Ali Shariati dan Karya- Karyanya
Nafsih Manusia yang Tidak Mengenal Diri Sendiri, al-Utsaqqaf wa
Mas’uliyyatuh fi al-Mujtama Tanggung Jawab Cendikiawan di Masyarakat dan al- Wujudiyyah wa al Firagh al- Fikr
Eksistensialisme dan Kekosongan Pemikiran. Shariati melihat ada semacam perasaan risih yang melanda umat
Islam jikalau mereka bersentuhan dengan wacana-wacana yang diketengahkan oleh Barat, tetapi Islam juga telah menganalisa dan membahas permasalahan-
permasalahan tersebut. Tetapi karena tidak adanya penguasaan atas ilmu-ilmu tentang kemanusiaan dan kemasyarakatan, maka kesan agama Islam tidak dapat
menghadapi tantangan zaman ditempelkan pada Islam itu sendiri. Kesan seperti inilah yang dihilangkan oleh Shariati lewat karya- karyanya.
Dr.Amin Rais
31
mengilustrasikan Shariati seorang pemikir yang mampu “menggerakan”. Dan ia merupakan seorang sosok cendekiawan sekaligus ulama
yang tidak suka melihat sikap statis dalam agama. Baginya, kalau Islam “mau hidup” harus berbentuk dan bercorak aktivistik. Dan interprestasi- interprestasinya
terhadap penggejawantahan nilai-nilai relijiusitas cenderung bertentangan dengan interprestasi- interprestasi kebanyakan ulama yang terkoptasi dalam suatu
kekuasaan, atau apa yang diistilahkanya dengan “trinitas pembawa kehancuran:
kekuasaan dan agama”.
32
Agama hanya dijadikan alat untuk melegitimasikan status sosial mereka. Sikap seperti inilah yang ditentang oleh agama yang hanif.
31
Amin Rais dalam kata pengantar: Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 1994, h. ix.
32
Ibid. h. 43.
Menurutnya, sepanjang sejarahnya, agama berdiri dari berjuang melawan “agama”,”agama” yang dinamis melawan “agama” yang statis.
33
Sebagaimana Berger,
34
yang mengupas masalah- masalah keagamaan dengan menggunakan pendekatan sosiologis-empiris, dan memandang agama
sebagai suatu realitas social serta melihat urgensi dalam masyarakat modern sebagai suatu yang tidak bisa disepelekan, Shariati pun melakukan hal yang
hampir sama. Tapi bedanya, Shariati dalam melakukan pendekatannya tersebut menggunakan bahasa-bahasa simbolik, yang menurutnya adalah suatu bahasa
yang tidak akan pernah usang karena perjalanan waktu dan pergantian dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, dan bahasa simbolik adalah alat terbaik
yang dapat digunakan oleh agama sehingga ia dapat bertahan dengan jalan mengekspresikan makna
–maknanya dengan cita-cita, yang makin lama menjadi makin penuh makna yang sejalan dengan kemajuan intelektual dan pandangan
manusia. Dan hanya dengan bahasa simbolik-lah ajaran suatu agama akan
33
Sepanjang pengetahuan penulis, ada dua buah karya Ali Syari’ati yang mengupas permasalahan tersebut, yaitu
Agama Versus “Agama” dan Islam Agama”Protes” . dalam Agama versus “Agama”, Syari’ati beranggapan bahwa agama yang hanif selalu berdasarkan kepada
kesadaran, wawasan, cinta dan kebutuhan folosofis seseorang, selalu berdiri vis a vis dengan agama yang lahir dari kebodohan dan ketakutan. Sedangkan dalam Islam Agama “Protes” Syari’ati
berbicara tentang suatu penantian yang pasif yin; penantian yang konstruktif, bukan desktruktif. Penantian yang dimaksud adalah suatu prinsip sosio-intelektualdan naluriah manusia, dalam
pengertian bahwa manusia secara mendasar adalah makhluk yang menanti. Inilah sebabnya mengapa sejarah mengatakan kepada kita bahwa semua masyarakat yang besar adalah
“masyarakat yang menanti”.
34
Peter L Berger merupakan seorang sosiolog Amerika yang terkemuka pada abad xx, yang tertarik kepada masalah-masalah keagamaan dan banyak karya-karya sosiologisnya yang
menceritakan bagaimana agama tidak bisa terlepas dari realitas social rakyat. Berger merupakan seorang penganut Sosiologi Humanitik. Karya-karyanya banyak menganalisa tentang fenomena-
fenomena social yang berkembang dimasyarakat dewasa ini. Diantara buku-buku yang telah diterjemahkan adalah Piramida Kurban Manusia 1982, Sosiologi di Tafsirkan kembali 1985.
Tafsir Sosial Atas Kenyataan.
senantiasa berkelindan dengan putaran waktu tanpa mengalami pembusukan dan pendistorsian.
Dalam banyak karya Shariati, bisa dijumpai nama-nama pemikir besar yang ia rujuk, seperti Durkheim, Fanon, Sartre, Heidegger, Marx, Nietzche, Bergson
dari tradisi pemikiran Barat, Radakrishnan dari tradisi pemikiran India Timur, atau Rumi dari tradisi pemikiran Islam.
35