukan “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004,”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”; b. bahwa Hakim dalam mencari makna “melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit bandingkan M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Dan Penerapan KUHAP,Edisi Kedua, halaman 120; c. bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht rn de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I.H. Hymans dalam keterangannya : Het recht der werkelijkheid, hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan “hukum dan makna sebenarnya” Het recht der werkelijkheid lihat Prof. Dr. Achmad Ali. SH. MH. Menguak Tabir Hukum suatu kajian Filosofis dan Sosiologis. Cetakan ke II kedua,2002, hal.140; UNIVERSITAS SUMATERA UTARA d. bahwa apabila kita memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi kita, bahwa Undang-Undang tidak hanya menunjukkan banyak kekurangan- kekurangan, tapi sering kali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus tetap melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan Undang-Undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau historis baik “recht maupun wetshistoris” Lie Oen Hok, Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hal.11. 2. bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang No.31 tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 tahun 2001 akan memperhatikan doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa unsur “secara melawan hukum” dengan tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya, yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA a. bahwa tujuan diperluasnya unsur “perbuatan melawan hukum, yang tidak lagi dalam pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materil, adalah untuk mempermudah pembuktiannya dipersidangan, sehingga suatu perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara materil atau tercela perbuatannya, dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil Dr. Indriyanto Seno Adji. SH. MH., Korupsi dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, hal. 14; b. bahwa pengertian melawan hukum menurut pasal 1 ayat 1 sub a Undang – Undang No.3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaulan masyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat; c. bahwa dari butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI Tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar diajukannya RUU No.3 Tahun 1971 dapat disimpulkan perbuatan melawan hukum secara materil adalah dititik beratkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak tertulis, hal ini disirat dari surat tersebut yang pada pokonya berbunyi “maka untuk mencakup perbuatan- perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului suatu kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran dalam RUU ini dikemukakakn sarana “melawan hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya juga meliputi perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang lazim atau UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya”; d. bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 Desember 1983 No.275KPid1983, untuk pertama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materil melawan hukum, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai tolak ukur asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat; 3. bahwa yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain Undang-Undang dan kebiasaan serta traktat yang tepat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti fomil dan dalam arti materil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; Bahwa berdasarkan pengertian “melawan hukum” dalam arti materil tersebut, Mahkamah Agung berpendapat perbuatan-perbuatan terdakwa “1 merahasiakan nilai total HPS kepada calon-calon rekanan, 2 menerima uang saku dari saksi Julinda Juniarti padahal ia sudah mendapatkan uang perjalanan dinas dari KPU, 3 telah mengajukan surat permohonan pembebasan biaya masuk yang harus dibayar oleh rekanan” adalah merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA masyarakat, oleh karena itu perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi positifnya; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum danatau undang-undang maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak; Memperhatikan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Undang-Undang No.4 Tahun 2004, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perundang-undangan lain yang bersangkutan MENGADILI Menolak permohonan kasasi dari Pemohon KasasiTerdakwa : ACHMAD ROJADI, S,Sos. Tersebut ; Membebankan biaya perkara ini dalam semua tingkatan peradilan kepada Pemohon KasasiTerdakwa yang dalam tingkat kasasi sebesar Rp.2.500,- dua ribu lima ratus rupiah; Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari RABU, TANGGAL 21 FEBRUARI 2007 oleh Dr. PARMAN SOEPARMAN, SH. MH. Ketua Muda yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, ISKANDAR KAMIL, SH. Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, ODJAK PARULIAN SIMANJUNTAK, SH., M.S. LUMME, SH., LEOPOLD HUTAGALUNG, SH masing – masing sebagai Hakim Agung Ad.Hoc pada Mahkamah Agung RI sebagai Anggota, dan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Dr. PARMAN SOEPARMAN, SH. MH. Sebagai Ketua Majelis beserta ISKANDAR KAMIL, SH. Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, ODJAK PARULIAN SIMANJUNTAK, SH., M.S. LUMME, SH., LEOPOLD HUTAGALUNG, SH masing-masing sebagai Hakim Agung Ad.Hoc pada Mahkamah Agung RI sebagai Anggota dibantu oleh TOROWA DAELI, SH. MH. Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh Pemohon KasasiTerdakwa dan JaksaPenuntut Umum. Dari isi putusan Mahkamah Agung diatas dapat terlihat bahwa Mahkamah Agung memandang perbuatan-perbuatan terdakwa yakni merahasiakan nilai total HPS kepada calon-calon rekanan, menerima uang saku dari saksi Julinda juniarti padahal ia sudah mendapatkan uang perjalanan dinas dari KPU, telah mengajukan surat permohonan pembebasan biaya masuk yang harus dibayar oleh rekanan” adalah merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan masyarakat, oleh karena itu perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi positifnya. Ada beberapa hal yang harus dicermati dari fakta-fakta persidangan yang tertulis diatas, mengenai pertimbangan judex facti yang menyatakan bahwa terdakwa telah merugikan keuangan negara, padahal pada kenyataanya perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak merugikan keuangan negara, hal ini bisa dilihat bahwa dalam pengadaan tinta sidik jari tersebut biaya yang digunakan oleh terdakwa justru lebih kecil dari biaya yang dianggarkan untuk pengadaan tersebut dan mengenai pembebasan biaya masuk yang harus dibayar oleh rekanan, PT. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Fulcomas Jaya telah membayar dan mengembalikan bea masuk atas tinta impor tersebut, sehingga unsur merugikan keuangan negara disini tidak terpenuhi, begitu juga mengenai pembelaan terdakwa berdasarkan pertimbangan judex facti yang menyatakan bahwa terdakwa telah menyimpang dan bahkan telah meninggalkanmenabrak aturan-aturan yang berlaku dalam pengadaan barangjasa sebagaimana ditentukan dalam Keppres No.80th.2003, terdakwa berdalih bahwa perbuatannnya merahasiakan nilai total HPS kepada calon-calon rekanan merupakan pelanggaran yang sanksi hukumannya hanya berupa hukuman administratif serta bukan karena melakukan tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum dengan alasan perbuatan- perbuatan terdakwa tersebut bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat, sekalipun perbuatan tersebut memberikan keuntungan kepada negara dalam hal penghematan biaya pengadaan tinta pemilu namun Mahkamah Agung memandang kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa justru lebih besar karena perbuatan tersebut dicela oleh masyarakat dan melanggar kepatutan dalam masyarakat. Dalam hal ini Mahkamah Agung telah menerapkan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi negatifnya, namun yang harus diperhatikan adalah didalam penerapannya harus dilakukan dengan sikap kehati-hatian agar tidak menjurus kearah penerapan yang membabi buta, artinya fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum materil harus diterapkan secara ketat, situatif dan kasuistis, sebab UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pandangan masyarakat terhadap suatu perbuatan sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat, begitu juga terhadap kasus ini. B. Kasus II : Putusan Mahkamah Agung Yang Menerapkan Pandangan Perbuatan Melawan Hukum Materil Yang Berfungsi Negatif Dalam Tindak Pidana Korupsi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 97KKr1973 Memeriksa perkara pidana dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara terdakwa : Nama : Sabar Soedirman bin Hadiprodjo; Tempat Lahir : Kediri Jawa Timur ; Umurtanggal lahir : 51 tahun ; Jenis Kelamin : Laki – laki ; Kebangsaan : Indonesia ; Tempat Tinggal : Jalan Dr. Saleh No. 10 Bandung; Pekerjaan : Anggauta Staf Ditjen Postel Departemen PerhubunganEx. Direktur Utama P.N. Telekomunikasi ; Tertuntut kasasi ditahan sejak tanggal 19 Mei 1970; yang diajukan di muka Pengadilan Negeri tersebut, karena dituduh : Pertama: Primair : ”bahwa ia tertuduh selaku Direktur Utama P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung Dirmatel, berdasarkan surat keputusan Menteri Perhubungan tanggal 7 April 1967 No. P.37195Phb, ataupun sebagai orang yang diwajibkan seterusnya UNIVERSITAS SUMATERA UTARA atau sementara waktu menjalankan sesuatu pekerjaan umum, setidak-tidaknya sebagai Pegawai Negeri dengan cara bersama-sama bersekutu satu sama lain dengan saksi Surlanegara yang menjabat sebagai Direktur Keuangan P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung Dirkutel, atau secara sendiri-sendiri atau bertindak untuk dirinya sendiri, pada waktu-waktu yang tidak dapat ditentukan lagi dengan pasti pada bulan Agustus sd Oktober 1968, pada bulan Maret 1969 sd Maret 1970, atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 1968, 1869, 1970, di kantor P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung, ataupun setidak-tidaknya di tempat-tempat lainnya yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Bandung, dengan sengaja telah memiliki dengan melawan hukum uang sejumlah Rp. 250.000.000,- Dua ratus lima puluh juta rupiah ataupun kurang ataupun lebih dari jumlah itu, yang seluruhnya ataupun sebagainya merupakan uang exploitasi milik P.N. Telekomunikasi Pusat, setidak-tidaknya bukan milik tertuduh dengan cara mendepositokan atau membiarkan, atau memberi kesempatan didepositokan oleh saksi Surianegara selaku Dirkutel ataupun orang lain, uang exploitasi sejumlah 250.000.000,- Dua ratus lima puluh juta rupiah, tersebut yaitu sejumlah Rp. 100.000.000,- Seratus juta rupiah pada bank Exim Cabang Bandung, sejumlah Rp. 100.000.000,- Seratus juta rupiah pada B.N.I. 1946 Bandung dan sejumlah Rp. 50.000.000,- Lima puluh juta rupiah lagi pada bank Exim Jakarta padahal sebenarnya uang exploitasi yang didepositokan tersebut menurut Anggaran Belanja rutin seharusnya adalah digunakan untuk pembayaran kepada Siemens dan untuk pembayaran pembangunan proyek gedung Telekomunikasi di Jogja Jawa Tengah; UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan uang exploitasi tersebut berada dalam kekuasaan tertuduh adalah karena jabatan atau pekerjaan tertuduh tersebut diatas, atau setidak-tidaknya bukan karena kejahatan”. Melanggar Pasal 55 1 jo Pasal 56 1 jo Pasal 415. K.U.H.P. jo Pasal 1 sub. c jo Pasal 24 1 Perpu No. 24 tahun 1960 jo Undang-Undang No. 1 tahun 1961. Subsidjair: ” bahwa ia tertuduh selaku Direktur Utama P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung Dirmatel, berdasarkan surat keputusan Menteri Perhubungan tanggal 7 April 1967 No. P.37195Phb, ataupun sebagai orang yang diwajibkan seterusnya atau sementara waktu menjalankan sesuatu pekerjaan umum, setidak-tidaknya sebagai Pegawai Negeri dengan cara bersama-sama bersekutu satu sama lain dengan saksi Surlanegara yang menjabat sebagai Direktur Keuangan P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung Dirkutel, atau secara sendiri-sendiri atau bertindak untuk dirinya sendiri, pada waktu-waktu dan tempat-tempat tersebut dalam tuduhan Primair di atas dengan sengaja telah melakukan perbuatan- perbuatan sebagaimana yang telah diuraikan dalam tuduhan primair di atas, sedangkan perbuatan-perbuatan tersebut tidak selesai adalah karena yang berwajib telah mencegahnya, ataupun setidak-tidaknya adalah karena hal-hal yang terletak di luar kemauan tertuduh.” ; Melanggar Pasal 53 1 jo Pasal 55 1 jo pasal 56 1 jo Pasal 415. K.U.H.P. jo Pasal 1 sub. c jo Pasal 24 1 Perpu No. 24 tahun 1960 jo Undang- Undang No. 1 tahun 1961. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kedua: Primair: ” bahwa ia tertuduh selaku Direktur Utama P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung Dirmatel, berdasarkan surat keputusan Menteri Perhubungan tanggal 7 April 1967 No. P.37195Phb, ataupun sebagai orang yang diwajibkan seterusnya atau sementara waktu menjalankan sesuatu pekerjaan umum, setidak-tidaknya sebagai Pegawai Negeri dengan cara bersama-sama bersekutu satu sama lain dengan saksi Surlanegara yang menjabat sebagai Direktur Keuangan P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung Dirkutel, atau secara sendiri-sendiri atau bertindak untuk dirinya sendiri, pada waktu-waktu dan tempat-tempat tersebut dalam tuduhan Pertama di atas dengan sengaja telah memiliki dengan melawan hukum uang sejumlah Rp. 241.672.207,75 Dua ratus empat puluh satu juta enam ratus tujuh puluh dua ribu dua ratus tujuh rupiah tujuh puluh lima sen, yang merupakan pendapatan perusahaan terdiri dari hasil discount sejumlah Rp. 23.067.463,62 Dua puluh tiga juta enam puluh tujuh ribu empat ratus enam puluh tiga rupiah enam puluh dua sen, bunga deposito sejumlah Rp. 128.087.833,33 Seratus dua puluh delapan juta delapan puluh tujuh ribu delapan ratus tiga puluh tiga rupiah tiga puluh tiga sen, jasa Giro Rp. 90.516.910,80 sembilan puluh juta lima ratus enam belas ribu sembilan ratus sepuluh rupiah delapan puluh sen atau kurang ataupun lebih dari jumlah tersebut yang seluruhnya atau sebahagiannya adalah merupakan hasil pendapatan perusahaan dari uang exploitasi P.N. Telekomunikasi jadi adalah milik P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung, setidak-tidaknya bukan milik tertuduh yaitu dengan cara: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1. Tidak memasukkan pendapatan perusahaan yang terdiri dari hasil discount, bunga deposito dan jasa giro tersebut ke dalam klasifikasi pendapatan dalam R.A.B. perusahaan padahal seharusnya pendapatan- pendapatan perusahaan tersebut dimasukkan ke dalam klasifikasi atau pos- pos pendapatan dalam R.A.B. perusahaan karena pendapatan perusahaan tersebut adalah berasal dari uang exploitasi perusahaan yang dibelanjakan, yang didepositokan dan yang digirokan. 2. Kemudian ia teruduh menggunakan atau membiarkan atau mengizinkan untuk digunakan oleh saksi Surianegara selaku dirkutel atau oleh bawahannya ataupun oleh orang lain, uang perusahaan tersebut dengan leluasa, kepada tujuan lain di luar proyek yang telah diatur dalam R.A.B. perusahaan dan diantaranya yang telah merupakan kenyataan ialah sejumlah Rp. 14.224.825,- Empat belas juta dua ratus dua puluh empat ribu delapan ratus dua puluh lima rupiah telah digunakan antara lain sebagai berikut: a. Dititipkandibungakan kepada C.V. Toyota Motor Rp. 6.000.000,- Enam juta rupiah, b. Bantuan modal Yayasan Pribadi yaitu Yastel sejumlah Rp. 1.500.000,- Satu juta lima ratus ribu rupiah, c. Untuk beli pakaian dinas sejumlah Rp. 99.825,- Sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus dua puluh lima rupiah, d. Sumbangan kepada Kepala Bagian Transmigrasi Saudara Dachlan sejumlah Rp. 125.000,- Seratus dua puluh lima ribu rupiah, UNIVERSITAS SUMATERA UTARA e. Untuk Dirjen Postel sejumlah Rp. 6.500.000,- Enam juta lima ratus ribu rupiah, f. Dan lain-lain penggunaan yang tidak diatur dalam pos-pos R.A.B. perusahaan dan uang pendapatan perusahaan yang berupa hasil discount, bunga deposito, jasa Giro tersebut ada dalam kekuasaan tertuduh adalah karena jabatan atau pekerjaan tertuduh tersebut di atas, setidak-tidaknya bukanlah karena kejahatan” Melanggar Pasal 53 1 jo Pasal 55 1 jo Pasal 56 1 jo Pasal 415. K.U.H.P. jo Pasal 1 sub. c jo Pasal 24 1 Perpu No. 24 tahun 1960 jo Undang- Undang No. 1 tahun 1961. Subsidiair ”bahwa ia tertuduh selaku Direktur Utama P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung Dirmatel, berdasarkan surat keputusan Menteri Perhubungan tanggal 7 April 1967 No. P.37195Phb, ataupun sebagai orang yang diwajibkan seterusnya atau sementara waktu menjalankan sesuatu pekerjaan umum, setidak-tidaknya sebagai Pegawai Negeri dengan cara bersama-sama bersekutu satu sama lain dengan saksi Surianegara yang menjabat sebagai Direktur Keuangan P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung Dirkutel, atau secara sendiri-sendiri atau bertindak untuk dirinya sendiri, pada waktu-waktu dan tempat-tempat tersebut dalam tuduhan kedua primair di atas, sedangkan perbuatan-perbuatan tersebut tidak selesai adalah karena yang berwajib telah mencegahnya, ataupun setidak- tidaknya adalah karena hal-hal yang terletak di luar kemauan tertuduh.” UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Melanggar Pasal 53 1 jo Pasal 55 1 jo Pasal 56 1 jo Pasal 415. K.U.H.P. jo Pasal 1 sub. c jo Pasal 24 1 Perpu No. 24 tahun 1960 jo Undang- Undang No. 1 tahun 1961. Ketiga: ”bahwa ia tertuduh selaku Direktur Utama P.N. Telekomunikasi Pusat di Bandung Dirmatel, berdasarkan surat keputusan Menteri Perhubungan tanggal 7 April 1967 No. P.37195Phb, ataupun sebagai orang yang diwajibkan seterusnya atau sementara waktu menjalankan sesuatu pekerjaan umum, setidak-tidaknya sebagai Pegawai Negeri dengan cara bersama-sama bersekutu satu sama lain dengan DirekturKeuangan P.N. Telekomunikasi saksi R.M.A Surianegara dan Direktur Perlengkapan P.N. Telekomunikasi saksi Ir Rolin ataupun sendiri- sendiri atau bertindak untuk dirinya sendiri, dalam melaksanakan tugasnya tersebut diatas pada waktu-waktu dan tempat tersebut dalam tuduhan pertama dan kedua diatas, telah menagih, atau menerima sesuatu atau menahan dari suatu pembayaran, seolah-olah harus dibayar kepada Kas P.N. Telekomunikasi atau kepada pegawai-pegawai P.N. Telekomunikasi sebagai dana kesejahteraan yaitu tertuduh bersama-sama dengan saksi tersebut di atas, telah menagih dan atau menerima atau menahan dari harga barang-barang yang oleh leveransir-leveransir jual kepada P.N. Telekomunikasi, yang disebut uang discount yaitu, sebagai potongan harga ataupun sebagai potongan rabat atau dan seolah-olah pembayaran discount tersebut diharuskan, sedang tertuduh, ketahui bahwa pengadaan discount, dan sekalian-sekalian hal-hal tersebut diatas, bukanlah termasuk hutang bagi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA leveransir-leveransir barang tersebut dan bukan pula suatu hal yang diharuskan dengan sah.” Melanggar Pasal 55 ayat 1 jo. Pasal 56 ayat 1 jo. Pasal 425 ke 1 dan ke 2 KUHP jo. Pasal sub c jo. Pasal 24 dari Perpu No. 24 tahun 1960 jo. Undang- Undang No. 1 tahun 1961. Dengan memperhatikan Pasal 415 dan Pasal 425 KUHP jo. Undang- Undang Pemberantasan Korupsi juga pasal 65 KUHP serta Pasal-Pasal H.I.R. yang bersangkutan telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan seperti yang tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut yang amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut : Menyatakan terdakwa : Sabar Soedirman bin Hadiprodjo yang tersebut di atas ini, bersalah tentang kejahatan “korupsi dilakukan berturut-turut”; Menghukum ia oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 4 empat tahun; Putusan mana dalam pemeriksaan pada tingkat banding telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi di Bandung dengan putusannya tanggal 19 Januari 1972 No. 301971PidPT.B yang amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut: Menerima permohonan banding dari terdakwa Sabar Soedirman bin Hardiprodjo dan Jaksa tersebut. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 30 Desember 1970 nomor 231970 Pidana yang dimohonkan banding : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Mengadili sendiri : Mengenai tuduhan pertama dan kedua : Menyatakan, bahwa meskipun perbuatan-perbuatan yang dituduhkan kepadanya terbukti dengan sah dan meyakinkan, akan tetapi perbuatan-perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran pidana. Melepaskan terdakwa oleh karenanya dari segala tuntutan hukum. Memerintahkan, agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan sementara kecuali apabila berdasarkan alasan lain yang sah harus tetap berada dalam tahanan. Mengadili tuduhan ketiga : Menyatakan, bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan dan dituduhkan kepadanya tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan. Membebaskan terdakwa oleh karenanya dari tuduhan tersebut. Memerintahkan, agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan sementara kecuali apabila berdasarkan alasan lain yang sah harus tetap berada dalam tahanan. Menetapkan, bahwa biaya-biaya perkara dalam tingkat pertama dan tingkat banding ditanggung oleh negara. Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh penuntut kasasi pada pokoknya dalah sebagai berikut : 1. Bahwa uang yang didepositokan selama jangka waktu tertentu berada dalam penguasaan fisik oleh pihak bank sehingga pihak telkom cq. pihak UNIVERSITAS SUMATERA UTARA terdakwa telah tidak dapat menggunakan uang tersebut setiap saat jika uang tersebut diperlukan. Uang tersebut adalah uang eksploitasi yang penggunaannya hanyalah untuk eksploitasi perusahaan, sebagaimana yang diatur dalam R.A.P.B perusahaan, jadi sudah ada bestemming-nya dengan didepositokan uang tersebut berarti menyimpang dari bestemming tersebut; 2. Bahwa penggunaan uang tersebut ditentukan, tiap tahun selambat- lambatnya 3 bulan sebelum tahun buku disusun oleh Direksi, kemudian diajukan ke Menteri Perhubungan untuk disahkan menjadi R.A.P.B. perusahaan jadi tidak benar bestemming uang eksploitasi P.N. Telkom ditentukan oleh Direksi cq. Terdakwa; 3. Bahwa berhubung pertanggung jawab perusahaan adalah pertanggungan jawab para Direksi, maka dalam hal mendepositokan uang eksploitasi minimum harus dengan persetujuan semua anggota Direksi, sedang nyatanya hanya dilakukan oleh terdakwa bersama-sama dengan Direksi Keuangan P.N. Telkom; 4. Bahwa Pengadilan Tinggi dalam mengutip instruksi Waperdam Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan tanngal 5 April 1966 No. 1 tahun 1966 tidak melihat keseluruhannya maksud dan inti instruksi tersebut; 5. Bahwa P.N. Telkom belum pernah membuat neraca perusahaan dan belum pernah mengirimkannya ke Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan, apa yang oleh Pengadilan Tinggi disebut neraca hanya merupakan konsep belaka; UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 6. Bahwa uang hasil deposito tidak pernah dimasukkan ke dalam pembukuan uang eksploitasi sebagai pendapatan perusahaan yang untuk selanjutnya digunakan untuk kepentingan perusahaan; 7. Bahwa dengan dikeluarkannya uang kepada Dirjen Postel sejumlah Rp 6.500.000,- maka terbukti bahwa P.N. Telkom telah dirugikan oleh perbuatan terdakwa, demikian pula pinjaman kepada CV. Toyota Motor dan sebagainya; 8. Bahwa discount dalam kenyataan merupakan kewajiban yang dipaksakan kepada para rekanan; Menimbang, bahwa atas keberatan-keberatan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : Mengenai keberatan-keberatan ke- 1,2,3,4,5,6,7, dan 8: Bahwa keberatan-keberatan tersebut semuanya tidak dapat diterima, karena Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan dan putusannya telah tepat; Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan terurai di atas lagi pula karena tidak ternyata, bahwa putusan judex facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum danatau Undang-Undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak; Memperhatikan Pasal-Pasal Undang-Undang yang bersangkutan; MEMUTUSKAN : Menolak permohonan kasasi dari penuntut-kasasi: Kepala Kejaksaan Negeri I di Bandung tersebut; Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada Negara. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan pada hari Rabu tanggal 17 Oktober 1973 oleh Prof. Subekti S.H. Ketua, Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., dan Busthanul Arifin S.H., Hakim-Hakim Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka pada hari Rabu tanggal 21 Nopember 1973 oleh Ketua tersebut dihadiri oleh Sri Widojati Wiratmo Soekito S.H., dan Busthanul Arifin S.H., Hakim-Hakim Anggota, tidak dihadiri oleh Basaroeddin. Dari putusan diatas terlihat Mahkamah Agung dalam pandangannya menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan terdakwa bukan merupakan suatu perbuatan kejahatan maupun pelanggaran pidana dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Perbuatan mendepositokan uang Perusahaan Negara dalam bank rekening P.N. yang bersangkutan pada Bank Pemerintah, tidak merupakan penggelapantindak pidana korupsi, karena uang tersebut tidak menjadi hilang atau terlepas dari kekuasaan terdakwa sebagai Direktur Utama P.N. tersebut. 2. Karena perbuatan-perbuatan seperti yang dituduhkan kepada terdakwa merupakan tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam mengelola uang P.N. dan dibenarkan pula oleh atasan terdakwa; lagi pula tidak merugikan Negara, kepentingan umum terlayani dan terdakwa pribadi tidak mendapat untung, maka perbuatan terdakwa kehilangan sifat melawan hukumnya. 3. Pemungutan discount oleh P.N. terhadap para rekananpenjual barang, yang diperuntukkan bagi kesejahteraan pegawai, karena merupakan “zakat” atau “retourcommissie” dari penjual yang sebelumnya telah UNIVERSITAS SUMATERA UTARA disetujui dalam perjanjian jual-beli, maka suatu kewajiban bagi penjual untuk melaksanakannya, sehingga tidak memenuhi unsur “seolah-olah suatu kewajiban” dari tindak pidana pemerasan dalam jabatan knevelarijtindak pidana korupsi. Terlihat dari alasan-alasan Mahkamah Agung diatas bahwa Mahkamah Agung berpandangan perbuatan terdakwa tersebut dalam mengambil suatu kebijaksanaan yang aturannnya tidak ada diatur di dalam peraturan Perusahan Negara tersebut ataupun yang sudah diatur dalam peraturan Perusahaan Negara tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan keajahatan maupun pelanggaran pidana, sehingga dalam hal ini Mahkamah Agung telah menerapkan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi negatifnya. Ada hal yang perlu dicermati dari fakta persidangan yang tertulis diatas, dimana ada beberapa perbuatan terdakwa dalam menyalurkan uang Perusahaan Negara tersebut dilihat kurang tepat yakni pemberian sumbangan kepada Kepala Bagian Transmigrasi Saudara Dachlan sejumlah Rp. 125.000,-Seratus dua puluh lima ribu rupiah dan pemberian uang kepada Dirjen Postel sejumlah Rp. 6.500.000,- Enam juta lima ratus ribu rupiah yang tidak jelas peruntukannya dan telah merugikan keuangan Negara, namun Mahkamah Agung berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa memberikan keuntungan yang lebih besar bagi Negara dibandigkan dengan kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan terdakwa tersebut, oleh karena itu sesuai dengan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi negatifnya, maka perbuatan terdakwa dipandang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bukanlah merupakan suatu perbauatan kejahatan ataupun pelanggaran pidana berdasarkan kepatutan dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan uraian diatas terlihat dalam penerapan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi negatif harus dilakukan dengan sangat cermat dan hati-hati dan dengan pertimbangan yang matang dalam menelusuri untung-rugi keuangan Negara akibat dari suatu perbuatan dan juga dalam menelusuri rasa keadilan dan kepatutan yang ada dalam masyarakat agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapannya yang justru akan dapat menusuk rasa keadilan di dalam masyarakat. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN