REVOLUSI IRAN DAN SOSOK ALI SHARIATI
digoncang oleh persoalan yang sangat rumit, Iran di bawah pemerintahan Shah Pahlevi telah menggrogoti budaya Islam yang mestinya punya tanggung jawab
moral terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan kultural masyarakat. Upaya meniadakan daya hidup ini secara lebih khusus ditunjukkan kepada generasi
muda. Para pemuda didorong ke jurang pengasingan diri self alienation. Hal ini mengakibatkan peranan mereka dalam masyarakat sangat dangkal dan adakalanya
menyimpang. Sementara itu para cendekiawan Iran yang berpendidikan sekuler, yang
seharusnya dapat memberikan tuntutan praktis yang diperlukan oleh pemuda Iran, malah berpuas diri, egosentris dan asyik dengan matrealisme ketimbang
menanggapi kesulitan yang ada. Mereka enggan bergaul dengan pemuda dan rakyat Iran yang dianggapnya bertradisi primitif. Umumnya mereka tidak
menghargai nilai- nilai tradisi mereka sendiri. Kondisi itulah yang mengakibatkan Ali Shariati tidak bisa tidur nyenyak dan selalu ingin melakukan perubahan.
Belum lagi rakyat Iran yang saat itu dalam cengkraman Barat yang hegemonik, baik dalam wilayah politik, ekonomi, pendidikan dan budaya. Pada saat yang
bersamaan, mereka harus hidup di bawah pemerintahan Shah Pahlevi yang sentralistik, diktator, menindas serta semua tatanan kehidupan menjiplak gaya
Barat.
9
“Revolusi universal dan kemenangan merupakan akhir dari gerakan pencari keadilan yang memberontak terhadap penindasan” kata Ali Shariati. Kemudian
9
Dalam pandangan S yari’ati, bahwa rakyat dunia ketiga terjajah selalu diremehkan negara
Barat, dilempar ke suatu ras dan kebudayaan yang inferior. Rakyat terjajah sering kali terpaksa meniru-niru sopan, santun, cara hidup dan kebiasaan
–kebiasaan barat, sehingga Nampak lebih mirip dengan anak-
anaknya dari pada menjadi bangsa sendiri. Lihat, Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,
Jakarta: Rajawali Press, 1994, h. 168.