Konsepsi Kepemimpinan dalam Kategori Sosial menurut Ali Shariati

dan tertinggi, yang memikul tanggung jawab terhadap kemajuan dan kesempurnaan individu dan masyarakatnya, serta meyakini adanya keharusan bahwa yang namanya kehidupan itu bukanlah eksis melainkan perjalanan tanpa henti menuju kesempurnaan mutlak suatu perjalanan tak terhingga dan penciptaan nilai-nilai luhur dalam bentuknya yang terus menerus. 28 Sesudah memahami arti Ummah dan Imamah, serta meyakini adanya kepemimpinan yang benar, revolusioner, dan selalu menuju kesempurnaan, selanjutnya kita wajib pula mengetahui bentuk kepemimpinan dan karakteristik seorang pemimpin spiritual, yakni Imam, dengan pribadi-pribadi lain yang dianggap sebagai pemimpin umat manusia. Shariati menjelaskan bahwa kepemimpinan itu berbeda dengan kekuasaan, administrasi dan pengawasan. Keduanya merupakan pandangan politik yang berbeda satu sama lain, dan itu telah terbukti ada, aka nada selamanya di sepanjang sejarah. Pertama, pandangan yang mendukung upaya pengawasan dan pengaturan masyarakat dan individu, dimana para pemimpinnya dianggap sebagai penguasa dan administrator. Dan yang kedua, adalah pandangan yang meyakini evolusi dan sifat progresif kemajuan dan perkembangan individu dan masyarakat. Dalam hal ini ada dua istilah yang berbeda, syiasah dan politique, berdasar perbedaan pandangan yang ada di dalamnya. 29 Keterpimpinan adalah pernyataan tentang ketundukan anak-anak manusia kepada seorang individu yang memiliki kelayakan memimpin yang memungkinkan dirinya mengantarkan mereka dari kondisinya yang sekarang 28 Ibid , h. 64-65. 29 Ibid , h. 84. kepada tujuan yang mereka cita-citakan. Sosok pemimpin disini dimana seorang pahlawan atau pemimpin politik yang mereka yakini dan taati serta mengikutinya, dimana seorang pemimpin memegang kendali pemerintahan dan nasib rakyatnya. 30 Kepahlawanan dan kepemimpinan yang dimaksudkan di sini, dilihat sebagai pemimpin yang memiliki keteladanan dan kepahlawanan. Kedua hal itu merupakan keharusan praktis untuk mengantarkan masyarakat menuju cita-cita dan keberhasilan yang mereka inginkan. Pahlawan yang juga adalah pemberi keteladanan bila dilihat dari sudut kehidupan sosial-politik dan yang selalu ditunggu-tunggu dan dikehendaki oleh manusia setiap saat namun sulit diciptakan. Secara praktis adalah orang yang paling patut menduduki posisi tersebut dikalangan individu-individu manusia. Pahlawan politik atau tanah air, kebangsaan atau keagamaan, maupun pahlawan sosial bagi sebagian umat, baik memegang kendali puncak pemerintahan atau tidak, menentukan nasib rakyat ataupun tidak, tetapi bertujuan untuk menciptakan masa depan rakyat dan mengantarkan mereka dari kondisinya yang ada sekarang menuju kondisi yang dicita-citakan. 31 Kepemimpinan Leadership adalah kemampuan dari seseorang yaitu pemimpin atau leader untuk mempengaruhi orang lain yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya, sehingga orang lain tersebut bertingkal laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. 32 30 Ibid , h. 86. 31 Ibid , h. 86-87. 32 Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar, Jakarta: Cv Rajawali, 1982, h. 285.

C. Perubahan Sosial menurut Ali Shariati

Setelah melihat garis pemikiran Ali Shariati sekitar presepsi-presepsi mengenai individu dan masyarakat, pada saatnya kita juga harus melihat derivasi konteks filosofis tersebut, dalam konteks perubahan sosial. Hukum apakah yang berlaku dalam masyarakat? faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut? Bagaimanakah peran intelektual yang seharusnya dimainkan dalam masyarakat? Sampai akhirnya ke resep masyarakat yang bagaimana yang menjadi impian ideal? Semua pertanyaan ini dijawab Ali Shariati secara argumentatif dan intelek umum tetap berpegang pada refrensi Islam Syi’ah yang tentunya versi baru Ali Shariati. Filsafat pergerakan Ali Shariati selain berkaitan dengan dirinya tentang Syi’ah revolusioner, juga banyak berhubungan dengan presepsinya tentang sejarah. Sebagaimana pikiran-pikirannya dalam bidang lain, filsafat sejarahnya kaya dengan berbagai tema dan merupakan perpaduan dari berbagai gagasan. Pada intinya Ali Shariati memandang sejarah sebagai konstruksi pola dasar archetral dari berbagai realitas unik, yang muncul dalam fakta-fakta sejarah, untuk diarahkan agar mencapai tujuan idiologis tertentu, dengan kata lain, fakta- fakta direkonstruksi secara revolusioner. Arnold Toynbee 33 pernah mengatakan bahwa sejarah bergerak dalam kesinambungan”seragam dan pertahanan”, Ali Shariati dalam hal ini lebih menambahkan bahwa suatu pergerakan agama Islam harus dijaga agar tetap dalam modus agresifnya melalui interpretasi aktif terhadap kandungan aktualnya 33 Arnold Toynbee dan Daesaku Ikeda, Perjuangkan Hidup Sebuah Dialog, terj. Iskandar, PT. Internusa, Jakarta,1987, h. 294. ketimbang berpegang teguh pada manifestasi lahiriahnya. Shariati dalam konteks terakhirnya, bisa dipahami, bahwa bagi Islam dalam setiap momen historisnya harus dibuang dengan membuang kebebasan-kebebasan lama yang dipegang kaum muslimin untuk kemudian menampilkan esensi pandangan Islam itu sendiri dalam bentuk baru. Ali Shariati tampaknya sangat mirip dengan Muhammad Iqbal dan Sayyid Qutub juga mirip dengan Kierkegard saat ia menjelaskan dampak alienatif dari tradisi. Menurutnya sejarah adalah perkuburan yang panjang dan hitam, sunyi dan muram, hampa dan dingin dan mematikan generasi demi generasi. Semuanya telah menjelma menjadi pengulangan dan imitasi. Hidup, pemikiran dan harapan hanyalah kebiasaan dan pewarisan. Budaya, peradaban seni dan iman adalah sekedar batu-batu mati, masa lalu, dengan demikian, menghentikan manusia dengan mensubordinasi individualitas dan jiwa ke dalam pola-pola yang menyimpang dari tindakan absah. Meskipun demikan, manusia akan kehilangan daya sama sekali ketika meninggalkan masa lampau karena tanpa masa lampau manusia tidak bisa membawa kesadaran tentang diri. Tanpa masa lampau mustahil seseorang dapat berimajinasi, mencipta, memproyeksikan dan berharap tanpa merujuk kepada masa lampau? Perkembangan kejiwaan yang baik tergantung kepada pemahaman seseorang akan masa lampau. 34 Walaupun Ali Shariati sangat selektif dalam meminjam gagasan-gagasan, yang kadang-kadang saling bertolak belakang, analisis Shariati tentang sejarah 34 Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, h.12 agaknya dapat disebut semacam sociological history yaitu sejarah yang dijelaskan secara lebih sosiologis. Dalam kerangka sociological history, sejarah tidak hanya merupakan past events peristiwa masa silam yang disampaikan secara naratif tetapi lebih dilihat sebagai hasil dari interaksi, atau dalam bahasa Ali Shariati, dialektika faktor-faktor sosiologis. Demikianlah dalam sosiological historis nya, Shariati banyak menggunakan paradigma dan teori sosiologi, khususnya Marxian. Menurut Shariati misalnya, sejarah tercipta melalui kontradiksi-kontradiksi dalektis. Sejarah berkembang dalam konteks perjuangan antara kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan. Pertarungan itu bermula sejak munculnya manusia pertama dimuka bumi dan pertarungan tersebut kapan dan dimanapun tidak akan pernah berhenti dalam setiap masa dan zaman. Tetapi lebih jauh, dalam pandangan Ali Shariati, perubahan historis tidak melalui sekedar kontradiksi-kontradiksi biasa melainkan kontradiksi yang melibatkan modus produksi mode of production. Tipologi kontradiksi modus produksi itu ada pada legenda pertarungan dua saudara yaitu antara qabil dan habil. Dalam kerangka itu qabil adalah agricultural sedangkan Habil adalah pastoralis . Basis rangking sosial dan posisi kelas Qabil terletak pada kepemilikannya atas alat-alat produksi, dalam hal ini adalah tanah. Sedangkan Habil sebagai pastoralist, tidak menguasai alat-alat produksi. Kehidupannya semata-mata bergantung kepada kaki dan tanganya, yang dapat digunakan untuk berburu atau menangkap ikan. Berpijak pada pembelahan ini, Shariati memandang konflik antara Qabil dan Habil sebagai sesuatu yang obyektif ‘aini yang menjadi dasar bagi seluruh perkumpulan, kemarin kini dan esok. 35 Menurut Shariati, dalam suatu masyarakat ada dua struktur yaitu struktur Qabil dan struktur Habil. Perbudakan penghambaan, borjuis, feodalis dan kapitalis dalam pandanganya bukan merupakan struktur-struktur sosial melainkan merupakan supra struktur masyarakat. 36 Pada struktur Habil masyarakat menjadi penentu nasibnya sendiri, segenap warganya beramal untuk masyarakat dan demi kepentingan masyarakat. Pada struktur Qabil para perseoranganlah yang menjadi milik dan penentu nasib mereka masing-masing maupun nasib masyarakat. Kutub Qabil adalah kelas yang berkuasa yaitu raja, pemilik tanah dan kaum ningrat. Pada masa primitif dan terbelakang kubu ini cukup diwakili individu yang mempunyai kekuatan tunggal, yang menjalankan kekuasaan dan menyerap ketiga kekuasaan raja, pemilik tanah dan ningrat sekaligus. Tetapi pada tahap selanjutnya, yaitu dalam perkembangan dan evolusi sosial, kutub ini terpolarisasi menjadi tiga dimensi yang terpisah. Manifestasi politiknya ialah kekuasan, manifestasi ekonominya ialah harta dan manifestasi keagamaanya ialah kependetaan yang dalam al- Qur’an disebut sebagai mala’mutraf dan rahib. Semuanya merupakan penguasa yang kejam dan serakah, pemilik harta yang rakus dan kekenyangan dan pendeta yang demagog dan berjenggot panjang, ketiga-tiganya berusaha untuk menguasai memeras dan mengelabuhi rakyat. 35 Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, h. 128-146. 36 Mohammat Hatta, Sosialisme Religius, h. 211.