4.2.Terminologi sastra Sastra memiliki penafsiran tentang sebuah defenisi sastra yang

dengan berat hati dan bertekad untuk menyusun kekuatan sehingga pada suatu saat dapat bangkit kembali mengusir Belanda.

I. 4.2.Terminologi sastra Sastra memiliki penafsiran tentang sebuah defenisi sastra yang

sesungguhnya. Sastra bukanlah sebuah benda yang sering kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. 1. Yang dikaitkan dengan pengertian sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk sementara waktu saja. Secara kebetulan hasil sastra dipergunakan dalam situasi komunikasi yang diatur oleh suatu lingkungan kebudayaan tertentu. Ini berlaku bagi karya-karya pentas dan bagi novel-novel dan kumpulan sajak. Termasuk juga bacaan yang dijual di kios-kios dan di stasiun dimana tidak langsung bertujuan pragmatik, artinya supaya langsung dipergunakan, melainkan ditawarkan sebagai bacaan hiburan, maka dari itu juga terangkum dalam deskripsi ini. 2. Bagi sastra Barat dewasa ini kebanyakan teks drama dan cerita mengandung unsur fiksionalitas. Bagi orang yunani dahulu kala fiksionalitas tidak relevan untuk membatasi pengertian sastra, disisi lain di Cina zaman dahulu teks- teks rekaan justru tidak dianggap sastra. 3. puisi lirik begitu saja dinamakan rekaan. Dalam kajian ini kategori yang sering dipakai adalah konvensi distansi. Konvensi ini masih membicarakan tentang bab dalam puisi. Universitas Sumatera Utara 4. Dalam sastra bahannya diolah secara istimewa. Ini berlaku baik bagi puisi maupun bagi prosa. Pengolahan bahan secara istimewa juga diterapkan dalam tehnik-tehnik tertentu yang dipakai dalam penulisan teks-teks naratif dan drama. Tetapi sejauh mana penggunaan secara istimewa diamati tergantung pada pengetahuan bahasa dan pengalaman sastra si pembaca. Sebuah pengertian seperti bahasa puitik tak pernah dapat dibatasi secara mutlak. Pengolahan bahan secara istimewa juga diterapkan dalam teknik-teknik tertentu yang dipakai dalam penulisan teks-teks naratif dan drama. 5. Sebuah karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Dalam puisi dan novel-novel banyak ditemukan ucapan-ucapan mengenai dunia. Sejauh mana tahap-tahap arti itu dapat dimaklumi sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada mutu karya sastra yang bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam bergaul dengan teks-teks sastra. 6. Karya-karya yang bersifat nonfiksi dan yang juga tidak dapat digolongkan pada puisi, karena ada kemiripan, digolongkan pada karya sastra. Yang dimaksudkan adalah karya-karya yang bersifat naratif, seperti biografi- biografi atau karya-karya yang menonjol karena bentuk dan gayanya. Demikian juga surat menyurat antara dua orang sastrawan lebih mudah digolongkan pada sastra, daripada surat menyurat antara dua sejarawan. Ada beberapa defenisi tentang sastra atau sejumlah pengertian tentang sastra dari sejarah ilmu sastra sejak zaman romantic. Suatu ikhtisar itu pertama- tama mengandung nilai sejarah, tetapi banyak ungkapan-ungkapan mengenai sifat- sifat sebuah karya sastra seperti dijumpai pada pada ulasan- ulasan tentang puisi, dewasa ini pun masih sering ditemukan dalam kritik-kritik, dalam uraian- Universitas Sumatera Utara uraian tentang sastra, dan juga termasuk pula dalam omongan sehari-hari mengenai sastra. Pengertian tentang sastra yang berlaku pada zaman romantic tidak merupakan satu kesatuan. Tidak semua tokoh romantic mempunyai pendapat yang sama mengenai sastra. Ada beberapa ciri yang selalu muncul dalam pendapat-pendapat tokoh romantik. 1. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, dan bukan pertama- tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan. Dalam puisi terungkapkan napsu-napsu kodrat yang bernyala-nyala, hakikat hidup dan alam. 2. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain, sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan didalam karyanya sendiri. Dalil ini masih bergema didalam hamper setiap pendekatan terhadap sastra. 3. Karya sastra yang otonom tersebut merupakan sastra yang bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai sesuatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan bentuk atau ungkapan tertentu. Dalam pandangan ini puisi dan bentuk- bentuk sastra lainnya menggambarkan isi, bahasanya bersifat plastis. 4. Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya, ada pertentangan antara yang disadari dan yang tidak disadari, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnya. Pendapat baghwa puisi mempersatukan Universitas Sumatera Utara pertentangan dalam sebuah sintesa, umum kita jumpai pada aliran new critics di Amerika dan pada kritik strukturalistik Prancis tahun enampuluhan abad ini. 5. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk- bentik sastra lainnya ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi. Dalam sebuah teks sastra kita berjumpa dengan sederetan arti yang dalam bahasa sehari- hari tak dapat diungkapkan. Pandangan romantic tersebut masih kita jumpai dalam sebuah ucapan Roland Barthes, menurutnya menafsirkan sebuah teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan membeberkan aneka kemungkinan. Istilah- istilah dari zaman romantic, seperti kreasi, ekspresi, otonomi, koherensi, sintesa, dan yang tak terungkapkan masih tetap dijumpai dalam ulasan- ulasan tentang sastra. Berdasarkan penilaian mereka terhadap sifat otonomi sebuah karya sastra, maka aliran Romantik sangat menghargai bentuk, yaitu cara sekelompok teorikus dari Rusia pada abad awal abad ini, maka cara pengungkapan merupakan ciri khas bagi kesastraan. Kesastraan ditentukan oleh cara bahannya disajikan. Dalam hal puisi, teks-teks naratif ialah sejarah atau peristiwa yang diceritakan. Lain daripada kaum romantisi, maka kaum formalis tidak menganggap bahasa kiasan sebagai ciri khas bagi sifat kesastraan. Dalam bahasa sehari-hari pun kita memakai kiasan-kiasan, tetapi disini, demikian kaum formalis, efek kiasan itu justru mempercepat pengertian. Ucapan buah bibir dengan lebih cepat dan lebih efisien menerangkan sesuatu daripada keterangan. Tetapi dalam bahasa sastra kiasa justru memperlambat, efeknya mengasingkan. Universitas Sumatera Utara I. 4. 3 Terminologi Hermenetika I. 4. 3. 1 Konsep Dasar Hermeneutika