Profile Ustadz Muhammad Arifin Ilham
Tamparan itu tidak hanya mempermalukannya, tapi membuatnya sakit lahir batin. Maklum, sewaktu muda ayahnya sering berlatih karate sehingga
pukulannya terasa mantap. Saat itu juga Arifin kabur dan tidak mau pulang ke rumah. Keadaan semakin larut akhirnya Arifin menginap di rumah temannya yang
bernama Ahmad. Arifin meminta kepada keluarga Ahmad agar diam-diam dan tidak memberi tahu ibunya kalau dia sedang berada di rumah Ahmad. Namun
dengan sembunyi-sembunyi ibu Ahmad memberitahukan ibunya Arifin kalau anaknya sedang ada dirumahnya. Lalu ibu Arifin menitipkan sejumlah uang untuk
membelikan makan serta keperluan Arifin di sana. Sampai pada hari kelima ibunda Arifin Hj. Nurhayati sengaja bertemu Arifin
dan memberi tahu kalau ayahnya sakit keras gara-gara memikirkan Arifin. Ia meminta agar Arifin segera pulang. Pada saat itu Arifin langsung terenyuh dan
bersedia untuk pulang. Sesampainya di rumah Arifin meminta maaf sambil memeluk Abah. “kita langsung nangis dan berpelukan, sudah seperti sinetron saja
ceritanya” canda Arifin.
Meskipun nakal, Arifin berhasil lulus SD dengan baik, nilai agamanya biasa- biasa saja, nilai pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa masuk SMP
Negeri 1 Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota kalimantan selatan itu. Arifin berkata “kalau Arifin serius dan bersemangat dalam belajar, Arifin pasti mampu.
Ketika Arifin kelas 6 Arifin bersemangat belajar sehingga mampu masuk SMP favorit”. Bukan berarti Arifin tidak nakal lagi. Ia tetap bermain bersama yang
lebih tua serta masih berjudi kelereng. Pada tahun 1982 kedua orang tuanya pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan ka’bah orang tua
Arifin berdo’a kepada Allah SWT agar Arifin di beri petunjuk serta hidayah oleh- Nya.
Sementara itu Arifin yang di tinggal bersama ke-empat saudarinya, masih asik bermain judi kelereng. Bekal yang di tinggalkan orang tuanya habis untuk
dibelikan kelereng. Suatu hari ketika Arifin sedang asik bermain judi kelereng salah satu teman judinya bernama Denny berkata “Fin orang tua lu pergi haji,
malah m ain judi”. Saat itu juga Arifin pulang ke rumah dengan pikiran yang tidak
tenang. Meskipun Denny seorang pemabuk dan pemain judi, entah kenapa celetukannya kali ini masuk ke nalar Arifin, membuatnya terenyak serta seakan
menohok kalbu Arifin. Sepanjang perjalanan pulang Arifin teringat kedua orang tuanya, ia merasa
dihantui rasa bersalah atas apa yang diperbuatnya. Bayang-bayang kenakalan selama ini seolah muncul kembali dihadapannya, membuat ia semakin bersalah
dan tidak bisa tidur. Setiap kali terbangun Arifin teringat kedua orang tuanya, membuat batinnya tercabik hingga menangis di kamar sendirian. “Hidayah tidak
selalu datang melalui kiyai atau ulama, bisa saja dari mereka yang berlumur dosa” kata Arifin.
Arifin merasa yakin, mata hatinya terbuka bukan hanya semata-mata celetukan Denny, melainkan dikabulkannya oleh Allah SWT do’a Abah dan Ibu
yang tidak hanya pergi haji, namun meminta anaknya untuk diberikan petunjuk serta hidayah-Nya agar tidak nakal lagi. Saat itu Arifin berjanji pada diri sendiri
untuk tidak berjudi serta melakukan tindakan tercela. Ia berjanji pula untuk shalat lima waktu, mengingat selama ini ia hanya sholat maghrib dan itu juga tidak rutin.
Ketika kedua orang tuanya pulang dari tanah suci, sang ayah terkejut dengan perubahan sikap Ar
ifin. “kok Arifin belakangan ini sikapnya agak berubah ya?” Tanya Abah dalam hati. Belakangan diketahui bahwa Arifin yang berada di kelas
1 SMP ingin masuk pesantren. Mejelang pembagian rapor semester akhir Arifin meminta kepada Abah untuk di masukkan ke pesantren. Kedua orang tuanya
mengantarkan Arifin ke pesantren al-Fallah di KM 24, Banjarmasin. Namun Arifin menolak masuk pesantren itu. Arifin mau masuk pesantren tetapi pesantren
yang berdasi dan bercelana panjang, bukan yang menggunakan kain sarung. Setahu Abah pesantren seperti itu tidak ada di Banjarmasin atau di Kalimantan,
bahkan pesantren yang dipimpin oleh kakeknya tidak seperti itu. Pesantren yang di maksud Arifin adalah pesantren modern yang ada di pulau Jawa.
Setelah pembagian rapor kenaikan kelas 2 SMP tepatnya pada tahun 1983. Arifin beserta adiknya, Siti Hajar di terbangkan menuju Jakarta bersama Ibunya.
Mereka dimasukkan ke pesantren Darunnajah Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Meskipun masuk pesantren merupakan keinginan sendiri, pada mulanya
Arifin merasa tidak betah berada di pesantren karena jarak yang sangat jauh dengan kedua orang tuanya, padahal ia tinggal bersama adiknya.
Saat masuk pesantren Arifin berada di tingkat Tsanawiyah, Arifin merasa sangat berat untuk mengikuti pelajaran agama. Hal ini dikarenakan ia berasal dari
SD umum yang minim akan pelajaran agama dan pengetahuannya pun sangat
tipis. Membaca dan menulis arab saja Arifin belum lancar, padahal itu merupakan materi utama di tingkat Tsanawiyah. Tentu saja ini membuat nilai Arifin sangat
anjlok dan membuat rapornya mejadi lautan merah, dari 40 mata pelajaran lebih dari 30 nilai mata pelajaran Arifin merah semua. Pada saat itu ia merasa sangat
terpukul dan sedih tapi ia tidak mau menyerah karena bagaimanapun masuk pesantren merupakan kemauannya sendiri, ia tidak mau mengecewakan kedua
orang tuanya. Masuk semester dua, Arifin memacu semangat belajarnya, kalau orang lain bisa maka ia harus bisa, begitu tekadnya. Usahanya tidak sia-sia, ia
berhasil naik ke kelas II, hasilnya fantastis bukan hanya naik namun belakangan diketahui ia masuk dalam peringkat sepuluh besar.
Memasuki tahun berikutnya, nilai Arifin tidak hanya bagus. Ia menjadi bintang pada pelajaran olahraga dan seni. Tidak hanya lari dan badminton, Arifin
juga menjuarai dalam lomba puisi. Namun dalam pidato ia merasa tidak percaya diri. Setiap kali latihan berpidato Arifin selalu keringat dingin dan merasa gugup
ketika berjalan ke atas mimbar. Tetapi bukan Arifin namanya kalau ia langsung menyerah, pikirannya langsung jauh menerawang kebelakang ketika ia tinggal
berasama orang tuanya di Banjarmasin. Setiap sore setelah shalat maghrib, Arifin selalu di ajak ke Masjid Sabilal-Muqtadin yang berjarak 200 meter dari rumahnya.
Sambil menunggu shalat isya, Arifin mendengarkan ceramah dari K.H. Rafi Hamdan yang merupakan Ustadz kenamaan pada saat itu di daerahnya. Arifin
berkata “enak juga ya menjadi Ustad seperti beliau yang selalu ceramah panjang lebar di depan umum” Arifin terkesan dengan cara penyampaian yang diberikan
ole h ustadz idolanya ini. Lalu Arifin berfikir “bagaimana bisa seperti beliau kalau
naik mimbar saja gemetaran dan keringat dingin?” Arifin selalu merenung bagaimana caranya agar tidak gugup ketika naik mimbar, maka ia selalu
menghadiri lomba pidato yang di selanggarakan oleh pesantrennya untuk mengamati bagaimana caranya agar terlihat tenang.
Ketika Akhirnya salah satu temannya menang mengikuti lomba pidato tersebut, pengamatan ia teralihkan kepada temannya. Ia selau mengamati pola
hidup keseharian temannya itu. Lalu ia berfikir ternyata pola hidup yang dilakukan temannya biasa-biasa saja, sama seperti apa yang ia lakukan setiap hari.
Arifin mengungkapkan kalau temannya bisa kenapa ia tidak. Maka pada saat itu ia ’kesetanan’berpidato. Pada saat teman-temannya tidur, ia bangun dan berdiri di
atas tempat tidur lalu mulai berbicara seakan-akan berpidato di atas mimbar. Cara ‘gila’ belajar dan berpidato seperti itu ternyata tidak percuma, ia tidak lagi
keringat dingin dan gemetar ketika menaiki mimbar di hadapan teman-temannya. Lalu ia mulai merapihkan tutur kata demi kata dan melatih kepercayaan dirinya
sehingga ia berani memberikan cerama di luar pesantrennya. Setiap pulang ke Banjarmasin ia selalu diminta untuk mengisi ceramah di
daerahnya. Meski sudah sering berpidato di pesantrennya, Arifin merasa tegang ketika ia mulai ceramah pertama kalinya. Arifin merasa tegang dan keringat
dingin ketika menjelang tidurnya, lalu ia bangkit dan mengambil buku untuk sekedar membaca dan menambah materi pada ceramah yang diberikan esok
harinya. Namun bukannya menambah ngantuk, ia malah semakin terpikirkan dan tidak bisa tidur.
Tapi hanya sekali itu saja Arifin merasa nervous, sehingga ceramahnya pun dirasa tidak karuan dan banyak kalimat-kalimat salah. Sampai di rumah ia
mere nung dan berfikir “ternyata Arifin dibutuhkan umat, Arifin ditunggu oleh
umat. Jadi, Arifin harus lebih bersungguh- sungguh lagi.” Hari-hari selanjutnya
pun ketegangan dirasa berkurang dan ia semakin tampil dengan percaya diri. Rupanya banyak jama’ah yang menyukai gaya ceramah Arifin. Maka ia diminta
untuk mengisi ceramah di tempat-tempat lain. Tidak heran di usianya yang masih remaja ia selalu disibukkan dengan jadwal-jadwal ceramah setiap kali ia pulang ke
Banjarmasin. Perjalanan menuju sukses ternyata memang tidak mudah. Di mana pun ada
saja orang-orang yang iri dan dengki melihat orang lain sukses, begitu yang dirasakan Arifin. Selain merasa sulit bergaul, ia sering merasa diperlakukan tidak
adil oleh guru maupun pengurus pesantren. Maklum, santri-santri yang masuk pesantren itu terdiri dari berbagai macam suku-suku di tanah air. Sehingga tingkah
laku dan budaya mereka pun bermacam-macam. Sejak kecil Arifin selalu merasa tidak senang apabila diperlakukan tidak adil, maka ia lebih memilih berkelahi
apabila melihat ketidakadilan itu. Arifin merasa tidak nyaman di pesantren Darunnajah atas perlakuan
ketidakadilannya itu. Meskipun baru menduduki kelas dua Aliyah, Arifin memutuskan pindah ke pesantren Assyafi’ah di daerah Bali Matraman, Tebet,
Jakarta Selatan. Di tempat ini ia tidak mondok di pesantren sehingga ia lebih merasa bebas mengekspresikan kemampuannya berpidato. Awalnya, ia hanya
diminta menggantikan Ustadz Ahmad yang berhalangan hadir karena beliau harus
berangkat ke luar negeri. Ia di jemput dengan mengendarai motor Vespa dan pulangnya dibelikan nasi goreng.
Undangan ceramah kedua datang untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi porsinya juga hanya sebagai pengisi waktu karena Ustadz Manarul
Hidayat, Ustadz kenamaan saat itu yang seharusnya mengisi acara tersebut datang agak terlambat. Namun, dua kali pemunculan tanpa sengaja justru membawa
hikmah, ia mulai dikenal banyak orang. Dan sejak itulah undangan berceramah dilingkungan pesantren itu mulai berdatangan.
Lebih setahun kemudian ia berhasil lulus Aliyah dan berhasil menda- pat ranking ketiga. Menurut rencana, ia akan melanjutkan kuliah ke sebuah
universitas di Mekah, tapi beberapa guru menasihatinya agar kuliah di perguruan tinggi umum di Indonesia saja. Arifin akhirnya mendaftarkan diri di Jurusan
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional di Jakarta.Sambil kuliah, Arifin terus berceramah di masjid atau majelis taklim. Kian
lama langkahnya kian jauh. Dari seputar Bali Matraman, merambah ke seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Tahun 1994 Arifin lulus dari Universitas Nasional sebagai sarjana ilmu hubungan internasional. Sambil menjadi dosen di Universitas Borobudur, Arifin
makin memantapkan diri sebagai da ’i.Arifin mengatakan, “Arifin ingin
membuktikan kepada semua orang bahwa kalau kita bersunggung-sungguh, maka kita akan berprestasi. Di mana pun, kita akan bisa berprestasi”.
Selama menjadi dosen di Universitas Borobudur Arifin tinggal di daerah perumahan Mampang Indah II depok. Hingga pada suatu hari ia diundang untuk
mengisi ceramah di kediaman keluarga H. Yusuf di Depok, tepatnya pada September 1997. Pada saat itu juga Arifin pertama kali bertemu dengan
Wahyuniati Al-waly yang merupakan istri pertamanya sekarang. Wanita yang akrab dipanggil Yuni ini adalah putri keriga dari enam bersaudara. Yuni adalah
anak dari mantan anggota DPR, Drs. Teuku Djamaris. Saat itu Arifin tengah duduk menunggu antrean makan, begitu juga Yuni.
Jarak di antara mereka sekita tiga-empat meter. Tiba-tiba di antara keduanya saling beradu pandang dan keduanya pun saling tersenyum. Hanya beberapa detik
saja adu pandang itu berlangsung dan setelah itu mereka pun pulang. Setelah itu, mereka pun tidak pernah saling bertemu, apalagi saling berbicara.
Yuni yang pada malam itu memang berniat menginap di rumah sahabatnya, Fitrah, di Depok, maka ia tidak pulang kerumah orang tuanya di kompleks DPR di
Kalibata. Semula ia tidak berniat mengikuti pengajian itu, karena pada awalnya memang hanya ingin kangen-kangenan saja ke rumah sahabatnya yang sama-sama
berasal dari Padang. Karena itu ia pun pergi kepengajian itu dengan pakaian seadanya, yaitu celana jins, baju berwarna biru, dan kerudung putih. Tapi ia tidak
merasa rugi mendatangi pengajian itu, karena ia berkata “ustadznya masih muda,
cakep, dan materi ceramahnya pun lumayan menarik.”
Meski yakin penglihatannya tidak salah saat melihat kecantikan gadis itu, Arifin tidak mau mengumbar perasaannya. Ia tak berusaha mencari tahu siapa dan
dari mana gadis itu. Ia biarkan kehidupannya mengalir sesuai kehendak-Nya. Sebagai makhluk yang berusaha menyerahkan seluruh kehidupannya hanya untuk
Allah, dalam urusan jodoh pun ia pasrahkan seutuhnya kepada Sang Mahakuasa. Setiap malam dia bangun kemudian shalat tahajud dan berserah diri kepada-Nya.
Sejak masih kuliah di Universitas Nasional, kemudian lulus kuliah, dan selanjutnya menjadi dosen di Universitas Borobudur, sudah beberapa kali ia
berteman dengan wanita. Tapi, sejauh itu selalu saja gagal sampai ke pelaminan.Hari-hari pun berjalan, ternyata Tuhan belum pula menunjukkan tanda-
tanda akan hadirnya seorang pujaan hati. Seesuai dengan pepatah orang tua dulu, ternyata kalau memang jodoh tidak akan kemana. Suatu hari, ada salah seorang
temannya, Hasan Sandi, yang menawarinya berkenalan dengan seorang gadis. Katanya, “Ustadz Arifin mau tidak kalau saya kenalkan dengan seorang gadis.
Dia seorang putri ulama.”“Mau, anaknya tinggal di mana?” Arifin balik bertanya. “Di Kalibata. Tapi, lebih baik kita ketemu di tempat lain saja, deh.”
Suatu hari di bulan Februari 1998 Hasan menghubungi Arifin lagi. Ia mengundang Arifin untuk memberikan ceramah dalam acara syukuran menempati
rumah baru. “Nanti saya kenalkan sekalian dengan gadis itu,” kata Hasan. Saat memasuki rumah itu, Arifin kaget ketika melihat salah satu foto yang terpampang
di kamar tamu, yang rupanya pernah dia kenal. “Ini, lho, foto gadis itu,” kata Hasan sambil menunjuk foto itu.Bertepatan dengan tangan Hasan menunjuk foto
gadis itu, seperti disihir, gadis itu keluar bersama kedua orang tuanya. Hanya beberapa detik, karena setelah itu gadis yang mengenakan celana biru, baju biru,
dan kerudung putih itu langsung masuk ke dalam lagi. Saat itu Arifin baru ingat
bahwa ia pernah bertemu dengan gadis itu sekitar enam bulan yang lalu, saat ia berceramah di Depok.
Kali ini Arifin benar-benar jatuh cinta. Sejak kedua kalinya bertemu gadis itu, ada perasaan yang aneh di hatinya. Bayang-bayang gadis kerudung putih itu terus
mengusik kesendiriannya. Tapi, berbeda dengan kebanyakan muda-mudi lain, ia menyampaikan perasaan hatinya kepada Sang Maha Pencipta. Setiap kali bangun
malam, ia langsung bersujud dan bersimpuh di hadapan-Nya. Sambil berdoa ia menangis dan memohon petunjuk agar diberikan pendamping hidup yang terbaik
untuknya. Selama ini, ia memang selalu memanfaatkan sepertiga malam yang terakhir
untuk-Nya. Hanya, kini kualitas dan kuantitas penghambaannya kepada Allah itu kian ditingkatkan. Setiap malam ia shalat malam delapan rakaat ditambah witir
tiga rakaat. Memasuki hari kesebelas, ia tiba-tiba mengalami kelelahan yang luar biasa hingga ia pun tertidur.Di tengah kelelapan tidurnya, ia bermimpi seolah
menjalankan ibadah umroh bersama gadis itu tepat tanggal 1 Muharam. Arifin percaya, mimpinya kali ini bukan sekadar kembang tid
ur. “Ini adalah petunjuk Allah yang Arifin terjemahkan untuk menikah tanggal 1 Muharam,” tegasnya.
Pagi- pagi, usai shalat subuh, ia langsung menelepon gadis itu. “Aku
Muhammad Arifin Ilham,” katanya memulai pembicaraan. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kamu. Pertama, aku ingin menikah dengan kamu
tanggal 1 Muharam. Kedua, niatku ini karena Allah. Ketiga, karena sunah Rasul. Keempat, aku ingin terbang ke langit. Cuma sayang, sayapku cuma satu.
Bagaimana kalau salah satu sayap itu adalah kamu? Kelima, aku butuhkan jawabanmu besok pukul 5 pagi.”Gadis itu terduduk lunglai. Berbagai perasaan
menyelimuti kalbunya. Di satu sisi ia merasa tersanjung dan bahagia, tapi di sisi lain ia juga merasa sedih dan khawatir. Bagaimanapun, ia belum mengenal lelaki
itu, walaupun ia seorang ustad. Sebagai gadis, selama ini ia belum pernah pacaran atau pergi berduaan dengan lelaki.
Selain tidak suka pergi-pergi iseng, pendidikan ayahnya pun sangat ketat. Sudah beberapa kali ia dilamar, tapi selalu ditolak oleh kedua orang tuanya.
Karena itu, awalnya ia gamang saat ingin menyampaikan lamaran Arifin itu.Apa boleh buat, lamaran „mengagetkan’ dari ustadz muda itu harus segera dia
sampaikan kepada kedua orang tuanya, karena esok subuh sudah ditunggu jawabannya. Untunglah kedua orang tuanya menyetujuinya. Saat esok harinya,
pukul 5 pagi, Arifin telepon dan yang menerima Yuni sendiri, ia yakin lamarannya bakal diterima.
Satu bulan kemudian, tepat tanggal 1 Muharam 28 April 1998, Arifin dan Yuni menikah di Masjid Baiturrahman di Kompleks DPR Kalibata. Dua sejoli ini
ternyata banyak kesamaannya. Antara lain, Arifin maupun Yuni adalah alumni Pesantren Darunnajah dan Universitas Nasional. Hanya tenggang waktu mereka
yang berbeda. Kedua kakek mereka sama-sama memiliki pesantren, yang namanya
juga sama,
Darussalam.Kini, pasangan
ini dikaruniai
dua putra, Muhammad Alvin Faiz 4 Februari 1999 dan Muhammad Amer
Adzikro 21 Desember 2000. Yuni yang sehari- hari dipanggil „Sayang’ oleh
Arifin berkata “saya sangat bahagia, do’a saya dikabulkan oleh Allah” karena
sejak sekolah SMP sampai kemudian mengakhiri masa gadisnya, setiap kali usai shalat wajib ia selalu berdoa. Tanpa ada yang menyuruh dan tak ada yang
mengajarinya, Yuni selalu memohon kepada Tuhan agar mendapatkan jodoh pria dengan 10 kriteria.Antara lain, pria yang saleh, beriman, ganteng, berkecukupan,
terkenal, berakhlak mulia, disayang semua umat, bertanggung jawab, dan pintar. Dan Alhamdulillah semua yang Yuni mau terdapat di dalam diri Arifin
59