undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan
suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian,
dalam pandangan sifat melawan hukum materil, melawan hukum dapat diartikan baik
melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.
51
C. Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni: Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya
suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua,
kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil
mengandung dua pandangan sebagai berikut:
52
1. Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan delik.
51
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 115
52
http:gagasanhukum.wordpress.com20100325perbuatan-melawan-hukum-materil- Bagian III diakses tanggal 4 maret 2013, pukul 17. 30 WIB
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung
pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum materil dibagi menjadi
sifat melawan hukum materl dalam negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur
delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif
mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di
masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana. Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir
apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada
pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan.
53
53
Sudarto, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2005 hal. 102
Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh
mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan. Untuk menjatuhkan pidana harus dipenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum wederrechtelijk baik yang
secara eksplisit maupun yang ada secara implisit yang ada dalam suatu pasal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Adanya sifat melawan hukum secara implisit dan eksplisit terdapat dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini
merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dapat dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan.
Jika meneliti Pasal-Pasal dalam KUHP maka akan tercantum kata-kata melawan hukum wederrechlijk untuk menunjukan sah suatu tindakan atau suatu maksud.
Penggunaan kata wederrechlijk untuk menunjukan sifat tidak sah suatu tindakan terdapat dalam Pasal 167 ayat 1, 168, 179, 180, 189, 190, 198, 253 – 257, 333
ayat 1, 334 ayat 1, 335 ayat 1 angka 1, 372, 429 ayat 1, 431, 433 angka 1, 448, 453 – 455, 472 dan 522 KUHP. Sedangkan penggunaan kata wederrechlijke
untuk menunjukan suatu maksud dapat dijumpai dalam Pasal 328, 339, 362, 368 ayat 1, 369 ayat 1, 378, 382, 390, 446 dan 467 KUHP.
54
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu
dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan Pada umumnya para
sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua Pasal
dalam KUHP mencantumkan unsur melawan ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara
eksplisit;
54
Lamitang, Op.Cit., hal. 332
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perbuatan pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan.
55
Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi persoalan karena secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan
apakah seseorang itu wederrechtelijk atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan
delik atau tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan materiele wederrechtlikheid. Terhadap hal ini memang menjadi persoalan karena di negeri Belanda sendiri
ajaran materiele wederrechtlikheid kurang berkembang, sedangkan persoalannya menjadi lain karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak tertulis yaitu
hukum adat yang memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan hukum tertulis dan terdapat dalam KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam
kehidupan masyarakat yang tidak tertulis. Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang materil di Indonesia ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda.
Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari Pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana yang meliputi
alasan pembenar dan alasan pemaaf maka sifat melawan merupakan alasan pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan hapus
atau tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat formil formele
wederrechtelijkheid maupun sifat melawan hukum yang materil materiele wederretelijkheid.
55
Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1987, hal. 269-270
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1962 No. 152 KKr1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah
Agung mengeluarkan Keputusan No. 42 KKr1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini secara terang-terangan menganut ajaran sifat melawan
hukum yang materil materiele wederrechtlikheid sebagai alasan pembenar.
56
Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut:
57
Keputusan ini dianggap sebagai yang pertama tentang pengakuan penggunaan ajaran materiele wederrechtlikheid yang selanjutnya digunakan pula dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung yang lain. ”Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya
berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor : a. negara tidak dirugikan;
b. kepentingan umum dilayani;dan c. terdakwa tidak mendapat untung.
58
56
Verdianto I. Bitticaca, Op,Cit., hal. 52
57
http:repository.usu.ac.idbitstream12345678953296Chapter20II.pdf, diakses tanggal 4 Maret 2013, pukul 17.45 WIB
58
Lihat juga putusan MARI No. 30 KKr1969 dalam kasus jual beli vespa bekas, MARI NO. 72 KKr1970 dalam kasus penarikan cek kosong Caltex, MARI No. 43 KKr1973, dalam
kasus Komisi Dokter Hewan, MARI No. 97 KKr1973 dalam kasus Deposito Telkom, MARI No. 81 KKr 1973 dalam kasus Reboisasi Hutan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL YANG BERFUNGSI