Pandangan Ali Shariati terhadap Individu dan Masyarakat
bukan dimensi tanah.
4
Kedua, manusia ideal adalah mereka yang mampu mengatasi empat penjara manusia. Ilmu dan teknologi telah membebaskan
manusia ideal dari determinasi alam, sejarah dan masyarakat. Berkat cinta kasih yang tertanam dalam pusat dirinya, manusia ideal dapat lepas dari kungkungan
ego dirinya sendiri.
5
Ketiga, selalu berada di tengah-tengah alam dan masyarakat. Ia bukan seorang yang mengisolasikan dirinya dari keramaian. Ia bersama umat
manusia, bahkan memperjuangkan kepentingan kemanusiaan.
6
Keempat, jiwanya memiliki keseimbangan. Shariati mendeskripsikannya, dengan ilustrasi sebagai
berikut: Di tanganya tergenggam padang Caesar dan di dadanya bermukim hati
Yesus. Dia berfikir dengan otak Sokrates, serta mencintai Allah dengan hati al- Hllaj.
7
Shariati mempertajam : Berfikir filosofis tak membuatnya terlena akan nasib umat manusia. Keterlibatan politik tak menyeretnya kepada demagogi dan riya.
Ilmu tak mengurangi cita keyakinanya, dan keyakinan tak melumpuhkan daya pikir dan dedukasi logisnya. Sedangkan aktivisme dan komitmen tak menodai
tanganya dengan immoralitas. Dia adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia syair dan pedang, manusia kesepian dan komitmen, manusia keyakinan dan
4
Ali Shariati, on the Sociology of Islam, Barkeley: Mizan Press, 1979,h.121.
5
Ibid, h. 123.
6
Ibid , h. 122.
7
[ He hold the swords og Caesar in his hand and he has the heart of Jesus in his breast. He thinks with brain of Socrates and loves with the heart of Hallaj.] Ibid.
pengetahuan. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati.
8
Dengan segala keharmonian dirinya itu manusia ideal mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan demi mencipta “firdaus” di muka bumi. Kelima, modal utama
manusia ideal adalah pengetahuan, akhlak, dam seni. Ketiganya merupakan representasi dari kebenaran, kebijakan dan keindahan.
9
Dengan model ketiga hal ini, manusia ideal menjalankan tugas-tugas Ilahi sebagai khilafah Allah. Dia
adalah kehendak yang komitmen dengan tiga macam dimensinya yakni: kesadaran, kebebasan, dan kreatifitas.
Karakter dua dimensi tidak hanya berlaku pada tataran manusia individual, yang disimbolkan Adam, namun berlaku pula pada tataran sosial. Bagaimana
terjadinya kontradiksi, pengkutuban atau konflik dialektis pada level sosial tersebut? Pertanyaan ini oleh Ali Shariati, dijawab dengan menguraikan sejarah
munculnya polaritas sosial. Lagi-lagi Shariati menggunakan kisah simbolik dari khazanah agama-agama semiotik. Kisah yang diadopsi Shariati adalah kisah dua
anak Adam, yaitu Qabil Cain dan Habil Abel. Drama simbolik Habil dan Qabil dalam Al-
Qur’an tidak menyebutkan nama keduanya. Nama-nama mereka hanya tercantum dalam tafsir- tasfir al-
Qur’an. Menurut Hamid Enayat, data tersebut memungkinkan Shariati untuk
8
[he is a man whom philosophical thought does not make inatteentative to the fate of mankind, and whose involvement in politics does not lead do demagoguery and fame-seeking.
Science has not deprived him of the taste of faith, and faith has not paralyzed his power of thought and logical deduction. Piety has not made of him a hamless ascetic, and avtivism and commitment
have not stained his hands with immorality. He is a man of jihad and ijtihad, of poetry and the sword, of solitude and commitment, of emotion and genius, of strength and love, of faith and
knowledge. He is man uniting all the dimentions of true humanity.] Ibid.
menginterpretasikan kisah itu dengan pengertian yang belum pernah diungkap dalam tafsir-tafsir klasik, tanpa menampilkan pandangan yang menyalahi
kelaziman.
10
Secara singkat, alur cerita tragedi pembunuhan Habil sebagai berikut: Habil dan Qabil adalah anak Adam. Habil dan Qabil memiliki saudari
kembar. Kala keduanya dewasa, Adam memutuskan untuk mengawinkan mereka. Habil dipasangkan dengan saudari kembar Qabil, dan sebaliknya Qabil
dipasangkan dengan saudari kembar Habil. Namun, Qabil menolak rencana Adam tersebut. Qabil berpendapat bahwa saudari kembarnya lebih cantik disbanding
saudari kembar Habil. Menghadapi persoalan ini, Adam mengambil kebijaksanaan agar keduanya menyediakan korban kepada Allah. Korban Habil,
yang terdiri dari hasil ternak terbaiknya, diterima Allah, sedangkan korban Qabil, yang berbentuk hasil bumi yang telah busuk, ditolak oleh Allah. Tetapi, Qabil
tetap bertekad untuk mengawini saudari kembarnya meskipun harus membunhu Habil. Pembunuhan pun terjadi. Setelah jasad Habil terbujur kaku tanpa nyawa,
Qabil kebingungan mau diapakan jenazah Habil itu. Alkisah, datanglah dua burung gagak. Keduanya bertarung. Salah satu burung gagak itu mati. Kemudian,
secara simbolik, sang burung gagak pembunuh mengais tanah untuk menguburkan rekan gagaknya. Qabil pun mengikuti tingkah burung gagak tersebut.
Kisah Habil dan Qabil banyak diterjemahkan oleh para komentator dalam bingkai nilai moral. Penafsir-penafsir relijius, baik dikalangan muslim maupun
non-muslim, mengartikan kisah ini sebagai sekedar kutukan atas ketamakan dan
10
Ibid , h. 124.
11
Enayat Hamid, Modern Islamic political Thought, Austin: University of Texas Press, 1982, h. 165.
pembunuhan, khusunya pembunuhan saudara.
11
Pada dasarnya, Shariati pun menangkap moral itu. Dimensi moral yang ditangkap Shariati adalah penekanan
interpretasinya terhadap simbol dua tokoh kisah tersebut. Menurut Shariati, ada dua tipe manusia yang kontradiktif dalam cerita itu, yaitu tipe Habil manusia
beriman,cinta damai dan mau mengorbankan dirinya, dan tipe Qabi manusia yang penuh nafsu, pelanggar batas dan pembunuh saudara.
12
Namun, bukan hanya ajaran etis itu saja yang bisa diperoleh dari kisah tersebut. Dalam On
Sociology of Islam Shariati mengatakan :
Dengan mengupas kisah ini secara terperinci, pertama-tama Shariati bermaksud untuk menolak pendapat yang mengemukakan bahwa kisah itu khusus
bertujuan etis. Karena di dalamnya terkandung makna yang jauh lebih serius dari pada sekedar judul suatu esai. Kedua kisah ini bukanlah tentang pertengkaran
antara dua bersaudara, melainkan berkenaan dengan dua sayap masyarakat manusia, dua cara produksi. Kisah itu melukiskan sejarah dua kelompok manusia
sepanjang zaman, awal peperangan yang tak kunjung selesai.
13
Cara Ali Shariati untuk membongkar makna kisah itu adalah analisis kejiwaan, yang berlandaskan kajian- kajian sosiologi lingkungan, mata pencarian
dan kelas mereka Habil dan Qabil.
14
Kedua anak Adam adalah manusia biasa dan alami, tapi mereka saling bermusuhan. Yang satu membunuh yang lain, maka
bermulalah sejarah kemanusiaan. Pertarungan Adam bersifat subjektif, batiniah dan berlangsung dalam esensinya sendiri. Namun, pertarungan antara kedua
11
Ibid , h. 156-157.
12
Ibid , h. 157.
13
Ali Shariati, On the Sociology of Islam, h. 108.
14
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought,op.cit, h.157.
putranya bersifat objektif, berlangsung dalam kehidupan yang lebih lahiriah. Karena itu, kisah Habil dan Qabil merupakan sumber filsafat sejarah,
sebagaimana kisah Adam adalah sumber filsafat tentang manusia. Shariati mendapatkan bahwa penyebab utama lahirnya kontradiksi dan polarisasi dalam
sejarah adalah basis material, yakni pekerjaan. Secara terang benderang diketahui bahwa asal usul Habil dan Qabil adalah
sama, yakni Adam. Mereka sebangsa, seayah dan seibu. Mereka pun sependidikan, seagama. Begitu pula lingkunganya. Masyarakat saat itu belum
terbentuk, dan keragaman kultural, dan kelompok sosial belum muncul.
15
Menurut Shariati sejatinya Habil dan Qabil adalah manusia baik-baik namun karena
pekerjaan mereka itulah yang membedakan, sekaligus menempatkan mereka pada status sosial dan ekonomi yang berbeda dan dengan tipe-tipe kerja, struktur-
struktur produksi, maupun sistem-sistem ekonomi yang saling kontradiksi.
16
Pekerjaan membentuk karakter pribadi kedua anak Adam itu. Ringkasnya menurut Shariati, Qabil menjadi jahat ialah system sosial yang anti manusiawi,
masyarakat kelas, rezim hak milik pribadi yang menumbuhkan perbudakan dan pertuanan, dan mengubah manusia menjadi srigala, musang, atau kambing.
Shariati menyebut Habil sebagai lambang kaum tertindas dan Qabil sebagai lambang para penindas. Kelompok yang diwakili Habil adalah kelompok taklukan
dan tertindas, yaitu rakyat yang sepanjang sejarah dibantai dan diperbudak oleh sistem Qabil, sistem hak milik individu yang memperoleh kemenangan dalam
masyarakat.
15
Ali Shariati, On the Sociology of Islam, h. 102.
16
Ibid , h. 102.
Peperangan antara Habil dan Qabil mencerminkan suatu pertempuran sejarah abadi yang telah berlangsung pada setiap generasi. Panji-panji Qabil
senantiasa dikibarkan oleh penguasa, dan hasrat untuk menebus darah Habil telah diwarisi oleh generasi keturunanya- rakyat tertindas yang telah berjuang untuk
keadilan, kemerdekaan, dan kepercayaan teguh pada suatu perjuangan yang terus berlanjut pada setiap zaman.
17
Dalam On the Sociology of Islam, Shariati berpendapat bahwa dalam masyarakat hanya ada dua struktur. Kedua struktur tersebut adalah struktur Qabil
dan struktur Habil. Lebih lanjut Shariati menjelaskan : Pada struktur pertama, masyarakat menjadi penentu nasibnya sendiri,
semua warganya beramal untuk masyarakat dan demi kepentingan masyarakat. Pada struktur kedua, para peroranganlah yang menjadi
pemilik dan penentu nasib mereka masing-masing maupun nasib masyarakat. Namun, di dalam masing-masing struktur tersebut terdapat
berbagai macam cara produksi, bentuk relasi, alat, sumber dan barang. Semua ini merupakan super-struktur.
Bagi Shariati, super-struktur mekanisme ekonomi merupakan bagian integral dari super-struktur masyarakat. Contohnya struktur dengan mekanisme
ekonomi cara-cara produksi, bentuk-bentuk relasi, alat, sumber dan barang. Dan yang Pertama dimana perubahan pada mekanisme ekonomi tidak serta merta
merubah struktur masyarakat. Kedua, kategori pembeda struktur Habil dan struktur Qabil secara implisit dimana Ali Shariati membedakanya bahwa
kebebasan individu memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, dan kepentingan yang diperjuangkan. Pada struktur Habil, individu memiliki
17
M. Deden Ridwan, Melawan Hegemoni Barat Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan
Indonesia, PT Lentera Basritama : Jakarta, 1999, h. 109.
kebebasan untuk menentukan garis nasibnya sendiri, dan semua individu tersebut mengabdi demi kepentingan masyarakat.
Dalam struktur qabil tidak semua individu memiliki kebebasan menentukan nasibnya sendiri. Porsi besar kebebasan dimiliki oleh para pemilik, baik pemilik
kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi maupun kekuasaan relijius. Nasib masyarakat ditentukan oleh kelompok pemilik tersebut. Seluruh tindak tanduk
para pemilik tersebut pertama-tama tidak diabadikan demi kepentingan masyarakat tapi demi kepentingan pribadi dan kelompok pemilik tersebut.
Setelah pemaparan tentang individu pembahasan bergeser pada pemikiran tentang masyarakat ideal menurut Shariati. Nampaknya, Shariati mencoba
merekonstruksi suatu prototype masyarakat yang Shariati idam-idamkan dan cita- citakan. Menurut Shariati masyarakat adalah “suatu kumpulan pola-pola,
hubungan- hubungan, berbagai tradisi, hak-hak individual dan publik yang terorganisir, yang dilestarikan sepanjang masa”. Dari definisi sederhana ini, ada
tiga hal penting yang menjadi syarat suatu masyarakat, yaitu : pertama, masyarakat merupakan kumpulan yang terorganisir. Kumpulan tersebut bukan
hanya mencakup individu-individu yang saling menggabungkan diri, namun menyangkut juga pola-pola, relasi-relasi antar anggotanya maupun tradisi-tradisi
yang dikembangkan serta hak-hak individu dan hak-hak sosial. Kedua, dalam masyarakat, ada dua hak yang harus diakui, yaitu hak individual dan hak sosial.
Masyarakat menyediakan tempat yang seimbang untuk ruang pribadi private dan ruang umum public. Ketiga, kedua hal diatas dilanggengkan serta dipertahankan
eksistensinya sepanjang waktu. Demikian pandangan Ali Shariati tentang masyarakat secara umum.
Seorang pengkaji barat yang memilih spesialisasi di bidang studi Islam, Montgomery Watt, telah melakukan kajian terhadap istilah ummah. Kajian itu
Shariati jadikan landasan bagi kajiannya dengan menganalisa secara sosiologis. Hanya saja Shariati berpijak pada satu landasan yang menganggap bahwa istilah
Ummah dan Imamah itu mempunyai asal yang sama.
18
Kesamaan tersebut dapat mencakup makna dalam bentuknya yang tidak terbatas. Bertolak dari situ, Shariati
memulai urainnya tentang Imamah. Pemilihan terhadap nama tertentu. Dapat dipastikan menunjukkan adanya
maksud untuk sebuah istilah seperti penamaan pada anak. Semua itu mengharuskan kita untuk menaruh perhatian terhadap bentuk-bentuk yang amat
unik dalam nama dan istilah-istila, khususnya bila yang ada di depan kita adalah suatu kajian sosiologis. Sosiologis khusunya kajian sosiologis ilmiah terhadap
sejarah kebudayaan, akidah dan ilmu sosial yang telah dikenal selama ini, sangat memerlukan filologi- terutama yang berkaitan dengan prinsip-prinsip bahasa dan
sejenisnya serta pengrtahuan mengenai perkembangan, kemerosostan dan lenyapnya suatu bahasa. Sebab dengan melakukan analisis terhadap suatu kata.
19
Montgomery Watt menekankan kajianya pada masalah berikut ini :
18
Shariati menggambarkan bahwa kita Ummi, yang dijadikan predikat untuk Nabi saw. Yang demikian jelas dan positif, memiliki akar yang sama dengan dua kata sebelumnya.
19
Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah suatu Tinjauan Sosiologis,Pustaka Hidayah : Jakarta, 1989, h. 45-46.
Umat manusia, di sepanjang sejarah dan diberbagai wilayah geografis, hidup berkelompok. Nama-nama yang dipilih oleh kita manusia untuk menyebut
komunitas-komunitas serupa itu akan mampu menyingkapkan pandangan dan konsepsi kelompok-kelompok tersebut terhadap kehidupan sosial dan konsep-
konsep terapannya yang mereka setujui bersama. Baiklah untuk contoh nama –
nama yang digunakan secara nyata dalam bahasa-bahasa Eropa, Arab, dan Persia yang member arti tentang sekelompok orang, berikut kandungan arti kebahasaan
yang ada pada masing-masing nama tersebut. Kemudian disoroti dengan asas kebahasaan pula untuk memperjelas istilah Ummah yang terdapat dalam Islam.
1. Nation, akar katanya adalah naiter, artinya bangsa. Dengan begitu,
pemilik-pemilik nama tersebut menganggap bahwa sifat dasar dan pengikat alamiah yang sacral dan real yang mengikat individu-individu
dalam masyarakat yang satu, adalah kekerabatan, ras, dan kesamaan keturunan.
Dari sudut pandang mereka, sifat-sifat dasar tersebut dianggap sebagai pengikat paling sacral yang menghimpun semua anak bangsa. Di saat
orang-orang Eropa memilih istilah nation dan nationalism, mereka mengukuhkan ikatan keturunan mereka, yang terus berlangsung hingga
sekarang. Di sini kita bisa melihat bahwa konsep tersebut merupakan esensi pandangan hidup kesukuan, yang di dalamnya suatu kabilah
mempersatukan anggota- anggotanya melalui ikatan keturunan mereka pada satu moyang, misalnya Bani Tamim, Bani Ummayah, Bani Najjar,
dan lainya.
2. Qabillah istilah ini telah berusia sangat tua sekali, bahkan lebih tua
dibandingkan istilah Nation. Kabilah merupakan kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama yang bernaung dibawah kabilah itu. Unsur
paling kuat yang mempersatukan individu-individu dalam masyarakat seperti ini adalah kesamaan tujuan, yakni suatu cita-cita yang dengan itu
mereka menjadi bersatu. Setiap kabilah memang mempunyai unsur-unsur pemersatu, seperti tempat tinggal yang tepat. Dengan demikian, kabilah
adalah kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama. 3.
Qoum. Pada tipe masyarakat seperti ini, kehidupan di bangun atas dasar penyelenggaraan fungsi-fungsi secara bersama-sama antara individu-
individu. Artinya, individu- individu yang menjadi anggota kaum itu adalah sekelompok orang yang menghuni suatu wilayah tertentu dan
secara bersama-sama melaksanakan tugas-tugas mereka. 4.
Sya’b. Istilah sya’b, syu’bah, dan insyi’ab, seluruhnya mengacu pada akar kata yang sama. Dengan itu dimaksudkan bahwa bangsa manusia di planet
bumi ini terbagi-bagi dalam berbagai cabang s yu’bah, dan setiap cabang
merupakan satu bangsa tersendiri. Artinya, mereka memisahkan diri dalam berbagai kelompok, dan kelompok itu merupakan cabang dari kumpulan
manusia. 5.
Thabaqah kelas, adalah sekumpulan manusia yang memiliki langgam hidup, institusi, profesi dan penghasilan yang sama dan setingkat. Orang-
orang itu kemudian membentuk elit atau kelas tertentu. Individu-individu yang menempati lapisan sama. Mempunyai kesamaan dalam corak kerja
dan kehidupan, lalu menguasai kendali sosial dan sumber-sumber kekayaan. Mereka ini membentuk institusi dan kelompok yang dikenal
dengan sebutan sociale classe social class. Dengan demikian, keterkaitan sumber penghasilan, dan gaya hidup, khususnya dalam status dan posisi
sosial mereka. 6.
Mujtama atau jama’ah. Istilah ini sekarang berlaku di kalangan masyarakat umum, seperti halnya pula ia berlaku dalam dunia keilmuan.
society atau
jama’ah, baik yang berlaku di kalangan kita maupun kalangan Eropa, merupakan kumpulan manusia yang ada di suatu tempat. Berdasar
itu, maka unsur paling penting dan asas utama yang menjadi pengikat masyarakat tipe ini adalah “berkumpulnya anak-anak manusia di tempat
yang sama”. 7.
Tha’ifah kelompok, adalah sekumpulan orang yang berada di sekitar tempat tertentu. Di suatu padang pasir, misalnya terdapat kelompok-
kelompok yang masing-masing menempati sekitar mata air yang lazimnya tempat mereka berkumpul.
8. Race ras adalah kumpulan individu-individu yang memiliki cirri-ciri
biologis yang sama, misalnya warna kulit, keturunan, dan bentuk tubuh. 9.
Mass massa, adalah sekelompok orang. Yakni sekolompok individu yang tersebar di suatu tempat.
10. People rakyat, adalah kumpulan manusia yang menempati bagian
tertentu dunia ini dan menganggapnya sebagai tanahn airny. Kebalikan
dari people adalah group yang berarti jama’ah, partai, klanclan, dan
suku.
20
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa Shariati tidak memakai istilah- istilah diatas untuk mengekspresikan pemikiranya tentang masyarakat ideal.
Baginya, istilah Ummah lebih cocok digunakan untuk mewakili konsep masyarakat menurut Islam.
Secara istilahi, Shariati merumuskan definisi konsep Ummah. Dalam On the Sosiology of Islam,
Shariati mendefinisikan Ummah sebagai: Ummat adalah suatu kumpulan masyarakat di mana sejumlah perorangan yang mempunyai keyakinan
dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud untuk bergerak maju kearah tujuan bersama.
21
Dalam Ummah wa Imamah, Shariati merumuskan Ummah sebagai: Kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, yang
satu sama lain saling bahu- membahu agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan, berdasarkan suatu kepemimpinan kolektif.
22