Perkembangan kajian dakwah di Indonesia

tidak banyak hanya seribu rupiah namun sering dilakukan karena ia selalu kalah dalam berjudi kelereng. Karena Arifin anak lelaki satu-satuya, Abah yang merasa kurang memperhatikan dan mengawasi tumbuh kembang anaknya maka Abah lebih sering mempercayakan neneknya untuk mendidik Arifin. Selain itu Abah sangat berkeinginan sekali anaknya agar pandai mengaji maka dari itu Abah memanggil guru ngaji untuk mengajar di rumahnya. Kenakalan Arifin pun berlanjut dengan menggembosi ban sepeda guru ngajinya, serta menyembunyikan sendalnya setelah mengajar. Puncak kenakalan Arifin terjadi ketika ia duduk di bangku kelas enam. Pada saat itu ia mengancam untuk membakar rumah apabila tidak dibelikan motor. Meskipun telah menyiapkan korek dan minyak tanah, orang tua Arifin tidak memperdulikan ancaman tersebut. “Maklum motor yang dibeli tidak sesuai dengan keinginan, mintanya motor trail yang dibeli malah motor vespa, biarpun lebih murah tapi tetap trendi” kata Arifin dengan nada jengkel. Karena terlalu kesal dengan Abah maka ia ikut bergabung dengan teman-teman di lapangan badminton di sebelah rumahnya. Ia tahu Abah sedang di sana juga, dan ia tahu kalau Abah tidak suka merokok, begitu pula dengan Arifin, namun karena ingin memancing kekesalan Abah maka Arifin mulai membakar rokok. Sampai pada hisapan ketiga Abah menghampiri Arifin dan menampar di depan teman- temannya. Tamparan itu tidak hanya mempermalukannya, tapi membuatnya sakit lahir batin. Maklum, sewaktu muda ayahnya sering berlatih karate sehingga pukulannya terasa mantap. Saat itu juga Arifin kabur dan tidak mau pulang ke rumah. Keadaan semakin larut akhirnya Arifin menginap di rumah temannya yang bernama Ahmad. Arifin meminta kepada keluarga Ahmad agar diam-diam dan tidak memberi tahu ibunya kalau dia sedang berada di rumah Ahmad. Namun dengan sembunyi-sembunyi ibu Ahmad memberitahukan ibunya Arifin kalau anaknya sedang ada dirumahnya. Lalu ibu Arifin menitipkan sejumlah uang untuk membelikan makan serta keperluan Arifin di sana. Sampai pada hari kelima ibunda Arifin Hj. Nurhayati sengaja bertemu Arifin dan memberi tahu kalau ayahnya sakit keras gara-gara memikirkan Arifin. Ia meminta agar Arifin segera pulang. Pada saat itu Arifin langsung terenyuh dan bersedia untuk pulang. Sesampainya di rumah Arifin meminta maaf sambil memeluk Abah. “kita langsung nangis dan berpelukan, sudah seperti sinetron saja ceritanya” canda Arifin. Meskipun nakal, Arifin berhasil lulus SD dengan baik, nilai agamanya biasa- biasa saja, nilai pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa masuk SMP Negeri 1 Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota kalimantan selatan itu. Arifin berkata “kalau Arifin serius dan bersemangat dalam belajar, Arifin pasti mampu. Ketika Arifin kelas 6 Arifin bersemangat belajar sehingga mampu masuk SMP favorit”. Bukan berarti Arifin tidak nakal lagi. Ia tetap bermain bersama yang lebih tua serta masih berjudi kelereng. Pada tahun 1982 kedua orang tuanya pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan ka’bah orang tua