Pandangan Ali Shariati terhadap Individu dan Masyarakat

bukan dimensi tanah. 4 Kedua, manusia ideal adalah mereka yang mampu mengatasi empat penjara manusia. Ilmu dan teknologi telah membebaskan manusia ideal dari determinasi alam, sejarah dan masyarakat. Berkat cinta kasih yang tertanam dalam pusat dirinya, manusia ideal dapat lepas dari kungkungan ego dirinya sendiri. 5 Ketiga, selalu berada di tengah-tengah alam dan masyarakat. Ia bukan seorang yang mengisolasikan dirinya dari keramaian. Ia bersama umat manusia, bahkan memperjuangkan kepentingan kemanusiaan. 6 Keempat, jiwanya memiliki keseimbangan. Shariati mendeskripsikannya, dengan ilustrasi sebagai berikut: Di tanganya tergenggam padang Caesar dan di dadanya bermukim hati Yesus. Dia berfikir dengan otak Sokrates, serta mencintai Allah dengan hati al- Hllaj. 7 Shariati mempertajam : Berfikir filosofis tak membuatnya terlena akan nasib umat manusia. Keterlibatan politik tak menyeretnya kepada demagogi dan riya. Ilmu tak mengurangi cita keyakinanya, dan keyakinan tak melumpuhkan daya pikir dan dedukasi logisnya. Sedangkan aktivisme dan komitmen tak menodai tanganya dengan immoralitas. Dia adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia syair dan pedang, manusia kesepian dan komitmen, manusia keyakinan dan 4 Ali Shariati, on the Sociology of Islam, Barkeley: Mizan Press, 1979,h.121. 5 Ibid, h. 123. 6 Ibid , h. 122. 7 [ He hold the swords og Caesar in his hand and he has the heart of Jesus in his breast. He thinks with brain of Socrates and loves with the heart of Hallaj.] Ibid. pengetahuan. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati. 8 Dengan segala keharmonian dirinya itu manusia ideal mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan demi mencipta “firdaus” di muka bumi. Kelima, modal utama manusia ideal adalah pengetahuan, akhlak, dam seni. Ketiganya merupakan representasi dari kebenaran, kebijakan dan keindahan. 9 Dengan model ketiga hal ini, manusia ideal menjalankan tugas-tugas Ilahi sebagai khilafah Allah. Dia adalah kehendak yang komitmen dengan tiga macam dimensinya yakni: kesadaran, kebebasan, dan kreatifitas. Karakter dua dimensi tidak hanya berlaku pada tataran manusia individual, yang disimbolkan Adam, namun berlaku pula pada tataran sosial. Bagaimana terjadinya kontradiksi, pengkutuban atau konflik dialektis pada level sosial tersebut? Pertanyaan ini oleh Ali Shariati, dijawab dengan menguraikan sejarah munculnya polaritas sosial. Lagi-lagi Shariati menggunakan kisah simbolik dari khazanah agama-agama semiotik. Kisah yang diadopsi Shariati adalah kisah dua anak Adam, yaitu Qabil Cain dan Habil Abel. Drama simbolik Habil dan Qabil dalam Al- Qur’an tidak menyebutkan nama keduanya. Nama-nama mereka hanya tercantum dalam tafsir- tasfir al- Qur’an. Menurut Hamid Enayat, data tersebut memungkinkan Shariati untuk 8 [he is a man whom philosophical thought does not make inatteentative to the fate of mankind, and whose involvement in politics does not lead do demagoguery and fame-seeking. Science has not deprived him of the taste of faith, and faith has not paralyzed his power of thought and logical deduction. Piety has not made of him a hamless ascetic, and avtivism and commitment have not stained his hands with immorality. He is a man of jihad and ijtihad, of poetry and the sword, of solitude and commitment, of emotion and genius, of strength and love, of faith and knowledge. He is man uniting all the dimentions of true humanity.] Ibid. menginterpretasikan kisah itu dengan pengertian yang belum pernah diungkap dalam tafsir-tafsir klasik, tanpa menampilkan pandangan yang menyalahi kelaziman. 10 Secara singkat, alur cerita tragedi pembunuhan Habil sebagai berikut: Habil dan Qabil adalah anak Adam. Habil dan Qabil memiliki saudari kembar. Kala keduanya dewasa, Adam memutuskan untuk mengawinkan mereka. Habil dipasangkan dengan saudari kembar Qabil, dan sebaliknya Qabil dipasangkan dengan saudari kembar Habil. Namun, Qabil menolak rencana Adam tersebut. Qabil berpendapat bahwa saudari kembarnya lebih cantik disbanding saudari kembar Habil. Menghadapi persoalan ini, Adam mengambil kebijaksanaan agar keduanya menyediakan korban kepada Allah. Korban Habil, yang terdiri dari hasil ternak terbaiknya, diterima Allah, sedangkan korban Qabil, yang berbentuk hasil bumi yang telah busuk, ditolak oleh Allah. Tetapi, Qabil tetap bertekad untuk mengawini saudari kembarnya meskipun harus membunhu Habil. Pembunuhan pun terjadi. Setelah jasad Habil terbujur kaku tanpa nyawa, Qabil kebingungan mau diapakan jenazah Habil itu. Alkisah, datanglah dua burung gagak. Keduanya bertarung. Salah satu burung gagak itu mati. Kemudian, secara simbolik, sang burung gagak pembunuh mengais tanah untuk menguburkan rekan gagaknya. Qabil pun mengikuti tingkah burung gagak tersebut. Kisah Habil dan Qabil banyak diterjemahkan oleh para komentator dalam bingkai nilai moral. Penafsir-penafsir relijius, baik dikalangan muslim maupun non-muslim, mengartikan kisah ini sebagai sekedar kutukan atas ketamakan dan 10 Ibid , h. 124. 11 Enayat Hamid, Modern Islamic political Thought, Austin: University of Texas Press, 1982, h. 165. pembunuhan, khusunya pembunuhan saudara. 11 Pada dasarnya, Shariati pun menangkap moral itu. Dimensi moral yang ditangkap Shariati adalah penekanan interpretasinya terhadap simbol dua tokoh kisah tersebut. Menurut Shariati, ada dua tipe manusia yang kontradiktif dalam cerita itu, yaitu tipe Habil manusia beriman,cinta damai dan mau mengorbankan dirinya, dan tipe Qabi manusia yang penuh nafsu, pelanggar batas dan pembunuh saudara. 12 Namun, bukan hanya ajaran etis itu saja yang bisa diperoleh dari kisah tersebut. Dalam On Sociology of Islam Shariati mengatakan : Dengan mengupas kisah ini secara terperinci, pertama-tama Shariati bermaksud untuk menolak pendapat yang mengemukakan bahwa kisah itu khusus bertujuan etis. Karena di dalamnya terkandung makna yang jauh lebih serius dari pada sekedar judul suatu esai. Kedua kisah ini bukanlah tentang pertengkaran antara dua bersaudara, melainkan berkenaan dengan dua sayap masyarakat manusia, dua cara produksi. Kisah itu melukiskan sejarah dua kelompok manusia sepanjang zaman, awal peperangan yang tak kunjung selesai. 13 Cara Ali Shariati untuk membongkar makna kisah itu adalah analisis kejiwaan, yang berlandaskan kajian- kajian sosiologi lingkungan, mata pencarian dan kelas mereka Habil dan Qabil. 14 Kedua anak Adam adalah manusia biasa dan alami, tapi mereka saling bermusuhan. Yang satu membunuh yang lain, maka bermulalah sejarah kemanusiaan. Pertarungan Adam bersifat subjektif, batiniah dan berlangsung dalam esensinya sendiri. Namun, pertarungan antara kedua 11 Ibid , h. 156-157. 12 Ibid , h. 157. 13 Ali Shariati, On the Sociology of Islam, h. 108. 14 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought,op.cit, h.157. putranya bersifat objektif, berlangsung dalam kehidupan yang lebih lahiriah. Karena itu, kisah Habil dan Qabil merupakan sumber filsafat sejarah, sebagaimana kisah Adam adalah sumber filsafat tentang manusia. Shariati mendapatkan bahwa penyebab utama lahirnya kontradiksi dan polarisasi dalam sejarah adalah basis material, yakni pekerjaan. Secara terang benderang diketahui bahwa asal usul Habil dan Qabil adalah sama, yakni Adam. Mereka sebangsa, seayah dan seibu. Mereka pun sependidikan, seagama. Begitu pula lingkunganya. Masyarakat saat itu belum terbentuk, dan keragaman kultural, dan kelompok sosial belum muncul. 15 Menurut Shariati sejatinya Habil dan Qabil adalah manusia baik-baik namun karena pekerjaan mereka itulah yang membedakan, sekaligus menempatkan mereka pada status sosial dan ekonomi yang berbeda dan dengan tipe-tipe kerja, struktur- struktur produksi, maupun sistem-sistem ekonomi yang saling kontradiksi. 16 Pekerjaan membentuk karakter pribadi kedua anak Adam itu. Ringkasnya menurut Shariati, Qabil menjadi jahat ialah system sosial yang anti manusiawi, masyarakat kelas, rezim hak milik pribadi yang menumbuhkan perbudakan dan pertuanan, dan mengubah manusia menjadi srigala, musang, atau kambing. Shariati menyebut Habil sebagai lambang kaum tertindas dan Qabil sebagai lambang para penindas. Kelompok yang diwakili Habil adalah kelompok taklukan dan tertindas, yaitu rakyat yang sepanjang sejarah dibantai dan diperbudak oleh sistem Qabil, sistem hak milik individu yang memperoleh kemenangan dalam masyarakat. 15 Ali Shariati, On the Sociology of Islam, h. 102. 16 Ibid , h. 102. Peperangan antara Habil dan Qabil mencerminkan suatu pertempuran sejarah abadi yang telah berlangsung pada setiap generasi. Panji-panji Qabil senantiasa dikibarkan oleh penguasa, dan hasrat untuk menebus darah Habil telah diwarisi oleh generasi keturunanya- rakyat tertindas yang telah berjuang untuk keadilan, kemerdekaan, dan kepercayaan teguh pada suatu perjuangan yang terus berlanjut pada setiap zaman. 17 Dalam On the Sociology of Islam, Shariati berpendapat bahwa dalam masyarakat hanya ada dua struktur. Kedua struktur tersebut adalah struktur Qabil dan struktur Habil. Lebih lanjut Shariati menjelaskan : Pada struktur pertama, masyarakat menjadi penentu nasibnya sendiri, semua warganya beramal untuk masyarakat dan demi kepentingan masyarakat. Pada struktur kedua, para peroranganlah yang menjadi pemilik dan penentu nasib mereka masing-masing maupun nasib masyarakat. Namun, di dalam masing-masing struktur tersebut terdapat berbagai macam cara produksi, bentuk relasi, alat, sumber dan barang. Semua ini merupakan super-struktur. Bagi Shariati, super-struktur mekanisme ekonomi merupakan bagian integral dari super-struktur masyarakat. Contohnya struktur dengan mekanisme ekonomi cara-cara produksi, bentuk-bentuk relasi, alat, sumber dan barang. Dan yang Pertama dimana perubahan pada mekanisme ekonomi tidak serta merta merubah struktur masyarakat. Kedua, kategori pembeda struktur Habil dan struktur Qabil secara implisit dimana Ali Shariati membedakanya bahwa kebebasan individu memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, dan kepentingan yang diperjuangkan. Pada struktur Habil, individu memiliki 17 M. Deden Ridwan, Melawan Hegemoni Barat Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, PT Lentera Basritama : Jakarta, 1999, h. 109. kebebasan untuk menentukan garis nasibnya sendiri, dan semua individu tersebut mengabdi demi kepentingan masyarakat. Dalam struktur qabil tidak semua individu memiliki kebebasan menentukan nasibnya sendiri. Porsi besar kebebasan dimiliki oleh para pemilik, baik pemilik kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi maupun kekuasaan relijius. Nasib masyarakat ditentukan oleh kelompok pemilik tersebut. Seluruh tindak tanduk para pemilik tersebut pertama-tama tidak diabadikan demi kepentingan masyarakat tapi demi kepentingan pribadi dan kelompok pemilik tersebut. Setelah pemaparan tentang individu pembahasan bergeser pada pemikiran tentang masyarakat ideal menurut Shariati. Nampaknya, Shariati mencoba merekonstruksi suatu prototype masyarakat yang Shariati idam-idamkan dan cita- citakan. Menurut Shariati masyarakat adalah “suatu kumpulan pola-pola, hubungan- hubungan, berbagai tradisi, hak-hak individual dan publik yang terorganisir, yang dilestarikan sepanjang masa”. Dari definisi sederhana ini, ada tiga hal penting yang menjadi syarat suatu masyarakat, yaitu : pertama, masyarakat merupakan kumpulan yang terorganisir. Kumpulan tersebut bukan hanya mencakup individu-individu yang saling menggabungkan diri, namun menyangkut juga pola-pola, relasi-relasi antar anggotanya maupun tradisi-tradisi yang dikembangkan serta hak-hak individu dan hak-hak sosial. Kedua, dalam masyarakat, ada dua hak yang harus diakui, yaitu hak individual dan hak sosial. Masyarakat menyediakan tempat yang seimbang untuk ruang pribadi private dan ruang umum public. Ketiga, kedua hal diatas dilanggengkan serta dipertahankan eksistensinya sepanjang waktu. Demikian pandangan Ali Shariati tentang masyarakat secara umum. Seorang pengkaji barat yang memilih spesialisasi di bidang studi Islam, Montgomery Watt, telah melakukan kajian terhadap istilah ummah. Kajian itu Shariati jadikan landasan bagi kajiannya dengan menganalisa secara sosiologis. Hanya saja Shariati berpijak pada satu landasan yang menganggap bahwa istilah Ummah dan Imamah itu mempunyai asal yang sama. 18 Kesamaan tersebut dapat mencakup makna dalam bentuknya yang tidak terbatas. Bertolak dari situ, Shariati memulai urainnya tentang Imamah. Pemilihan terhadap nama tertentu. Dapat dipastikan menunjukkan adanya maksud untuk sebuah istilah seperti penamaan pada anak. Semua itu mengharuskan kita untuk menaruh perhatian terhadap bentuk-bentuk yang amat unik dalam nama dan istilah-istila, khususnya bila yang ada di depan kita adalah suatu kajian sosiologis. Sosiologis khusunya kajian sosiologis ilmiah terhadap sejarah kebudayaan, akidah dan ilmu sosial yang telah dikenal selama ini, sangat memerlukan filologi- terutama yang berkaitan dengan prinsip-prinsip bahasa dan sejenisnya serta pengrtahuan mengenai perkembangan, kemerosostan dan lenyapnya suatu bahasa. Sebab dengan melakukan analisis terhadap suatu kata. 19 Montgomery Watt menekankan kajianya pada masalah berikut ini : 18 Shariati menggambarkan bahwa kita Ummi, yang dijadikan predikat untuk Nabi saw. Yang demikian jelas dan positif, memiliki akar yang sama dengan dua kata sebelumnya. 19 Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah suatu Tinjauan Sosiologis,Pustaka Hidayah : Jakarta, 1989, h. 45-46. Umat manusia, di sepanjang sejarah dan diberbagai wilayah geografis, hidup berkelompok. Nama-nama yang dipilih oleh kita manusia untuk menyebut komunitas-komunitas serupa itu akan mampu menyingkapkan pandangan dan konsepsi kelompok-kelompok tersebut terhadap kehidupan sosial dan konsep- konsep terapannya yang mereka setujui bersama. Baiklah untuk contoh nama – nama yang digunakan secara nyata dalam bahasa-bahasa Eropa, Arab, dan Persia yang member arti tentang sekelompok orang, berikut kandungan arti kebahasaan yang ada pada masing-masing nama tersebut. Kemudian disoroti dengan asas kebahasaan pula untuk memperjelas istilah Ummah yang terdapat dalam Islam. 1. Nation, akar katanya adalah naiter, artinya bangsa. Dengan begitu, pemilik-pemilik nama tersebut menganggap bahwa sifat dasar dan pengikat alamiah yang sacral dan real yang mengikat individu-individu dalam masyarakat yang satu, adalah kekerabatan, ras, dan kesamaan keturunan. Dari sudut pandang mereka, sifat-sifat dasar tersebut dianggap sebagai pengikat paling sacral yang menghimpun semua anak bangsa. Di saat orang-orang Eropa memilih istilah nation dan nationalism, mereka mengukuhkan ikatan keturunan mereka, yang terus berlangsung hingga sekarang. Di sini kita bisa melihat bahwa konsep tersebut merupakan esensi pandangan hidup kesukuan, yang di dalamnya suatu kabilah mempersatukan anggota- anggotanya melalui ikatan keturunan mereka pada satu moyang, misalnya Bani Tamim, Bani Ummayah, Bani Najjar, dan lainya. 2. Qabillah istilah ini telah berusia sangat tua sekali, bahkan lebih tua dibandingkan istilah Nation. Kabilah merupakan kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama yang bernaung dibawah kabilah itu. Unsur paling kuat yang mempersatukan individu-individu dalam masyarakat seperti ini adalah kesamaan tujuan, yakni suatu cita-cita yang dengan itu mereka menjadi bersatu. Setiap kabilah memang mempunyai unsur-unsur pemersatu, seperti tempat tinggal yang tepat. Dengan demikian, kabilah adalah kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama. 3. Qoum. Pada tipe masyarakat seperti ini, kehidupan di bangun atas dasar penyelenggaraan fungsi-fungsi secara bersama-sama antara individu- individu. Artinya, individu- individu yang menjadi anggota kaum itu adalah sekelompok orang yang menghuni suatu wilayah tertentu dan secara bersama-sama melaksanakan tugas-tugas mereka. 4. Sya’b. Istilah sya’b, syu’bah, dan insyi’ab, seluruhnya mengacu pada akar kata yang sama. Dengan itu dimaksudkan bahwa bangsa manusia di planet bumi ini terbagi-bagi dalam berbagai cabang s yu’bah, dan setiap cabang merupakan satu bangsa tersendiri. Artinya, mereka memisahkan diri dalam berbagai kelompok, dan kelompok itu merupakan cabang dari kumpulan manusia. 5. Thabaqah kelas, adalah sekumpulan manusia yang memiliki langgam hidup, institusi, profesi dan penghasilan yang sama dan setingkat. Orang- orang itu kemudian membentuk elit atau kelas tertentu. Individu-individu yang menempati lapisan sama. Mempunyai kesamaan dalam corak kerja dan kehidupan, lalu menguasai kendali sosial dan sumber-sumber kekayaan. Mereka ini membentuk institusi dan kelompok yang dikenal dengan sebutan sociale classe social class. Dengan demikian, keterkaitan sumber penghasilan, dan gaya hidup, khususnya dalam status dan posisi sosial mereka. 6. Mujtama atau jama’ah. Istilah ini sekarang berlaku di kalangan masyarakat umum, seperti halnya pula ia berlaku dalam dunia keilmuan. society atau jama’ah, baik yang berlaku di kalangan kita maupun kalangan Eropa, merupakan kumpulan manusia yang ada di suatu tempat. Berdasar itu, maka unsur paling penting dan asas utama yang menjadi pengikat masyarakat tipe ini adalah “berkumpulnya anak-anak manusia di tempat yang sama”. 7. Tha’ifah kelompok, adalah sekumpulan orang yang berada di sekitar tempat tertentu. Di suatu padang pasir, misalnya terdapat kelompok- kelompok yang masing-masing menempati sekitar mata air yang lazimnya tempat mereka berkumpul. 8. Race ras adalah kumpulan individu-individu yang memiliki cirri-ciri biologis yang sama, misalnya warna kulit, keturunan, dan bentuk tubuh. 9. Mass massa, adalah sekelompok orang. Yakni sekolompok individu yang tersebar di suatu tempat. 10. People rakyat, adalah kumpulan manusia yang menempati bagian tertentu dunia ini dan menganggapnya sebagai tanahn airny. Kebalikan dari people adalah group yang berarti jama’ah, partai, klanclan, dan suku. 20 Sebagaimana telah diungkapkan bahwa Shariati tidak memakai istilah- istilah diatas untuk mengekspresikan pemikiranya tentang masyarakat ideal. Baginya, istilah Ummah lebih cocok digunakan untuk mewakili konsep masyarakat menurut Islam. Secara istilahi, Shariati merumuskan definisi konsep Ummah. Dalam On the Sosiology of Islam, Shariati mendefinisikan Ummah sebagai: Ummat adalah suatu kumpulan masyarakat di mana sejumlah perorangan yang mempunyai keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud untuk bergerak maju kearah tujuan bersama. 21 Dalam Ummah wa Imamah, Shariati merumuskan Ummah sebagai: Kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, yang satu sama lain saling bahu- membahu agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan, berdasarkan suatu kepemimpinan kolektif. 22

B. Konsepsi Kepemimpinan dalam Kategori Sosial menurut Ali Shariati

Ali Shariati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Khomaeni tentang konsep kunci kepemimpinan. Jika Khomaeni menempatkan kaum ulama sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun agama, 23 maka Shariati menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan kaum 20 Ibid,h.47-48. 21 Ali Shariati, On the Sociology of Islam,h.119. 22 Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah,h.52. 23 Konsep kepemimpinan menurut Imam Khomaeni tertuang gagasanya tentang Wilayah al- Faqih. Lihat Zainuddin dan M. Hamdan Basyar, Syi’ah dan Politik di Indonesia: sebuah penelitian Bandung: Mizan,2000, h. 61. “intelektual yang tercerahkan” rausyanfikr, sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik. Sebagaimana diungkap John L. Esposito, Khomeini, dalam Revolusi Islam Iran, lebih berperan sebagai pemimpin revolusi, sedangkan perumus dan penyedia ideologi revolusinya sendiri adalah Ali Shariati, bahkan menurut Nikki R. Keddie, Ali Shariati-lah yang telah sangat mempersiapkan secara ideologis orang muda Iran untuk perjuangan revolusioner itu. 24 Sebagaimana halnya dengan istilah ummah, di sini istilah imamah menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, di mana seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa. Penstabilan: dalam konsep ini, adalah menguasai massa sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit, dan bahaya. Pendinamisan: dalam konsep ini , berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan ideologis, sosial, dan keyakinan, serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal. Hal ini lebih mendapatkan tekanan. Dengan demikian, imamah bukanlah lembaga yang anggota – anggotanya menikmati kenyamanan dan kebahagiaan yang mapan, dan bukan pula lembaga yang melepaskan diri dari kepemimpinan dan tanggung jawab, dari persoalan kesejahteraan umat, serta bukan suatu bentuk kehidupan yang tanpa tujuan. 25 Sementara itu Pemimpin atau Imam tidaklah bertujuan sekedar melindungi umat dan Syi’ar mereka dengan kebebasan yang 24 Nikki R. Keddie, Roots of Revolution: An Interpretative History of Modern Iran, Yale University Press, 1981, h. 78-79. 25 Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah suatu Tinjauan Sosiologis,Pustaka Hidayah : Jakarta, 1989, h. 63. antagonistik. Namun, ketika individu menyatakan dirinya sebagai bagian dari ummah , maka keterikatannya kepada ummah itu mesti menjadi pemandu jalanya. Sebab, pergerakan dalam inti istilah adalah ummah itu sendiri. Tambahan pula, kehidupan individu dalam suatu umat bukanlah kehidupan yang lepas bebas, tetapi merupakan kehidupan dengan kewajiban dan tanggung jawab, sebagaimana halnya pula bahwa individu, terlepas dari pengertiannya sebagai pertumbuhan organism umat, mesti mengetahui siapa imam mereka, mengakui dan mangimaninya. Tanggung jawab paling utama dan penting dari imamah yakni filsafat politik untuk membentuk imamah dan seperti yang tercakup dalam pengertianya adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, dan melakukan akselerasi dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan. 26 Imamah adalah yang berjuang untuk kemaslahatan dan menyadarkan bahwa tujuan manusia bukanlah sekedar eksis, melainkan pembentukan diri, umat, dengan demikian tidaklah bebas dan enak-enakan berdiam ditempat, tetapi ia harus lestari dan bergerak cepat. Sementara itu, perekonomian bukan pula merupakan tujuan tetapi hanyalah sarana, dan kebebasan bukan cita-cita ideal tapi sarana pokok bagi terealisasinya cita-cita. 27 Umat adalah manifestasi dari sekumpulan orang yang individu-individunya merasa ada ikatan darah dan hidupnya bergabung di bawah kepemimpinan agung 26 Ibid , h. 64. 27 Ibid , h. 64. dan tertinggi, yang memikul tanggung jawab terhadap kemajuan dan kesempurnaan individu dan masyarakatnya, serta meyakini adanya keharusan bahwa yang namanya kehidupan itu bukanlah eksis melainkan perjalanan tanpa henti menuju kesempurnaan mutlak suatu perjalanan tak terhingga dan penciptaan nilai-nilai luhur dalam bentuknya yang terus menerus. 28 Sesudah memahami arti Ummah dan Imamah, serta meyakini adanya kepemimpinan yang benar, revolusioner, dan selalu menuju kesempurnaan, selanjutnya kita wajib pula mengetahui bentuk kepemimpinan dan karakteristik seorang pemimpin spiritual, yakni Imam, dengan pribadi-pribadi lain yang dianggap sebagai pemimpin umat manusia. Shariati menjelaskan bahwa kepemimpinan itu berbeda dengan kekuasaan, administrasi dan pengawasan. Keduanya merupakan pandangan politik yang berbeda satu sama lain, dan itu telah terbukti ada, aka nada selamanya di sepanjang sejarah. Pertama, pandangan yang mendukung upaya pengawasan dan pengaturan masyarakat dan individu, dimana para pemimpinnya dianggap sebagai penguasa dan administrator. Dan yang kedua, adalah pandangan yang meyakini evolusi dan sifat progresif kemajuan dan perkembangan individu dan masyarakat. Dalam hal ini ada dua istilah yang berbeda, syiasah dan politique, berdasar perbedaan pandangan yang ada di dalamnya. 29 Keterpimpinan adalah pernyataan tentang ketundukan anak-anak manusia kepada seorang individu yang memiliki kelayakan memimpin yang memungkinkan dirinya mengantarkan mereka dari kondisinya yang sekarang 28 Ibid , h. 64-65. 29 Ibid , h. 84.