Politik Dan Sastra: Suatu Studi Hermeneutika Terhadap Karya Sastra Djaga Depari.

(1)

Skripsi

POLITIK DAN SASTRA

SUATU STUDI HERMENEUTIKA TERHADAP KARYA SASTRA DJAGA DEPARI

D I S U S U N OLEH : MARCO BANGUN

060906023

Dosen Pembingbing : Drs. Antonius Sitepu M.si Dosen Pembaca : Drs. H Zubeirsyah S.U

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011


(2)

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh rasa keinginan tahuan saya terhadap Komponis besar sekaligus Pejuang Kemerdekaan Indonesia, khususya Tanah Karo, Djaga Depari. Djaga Depari tidak berjuang seperti pejuang pada umumnya yangmengangkat senjata dan bertempur melainkan melalui tulisan- tulisan dan lagu- lagunya yang membakar semangat juang masyarakat Karo pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Dalam penelitian yang saya jadikan skripsi ini saya menggunakan metode studi pustaka dan Hermenuutika dalam melihat bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh Djaga Depari, mencari tulisan dan lagu –lagu yang membakar semangat juang masyarakat Karo.

Melalui penelitian yang sudah saya lakukan akhirnya saya dapatkan bahwa, perjuangan dan berpolitik tidak harus mengangkat senjata, duduk di parlemen atau pun lain sebagainya melainkan dapat dilakukan melalui karya sastra dan lagu.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan berkat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul: “POLITIK DAN SASTRA: SUATU STUDI

HERMENEUTIKA TERHADAP KARYA SASTRA DJAGA DEPARI”.

Tanpa disadari dalam penulisan skripsi ini begitu banyak pihak-pihak yang membantu penulis dalam hal materi, moral dan moril hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, saat ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin,M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

3. Bapak Drs. Anthonius Sitepu, M. Si. selaku dosen pembimbing yang selama ini telah banya membantu dalam penyusunan skripsi saya.

4. Bapak Drs. H. Zubeirsyah. S. U. selaku dosen pembaca yang telah banyak memberikan masukan dan saran yang membangun kepada saya.

5. Seluruh dosen FISIP USU, khususnya dosen-dosen Departemen Ilmu Politik yang begitu baik dan mengajari penulis dari semester 1 hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(4)

6. Kedua orang tua penulis yang sangat disayangi, terima kasih atas doa-doanya, dukungan, motivasinya. Semua sangat berarti sekali telah memberikan yang tebaik bagi penulis.

7. Keluarga, abang-abangku, kakak, untuk doa dan motivasinya selama ini 8. Kepada teman- teman di Ilmu Politik USU, Politik Stambuk 2006, Abanda

Benson Kaban. S. sos, Andry Gina Ginting, Farid Mas Hadi, dan semua yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu.

9. Kepada Kak Emma Sari dan Bang Rusdi yang banyak membantu saya dalam administrasi.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pihak-pihak yang telah membaca skripsi ini. Pada dasarnya kritik tersebut sangat berguna untuk mengevaluasi dan memotivasi penulis untuk dapat lebih baik kedepannya.


(5)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Daftar Isi ... ii

BAB I Pendahuluan ... 1

1. 1 Latar Belakang ... 1

1. 2 Perumusan Masalah ... 8

1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1. 3. 1 Tujuan Penelitian ... 9

1. 3. 2 Manfaat Penelitian ... 9

1. 4 Kerangka Teoritis ... 10

1. 4. 1 Imprealisme dan Kolonialisme ... 11

1. 4. 1. 1 Kolonialisme dan Imprealisme ke Tanah Karo ... 14

1. 4. 2 Terminologi Sastra ... 21

1. 4. 3 Terminologi Hermeneutika ... 25

1. 4. 3. 1 Konsep Dasar Hermeneutika ... 25

1. 4. 3. 2 Cara Kerja Hermeneutika ... 27

1. 4. 3. 3 Bahasa Sebagai Pusat Kajian ... 28

1. 4. 3. 4 Hermeneutika dalam Pandangan Filosofi ... 28

1. 4. 3. 5 Peran Hermeneutika Terhadap Martabat Manusia ... 32

1. 4. 3. 6. Beberapa Varian Hermeneutika ... 33

1. 5 Metodologi Penelitian ... 39

1. 5. 1 Metode Penelitian ... 40

1. 5. 2 Jenis Penelitian ... 41


(6)

1. 5. 4 Teknik Analisis Data ... 44

1. 6 Sistematika Penulisan ... 45

BAB II BIOGRAFI DJAGA DEPARI ... 47

BAB III HERMENEUTIKA KARYA DJAGA DEPARI ... 58

3. 1 Koloniaslisme di Tanah Karo ... 58

3. 2 Djaga Depari di Masa Kemerdekaan ... 61

3. 3 Hermeneutika Karya Djaga Depari ... 63


(7)

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh rasa keinginan tahuan saya terhadap Komponis besar sekaligus Pejuang Kemerdekaan Indonesia, khususya Tanah Karo, Djaga Depari. Djaga Depari tidak berjuang seperti pejuang pada umumnya yangmengangkat senjata dan bertempur melainkan melalui tulisan- tulisan dan lagu- lagunya yang membakar semangat juang masyarakat Karo pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Dalam penelitian yang saya jadikan skripsi ini saya menggunakan metode studi pustaka dan Hermenuutika dalam melihat bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh Djaga Depari, mencari tulisan dan lagu –lagu yang membakar semangat juang masyarakat Karo.

Melalui penelitian yang sudah saya lakukan akhirnya saya dapatkan bahwa, perjuangan dan berpolitik tidak harus mengangkat senjata, duduk di parlemen atau pun lain sebagainya melainkan dapat dilakukan melalui karya sastra dan lagu.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Masalah

Politik yang sesungguhnya tak terpisahkan dari kehidupan dan sebaliknya. Mereka yang menganggap dirinya tak berpolitik tidak lain karena telah berpadu dengan politik yang berlaku, maka tidak merasa lagi, dianggap sudah sewajarnya. Terutama di masa sejarah, hampir semua karya sastra adalah berpolitik tentu saja orang perlu membukakan pengertiannya dan menerima kenyataan, bahwa politik bukan kepartaian, tetapi segala sesuatu yang berhubuangan dengan kekuasaan. Selama orang hidup didalam masyarakat, selama itu dia ikut serta dalam politik. Dalam sastra jawa Mahabharata, Ramayana, Arjuna Wiwaha, Bharatayuda, Lubdaka,dan seterusnya sampai pun pada negara kertagama, bukankah itu mengagungkan kekuasaan yang berlaku pada masanya, maka juga berarti karya politik sekaligus karya sastra.

Kutipan dari Novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer di atas menyiratkan betapa politik dan sastra memang sulit dipisahkan. Sastra sebagaimana politik, adalah bagian dari masyarakat yang saling mewarnai satu sama lain, saling mengangkat, tapi kadang juga saling menjatuhkan.

Politik sendiri adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.Berdasarkan teori pragmatik, sastra dapat dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan kepentingan dan tujuan tertentu kepada publik penikmatnya. Jenis


(9)

karya sastra dalam konteks ini memiliki kegunaan praktis, dalam arti langsung dirasakan manfaatnya. Salah satu tujuan yang menjadi muatan itu adalah tujuan yang bersifat politis. Sebagai contoh syair-syair lagu, ketoprak, ludruk, dan sebagainya ditampilkan untuk membawa misi atau tujuan tertentu, misalnya propaganda calon pimpinan partai, bupati, gubernur, presiden, dan sebagainya. Atau pertunjukan teater, karikatur, atau karya sastra yang mengangkat masalah-masalah politik sebagai temanya. Tentu hal ini sah-sah saja mengingat sastra dapat dipandang sebagai suatu alat untuk menyampaikan hal- hal yang diinginkan penyajinya, bahkan kadang-kadang unsur politik itu sendiri dapat menjadi warna tersendiri yang menjadi ciri khas sebuah karya sastra yang diciptakan (setidaknya dalam suatu era tertentu) seperti dalam novel-novel Pramoedya, puisi-puisi Chairil, lukisan-lukisan Sudjojono, Affandi, atau bahkan seorang penyair asal tanah karo Djaga Depari.

Seni adalah satu bentuk ungkapan yang indah dari isi kehidupan. Isi kehidupan diungkap, diangkat, diterjemahkan dan dituangkan dalam aneka bentuk yang indah sebagai seni sastra, seni lukis, seni drama, seni musik/suara, dan sebagainya. Seni juga satu bentuk kecakapan yang tinggi dalam membawa satu ide di atas jalan yang rumit dan merealisasi secara tepat sampai pada tujuannya.

Kesenian tidak pernah berdiri sendiri dan lepas dari kondisi sosial budaya masyarakatnya. Sebagai salah satu unsur budaya yang penting, kesenian merupakan ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan kesenian selalu dapat menciptakan, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan dan mengembangkannya untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru. Akan tetapi, masyarakat adalah suatu perserikatan manusia yang mana kreatifitas masyarakat berasal dari manusia-manusia yang mendukungnya (Umar Kayam, 1981 : 38-39).

Manusia tidak pernah lepas dari kebudayaan karena masyarakat turut mengambil andil dalam kebudayaan tersebut dengan cara menjadi bagian dari setiap fase-fase kehidupannya. Seni yang merupakan bagian dari kebudayaan, di dalamnya terdiri dari para pelaku seni atau seniman, manajer, pencipta atau


(10)

pengkreasi seni. Di antara para pekerja seniyang pernah mengabdikan hidupnyasebagai penghasil karyaseni, adayangbegitu menonjol dikenaloleh karena karyayangmereka hasilkan.

Dalam tulisan ini akan diangkat tema-tema dari lagu karya DjagaDepari. Djaga Depari adalah seorang komponis nasionalyang berasal dari Tanah Karo.Djaga Depari lahir pada 5 Mei 1922 di Desa Seberaya,Kecamatan Tiga Panah,Kabupaten Karo. Ayah Djaga Depari bernama Ngembar Sembiring Depari seorangmandor besarWer bas elkawe(Pekerjaan Umum) Deli Hulupada masa penjajahanBelanda. Ibu Djaga Depari bernama Siras 1Br Karo Sekali. Djaga Depari merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Berikut adalah nama-nama saudara-saudari DjagaDepari2:

1.Tempat BrDepari,

2.Djalim Depari,

3.NengeniBr Depari,

4.Ngasali Br Depari, dan

5.Senter Br Depari.

1

Di kalangan masyarakat Karo termasuk juga Tapanuli, khususnyauntuk parawanita, pada namanya ditambahkan kataBeru(bahasa Karo,dimasyarakat Tapanuli disebutBoru)didepan marganyadan biasanya disingkatmenjadiBr.


(11)

Djaga Depari menikah pada tahun 1943 pada usia 21 tahun. Beliau menikahi impal3 nya yang bernama Djendam Br Pandia, anak kedua dari lima bersaudara dari keturunan pamannya yang bernama Dokan Pandia yang bekerja sebagai petani pada saat itu. Dari pernikahan ini Djaga Depari dan istrinya dikaruniai tujuh orang anak (empat laki-laki dan tiga perempuan). Berikut adalah nama-nama dari putra-putri Djaga Depari4:

1. Sadarman Depari, lahir pada tanggal 11 Desember 1944 di Desa Seberaya 2. Sutrisno Depari, lahir pada tanggal 24 November1946 di Desa Seberaya 3. Maya Rita Br Depari, lahir pada tanggal 4 Mei 1953 di Desa Seberaya 4. AgustinaBr Depari, lahir pada tanggal 17 Agustus 1959 di Desa Seberaya 5. Junita Br Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1960 di Kabanjahe

6. Waktu Depari, lahir pada tanggal 10 Juni1962 di Kabanjahe 7. Ngapuli Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1963 di Kabanjahe

Pada tahun 1935 Djaga Depari mengawali pendidikannya di sekolah dasar. Pada saat itu Djaga Depari dimasukkan ke sekolah Belanda yang bernama ChristelijkHollandsch InlandcheSchool(Christelijk HIS)5, salah satu sekolah unggulan di Kabanjahe. Setelah menamatkan sekolah di Christelijk HIS ini, Djaga Depari melanjutkan jenjang pendidikan ke sekolah HIS lanjutan di kota Medan. Ketika duduk dibangku HIS lanjutan inilah Djaga Depari dan beberapa kawan sekolahnya membentuk satu kelompok musik. Di kelompok musik ini Djaga Depari memegang alat musik biola. Djaga Depari tidak mempunyai pendidikan khusus di bidang musik tetapi sangat piawai menggesek dawai biola. Dia

3

Anak perempuan dari paman, (saudara laki-laki dari ibu) 4


(12)

mengandalkan biola dalam membentuk komposisi not-not lagu karyanya. Lagu-lagu yang dibawakan Djaga Depari di kelompok musik ini adalah Lagu-lagu-Lagu-lagu populer pada saat itu yang bukan berbahasa Indonesia yaitu lagu barat (Perancis, Spanyol, Italia). Pada periode inilah Djaga Depari mulai mencoba mengarang beberapa buah lagu. Djaga depari menamatkan sekolah di HIS lanjutan ini pada tahun 1939.

Walaupun Djaga Depari gemar memainkan lagu barat, lagu-lagu yang beliau ciptakan kebanyakan berbahasa Karo. Banyak sekali lagu-lagu-lagu-lagu berbahasa Karo yang kita kenal sekarang merupakan karya Djaga Depari. Lagu-lagu karya Djaga Depari ini diciptakan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaanIndonesia.

Dari data yang didapat pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1942 Djaga Depari mencipta sejumlah lagu di antaranya Tanah Ersuki, Ranting Jabi-jabi, Anak U-we, Naki-naki, Kanam-kanam, Regi-regi, Jolah jemole, Perbaju Joe, Berngi Singongo,Persentabin, Sada Kata, Pergawah dan Angin Si Lumang6. Sedangkan pada masa kemerdekaan, Djaga Depari juga mencipta sejumlah lagu. Beberapa diantaranya adalah Famili Taksi, Padang Sambo, Sora Mido, Tanah karoSimalem, Rudang Mejile, Roti Manis, Tiga Sibolangit, Lasam-lasam, Make Ajar, Pecat-pecat Seberaya, Didong-didong Padang Sambo, Io-io Beringin, Andiko Alena, Sue-sue dan Rudang-rudang.7

Sampai saat ini, masyarakat Karo masih banyak yang menggunakan lagu-lagu karya Djaga Depari dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan lagu-lagu tersebut mencakup banyak hal seperti sebagai lagu pengiring dalam upacara adat, sebagai

6


(13)

koleksi pribadi, sebagai media hiburan dan lain-lain. Hal itu berhubungan dengan tema-tema yang tersirat dalam lagu-lagu karya Djaga Depari tersebut.

Djaga Depari tidak hanya menulis lagu-lagu romantika kehidupan masyarakat Karo tetapi beliau juga menuliskan lagu-lagu tentang perjuangan masyarakat Karo menentang penjajahan bangsa asing. Apabila semangat patriotisme Djaga Depari tergugah, maka lagu yang diciptakannya menjadi sangat berbeda. Kesan kesenduan lagu-lagu Karo berubah menjadi hentakan yang bersemangat ingin membebaskan diri dari belenggu ketertindasan. Salah satu lagunya adalah “Erkata Bedil (Dentuman Senjata)“. Lagu Erkata Bedil ini menggambarkan semangat perjuangan yang beliau embankan kepada para pemuda Karo untuk ikut mengangkat senjata melawan penjajah di tanah Karo walaupun para pemuda itu sedang dilanda asmara. Lagu ini kemudian menjadi lagu nasional perjuangan rakyat Indonesia. Selain itu pada lagu “Kemerdekaanta” karya Djaga Depari juga tersirat makna-makna perjuangan rakyat. Dalam lirik lagu ini dilukiskan bahwa seorang pemuda berkata kepada kekasihnya “bila kelak kita telah mendapat kemerdekaan, maka kita akan bersatu dalam pelaminan”. Karya-karya Djaga Depari yang bertemakan perjuangan masyarakat Karo ini kemudian membuat pemerintah Indonesia memberikan gelar kepadanya sebagai Komponis Nasional. Untuk mengabadikan pengabdiannya, pemerintah propinsi Sumatera Utara diprakarsai oleh Lembaga Permusyawaratan Kebudayaan Karo (LPKK) Sumatera Utara mendirikan satuh monumen Djaga Depari di kota Medan yang terletak di persimpangan jalan Iskandar Muda Medan.

Djaga Depari telah mempersembahkan yang terbaik yang ada di dirinya untuk masyarakat Karo khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Beliau


(14)

juga dikenal sangat konsisten dalam karya-karyanya. Konsistensi8 pemikiran DjagaDepari ini jugaakan diangkat dalam tulisan ini. Pembahasannya akan berlanjut pada pengaruh situasi ekonomi, politik, sosial budaya pada masa hidup Djaga Depari terhadap pemikiran Djaga Depari dalam karya-karyanya. Maksudnya disini adalah apakah situasi ekonomi,politik dan sosial budaya mempengaruhi pemikiran Djaga Depari dalam penciptaan karya.Hal ini juga nantinya akan berkaitan dengan tema yang muncul dalam lagu-lagukarya Djaga Depari.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah sastra yang di tampilkan akan mendapat respon estetik dari publik sebagai pemberi nilai pada sebuah karya sastra di tengah muatan-muatan bersifat politis yang menyertainya ?

Mungkin akan sulit terjawab karena semua itu ada pada nilai yang diberikan oleh masyarakat sebagai apresiator, tapi dalam sejarah semua itu seolah melebur dan sastra tetaplah sebagai sastra terlepas bahwa sastra dalam kenyataannya sering mendapat muatan politik. Sebagai contoh tidak bisa dipungkiri karya-karya Djaga Depari di era 1945, telah banyak membangun pergerakan-pergerakan politik masyarakat karo pada khususnya dalam menyadari pentingnya sebuah kemerdekaan. Bukti sejarah tersebut dapat dijadikan sebagai bukti bahwa karya sastra dapat memberi pengaruh politis dalam upaya mencapai suatu tujuan yang bersifat politis. Sastra akan tetap indah dan bernilai ditengah muatan-muatan yang menyertainya sepanjang sastra tidak keluar dari pakem-pakemnya. Justru disinilah tantangan bagi seorang pencipta karya sastra untuk

8

Berasal dari kata konsisten : tetap, selaras, sesuai (sumber : Kamus Besar Bahasa Indonesia on line)


(15)

dapat mengolah sebuah muatan (politik) sebagai sumber kekayaan estetis yang dikandungnya.

Dari latar belakang masalah di atas penulis tertarik meneliti penelitian dengan judul “Politik Dan Sastra : Suatu Studi Hermeneutika terhadap Karya Sastra Djaga Depari”

I. 2. PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyan-pertanyaan peneliti apa saja yang perlu dijawab atau dicari pemecahannya. Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.9

Dalam menganalisis karya-karya beliau tentu diperlukan telaah yang mendalam yang didapat dari pendapat dan pernyataan yang dikemukan oleh Djaga Gapari melalui karya-karyanya. Dimana karya-karyanya tersebut digabungkan dan dianalisis sehingga membentuk sebuah paparan dan gambaran yang jelas. Berdasarkan yang telah dipaparkan dalam latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah :

Bagaimana pemikiran politik Djaga Depari jika ditafsirkan dari karya-karyanya.

9


(16)

I. 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I. 3. 1 Tujuan Penelitian

Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran politik Djaga Depari jika ditafsirkan dari karya-karyanya.

2. Untuk mengetahui mengapa Djaga Depari memilih jalan sastra untuk menyampaiakan aspirasi politiknya.

I. 3. 2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan penulis adalah :

1. Secara teoritis maupun metodologis studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi politik dan sastra di Indonesia.

2. Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan kemampuan berfikir penulis melalui karya ilmiah melalui penelitian ini.

3. Bagi akademisi, dapat menjadi bahan acuan ataupun referensi dalam konteks Ilmu Politik di Indonesia.

4. Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih diprioritaskan kepada politik dan sastra secara umum.

I. 4. KERANGKA TEORITIS

Untuk memudahkan penelitian, diperlukan pedoman dasar berfikir yaitu kerangka teori. Mustahil apabila seseorang menulis ataupun meneliti suatu permasalahan tanpa menggunakan kerangka teori, karena penelitian ataupun


(17)

tulisan tesebut bisa dianggap tidak sah, bila dilihat dari syarat suatu tulisan. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir, untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih.10 Selanjutnya Singarimbun menyebutkan bahwa: “Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep dan kontruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep, ringkasnya teori adalah hubungan satu konsep dengan konsep lainnya untuk menjelaskan gejala tertentu”. 11

1.4.1.Imperialisme dan Kolonialisme

Istilah imperialisme yang diperkenalkan di Perancis pada tahun 1830-an, imperium Napoleon Bonaparte. Pada tahun 1830-an, istilah ini diperkenalkan oleh penulis Inggris untuk menerangkan dasar-dasar perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh Kerajaan Inggris. Orang Inggris menganggap merekalah yang paling berkuasa (Greater Britain) karena mereka telah banyak menguasai dan menjajah di wilayah Asia dan Afrika. Mereka menganggap bahwa penjajahan bertujuan untuk membangun masyarakat yang dijajah yang dinilai masih terbelakang dan untuk kebaikan dunia.

Imperialisme merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomi dan politik negara-negara kaya dan berkuasa , mengawal dan menguasai negaranegara lain yang dianggap terbelakang dan miskin dengan tujuan mengeksploitasi sumber-sumber yang ada di negara tersebut untuk menambah kekayaan dan kekuasaan negara penjajahnya.

10

Hadari Namawi, Metode Penelitia n Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press,1987,hal. 40.


(18)

Imperialisme menonjolkan sifat-sifat keunggulan (hegemony) oleh satu bangsa atas bangsa lain. Tujuan utama imperialisme adalah menambah hasil ekonomi.12 Negara-negara imperialis ingin memperoleh keuntungan dari negeri yang mereka kuasai karena sumber ekonomi negara mereka tidak mencukupi. Selain faktor ekonomi, terdapat satu kepercayaan bahwa sebuah bangsa lebih mulia atau lebih baik dari bangsa lain yang dikenal sebagai ethnosentrism, contoh bangsa Jerman (Arya) dan Italia. Faktor lain yang menyumbang pada dasar imperialisme adalah adanya perasaan ingin mencapai taraf sebagai bangsa yang besar dan memerintah dunia, misalnya dasar imperialisme Jepang.

Dasar imperialisme awalnya bertujuan untuk menyebarkan ide-ide dan kebuadayaan Barat ke seluruh dunia. Oleh karena itulah, imperialisme bukan hanya dilihat sebagai penindasan terhadap tanah jajahan tetapi sebaliknya dapat menjadi faktor pendorong pembaharuan-pembaharuan yang dapat menyumbang kearah pembinaan sebuah bangsa seperti pendidikan, kesehatan, perundang-undangan dan sistem pemerintahan.

Sarjana Barat membagi imperialisme dalam dua kategori yaitu imperialisme kuno dan imperialisme modern. Imperialisme kuno adalah negara-negara yang berhasil menaklukan atau menguasai negara-negara lain, atau yang mempunyai suatu imperium seperti imperium Romawi, Turki Usmani, dan China, termasuk spanyol, Portugis, Belanda, Inggris dan Perancis yang memperoleh jajahan di Asia, Amerika dan Afrika sebelum 1870, tujuan imperialisme kuno adalah selain faktor ekonomi (menguasai daerah yang kaya dengan sumber daya alam) juga termasuk didalamnya tercakup faktor agama dan kajayaan .

12


(19)

Sedangkan Imperialisme modern bermula setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1870-an. Hal yang menjadi faktor pendorongnya adalah adanya kelebihan modal dan Barang di negara-negara Barat. Selepas tahun 1870-an , negara-negara Eropa berlomba-lomba mencari daerah jajahan di wilayah Asia, Amerika dan Afrika. Mereka mencari wilayah jajahan sebagai wilayah penyuplai bahan baku dan juga sebagai daerah pemasaran hasil industri mereka.

Dasar Imperialisme ini dilaksanakan demi agama, mereka menganggap bahwa menjadi tugas suci agama untuk menyelamatkan manusia dari segala macam penindasan dan ketidakadilan terutama di negara-negara yang dianggap terbelakang seperti para misionaris Kristen yang menganggap misi penyelamat ini sebagai The White Man Burden Diantara faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya imperialisme adalah faktor dan ekonomi

Koloni merupakan negeri, tanah jajahan yang dikuasai oleh sebuah kekuasaan asing. Koloni adalah satu kawasan diluar wilayah negara asal atau induk. Tujuan utama kolonialisme adalah kepentingan ekonomi.Kebanyakan koloni yang yang dijajah adalah wilayah yang kaya akan bahan mentah, keperluan untuk mendapatkan bahan mentah adalah dampak dari terjadinya Revolusi Industri di Inggris.

Istilah kolonialisme bermaksud memaksakan satu bentuk pemerintahan atas sebuah wilayah atau negeri lain (tanah jajahan) atau satu usaha untuk mendapatkan sebuah wilayah baik melalui paksaan atau dengan cara damai.13 Usaha untuk mendapatkan wilayah biasanya melalui penaklukan. Penaklukan atas sebuah wilayah bisa dilakukan secara damai atau paksaan baik secara langsung

13


(20)

maupun tidak langsung. Pada mulanya mereka membeli barang dagangan dari penguasa lokal, untuk memastikan pasokan barang dapat berjalan lancar mereka kemudian mulai campur tangan dalam urusan pemerintahan penguasa setempat dan biasanya mereka akan berusaha menjadikan wilayah tersebut sebagai tanah jajahan mereka. Negara yang menjajah menggariskan panduan tertentu atas wilayah jajahannya, meliputi aspek kehidupan sosial, pemerintahan, undang-undang dan sebagainya. Sejarah perkembangan kolonialisme bermula ketika Vasco da Gama dari Portugis berlayar ke india pada tahun 1498. Di awali dengan pencarian jalan ke Timur untuk mencari sumber rempah-rempah perlombaan mencari tanah jajahan dimulai. Kuasa Barat Portugis dan Spanyol kemudian diikuti Inggris dan Belanda berlomba-lomba mencari daerah penghasil rempah-rempah dan berusaha mengusainya. Penguasaan wilayah yang awalnya untuk kepentingan ekonomi akhirnya beralih menjadi penguasaan atau penjajahan politik yaitu campur tangan untuk menyelesaikan pertikaian, perang saudara, dan sebagainya. Ini karena kuasa kolonial tersebut ingin menjaga kepentingan perdagangan mereka daripada pergolakan politik lokal yang bisa mengganggu kelancaran perdagangan mereka.

Kolonialisme berkembang pesat setelah perang dunia I. Sejarah kolonialisme Eropa dibagi dalam tiga peringkat. Pertama dari abad 15 hingga Revolusi industri (1763) yang memperlihatkan kemunculan kuasa Eropa seperti Spanyol dan Portugis. Kedua, setelah Revolusi Industri hingga tahun 1870-an. Ketiga, dari tahun 1870-an hingga tahun 1914 ketika meletusnya Perang Dunia I yang merupakan puncak pertikaian kuasa-kuasa imperialis.


(21)

1.4.1.1.Kolonalisme dan Imperialisme ke Tanah Karo

Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami. Tanah Karo telah diketahui Belanda karena kerbau sebagai penarik kereta keperluan perkebunan diperoleh dari Tanah Karo. Di samping itu Binjai pada waktu itu telah menjadi kota yang didiami tuan-tuan kebun Belanda, banyak didatangi orang-orang Karo dari Karo Tinggi dan ada diantaranya yang bekerja sebagai pekerja kebun maupun mandor.

Kepopuleran Kiras Bangun /Garamata telah diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk itu timbul keinginan Belanda menjalin persahabatan dengan Garamata agar dibenarkan memasuki Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan. Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan senjata. Tawaran Belanda demikian mengandung maksud-maksud tersembunyi yang sukar ditebak apalagi Tanah Karo tidaklah cukup luas untuk jadi perkebunan.

Utusan Belanda Nimbang Bangun telah bolak-balik dari Binjai ke Tanah Karo namun keinginan Belanda memasuki Tanah Karo tetap ditolak. Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo sebagai berikut:

1. Keinginan Belanda untuk bersahabat dengan rakyat Karo dapat diterima asal saling menghargai dan menghormati.


(22)

3. Belanda tidak perlu campur dalam soal pemerintahan di Tanah Karo sebab rakyat Karo selama ini sudah dapat mengatur diri sendiri menurut peradatannya sendiri.

Keinginan Belanda masuk Tanah Karo diwujudkan pada tahun 1902, dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya ke Tanah Karo setelah sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.

Garamata memberikan beberapa kali peringatan untuk meninggalkan Tanah Karo tetapi Guillaume tidak mau berangkat. Kemudian Garamata bekerja sama dengan beberapa Urung berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe. Sejak pengusiran itu timbullah puncak permusuhan dengan Belanda.

Perkembangan situasi yang sudah menegang disampaikan kepada tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan sebagai daerah tetangga yang sehaluan. Kemudian Garamata menugaskan beberapa orang untuk mengetahui informasi tentang keinginan Belanda ke Tanah Karo dengan dalih membuka perkebunan, yang merupakan tindakan memaksakan kehendaknya. Dari tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan ini diperoleh jawaban akan membantu Garamata.

Situasi yang berkembang di Tanah Karo sudah semakin memanas semenjak Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap kekuatan. Pertemuan Urung/Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana


(23)

yang paling mudah untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung serta melaksanakan rencana-rencana.

Melalui pertemuan Urung, Garamata dalam pengarahannya membentuk pasukan Urung dan mengadakan benteng pertahanan di tiap-tiap Urung. Persenjataan pasukan Urung terdiri dari pedang, parang, tombak, dan senapan (dalam jumlah terbatas) yang tersedia di Urung masing-masing. Dengan demikian upaya menghimpun kekuatan, mengobarkan semangat perlawanan gigih dan bersatu sembari kewaspadaan tidak dilengahkan merupakan tekad Garamata dan pengikut-pengikutnya yang setia.

Kenyataan membuktikan bahwa pertemuan Urung di Tiga Jeraya mampu mengerahkan ribuan orang pria dan wanita mengangkat “Sumpah setia melawan Belanda” yang pengucapannya dilakukan secara serempak yang menggemuruh. Pertemuan Urung dilakukan sebanyak 6 kali dan yang terbesar pertemuan Jeraya Surbakti.

Pada tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo Alas dan Dairi menuju Medan. Dalam perjalanannya ke Medan melalui Tanah Karo, pasukan tersebut memasuki kampung Seberaya dimana saat itu terjadi perang saudara. Dalam perjalanan pasukan Belanda mampir di kampung Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa Urung dan pasukan Urung tewas 20 orang.

Perisitiwa berdarah di beberapa tempat merupakan petunjuk bagi tokoh Karo bahwa Belanda telah mulai menginjak-injak kedaulatan rakyat Karo. Kecurigaan Garamata demikian terbukti bahwa maksud kedatangan Belanda ke Tanah Karo adalah menjajah seperti di Langkat. Garamata memastikan bahwa


(24)

perang pasti terjadi dan karena itu menugaskan beberapa orang ke Alas dan Gayo memperoleh bantuan sebagaimana disepakati setahun lalu.

Karena kedudukan musuh di Kabanjahe maka disusun benteng pertahanan terdepan, yang merupakan garis pertahanan sepanjang jalan Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan Kandibata-Kacaribu (Kabanjahe Barat) sedangkan pucuk pimpinan (Pos Komando) Garamata berkedudukan di Beganding (Kabanjahe Tenggara) untuk memudahkan pelaksanaan komando.

Ultimatum Garamata kepada Guillaume yang sudah menduduki Kabanjahe untuk kedua kalinya tidak mendapat tanggapan, bahkan mendatangkan marsuse Belanda lebih banyak lagi. Serdadu pengawalnya sudah diperkuat lagi dari sebelumnya.

Patroli-patroli Belanda menghadapi perlawanan pasukan Urung mengakibatkan terjadinya tembak-menembak. Dimaklumi bahwa daya tempur pasukan Simbisa/Urung terbatas pada tembak lari atau sergap “bacok lari”, kemudian berbaur dengan masyarakat setempat. Begitu pula benteng-benteng pertahanan dengan senjata pedang, parang, tombak, bedil locok dan senapang petuem yang terbatas tidak mendukung untuk bertahan lama. Adapun tembak-menembak terjadi tidak seimbang dan pihak Belanda memiliki senjata yang lebih mutakhir sedangkan di pihak Simbisa/Urung mempunyai senjata yang kalah jauh dari perlengkapan lawan.

Satu demi satu benteng pertahanan pasukan Simbisa/Urung dapat dikuasai musuh, seperti benteng pertahanan LIngga Julu, meminta korban jiwa, termasuk pemimpin pasukannya tewas tertembak. Sementara benteng


(25)

pertahanan Kandibata yang dibantu pasukan dari Aceh Tenggara ditarik ke garis belakang. Benteng Mbesuka dan Tembusuh di Batukarang, (15/9/1904) dikuasai Belanda. Mujur atas dorongan para ibu dengan sorak sorai beralep-alep merupakan dorongan semangat tempur tetap tinggi. Pasukan Urung terpaksa membayar mahal dan tidak kurang dari 30 orang tertembak mati, seorang diantaranya perwira. Seusai pertempuran pasukan Urung menyingkir ke Negeri, 3 km dari Batukarang yang dipisah oleh Lau Biang yang bertebing terjal.

Negeri sebagai tempat menyingkir Garamata dan pasukannya jadi sasaran serangan mendadak oleh pasukan Belanda, seusai Batukarang diduduki, Nd. Releng br Ginting isitri Garamata menderita luka tembak sembari Garamata dan pasukannya menduduki Singgamanik dan sekitarnya.

Garamata dalam pengarahannya kepada pasukan Simbisa/Urung membuat pesan dari pedalaman antara lain, teruskan perjuangan melawan Belanda di mana saja semampu yang dimiliki dengan motto: “namo bisa jadi

aras, aras bisa jadi namo” (namo=lubuk, aras=arus air yang deras). Artinya

sekarang kita kalah, besok kita menang.

Pada kesempatan lain Garamata berangkat ke Singkil dengan tujuan menemui teman seperjuangannya Sultan Daulat tetapi tidak bertemu. Tidak ada keterangan diperoleh selain Aceh Selatan dan Aceh Tenggara sudah dikuasai Belanda sehingga hubungan antara kedua pihak menjadi terputus. Perlu dijelaskan bahwa waktu hendak kembali di tengah jalan ketemu dengan marsuse Belanda, Garamata dapat mengelabuinya dengan menyamar sebagai pengail.


(26)

Dalam perjalanan pulang ke Lau Petundal, Garamata singgah di Lau Njuhar, tidak lama kemudian pasukan Belanda datang mengepung. Posisi Garamata dalam bahaya dan diatur bersembunyi dalam satu rumah. Sementara itu Garamata dipersiapkan menyamar seperti seorang perempuan yang baru melahirkan dengan muka disemburi pergi kepancuran, dengan demikian loloslah Garamata dari serangan Belanda. Pendudukan Belanda atas Batukarang dengan mengerahkan sebanyak 200 orang marsuse Belanda bersenjata lengkap ternyata belum memulihkan keamanan. Patroli Belanda tetap mendapat perlawanan walau tidak secara frontal.

Betapapun usaha yang diupayakan untuk menangkap tokoh-tokoh Urung terutama Garamata tidak berhasil sehingga semua rencana Belanda memperkuat kedudukannya seperti membuka jalan dari Kabanjahe ke Alas, mengutip pajak, menjalankan roda pemerintahan selalu terganggu/tidak dapat dijalankan. Maka dikeluarkan opportinuteits beginsiel terhadap Kiras Bangun atau Garamata bersama pengikut-pengikutnya.

Mengingat banyaknya rakyat korban akibat tindakan marsuse Belanda yang semakin membabi buta seperti peristiwa di Kuta Rih di samping itu disadari bahwa pasukan tidak dapat bertahan lebih lama mengingat keadaan yang sudah parah, terutama disebabkan hubungan dengan Alas, Gayo, Singkil sudah tertutup, pada saat mana Belanda menawarkan opportinuteits maka Garamata bersama anak buahnya berunding untuk mengambil keputusan. Dengan pertimbangan prikemanusiaan dan untuk menghindari rakyat korban lebih banyak maka penawaran Belanda atas opportinuteits beginsiel diterima


(27)

dengan berat hati dan bertekad untuk menyusun kekuatan sehingga pada suatu saat dapat bangkit kembali mengusir Belanda.

I. 4.2.Terminologi sastra

Sastra memiliki penafsiran tentang sebuah defenisi sastra yang sesungguhnya. Sastra bukanlah sebuah benda yang sering kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.

1. Yang dikaitkan dengan pengertian sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk sementara waktu saja. Secara kebetulan hasil sastra dipergunakan dalam situasi komunikasi yang diatur oleh suatu lingkungan kebudayaan tertentu. Ini berlaku bagi karya-karya pentas dan bagi novel-novel dan kumpulan sajak. Termasuk juga bacaan yang dijual di kios-kios dan di stasiun dimana tidak langsung bertujuan pragmatik, artinya supaya langsung dipergunakan, melainkan ditawarkan sebagai bacaan hiburan, maka dari itu juga terangkum dalam deskripsi ini.

2. Bagi sastra Barat dewasa ini kebanyakan teks drama dan cerita mengandung unsur fiksionalitas. Bagi orang yunani dahulu kala fiksionalitas tidak relevan untuk membatasi pengertian sastra, disisi lain di Cina zaman dahulu teks-teks rekaan justru tidak dianggap sastra.

3. puisi lirik begitu saja dinamakan rekaan. Dalam kajian ini kategori yang sering dipakai adalah konvensi distansi. Konvensi ini masih membicarakan tentang bab dalam puisi.


(28)

4. Dalam sastra bahannya diolah secara istimewa. Ini berlaku baik bagi puisi maupun bagi prosa. Pengolahan bahan secara istimewa juga diterapkan dalam tehnik-tehnik tertentu yang dipakai dalam penulisan teks-teks naratif dan drama. Tetapi sejauh mana penggunaan secara istimewa diamati tergantung pada pengetahuan bahasa dan pengalaman sastra si pembaca. Sebuah pengertian seperti bahasa puitik tak pernah dapat dibatasi secara mutlak. Pengolahan bahan secara istimewa juga diterapkan dalam teknik-teknik tertentu yang dipakai dalam penulisan teks-teks naratif dan drama.

5. Sebuah karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Dalam puisi dan novel-novel banyak ditemukan ucapan-ucapan mengenai dunia. Sejauh mana tahap-tahap arti itu dapat dimaklumi sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada mutu karya sastra yang bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam bergaul dengan teks-teks sastra.

6. Karya-karya yang bersifat nonfiksi dan yang juga tidak dapat digolongkan pada puisi, karena ada kemiripan, digolongkan pada karya sastra. Yang dimaksudkan adalah karya-karya yang bersifat naratif, seperti biografi-biografi atau karya-karya yang menonjol karena bentuk dan gayanya. Demikian juga surat menyurat antara dua orang sastrawan lebih mudah digolongkan pada sastra, daripada surat menyurat antara dua sejarawan.

Ada beberapa defenisi tentang sastra atau sejumlah pengertian tentang sastra dari sejarah ilmu sastra sejak zaman romantic. Suatu ikhtisar itu pertama-tama mengandung nilai sejarah, tetapi banyak ungkapan-ungkapan mengenai sifat- sifat sebuah karya sastra seperti dijumpai pada pada ulasan- ulasan tentang puisi, dewasa ini pun masih sering ditemukan dalam kritik-kritik, dalam


(29)

uraian-uraian tentang sastra, dan juga termasuk pula dalam omongan sehari-hari mengenai sastra. Pengertian tentang sastra yang berlaku pada zaman romantic tidak merupakan satu kesatuan. Tidak semua tokoh romantic mempunyai pendapat yang sama mengenai sastra. Ada beberapa ciri yang selalu muncul dalam pendapat-pendapat tokoh romantik.

1. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, dan bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan. Dalam puisi terungkapkan napsu-napsu kodrat yang bernyala-nyala, hakikat hidup dan alam.

2. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain, sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan didalam karyanya sendiri. Dalil ini masih bergema didalam hamper setiap pendekatan terhadap sastra.

3. Karya sastra yang otonom tersebut merupakan sastra yang bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai sesuatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan bentuk atau ungkapan tertentu. Dalam pandangan ini puisi dan bentuk-bentuk sastra lainnya menggambarkan isi, bahasanya bersifat plastis.

4. Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya, ada pertentangan antara yang disadari dan yang tidak disadari, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnya. Pendapat baghwa puisi mempersatukan


(30)

pertentangan dalam sebuah sintesa, umum kita jumpai pada aliran new critics di Amerika dan pada kritik strukturalistik Prancis tahun enampuluhan abad ini.

5. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-bentik sastra lainnya ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi. Dalam sebuah teks sastra kita berjumpa dengan sederetan arti yang dalam bahasa sehari-hari tak dapat diungkapkan. Pandangan romantic tersebut masih kita jumpai dalam sebuah ucapan Roland Barthes, menurutnya menafsirkan sebuah teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan membeberkan aneka kemungkinan.

Istilah- istilah dari zaman romantic, seperti kreasi, ekspresi, otonomi, koherensi, sintesa, dan yang tak terungkapkan masih tetap dijumpai dalam ulasan-ulasan tentang sastra. Berdasarkan penilaian mereka terhadap sifat otonomi sebuah karya sastra, maka aliran Romantik sangat menghargai bentuk, yaitu cara sekelompok teorikus dari Rusia pada abad awal abad ini, maka cara pengungkapan merupakan ciri khas bagi kesastraan. Kesastraan ditentukan oleh cara bahannya disajikan. Dalam hal puisi, teks-teks naratif ialah sejarah atau peristiwa yang diceritakan.

Lain daripada kaum romantisi, maka kaum formalis tidak menganggap bahasa kiasan sebagai ciri khas bagi sifat kesastraan. Dalam bahasa sehari-hari pun kita memakai kiasan-kiasan, tetapi disini, demikian kaum formalis, efek kiasan itu justru mempercepat pengertian. Ucapan buah bibir dengan lebih cepat dan lebih efisien menerangkan sesuatu daripada keterangan. Tetapi dalam bahasa sastra kiasa justru memperlambat, efeknya mengasingkan.


(31)

I. 4. 3 Terminologi Hermenetika I. 4. 3. 1 Konsep Dasar Hermeneutika

Pada dasarnya, hermeneutika berusaha memahami apa yang dikatakan dengan kembali pada motivasinya atau kepada konteksnya, diperlukan konsep kuno yang bernama “kata batin”.Hermenetika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneutine dan hermeneia yang masing – masing berarti “menafsirkan dan “ penafsiran”. Istilah did dapat dari sebuah risalah yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran). Hermeneutica juga bermuatan pandangan hidup dari penggagasnya.

Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Tiga makna hermeneutis yang mendasar yaitu :

a. Mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian.

b. Menjelaskan secara rasional sesuatu sebelum masih samar- samar sehingga maknanya dapat dimengerti

c. Menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain. Tiga pengertian tersebut terangkum dalam pengertian ”menafsirkan” – interpreting, understanding. Dengan demikian hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, hermeneutika metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari


(32)

arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudia di bawa ke masa depan.

Menurut Carl Braathen hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang sekaligus mengandung aturan – aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman. Semula hermeneutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegegis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudia berkembang menjadi filsafat penafsiran.

Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran yakni teks, konteks dan kontekstualisasi. Dengan demikian setidaknya terdapat tiga pemahaman mengenai hermeneutika yakni :

1. Sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran, dekat dengan eksegegis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami.

2. Sebagai sebuah metode penafsiran, tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran. Hal – hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks.


(33)

I. 4. 3. 2 Cara Kerja Hermeneutika

Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar.

Hukum Betti tentang interpretasi”Sensus non est inferendus sed

efferendus” makna bukan diambil dari kesimpulan tetapi harus diturunkan.

Penafsir tidak boleh bersifat pasif tetapi merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual penafsir. Penagalam masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan sejarah yang dimiliki.

I. 4. 3. 3.Bahasa Sebagai Pusat Kajian

Karena objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praksis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat. Dalam Gadamer’s Philoshopical hermeneutics dinyatakan, Gadamer places language at the core of understanding. Menurut folosof bahasa Wittgenstein “ Batas bahasaku adalah batas duniaku”. Menurut Gadamer, asal mula bahasa adalah bahasa tutur, yang kemudian disusl bahasa tulis untuk efektivitas dan kelestarian bahasa tutur.


(34)

I. 4. 3. 4 Hermeneutika Dalam Pandangan Filosofi 1. Friedrich Ernst Daniel Schleiermarcher

Hermeneutika sebagai metode interpretasi dan menganggap semua teks dapat menjadi objek kajian hermeneutka. Hermeneutika adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks mengani konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Makna bukan sekedar isyarat yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat mengungkakan sebuah realitas dengan jelas, tetapi pada saat yang sama dapat menyembunyikan rapat-rapat.

Schleiermacher menawarkan sebuah metode rekonstruksi histories, objektif dan subjektif terhadap sebuah pernyataan, membahas dengan bahasa secara keseluruhan. Tugas utama hermeneutika adalah memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.

Model hermeneutika Schleiermacher meliputi dua hal :

1. Pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa pengarang sehingga menggunakan pendekatan linguistic.

2. Penangkapan muatan emosional dan batiniah pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsir ke dalam dunia batin pengarang. Dengan demikian, terdapat makna autentik dari sebuah teks, sebua teks tidak mungkin bertujuan (telos).

2. Wilhelm Dilthey

Hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, makna tidak pernah berhenti pada satu masa, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.


(35)

3. Martin Heidgger

Pemikiran filsafat Heidgger meliputi dua periode sebagai berikut :

1. Periode 1 meliputi hakikat tentang “ada” dan “waktu”. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menanyakan tentang “ada”. Sebab, manusia pada hakikatnya”ada” tetapi tidak begitu saja ada, melainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya” sendiri.

2. Periode 2 Menjelaskan pengertian”kehre” yang berarti “pembalikan”. Ketidaktersembunyian ”ada” merupakan kejadian asli. Berpikir pada hakikatnya adalah terikat pada arti. Oleh karena itu, manusia bukanlah pengauasa atas apa yang ”ada” melainkan sebagai penjaga padanya.

Bahasa bukan sekedar alat untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Bahas pada hakikatnya adalah”bahasa hakikat” artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respons dan bukan manipulasi ide yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya sebagai alat belaka. Dalam realitas, bahasa lebih menentukan daripada fakta atau perbuatan. Bahasa adalah tempat tinggal ” sang ada”. Bahasa merupakan ruang bagi pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal, sehingga menjadi semacam substansi dan pengaaman menjadi tak bermakna jika tidak menemukan rumahnya dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat ruang kosong tanpa kehidupan. Pemahaman teks terletak pada kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa. Bahasa adalah suatu proses, suatu dinamika, atau suatu gerakan.


(36)

4. Hans-Georg Gadamer

Konsep Gadamer yang menonjol dalam hermeneutika adalah menekankan apa yang dimaksud ”mengerti”. Lingkaran hermeneutika – hermeneutic circle , bagian teks disa dipahami lewat keseluruhan teks hanya bisa dipahami lewat bagian- bagiannya. Setiap pemahaman merupakan sesuatu yang bersifat historis, dialetik dan peristiwa kabahasaan. Hermeneutika adalah ontologi dan fenomologi pemahaman.

5. Jurgen Habermas

Hermeneutika bertujuan untuk memahami proses pemahaman – understanding the process of understanding. Pemahaman adalah suatu kegiatan pengalaman dan pnegertian teoritis berpadu menjadi satu. Tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan. Bahasa sebagai unsur fundamental dalam hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol dan simbol-simbol-simbol-simbol tersebut sebagai simbol-simbol dari fakta.

6. Paul Ricoeur

Teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang. Otonomi teks ada tiga macam sebagai berikut :

1. Intensi atau maksud pengarang.

2. Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks. 3. Untuk siapa teks dimaksud.


(37)

Tugas hermeneutika mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang ataupub orang lain. Interpretasi dianggap telah berhasil mencapai tujuannya jika ”dunia teks” dan ” dunia interpreter” telah berbaur menjadi satu.

7. Jacques Derrida

Dalam filsafat bahasa – dalam kaitan dengan hermeneutika, membedakan antara ”tanda” dan ”simbol”. Setiap tanda bersifat arbitrer. Bahasa menurut kodartnya adalah ”tulis”Objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini disebut ”teks”. Segala sesuatu yang ada selalui ditandai dengan tekstualitas. Tidak ada makna yang melebihi teks. Makna senantiasa tertenun dalam teks.

8. Beberapa Kaidah Hermeneutika

b). Dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi

c). Setiap usaha penafsiran, tidak bisa dihindari adanya akibat ikutan dari partisipasi dan latar belakang penafsi.

d). Upaya penafsiran harus dilihat sebagao proses pendekatan – approximation kepada makna sejati.

e). Walaupun ada wilayah perbedaan karena partisipasi dan latar belakang penafsir, niscaya ada pula wilayah yang mempertemukan atar penafsir, pamahaman bersama – shared understanding, mutual understanding yang melahirkan cross cutting affiiation.


(38)

I. 4. 3. 5 Peran Hermeneutika Terhadap Martabat Manusia

Manusia selain sebagai makhluk yang berpikir – hayawan al-natiq, hewan yang berpikir, disebut juga sebagai animalsymbolicum, makhluk yang senantiasa bergulat dengan simbol. Hermeneutika memilki tanggungjawab utama dalam menyingkap dan menampilkan makna yang ada di balik simbol-simbol yang menjadi objeknya.

Filsafat hermeneutika berkembang dengan dua aliran pemikiran yang berlawanan yakni pragmatika intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Intensionalisme memandang bahwa makna sudah ada karena dibawa oleh penyusun teks – pengarang sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir dan makna berada di beakang teks – behind the teks. Hermeneutika gadamerian memandang bahwa makna harus dikonstruksi dan direkonstruksi oleh penafsir itu sendiri sesuai konteksnya, sehingga makna berada di depan teks – in front of the text.

I. 4. 3. 6 Beberapa Varian Hermeneutika Hermeunitka Romantis

 Dengan tokoh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher, bapak hermeneutka

 Makna hermeuneutika berubah dari sekedar kajian teleologis – teks bible menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat.


(39)

 Dua teori pemahaman pertama pemahaman ketatabahasaan – grammayical understanding, terhadap semua ekspresi, kedua pemahaman psikologis terhadap pengarang – dikembangkan menjadi intuitive understanding yang operasionalisasi merupakan rekonstruksi – merekonstruksi pikiran pengarang.

 Tujuan pemahaman lebih merupakan makna yang muncul dalam pandangan pengarang yang telah direkonstruksi.

 Tidak hanya melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya pengarang tetapi juga pemahaman terhadap subjektivitas pengarang.

 Ada lima unsur dalam pemahaman penafsir, teks, ,aksud pengarang, konteks historis dan konteks kultural.Hasil interpretasi akan lebih baik jika penafsir mengatahui latar belakang sejarah pengarang teks.

Bagan Hermeneutika Romantisme

Konteksi Historis

Penafsir Teks

Maksud Pengarang


(40)

Hermeneutika Metodis

 Tokoh Wilhem DiltheyManusia sebagai makhluk eksestensial.

 Manusia adalah makhluk yang memahami dan menafsirkan dalam setiap aspek kehidupan.

 Makna teks harus ditelusuri dari subjek tif pengarangnya.

 Merupakan metode pemahaman – interpretative methode.

 Hermeneutika adalah teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan.

 Hermeneutika historis.

Hermeneutika Fenomologis

 Tokoh Edmund Husserl.

 Pengetahuan dunia objektif bersifat tidak pasti.

 Proses pemikiran harus kembali pada data, bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri harus menanmpakan diri.

 Pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.

 Membebaskan diri dari prasangka, yakni membiarkan teks berbicara sendiri.

 Teks merefleksikan kerangka mentalnya sendiri dan penafsir harus netral dan menjauhkan diri dari unsur-unsur subjektifnya atas objek.

 Menafsirkan teks berarti secara metodologis mengisolasi teks dari semua hal yang tak ada hubungannya – termasuk bias –bias subjek


(41)

penafsir dan membiarkannnya mengkomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.

 Ada tiga langkah yang harus dilakukan :

1. Reduksi fenomologis, dengan menempatkan dunia dalam tanda kurung.

2. Reduksi eiditik yang dikerjakan dengan memusatkan perhatian dan pengamatan pada esensi sesuatu yang coba dipahami.

3. Rekonstruksi dengan menghubungkan hasil reduksi fenomologis dengan hasil reduksi eidetik.

Hermeneutika Dialektis

 Dengan eksemplar Martin Heidegger.

 Prasangka historis atas objek merupakan sumber pemahaman, karena prasangka adalah bagian dari eksistensi yang harus dipahami.

 Pemahaman adalah sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi.

 Keragaman makna dan dinamika eksistensial.

 Memahami teks yang sama secara baru dengan makna baru.

Hermeneutika Dialogis

 Dengan eksemplar Hans-Georg Gadamer.

Pemahaman dimuai dengan pra-penilaian – pre-judgement.

 Pemahaman yang benar adaah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.


(42)

 Kebenaran dapat dicapai melalui dialektika denga mengajukan beberapa pertanyaan.

 Bahasa menjadi medium pendting bagi terjadinya dialog.

 Pembangkitan kembali makna teks.

 Proses pemahaman adalah proses peleburan horizon-horizon.

Hermeneutika Kritis

 Dengan tokoh Jurgen Habermas.

 Merupakan teori kritis, menemukan kesalahan dan kekurangan pada kondisi yang ada.

 Mempertautkan antara beragam domain realitas, antara partikular dan universal, antara kulit dan isi dan antara teori dan praktek.

 Pemahaman didahului kepentingan, kepentingan sosial dan kepentingan kekuasaan.

 Merupakan refleksi kritis penafsir.

 Penafsir mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.

 Setiap penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial termasuk bias strata kelas, suku dan gender.

Hermeneutika Integrasi Dialektis

 Integrasi daliketis antara penjelasan – explanatory dan pemahaman – understanding.


(43)

 Merupakan perbedaan fundamental antara paradigma interpretasi teks tertulis dan wacana – discourse dan percakapan – dialogue.

 Berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin.

Hermeneutika Dekonstruksionis

 Dengan eksemplar Jacques Derrida.

 Bahasa merupakan sistem yang tidak stabil.

 Makna tulisan – teks, selalu mengami perubahan, tergantung pada konteks pembacanya.

 Menolak makna esensial yang tunggal dan utuh.

 Lebih menekankan pencarian makna eksistensial.

Perkembangan hermenetika dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Scheleiermacher, mengubah makna hermenetika dari sekedar kajian teks keagamaan – bible menjadi kajian pemikiran filsafat.

2. Wilhelm Dilthey, makna herneneutika menjadi kajian sejarah.

3. Edmund Husserl, pengetahuan dunia objektif bersifat tak pasti, karena pengetahuan sesungguhnya diperoleh dari apparatus sensor yang tak sempurna.

4. Martin Heidegger, Hermeneutika sebagai kajian ontologis. 5. Hans –Georg Gadamer, Menekankan dialektika – dialogis.

6. Jurgen Habermas, Menggeser makan hermeneutika kepada pemahaman yang diwarnai oeh kepentingan.


(44)

I. 5. METODOLOGI PENELITIAN

Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial sudah tentu membutuhkan kecermatan. Sebagai suatu ilmu tentang metode atau tata cara kerja, maka metodologi adalah pengetahuan tentang tata cara mengkonstruksi bentuk dan instrument penelitian. Konstruksi teknik dan istumen yang baik dan benar akan mampu menghimpun data secara obyektif, lengkap dan dapat dianalisa untuk memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo, metodologi akan mengkaji tentang proses penelitian yaitu bagaimana peneliti berusaha menjelaskan apa yang diyakini dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan dilakukan.14

I. 5. 1 Metode Penelitian

Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka dasar teori diatas, penelitian ini memiliki tujuan metodologis, yaitu Deskripsi (Melukiskan). Penelitian Deskriptif adalah langkah-langkah melakukan reinterpretasi obyektif tentang fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam masalah yang diteliti. Penelitian Deskriptif biasanya mempunyai 2 tujuan, yaitu:

1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu. Hasilnya kemudian dicantumkan kedalam table-tabel frekuensi.

2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu, seperti interaksi sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain.


(45)

Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa (seperti yang dilakukan pada penelitian eksplanatif) berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori.15 Penelitian seperti ini juga biasanya dilakukan tanpa hipotesa yang dirumuskan terlalu ketat. Dengan kata lain, penelitian ini tidak menguji hipotesa melainkan hanya mendeskripsikan, membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai keadaan saat ini. Metode Deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun peristiwa pada masa sekarang.

Metode ini merupakan langkah-langkah melakukan representasi obyektif tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang diteliti.Ciri-ciri pokok penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif adalah :

1. Memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah-masalah yang bersifat faktual.

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasinasional yang memadai. Menurut Nasir, gambaran penelitian deskriptif adalah sebagai studi untuk menentukan fakta dengan interpretasi yang tepat. Melukiskan secara akurat sifat-sifat dari beberapa fenomena individu atau kelompok, menentukan frekuensi

15

Sanafiah Faisal, Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 20.


(46)

terjadinya suatu keberadaan untuk meminimalkan bias dan memaksimalkan reabilitas. Analisisnya dikerjakan berdasarkan “exposy facto” yang artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian berlangsung.16

I. 5. 2 Jenis Penelitian

Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati17. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Dari pengertian diatas jelaslah bahwa penelitian kualitatif bersifat induktif, karena tidak dimulai dari hipotesa sebagai generalisasi, untuk diuji kebenarannya melalui pengumpulan data yang bersifat khusus.

Menurut Arief Furchan dan Agus Maimum dalam bukunya “Studi Toko : Metode Penelitian Mengenai Tokoh” mengemukan penulis harus dapat apa yang dirasakan sang tokoh pada saat dia mengemukakan opininya. Disamping itu metode kualitatif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih mendalam mengenai konsep-konsep atau ide-ide.

Konsep dan ide yang pernah ditulis dalam karya-karya tokoh akan dapat dikaji dengan melihat kualitas karya-karyanya yang mempunyai pengaruh

16

Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hal. 105.

17

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 3.


(47)

terhadap pemikiran politik masyarakat pada saat itu.Pengaruh tersebut bukan hanya dalam perkembanga teri tetapi juga praktek sehingga akan dapat dikatakan apakah pemikiran tokoh tersebut dapat dikatakan ilmiah atau memenuhi kriteria ilmu pengetahuan. Objek penelitian ini adalah karya –karya tokoh. Penelitian seoarang tokoh seperti yang dikemukakan Arief Furchan dan Agus Maimum dikatagorikan kedalam jenis penelitian kualitatif, yang menelusuri pemikiran melalui karya-karya, peristiwa yang melatar belakangi lahirnya karya tersebut dan pengaruh karya tersebut dihasilkan.18

Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskriptif keadaan, kejadian, interaksi dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu menggembangkan komponen-komponen keterangan yang analistis, konseptual dan katagoris dari data itu sendiri arena itu dalam penelitian ini, penulis mengembangkan konsep dan menghimpun berbagai fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa.19

I. 5. 3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), observasi (observation), dan dokumentasi (documentation). Tatang M. Arifin mengatakan bahwa “data adalah segala keterangan atau informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.” Dengan demikian tidak semua informasi atau keterangan merupakan data, hanyalah sebagian saja dari informasi, yakni berkaitan dengan penelitian.

18

Arief Furchan dan Agus MaimumStudi Toko : Metode Penelitian Mengenai Tokoh. Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2005, Hal 16.


(48)

Dalam suatu penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat diperlukan pula kemampuan memimlih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpul data ini sangat berpengaruh terhadap obyektifitas hasil penelitian. Mempertimbangkan hal tersebut, dan keharusan untuk memenuhi validitas dan reabilitas dalam teknik pengumpulan datanya. Teknik ini adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

I. 5. 4 Teknik Analisa Data

Data sekunder yang dikumpulkan untuk memperoleh hasil yang lebih mendalam ( in- depth ) dan tidak melebar (out-depth). Setelah data yang diperoleh dirasa sudah memenuhi untuk mendukung proses analisa, maka tahapan selanjutnya adalah analisa data. Analisa yang dilakukan dalam penafsiran karya tokoh dalan penelitian ini mempergunakan analisa sejarah.Menurut Tolfsen, ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisa sejarah :

1. Rekrontruksi proses genetis, perubahan dan perkembangan. 2. Kegunaan dari konsep periodeisasi atau derivasi.

Dengan kedua konsep diatas maka manusia akan dapat dilacak asal mula situasinya yang melahirkan suatu karya ataupun ide dari seorang tokoh.

Melalui analisa sejarah juga dapat diketahui seorang tikoh dalam berbuat atau berpikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan atau tekanan-tekanan yang muncul dari diri sendiri. Kita dapat melihat tindakan-tindakan


(49)

secara mendalam dipengaruhi tidak Cuma oleh dorongan internal yang berupa ide, keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanan dalam dirinya, tetapi juga oleh keadaan eksternal. ( Abdullah dan Karim 1990:73 )20

I. 6. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan ke dalam 4 bab yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan yang akan dibahas, pembatasan masalah yang akan diteliti, tujuan mengapa diadakan penelitian ini, manfaat penelitian dan metode penelitian serta kerangka teori yang akan menjadi landasan pembahasan masalah. BAB II : BIOGRAFI DJAGA DEPARI

Pada bab ini akan diuraikan tentang sejarah perjalan hidup dari objek yang diteliti yaitu Djaga Depari, mulai dari lahir, keluarganya, pendidikan yang ditempuh sampai kepada pengalaman hidupnya, serta apa yang melatar belakangi lahirnya karya-karyanya.

BAB IV : PEYAJIAN DAN ANALISA DATA

Pada bab ini data yang berupa karya-karya tokoh yaitu Djaga Depari akan disajiakn, kemudian dianalisis dengan menggunakan teori analisa sejarah

20


(50)

seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya. Sehingga diperoleh suatu kesimpulan ide atai pemikiran tokoh tersebut.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisikesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan tentang apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan, serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun bagi lembaga-lembaga yang tekait secara umum.


(51)

BAB II

BIOGRAFI DJAGA DEPARI

Ada beberapa pandangan tentang asal-usul orang Karo. Menurut Ilmu akar kata, kata “Karo” berasal dari suku kata ha dan ro. Kata ka dihubungkan dengan alphabet pertama tulisan Karo adalah orang-orang pertama yang datang ke daerah-daerah yang didiami suku Karo sekarang. Tetapi kebalikan, jika kata ka dianggap sebagai kependekan dari kata Kalak sedangkan suku kata ro berarti datang (reh), maka dapat pula diartikan suku karo adalah kelompok yang kemudian datang kedaerah ini. Diduga, orang-orang ini berasal dari Asia Utara yakni dari perbatasan India, Birma dan Indo Cina yang memasuki Pulau Sumatera dari Pantai Timur sekitar Pangkalan Berandan dan Belawan. Semula mereka menduduki dataran rendah, akhirnya menuju pegunungan dan bercampur dengan suku penduduk asli atau bangsa Negrito. Mereka membawa pengetahhuan seperti membuat sawah, mengajarkan nama-nama hari seperti Aditia, Suma, Nggara, Pengetahuan tentang bangunan-bangunan, Gendang (Gondang) dan sebagainya.

Di dalam buku pilar Budaya Karo yang ditulis oleh Sempa Sitepu dan kawan-kawan (1996), mengatakan bahwa keberadaan suku karo sudah ada sekitar 1250, itu ditandai dengan berdirinya suatu kerajaan Haru (Aru). Menurut riwayatnya Kerajaan ini pada zamannya cukup kuat dan wilayahnya sangat luas mulai dari Siak-Riau sampai ke Sei Wampu di Langkat.

Di samping itu, menurut dokumen tua yang ada serta peninggalan-peninggalan yang ditemukan di Desa Seberaya Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo, terlihat adanya pengaruh India, tidak hanya dalam bentuk upacara


(52)

pembakaran jenazah dan menghanyutkannya kedalam sungai atau tari Gundala-gundala (Topeng) sisa-sisa Hinduisme tersebut, tetapi juga dalam bentuk lain. Misalnya, bahwa tulisan Karo diperoleh dari Hindia maka dengan bukti bahwa banyak sekali-kali kata Sansekerta yang terdapat di dalamnya. Demikian juga nama-nama sub-Merga Sembiring seperti, Depari, Pandia, Colia, Muham, Meliala, Brahmana dan sebagainya. Dengan bukti-bukti peninggalan Hindu tersebut, nampak bahwa orang Karo sejak zaman dahulu kala, telah mempunyai hubungan erat dengan bangsa-bangsa asing, terutama bangsa-bangsa Asia dan Eropah.

Di Desa Seberaya inilah, pada tanggal 5 Mei 1992, di sebuah rumah adat yang terbuat dari kayu bermutu, lahir seorang bayi mungil yang diberi nama Djaga, yang berarti bisa menjaga kesejukan dan ketentraman bagi hati semua orang. Ayahnya bernama Ngembar Sembiring Depari, seorang mandor besar Werbas elkawe (Pekerjaan) umum Deli Hulu, pada masa penjajahan Belanda. Ibunya bernama Siras Br Karo Sekali.

Semenjak kecil, dalam pergaulan Djaga Depari sekalipun anak seorang mandor, ia tidak tinggi hati, menyatu dan membaur dengan anak-anak sebaya, ternayata pribadi Djaga Depari yang rendah hati, dicintai mereka. Djaga Depari yang di lingkungan keluarga, kerabat, teman dekat kerap dipanggil Djaga atau Depari saja, tumbuh berkembang sebagaimana anak sebaya. Sebagian besar teman satu permainan adalah anak-anak yang berasal dari kalangan rakyat biasa, orang-orang kecil. Sungai Lau Biang dijadikan salah satu tempat favorit untuk berkumpul bersama teman-teman. Mereka bebas mandi, berenang, menyelam, dan terjun setiap hari di sungai yang airnya jernih, deras dan cukup dalam.


(53)

Sebagai anak seorang mandor, maka Djaga Depari dapat langsung dimasukkan ke sekolah Belanda. Djaga Depari kecil pun kemudian tahun 1935, dimasukan ke Christelijk Hollandsch Inlandche School (Christelijk HIS), salah satu sekolah dasar “unggulan” di Kabanjahe. Lingkup pergaulan Djaga Depari pun luas, tidak lagi terbatas pada komunitas anak-anak pinggir Sungai Lau Biang. Dia mulai mengenal lebih jauh tabiat anak-anak Tapanuli, Jawa, Padang, dan lain-lain suku bangsa teman satu sekolah. Dia mendapatkan banyak teman dengan latar belakang belakang berbeda-beda. Selain pandai menghafal ilmu bumi, Djaga Depari yang dikenal disiplin dan santun terhadap sesama kawan dan guru juga bisa menyanyikan dengan suara merdu beberapa lagu bahasa Belanda, diantaranya lagu kun je nog zingen, zing dan mee sehingga guru dan teman satu sekolah sering menyuruhnya bernyanyi di depan kelas.

Ketika duduk di bangku HIS lanjutan tingkat inilah, Djaga Depari dan beberapa kawan sekolah membentuk kelompok musik. Dajaga memegang alat musik biola. Mereka sering kali mengisi pelbagai acara kesenian di sekolah itu. Kebanyakan yang dimainkan adalah lagu-lagu berbahasa bukan Indonesia yang sedang populer pada masa itu. Pada periode itulah, dia mulai mencoba mengarang beberapa buah lagu. Walaupun sebagian besar waktunya dicurahkan di bidang music, nilai beberapa mata pelajaran yang di peroleh Djaga Depari di sekolah itu tetap tinggi, bahkan nilai ujian untuk bahasa Belanda “lebih dari cukup” (ruim voldoende). Djaga menamatkan sekolah di HIS lanjutan ini pada tahun 1939. Bakat music Djaga memang terasah sejak dini.

Penyemainya adalah ayahnya Ngembar Sembiring Depari orang yang sangat diseganinya. Ngembar Depari, sebagai seorang mandor tentu memiliki


(54)

pergaulan yang cukup luas sehingga dia juga menyenangi berbagai aliran musik. Sejak dini dan secara tidak langsung benih musikalitas tertanam kuat di dalam diri putranya yang kelak sangat menyukai lagu-lagu Barat (Perancis, Spanyol, Italia), irama Melayu, rumba, tango, samba, habanera, dan lain-lain. Djaga Depari sendiri sanggup berdiri atau duduk berjam-jam di depan “mesin ngomong” (gramafon) hanya untuk menyimak lagu-lagu Barat dari koleksi piringan hitam yang di belinya dari uang saku pemberian sang ayah.

Tidak jarang pula Djaga Depari mengundang beberapa kawan satu sekolah untuk membincangkan lagu-lagu Barat yang kebetulan sedang popular. Seluruh percakapan di antara mereka tentu menggunakan bahasa Belanda, bahasa pengantar di HIS dan MULO sekaligus menjadi bahasa pergaulan di kalangan terpelajar saat itu. Saat duduk di sekolah lanjutan, Djaga meminta hadiah alat music Biola, sebuah permintaan yang dikabulkan oleh sang ayah dengan berat hati. Di satu sisi, kehadiran alat musik cukup mengganggu pelajarannya di sekolah, namun di sisi lain serba salah jika sang ayah mengkhawatirkan apalagi melarang hobi bermusik Djaga Depari.

Djaga Depari kembali dihadapkan pada sebuah pilihan yang teramat sulit yang harus diambil setelah tamat sekolah (1939). Dilema tersebut adalah tetap melanjutkan sekolah atau menekuni dunia musik yang menurut dia sama-sama penting dan menyenangkan. Namun Djaga harus tetap memilih salah satu diantaranya. Pada akhirnya, setelah mempertimbangkan dengan cukup matang segala konsekuensinya, Djaga Depari memutuskan berhenti dari sekolah. Hati sang Ayah yang bersikeras menginginkan Djaga Depari tetap meneruskan sekolah mampu “diluluhkannya”, tapi untuk tidak mengecewakan hati sang Ayah, Djaga


(55)

Depari kemudian mengikuti kursus bahasa Inggris, Typen, Stenografies dan Administrasi. Di sela-sela kesibukannya mengikuti kursus inilah, pak Yusuf seorang pensiunan polisi berpangkat Mayor, mengajak Djaga Depari membentuk group musik yang diberi nama “Orkes Melati Putih”. Di group ini Djaga Depari memegang jabatan sebagai pemain biola. Group ini langsung populer di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah di Medan. Mereka sering diundang untuk mengisi acara pesta perkawinan, sunatan dan lain-lain. ‘

Hubungan yang terjalin baik di antara Djaga Depari dengan sebagian penggemarnya perlahan-lahan berkembang tidak lagi sekedar pemain-pendengar tetapi lebih dari itu, bahkan tidak jarang mereka bersedia meluangkan waktu selama berjam-jam berdiskusi soal musik. Bermain Orkes Melati Putih ini, agaknya batu pijakan Djaga Deparu dalam meniti karier selanjutnya sebagai pemain musik, dan pencipta lagu. Melalui Orkes ini pulalah dia berjumpa kali pertama dan mengenal lebih dekat beberapa “orang” terpandang pada masa itu. Salah seorang di antaranya keturunan Sultan Deli Serdang yang gemar sekali menonton pertunjukan Orkes Melati Putih ini. Dengan berbekal Izasah yang dimiliki serta kemahirannya berbahasa Inggris dan bahasa Belanda (1942), Keluarga Sultan ini, mengajak Djaga Depari bekerja di kantor Wakil Kesultanan Deli Serdang di Bangun Purba. Dia bekerja sebagai valunteer dan mendapat gaji bersih 15 gulden setiap bulan, upah di atas rata-rata bagi seorang yang minim pengalaman kerja.

Sementara itu keadaan ekonomi bangsa Indonesia semakin merosot terus. Jepang yang diharapkan dapat membebaskan bangsa Indonesia dari cengkraman


(56)

penjajahan Belanda, malah sebaliknya membuat bangsa Indonesia semakin menderita.

Demikian pula, Ngembar Depari, sangat mengkhawatirkan nasib putra kesayangannya di perantauan, dia menginginkan agar putranya itu cepat-cepat berumah tangga. Sebab menurut kebiasaan leluhur masyarakat Karo, dari mana Djaga Depari berasal, manakala dalam satu keluarga, seorang putra sudah berumur 20 tahun belum mendapatkan calon istri, orang tua berusaha keras agar putra mereka dikawinkan dengan Impal-Nya (anak perempuan dari paman, saudara laki-laki dari ibu putra tadi). Usia Djaga Depari pada saat itu (1943) sudah berumur 21 tahun, tapi belum juga berumah tangga, oleh masyarakat saat itu, ia mendapat panggilan “Anak Perana Pangke” (pemuda lajang karam). Panggilan seperti itu memalukan orang tua, muka mereka terasa tercoreng arang. Sebab dinilai anaknya tidak laku. Kehormatan dan harga diri menjadi tercemar karena seorang anak lelaki, kalau belum kawin, ia belum diakui sebagai anggota penuh masyarakat, sebab dinilai bekum berani bertanggung jawab sosial.

Di kalangan masyarakat Karo, walau pun seorang putera – anak laki-laki lebih 20 tahunan, namun berumah tangga, dia dianggap anak yang belum bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam setiap acara peradatan Karo, pemuda itu belum diwajibkan hadir, kecuali dalam kelompok kerja, dinamakan Serayaan semata-mata dalam acara peradatan dimaksud. Dalam hajatan acara peradatan yang direncanakan, seperti perkawinan, memasuki rumah baru ataupun penguburan orang meninggal, kalau dibuatkan surat undangan disertai pencantuman nama-nama pengundang hajatan tadi, maka nama pemuda lajang karam tadi t idak tercantum. Sebaliknya, walaupun seorang anak laki-laki masih


(57)

belia, katakanlah berusia 19 tahun, namun sudah beristri, namanya tercantum sebagai pengundang dalam surat undangan.

Semua itu adalah zaman “normal” dulu, baik sebelum atau semasa penjajahan Belanda sampai datangnya penjajahan baru, militeris Jepang Maret 1942. Namun ketika keadaan serba darurat-genting selama penjajahan Jepang 1942-1945 dan perang kemerdekaan 1945-1949 dan tahun-tahun setelah itu, dalam kenyataannya, dikalangan masyarakat Karo, tidaklah lagi terlalu mempersoalkan masalah perkawinan seseorang anak setelah mencapai usia 20 tahunan. Terkecuali sang anak adalah anak tunggal semata wayang, sedang orang tua sudah uzur, hal perkawinan anaknya itu menjadi bahan pemikiran utama, sebab orang tua ingin sekali memiliki cucu laki-laki sebagai pelanjut keturunan.

Mengenai anak perempuan dalam keluarga masyarakat Karo, dianggap layak berumah tangga, apabila sudah berusia 16 tahun pada saat dia sudah mulai turut dalam kelompok kerja “Aron Pulo-pulo” ke ladang atau ke sawah. Mampu membantu beberapa orang tuanya, misalnya menumbuk padi di Lesung dan membawa air untuk keperluan dapur dari pancuran atau sungai, jauh atau dekat dari kampung mereka.

Mengenai tujuan perkawinan, bagi setiap dari suku bangsa-bangsa, Indonesia pada umumnya, Karo khususnya, prinsipnya adalah sama saja, walaupun bervariasi dalam penekanan utamanya. Khusus dalam masyarakat Karo, menurut berbagai sumber yang diserap dari berbagai seminar adat istiadat Karo tahun 1977 dan 1983, di Kabanjahe maupun dalam Kongres Kebudayaan Karo pada tahun 1995 di Berastagi, tujuan utama dalam perkawinan adalah : Pertama, mendapatkan keturunan terutama laki-laki sebagai pelanjut keturunan (menurut


(1)

“bahasa asli” musik-musik itu. Dia bukan blinde muizen yang tidak bisa memahami istilah-istilah musik.

Minat Djaga Depari yang sangat besar terhadap dunia musik mendapatkan wadah yang tepat ketika dia masuk dan menjadi salah satu anggota orkes Melati

Putih sekitar tahun 1960-an. Pada mulanya perkumpulan musik itu hanya sebuah

orkes keroncong biasa. Musik keroncong sebenarnya berkembang meluas seiring dengan kemunculan berbagai group sandiwara komedi stambul, dan lain-lain yang senantiasa membawakan pelbagai cerita di atas panggung diiringi lagu-lagu keroncong. Namun, dunia Djaga Depari bukan hanya orkes musik, dia juga menaruh minat pada panggung sandiwara yang berkembang pesat di Indonesia sejak penjajaghan Belanda, ditandai dengan kemunculan grup-grup sandiwaea di Kota Medan.

Selain konsisten menekuni bidang musik, Djaga Depari juga menyentuh dunia kemiliteran. Setelah Indonesia merdeka, dia bergabung dengan pasukan TNI sektor III pimpinan Mayor Selamat Ginting, di Sidikalang dengna pangkat tereakhir Sersan Mayor. Pada msa itu, dia menjabat wakil penerangan dan propoganda berbentuk lukisan-lukisan, berita-berita radio dan sandiwara. Memang, tidak layak sumber riwayat yang memang, pengalamannya sabagai tentara luput dari perhatian saat kita membicaraklan tentang “siapa Djaga Depari”. Situasi dunia menjelang pengakuan kedaulatan Republik Indinesia turut mempengaruhi perkembangan sosial-politik Indonesia. Pada awalnya pemerintah kolonial masih bisa menampik berbagai mosi dan petisi yang diajukan oleh pihak pergerakan, yang menuntut perbaikan kondisi hidup rakyat tanah jajahan dan pengakuan secara menyeluruh terhadap kemerdekaan Indonesia. Gejolak


(2)

internasional serta desakan PBB yang sulit diredam akhirnya memaksa pemerintahan Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. beberapa “konsesi” segera diberikan kepada semua pemerintah Indonesia yang baru termasuk rasionalisasi semua perusahaan-perusahaan milik Belanda.

Pada awal pengakuan kedaulatan Djaga Depari, diangkat seabgai pegawai Jawatan Penerangan Kabupaten Karo. Posisi itu sangat mendukung aktivitasnya sebagai pemain musik karena dia berkesempatan pula mengembangkan baka seninya dengna mengadakan siaran keliling disertai pertunjukan panggung sandiwara yang dipimpinnya. Dia mulai menciptakan beberapa lagu yang dibuatnya Tanah karo Simalem. Syair-syair lagu yang dibuatnya selama revolusi, banyak menggugah semangat para pejuang untuk rela berkjorban demi mempertahankan Kemerdekaan “membumi” dan nyata isinya sesuai dengna suasana revolusi. Selain menyanyi dan mencipta lagu, dia juga menghibur para pejuang yang berada digaris depan melalui siaran-siaran radio. Dia sendiri mengalami langsung dan menjadi saksi mata dari berbagai peristiwa selama periode revolusi. Walaupun waktu telah berlalu, lagu-lagu indah yang berisi pesan-pesan perjuangan tetap menyentuh dan senantiasa dilantunkan oleh generasi-generasi sesudahnya. Lagu-lagu yang diciptakan pada masa itu tetap bertahan sampai sekarang.

Di penghujung akhir hayatnya Januari 1963, Djaga Depari dipenuhi keinginan kuat memajukan kebudayaan Karo. Bersama-sama dengan temannya antara lain : Nuhit Bukit, Ngukumi Barus, Dolah Sembiring, dan Bujur Sitepu, Dia membentuk suatu lembaga Kebudayaan Karo seabgai wadah-tempat berdikusi


(3)

tentang peningkatan seni sastra Karo dan aspek-aspek budaya lainnya. Lembaga ini diberi nama Badan Musyawarah Kebudayaan karo (BMKK) beranggotakan semua para seniman-budayawan Karo yang berdomisili di Tanah Karo, Deli Serdang, Langkat, Dairi, dan Simalungun. Pada waktu itu, kendati dalam keadaan serba kurang, mereka berhasil menerbitkan almanak kebudayaan Karo, tapi sayang, almanak ini hanya sampai dua nomor penerbitan.

Pemikiran mengenai musik dengan ciri khas Karo meski pun tidak keluar dalam bentuk tulisan, dimajukannya lewat karya-karya musik. Syair lagu-lagunya cukup puitis, memiliki arti khusus, berupa kata-kata mutiara yang dipetik dari bahasa Karo lama dan asli. Pemikiran Djaga Depari tentang hal itu sangat sedikit dipublikasikan baik di media cetak maupun dalam bentuk buku. Namun demikian, dari sedikit orang yang sempat mewawancarainya jelas terungkap bahwa Djaga Depari akan tetap menjadikan musiknya sebagai typisch Karo. Dan tugas setiap generasi sesudah Djaga Depari, utamanya para insan musik, adalah melanjutkan perjuangannya, agar tetap dikenang didalam hati penggemarnya sebagai seorang Pahlawan Seni.

Saran

1. Agar Hermenutika lagu-lagu Djaga Depari bisa disosialisasikan ke masyarakat khususnya generasi muda, agar bisa memahami arti sebuah karya Djaga Depari.

2. Generasi muda bisa meneruskan untuk melestarikan karya-karya Djaga Depari agar masyarakat terus mengingat karya-karya Djaga Depari

3. Pemerintah bisa melindungi karya-karya Djaga Depari sebagai tanda penghargaan terhadap jasa-jasa Djaga Depari


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bina Aksara, 1998.

Almond, Gabriel A. Dan Powel,Bringham G, Compartive Politics, Boston: Litle, Brow and Company, 1978.

Almond, Gabriel A. Dan Verba Sidney, terj. Sahat Simamora, Budaya Politik,

Tingkah Laku Demokrasi Lima Negara, 1990.

Barents. J, Ilmu Politika : Suatu Perkenalan Lapangan, Jakarta : PT Pembangunan, 1965.

Birowo,Antonius, Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta : Gintanyali, 2004. Budiardjo, Mariam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama, 1972.

Dkk, Kusmanto, Heri, Pengantar Ilmu Politik, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2006.

Faisal, Sanafiah, Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Gie , Liang, The, Ilmu politik, Yogyakarta : UGM Press, 1969.

Haviland,William A. Terj. Soekadijo. Antropologi Jilid 4, Jakarta: Erlangga,1985. H. A. R., Tilaar, Mengindonesakan Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia,

Jakarta : Rineka Cipta, 2007.

Indrawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jombang : Lintas Media, 2002.

Kahin,George MC Turnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj. Ismail bin Muhammad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajar Malaysia, 1980.

Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosutanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1990.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994.


(5)

Namawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press,1987.

Nasir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983. Noer, Deliar, Pengantar ke Pemikiran Politik, Medan : Dwipa, 1965.

Purwanto, Ngalim M, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remadja Karya, 1985. Sabri, Alisuf M, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Sastroatmodjo, Sudijono, Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995.

Sastrosupono, Suprihadi M., Menghampiri Kebudayaan, Salatiga : Penerbit alumni, 1981.

Setiadi, Elli M. dkk, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, Bandung : Kencana Perdana Media Group, 2005.

Simajuntak, Bungaran, Antonius, Konflik Ststus dan Kekuasaan Orang Batak, Medan : Buku Obor, 2009.

Simanjuntak, Posman, Berkenalan Dengan Antropologi, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2000.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian, Metode penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989.


(6)

Situs Internet

http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK diakses tanggal 3 maret 2010

Peraturan dan Perundang-undangan