Media Massa Analisis kesalahan penggunaan tanda hubung dan unsur serapan bahasa asing pada berita utama (headline) tabloid gaul edisi Januari 2014: implikasi terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia kelas IX

langsung. Dengan demikian, bahasa jurnalistik itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam karya jurnalistik. Bahasa jurnalistik didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya. 18 Bahasa yang lazim dipakai media cetak berkala yakni surat kabar, tabloid, dan majalah disebut bahasa jurnalistik. 19 Dewabrata mengemukakan bahwa penampilan ragam bahasa jurnalistik yang baik bisa ditenggarai dengan kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari atas sampai akhir, menggunakan kata yang merakyat, akrab di telinga masyarakat sehari-hari; tidak menggunakan susunan kaku formal dan sulit dicerna. Susunan kalimat jurnalistik yang baik akan menggunakan kata- kata yang paling pas untuk menggambarkan susunan serta isi pesannya. Bahkan nuansa yang terkandung dalam masing-masing kata pun perlu diperhitungkan. 20 Rosihan Anwar, wartawan senior terkemuka menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa yang memiliki sifat- sifat khas yaitu: singkat padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Dia juga harus memperhatikan 18 Rosihan Anwar dalam AS Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2010, Cet. III, h.7. 19 As Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature: Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008, Cet. III, h. 53. 20 AS Haris Sumadiria. Op.cit. h.5. ejaan yang benar. Dalam kosakata, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat. 21 Badudu mengemukakan bahwa bahasa jurnalistik harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik mengingat media massa dinikmati oleh lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. 22 Yang paling dasar dalam memahami bahasa jurnalistik bahwa bahasa jurnalistik juga sama saja dengan bahasa yang digunakan secara umum, yaitu mengikuti tata bahasa yang berlaku dan mempergunakan kosakata yang sama. 23 Berdasarkan penjelasan mengenai bahasa jurnalistik menurut para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang biasanya digunakan oleh wartawan pers untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Aturan pers dalam menggunakan bahasa di media tidak lepas dari aturan yang telah ditentukan dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, hanya saja penulisan mereka terlihat lebih sederhana, ringkas dan padat. Berikut ini dipaparkan mengenai pedoman penulisan bahasa jurnalistik dan kesalahan dalam penggunaan bahasa jurnalistik.

1. Pedoman Penulisan Bahasa Jurnalistik

Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media, yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari 21 Rosihan Anwar dalam AS Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2010, Cet. III, h. 6. 22 Ibid. 23 Badudu dalam Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan Praktik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, Cet. II, h. 164. kata dan istilah asing, pilihan kata diksi yang tepat, menggunakan kalimat aktif, menghindari kata dan istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika. 24 Pedoman pemakaian bahasa Indonesia dalam pers juga telah disepakati oleh para wartawan dalam Karya Latihan Wartawan IKLW XVII PWI Pusat yang diselenggarakan pada tanggal 6 — 10 November 1975. Adapun isi pedoman tersebut adalah sebagai berikut. a. Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Hal ini juga harus diperhatikan oleh para korektor karena kesalahan paling menonjol dalam penerbitan pers sekarang ini ialah kesalahan ejaan. b. Wartawan hendaknya membatasai diri dalam singkatan atau akronim. Kalaupun harus menulis akronim, maka satu kali dia harus menjelaskan dalam tanda kurung kepanjangan akronim tersebut supaya tulisannya dapat dipahami oleh khalayak ramai. c. Wartawan hendaknya jangan menghilangkan imbuhan, bentuk awalan atau prefix. Pemenggalan kata awal me- dapat dilakukan dalam kepala berita mengingat keterbatasan ruangan. Akan tetapi, pemenggalan jangan sampai dipukulratakan sehingga merembet pula ke dalam tubuh berita. d. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Pengutaran pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan dan kata tujuan subjek, predikat, objek. e. Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata “sementara itu”, “dapat ditambahkan”, “perlu diketahui”, “dalam rangka”, “selanjutnya”, dan lain-lain. f. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir sepert: “adalah” kata popula; “telah” penunjuk masa lampau; “untuk” sebagai terjemahan to dalam bahasa Inggris, “dari” sebagai terjemahan of dalam hubungan milik; “bahwa” sebagai kata sambung, dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang. g. Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur-aduk dalam satu kalimat bentuk pasif di dengan bentuk aktif me. Sebab kalimat aktif terasa lebih hidup dan kuat dari kalimat pasif. 24 AS Haris Sumadiria, Bahasa jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2010, Cet III, h.14.