Deskripsi Tema Lagu Ciptaan Djaga Depari Dalam Konteks Sosial Budaya Masyarakat Karo

(1)

Deskripsi Tema Lagu Ciptaan Djaga Depari Dalam

Konteks Sosial Budaya Masyarakat Karo

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

BRATA ANDREAS SIMAMORA

NIM: 040707008

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Deskripsi Tema Lagu Ciptaan Djaga Depari Dalam Konteks

Sosial Budaya Masyarakat Karo

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

BRATA ANDREAS SIMAMORA

NIM: 040707008

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.Perikuten Tarigan, M.Si Dr.Bebas Sembiring, M.Si NIP: 195804021987031003 NIP: 195703131991031001

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

DISETUJUI OLEH: FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Dra. Frida Deliana, M.Si NIP: 196011181988032001


(4)

PENGESAHAN Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Fakultas Sastra USU Medan

Pada Tanggal : Hari :

DEKAN FAKULTAS SASTRA USU

Nama : Dr. Syahron Lubis, M.A NIP : 1951 101 3197 1001 Panitia Ujian :

No Nama Tanda Tangan

1 Dra. Frida Deliana, M.Si (………) 2 Dra.Heristina Dewi, M.Pd (………) 3 Drs. Perikuten Tarigan, M.Si (………) 4 Drs. Bebas Sembiring, M.Si (………)


(5)

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan ucapan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa dan putra-Nya terkasih Yesus Kristus serta Bunda Maria Yang Suci atas kesehatan, kesabaran, kekuatan dan bantuan yang terus mengalir khususnya untuk membantu penulis dalam perjalanan penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi yang berjudul “DESKRIPSI TEMA LAGU CIPTAAN DJAGA

DEPARI DALAM KONTEKS SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO.” ini

diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1) pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra, USU Medan.

Dalam proses penyelesaian studi dan skripsi ini, tentunya banyak orang-orang yang secara bersama membantu dan memberi semangat. Untuk itu pada kesempatan ini penulis memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Teristimewa kedua orang tua tercinta, Ayahanda Marista Siamamora dan almarhum Ibunda Dameria Magdalena Samosir, atas segala cinta, doa dan pengorbanan kalian, juga buat abangku Kalnius T.P. Simamora, Amd. beserta istri Merry Novena br. Depari, S.S ; kakakku Martha Sari Dewi br. Simamora, S.S beserta suami H. Marbun, S.S ; abang-abangku Lekanius T.J. Simamora dan Guspanol F. Simamora yang memberi dorongan, semangat dan doa. Tidak lupa juga kepada keponakanku yang lucu-lucu dan menggemaskan, Christy Kalmerita


(6)

br. Simamora, Cecilia Margaretha br. Simamora, Yosephine br. Simamora dan Valentina Margaretha br. Marbun, cepat besar ya keponakan-keponakanku. 2. Bapak Drs.Perikuten Tarigan, M.Si dan bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si

selaku pembimbing yang telah memberi bantuan, samangat dan membimbing dengan baik dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ketua Departemen Etnomusikologi Ibu Dra. Frida Deliana M.Si dan Ibu Dra.

Heristina Dewi M.Pd. selaku sekretaris departemen etnomusikologi yang telah

memberikan dukungan dan bantuan dalam administrasi serta registrasi perkuliahan selama masa kuliah dan penyelesaikan tugas akhir penulis.

4. Seluruh staff pengajar di Departemen Etnomusikologi, atas segala bantuan, saran dan arahannya. terkhusus bapak Drs. Irwansyah, M.A, selaku pembimbing akademik.

5. Teman-temanku stambuk ’04 : Jeremia Ginting, terimakasih atas bantuan dan segala informasinya, Feri Erikson J. Panggabean, J. Welly Simbolon, yang telah memberi bantuan dalam transkipsi lagu Djaga Depari, Saidul Irfan, Rofina Fitrian a.k.a Pipin, Masrina Purnama Sari a.k.a Riri, Markus Sirait, Frans Eda Sitepu, Amran Situmorang, Try Syahputra Sitepu, Diah Tei Tupa Sipayung, Fera Mariani Sitompul, Briando Silitonga, terimakasih atas masukan dan semangatnya.

6. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi.(IME), teman-teman stambuk 2005, 2006, 2007, 2008, 2009. Semoga kedepan kawan- kawan bisa tetap


(7)

memajukan pendidikan dan juga organisasi IME, menjaga persatuan kita dan berkarya jauh melebihi apa yang telah kami lakukan.

7. Bapak R. Ginting selaku informan kunci serta Robert Perangin-angin, beri Pana Sitepu, Benson A. Kaban sebagai informan pendukung yang telah bersedia membantu dan memberi penulis informasi yang dibutuhkan selama melakukan penelitian.

8. Saudara-saudaraku Obie, Gaza, Oek, Andre, Mario V. Hutabarat S.Sos, Yundi, Qonie serta saudara-sadura kandungku namun tak sedarah Lights To Follow : Rendy, Anton, Topo, Bang Endank dan Ivan, terima kasih atas semangat dan pengertian kalian yang tidak ada habis-habisnya.

9. Terlebih kepada Nyla Dian Marshalia Chaniago, atas pengorbanan waktu dan pemikiran serta motivasi penulis sehingga selesai skripsi ini.

10.Semua Pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih.

Semoga Allah Bapa Yang Maha Kuasa membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya pada kita semua Amin.

Medan, Agustus 2010


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 7

1.3.1 Tujuan ... 7

1.3.2 Manfaat ... 7

1.4 Kerangka Konsep Dan Teori ... 8

1.4.1 Kerangka konsep ... 8

1.4.2 Teori ... 10

1.5 Metode Kerja Lapangan ... 11

1.5.1 Metode penelitian ... 12

1.5.2 Kerja laboratorium ... 13

1.5.3 Studi kepustakaan ... 14

1.5.4 Pemilihan informan ... 15


(9)

BAB II GAMBARAN UMUM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO ... 16

2.1 Sejarah Keberadaan Masyarakat Karo ... 16

2.2 Lokasi dan Batas Geografis ... 17

2.3 Penduduk dan Bahasa… ... 18

2.3.1 Penduduk ... 18

2.3.2 Bahasa ... 19

2.3.2.1 Tingkatan bahasa... 20

2.3.2.2 Tata cara penggunaan bahasa ... 20

2.4 Sistem Kekerabatan... 22

2.5.1 Kalimbubu ... 23

2.5.2 Anak Beru ... 25

2.5.3 Senina/Sembuyak ... 26

2.5 Kesenian ... 28

2.5.1 Seni suara (vokal)... 28

2.5.2 Seni drama... 29

2.5.3 Seni musik ... 30

2.5.3.1 Gendang Lima Sendalanen ... 30

2.5.3.2 Gendang Telu Sendalanen ... 31

2.5.3.3 Alat musik tradisional Karo non-ensambel ... 31

2.6 Sistem Pengetahuan ... 32

2.6.1 Penanggalan Karo ... 32


(10)

BAB III PENGARUH SITUASI EKONOMI, POLITIK DAN SOSIAL BUDAYA

TERHADAP PEMIKIRAN DEPARI ... 34

3.1 Biografi Djaga Depari ... 34

3.1.1 Lahir ... 34

3.1.2 Masa Sekolah ... 35

3.1.3 Masa Dewasa ... 38

3.2 Proses Kreatifitas Djaga Depari ... 42

3.2.1 Masa penciptaan karya ... 42

3.2.2 Masa penjajahan Belanda ... 44

3.2.3 Masa penjajahan Jepang ... 45

3.3 Situasi Ekonomi, Politik, Sosial Budaya tahun 1920-1963 (Masa hidup Djaga Depari) dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Djaga Depari .... 46

3.3.1Situasi ekonomi ... 46

3.3.2Situasi politik ... 47

3.3.3Situasi sosial budaya ... 47

BAB IV ANALISA KUMPULAN LAGU KARYA DJAGA DEPARI... 49

4.1 Kumpulan Lagu-lagu Karya Djaga Depari ... 49

4.2 Gambaran Umum dan Khusus Makna Teks ... 50

4.1.1 Gambaran umum ... 51

4.1.2 Gambaran khusus ... 53


(11)

4.3.1 Tema perjuangan atau politik ... 55

4.3.2 Tema nasehat... 57

4.3.3 Tema percintaan atau romantisme ... 58

4.3.4 Tema kesedihan... 59

4.3.5 Tema hubungan sosial ... 60

4.3.6 Tema keindahan alam ... 61

4.4 Pengaruh Lagu Karya Djaga Depari dalam Kehidupan Masyarakat Karo ... 62

BAB V PENUTUP ... 67

5.1 Rangkuman ... 67

5.2 Kesimpulan ... 68

5.3 Saran... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

DAFTAR INFORMAN ... 74

LAMPIRAN ... 76

A. Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari ... 76

1. Bulan Purnama ... 76

2. Bunga Pariama ... 76

3. Dalin Ku Rumah... 77


(12)

5. Io-io Beringen ... 79

6. Lampas Tayang ... 81

7. Make Ajar ... 81

8. Mari Kena ... 82

9. Pernantin ... 83

10. Piso Surit ... 84

11. Purpur Sage ... 85

12. Rudang-rudang ... 86

13. Rumba Karo ... 87

14. Seni Karo... 88

15. Si Mulih Karaben ... 89

16. Sora Mido ... 90

17 Sue sue... 91

18.Tanah Karo Simalem ... 92

19. Terang Bulan... 93

20. Tiga Sibolangit ... 94

21. USDEK ... 95

B. Transkripsi Lagu Karya Djaga Depari ... 97

1. Erkata Bedil ... 97

2. Tanah Karo Simalem ... 98


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seni adalah satu bentuk ungkapan yang indah dari isi kehidupan. Isi kehidupan diungkap, diangkat, diterjemahkan dan dituangkan dalam aneka bentuk yang indah sebagai seni sastra, seni lukis, seni drama, seni musik/suara, dan sebagainya. Seni juga satu bentuk kecakapan yang tinggi dalam membawa satu ide di atas jalan yang rumit dan merealisasi secara tepat sampai pada tujuannya.

Kesenian tidak pernah berdiri sendiri dan lepas dari kondisi sosial budaya masyarakatnya. Sebagai salah satu unsur budaya yang penting, kesenian merupakan ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan kesenian selalu dapat menciptakan, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan dan mengembangkannya untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru. Akan tetapi, masyarakat adalah suatu perserikatan manusia yang mana kreatifitas masyarakat berasal dari manusia-manusia yang mendukungnya (Umar Kayam, 1981 : 38-39).

Manusia tidak pernah lepas dari kebudayaan karena masyarakat turut mengambil andil dalam kebudayaan tersebut dengan cara menjadi bagian dari setiap fase-fase kehidupannya. Seni yang merupakan bagian dari kebudayaan, di dalamnya terdiri dari para pelaku seni atau seniman, manajer, pencipta atau pengkreasi seni. Di antara para


(14)

pekerja seni yang pernah mengabdikan hidupnya sebagai penghasil karya seni, ada yang begitu menonjol dikenal oleh karena karya yang mereka hasilkan.

Dalam tulisan ini penulis akan mengangkat tema-tema dari lagu karya Djaga Depari. Djaga Depari adalah seorang komponis nasional yang berasal dari Tanah Karo. Djaga Depari lahir pada 5 Mei 1922 di Desa Seberaya, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo. Ayah Djaga Depari bernama Ngembar Sembiring Depari seorang mandor besar Wer bas elkawe (Pekerjaan Umum) Deli Hulu pada masa penjajahan Belanda. Ibu Djaga Depari bernama Siras Br1 Karo Sekali. Djaga Depari merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Berikut adalah nama-nama saudara-saudari Djaga Depari2 :

1. Tempat Br Depari, 2. Djalim Depari, 3. Nengeni Br Depari, 4. Ngasali Br Depari, dan 5. Senter Br Depari.

Djaga Depari menikah pada tahun 1943 di usia 21 tahun. Beliau menikahi impal3nya yang bernama Djendam Br Pandia, anak kedua dari lima bersaudara dari keturunan pamannya yang bernama Dokan Pandia yang bekerja sebagai petani pada saat itu. Dari pernikahan ini Djaga Depari dan istrinya dikaruniai tujuh orang anak (empat

1 Di kalangan masyarakat Karo termasuk juga Tapanuli, khususnya untuk para wanita, pada namanya ditambahkan kata Beru (bahasa Karo, di masyarakat Tapanuli disebut Boru) di depan marganya dan biasanya disingkat menjadi Br.

2 Lihat Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” Robert Perangin-angin (2009 : 12) 3 Anak perempuan dari paman, saudara laki-laki dari ibu


(15)

laki-laki dan tiga perempuan). Berikut adalah nama-nama dari putra-putri Djaga Depari4 :

1. Sadarman Depari, lahir pada tanggal 11 Desember 1944 di Desa Seberaya 2. Sutrisno Depari, lahir pada tanggal 24 November 1946 di Desa Seberaya 3. Maya Rita Br Depari, lahir pada tanggal 4 Mei 1953 di Desa Seberaya 4. Agustina Br Depari, lahir pada tanggal 17 Agustus 1959 di Desa Seberaya 5. Junita Br Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1960 di Kabanjahe

6. Waktu Depari, lahir pada tanggal 10 Juni 1962 di Kabanjahe 7. Ngapuli Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1963 di Kabanjahe

Pada tahun 1935 Djaga Depari mengawali pendidikannya di sekolah dasar. Pada saat itu Djaga Depari dimasukkan ke sekolah Belanda yang bernama Christelijk Hollandsch Inlandche School (Christelijk HIS)5, salah satu sekolah unggulan di Kabanjahe. Setelah menamatkan sekolah di Christelijk HIS ini, Djaga Depari melanjutkan jenjang pendidikan ke sekolah HIS lanjutan di kota Medan. Ketika duduk di bangku HIS lanjutan inilah Djaga Depari dan beberapa kawan sekolahnya membentuk sebuah kelompok musik. Di kelompok musik ini Djaga Depari memegang alat musik biola. Djaga Depari tidak mempunyai pendidikan khusus di bidang musik tapi sangat piawai dalam menggesek dawai biola. Dia mengandalkan biola dalam membentuk komposisi not-not lagu karyanya. Lagu-lagu yang dibawakan Djaga Depari di kelompok musik ini adalah lagu-lagu populer pada saat itu yang bukan berbahasa Indonesia yaitu

4 Lihat Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” Robert Perangin-angin (2009 : 36-39) 5 Lihat Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” Robert Perangin-angin (2009 : 15)


(16)

lagu barat (Perancis, Spanyol, Italia). Pada periode inilah Djaga Depari mulai mencoba mengarang beberapa buah lagu. Djaga depari menamatkan sekolah di HIS lanjutan ini pada tahun 1939.

Walaupun Djaga Depari gemar memainkan lagu-lagu barat, lagu-lagu yang beliau ciptakan kebanyakan berbahasa Karo. Banyak sekali lagu-lagu berbahasa Karo yang kita kenal sekarang merupakan karya dari Djaga Depari. Lagu-lagu karya Djaga Depari ini diciptakan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan Indonesia.

Dari data yang didapat pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1942 Djaga Depari mencipta sejumlah lagu di antaranya Tanah Ersuki, Ranting Jabi-jabi, Anak U-we, Naki-naki, Kanam-kanam, Regi-regi, Jolah jemole, Perbaju Joe, Berngi Singongo, Persentabin, Sada Kata, Pergawah dan Angin Si Lumang6.

Sedangkan pada masa kemerdekaan, Djaga Depari juga mencipta sejumlah lagu. Beberapa diantaranya adalah Famili Taksi, Padang Sambo, Sora Mido, Tanah karo Simalem, Rudang Mejile, Roti Manis, Tiga Sibolangit, Lasam-lasam, Make Ajar, Pecat-pecat Seberaya, Didong-didong Padang Sambo, Io-io Beringin, Andiko Alena, Sue-sue dan Rudang-rudang7.

Sampai saat ini, masyarakat Karo masih banyak yang menggunakan lagu-lagu Karya Djaga Depari dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan lagu tersebut mencakup banyak hal seperti sebagai lagu pengiring dalam upacara adat, sebagai koleksi pribadi, sebagai media hiburan dan lain-lain. Hal itu berhubungan dengan tema-tema yang tersirat dalam lagu-lagu karya Djaga Depari tersebut.

6 Lihat Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” Robert Perangin-angin (2009 : 29) 7 Lihat Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” Robert Perangin-angin (2009 : 46)


(17)

Djaga Depari tidak hanya menulis lagu-lagu romantika kehidupan masyarakat Karo tapi beliau juga menuliskan lagu-lagu tentang perjuangan masyarakat Karo menentang penjajahan bangsa asing. Apabila semangat patriotisme Djaga Depari tergugah, maka lagu yang diciptakannya menjadi sangat berbeda. Kesan kesenduan lagu-lagu Karo berubah menjadi hentakan yang bersemangat ingin membebaskan diri dari belenggu ketertindasan. Salah satu lagunya adalah “Erkata Bedil (Dentuman Senjata)“. Lagu Erkata Bedil ini menggambarkan semangat perjuangan yang beliau embankan kepada para pemuda Karo untuk ikut mengangkat senjata melawan penjajah di tanah Karo walaupun para pemuda itu sedang dilanda asmara. Lagu ini kemudian menjadi lagu nasional perjuangan rakyat Indonesia. Selain itu pada lagu “Kemerdekaanta” karya Djaga Depari juga tersirat makna-makna perjuangan rakyat. Dalam lirik lagu ini dilukiskan bahwa seorang pemuda berkata kepada kekasihnya “bila kelak kita telah mendapat kemerdekaan, maka kita akan bersatu dalam pelaminan”.

Karya-karya Djaga Depari yang bertemakan perjuangan masyarakat Karo ini kemudian membuat pemerintah Indonesia memberikan gelar kepadanya sebagai Komponis Nasional. Untuk mengabadikan pengabdiannya, pemerintah propinsi Sumatera Utara diprakarsai oleh Lembaga Permusyawaratan Kebudayaan Karo (LPKK) Sumatera Utara mendirikan sebuah monumen Djaga Depari di kota Medan yang terletak di persimpangan jalan Iskandar Muda Medan.

Djaga Depari telah mempersembahkan yang terbaik yang ada di dirinya untuk masyarakat Karo khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Beliau juga dikenal


(18)

sangat konsisten dalam karya-karyanya. Konsistensi8 pemikiran Djaga Depari ini juga akan diangkat dalam tulisan ini. Pembahasannya akan berlanjut pada pengaruh situasi ekonomi, politik, sosial budaya pada masa hidup Djaga Depari terhadap pemikiran Djaga Depari dalam karya-karyanya. Maksudnya disini adalah apakah situasi ekonomi, politik dan sosial budaya mempengaruhi pemikiran Djaga Depari dalam penciptaan karya. Hal ini juga nantinya akan berkaitan dengan tema yang muncul dalam lagu-lagu karya Djaga Depari.

Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam semua lagu yang diciptakan Djaga Depari memiliki tema-tema tertentu. Tema-tema tersebut muncul dari pengalaman-pengalaman Djaga Depari semasa hidupnya yaitu pada masa penjajahan dan kemerdekaan. Kemudian dari tema-tema yang ada, bagaimana sebenarnya masyarakat Karo menggunakan lagu-lagu karya Djaga Depari dalam kehidupan sehari-hari. Apakah lagu-lagu karya Djaga Depari digunakan sesuai dengan tema. Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk meneliti, mengkaji, serta menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul: “Deskripsi Tema Lagu Ciptaan Djaga Depari dalam Konteks Sosial Budaya Masyarakat Karo.”

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, yaitu :

1. Apa tema-tema dari lagu karya Djaga Depari


(19)

2. Bagaimana pengaruh situasi ekonomi, politik, sosial budaya pada tahun 1920-1963 (masa hidup Djaga Depari) terhadap pemikiran Djaga Depari dalam karya-karyanya

3. Bagaimana penggunaan dan fungsi dari lagu-lagu Djaga Depari bagi masyarakat Karo

1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan di atas maka tujuan utama dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan tema dari lagu-lagu karya Djaga Depari yang muncul dari pengalaman-pengalaman Djaga Depari semasa hidupnya

2. Mengetahui pengaruh situasi pada masa hidup Djaga Depari yaitu situasi ekonomi, politik dan sosial budaya terhadap pemikiran Djaga Depari dalam hal penciptaan karya

3. Untuk menganalisa penggunaan dan fungsi lagu Djaga Depari dalam kehidupan masyarakat Karo

1.3.2 Manfaat

Penelitian ini akan berguna sebagai sebuah naskah kajian ilmiah akademisi yang mendeskripsikan tema dari lagu-lagu karya Djaga Depari, manganalisa penggunaan dan


(20)

fungsi lagu-lagu karya Djaga Depari dalam kehidupan masyarakat Karo dan mengetahui pengaruh dari situasi ekonomi, politik dan sosial budaya terhadap pemikiran Djaga Depari dalam hal penciptaan karya.

Hasil penelitian ini Juga bermanfaat bagi disiplin Ilmu Etnomusikologi USU khususnya memperdalam kajian tentang deskripsi karya seni, mengingat lulusan Ethnomusikologi adalah bagian dari studi yang melahirkan sarjana-sarjana seni, agar memahami lebih jauh tentang deskripsi karya seni, khususnya lagu-lagu karya Djaga Depari yang menjadi salah satu pemersatu semangat perjuangan masyarakat Karo.

1.4 Kerangka Konsep dan Teori 1.4.1 Kerangka konsep

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:456).

Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan untuk menghindari ambiguitas, maka diperlukan definisi-definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini merupakan kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik-topik yang menjadi pokok penelitian.

Deskripsi adalah upaya pengolahan data menjadi sesuatu yang dapat diutarakan dengan kata-kata secara jelas dan tepat dengan tujuan agar dapat dimengerti oleh orang


(21)

yang tidak langsung mengalaminya sendiri9. Berangkat dari pengertian ini, penulis akan menguraikan dengan kata-kata hal yang menjadi bahan penelitian dalam tulisan ini. Dalam hal ini yang menjadi bahan penelitian adalah lagu-lagu karya Djaga Depari adalah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 983) tema adalah pokok pikiran ataupun dasar cerita (yg dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak). Di setiap karya seni (dalam hal ini lagu ciptaan) pastilah mempunyai sebuah tema, karena dalam karya tersebut dianjurkan harus memikirkan tema apa yang akan dibuat. Tema juga hal yang paling utama dilihat oleh para penikmat sebuah karya. Tema yang dimaksud adalah pesan-pesan yang terkandung di dalam lagu-lagu karya Djaga Depari. Salah satu contohnya adalah tema perjuangan.

Menurut wikipedia bahasa Indonesia lagu merupakan gubahan seni nada atau suara dalam urutan, kombinasi dan hubungan temporal (biasanya diiringi dengan alat musik) untuk menghasilkan gubahan musik yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan (mengandung irama). Lagu yang penulis maksud di sini adalah lagu-lagu karya Djaga Depari.

Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; situasi yg ada hubungannya dengan suatu kejadian (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 465). Konteks di sini berkatian dengan ruang lingkup atau situasi tertentu. Dalam hal ini konteksnya adalah masyarakat karo.


(22)

Dalam mendefenisikan masyarakat, penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat (1986:146-147) yaitu masyarakat adalah sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat berkelanjutan dan terikat oleh suatu rasa identitas. Karo adalah salah satu suku bangsa yang ada di propinsi Sumatera Utara. Jadi masyarakat karo adalah kesatuan hidup manusia yang saling beriteraksi menurut sistem adat istiadat karo.

Berdasarkan konsep-konsep di atas, maka dalam tulisan ini penulis mendeskripsikan tema-tema lagu karya Djaga Depari dalam konteks masyarakat karo, termasuk juga penulis menganalisa penggunaan dan fungsi lagu-lagu karya Djaga Depari dalam kehidupan masyarakat Karo.

1.4.2 Teori

Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang diambil dari fakta-fakta, mungkin juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999 : 33). Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti harus menyusun sebuah kerangka teori untuk sebuah kejelasan. Titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Maka untuk itu perlu disusun kerangka teori. Kerangka teori itu disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukkan dari sudut mana peneliti mengamati masalah yang akan diteliti. Dengan adanya kerangka teori ini maka peneliti akan lebih terbantu dalam mencari kebenaran dari apa yang diteliti.


(23)

Dalam penelitian ini teori-teori yang dianggap berkaitan adalah fungsi dan penggunaan yang ditawarkan Merriam (1964: 209-227) menjelaskan adanya 10 fungsi musik, yaitu: (1) Sebagai pengungkapan emosional; (2) Sebagai hiburan; (3) Sebagai penghayatan estetis; (4) Sebagai komunikasi; (5) Sebagai reaksi jasmani; (6) Sebagai perlambangan; (7) Sebagai suatu yang berkaitan dengan norma-norma sosial ; (8) Sebagai perlambangan pengesahan lembaga sosial dan upacara kagamaan; (9) Sebagai kesinambungan budaya; (10) Sebagai pengintegrasian masyarakat.

Dari kesepuluh (10) fungsi musik tersebut, penulis akan membahas bagaimana penggunaan dan fungsi lagu-lagu karya Djaga Depari dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo. Tetapi di dalam ini fungsi tersebut berkaitan dengan tema lagu-lagu karya Djaga Depari. Misalnya dalam lagu Sora Mido tema yang terkandung adalah tema perjuangan. Tema perjuangan di sini mempunyai fungsi membangkitkan semangat berjuang yang disertai dengan keberanian dan ketegaran berjuang.

Makna adalah suatu yang terlihat di balik bentuk dan aspek isi suatu kata atau teks yang kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang mengandung arti tambahan, sedangkan makna denotatif adalah makna yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya (Keraf 1991 : 25).

Berhubungan dengan hal di atas, untuk menjelaskan makna dari kata-kata dalam lagu karya Djaga Depari maka penulis menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Kempson (1977: 11) :

“ada tiga hal yang dicoba jelaskan oleh para filsuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu yakni :


(24)

(1) menjelaskan makna kata secara alamiah, (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi.” Selanjutnya Kempson berpendapat untuk menjelaskan istilah makna harus dilihat dari segi : (1) kata; (2) kalimat; dan (3) apa yang dibutuhkan pembicara untuk berkomunikasi.”

1.5 Metode Kerja Lapangan

Penulis menggunakan beberapa cara untuk mencari dan mengumpulkan data. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengumpulkan data di lapangan. Dalam penulisan ini diperoleh dari sumber yang berhubungan dengan objek yang menjadi informasi bagi tulisan ini. Menurut Nettl (1964: 62-64), dalam pengumpulan data dapat dilakukan dengan dua cara kerja yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).

Kerja lapangan merupakan langkah awal yang penulis lakukan untuk mendapatkan data dan informasi di lapangan. Hal ini bertujuan agar penulis dapat terlibat langsung dengan objek yang diteliti dan data yang diperoleh pun dapat dijamin kebenarannya.

Kerja laboratorium yaitu pencarian data yang dilakukan penulis melalui referensi buku-buku, artikel, majalah ataupun tulisan lain yang berhubungan dengan objek tersebut. Selain itu, penulis juga melakukan penganalisisan data-data yang sudah didapatkan di lapangan.


(25)

Untuk memperoleh data di lapangan, penulis melakukan kerja lapangan dengan menggunakan metode lapangan. Metode yang penulis lakukan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi dari suatu gejala-gejala lain dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1990: hal 29). Penelitian yang bersifat kualitatif berwujud data yang bersifat konsep atau pengertian abstrak dalam penelitian fakta-fakta sosial.

Dalam penelitian lapangan ini, penulis membaginya dalam dua cara yaitu 1. Wawancara

2. Observasi

Wawancara merupakan metode yang dilakukan penulis dalam berhubungan dengan informan, di lapangan penulis mengajukan sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan objek penelitian. Sebelum mencari data lebih dalam, penulis terlebih dahulu mencari orang yang bisa dijadikan sebagai informan pangkal.

Wawancara yang penulis lakukan tidak terfokus pada informan kunci saja, tetapi juga pada beberapa informan yang ada di lapangan guna menambah informasi. Pemilihan informan dilakukan penulis karena dibutuhkannya informasi yang dapat dipercaya dari sumber yang tepat.

Data-data yang didapat di lapangan, direkam dan kemudian penulis mencatat segala hal yang berhubungan dengan objek penelitian di lapangan, serta dari jawaban atas pertanyaan yang penulis ajukan kepada informan. Dalam penentuan jawaban yang


(26)

cocok atas pertanyaan yang penulis ajukan, penulis melakukan penyelesian agar informasi lebih akurat dan tepat, sedangkan jawaban yang kurang cocok dijadikan data masukan untuk diperjelas selanjutnya. Untuk referensi pertanyaan selanjutnya, penulis mengambil dari jawaban yang berkembang berdasarkan hasil pengamatan penulis.

Selain itu, penulis juga menganalisa lagu-lagu karya Djaga Depari yang sudah pernah direkam kemudian menuliskannya ke atas kertas.

Observasi (pengamatan), yaitu penulis mengamati semua kejadian secara langsung, yang bertujuan untuk memperoleh data-data yang tidak didapatkan melalui wawancara. Observasi yang dilakukan bukan hanya tentang objek penelitian, tetapi juga lokasi penelitian. Namun demikian cara observasi ini tidak hanya berambisi mengumpulkan data dari sisi kuantitasnya, tetapi juga berusaha memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.

1.5.2 Kerja laboratorium

Untuk mencapai hasil kerja yang maksimal dalam pengumpulan data, penulis juga melakukan kerja laboratorium yang merupakan proses pengklarifikasian dari data yang diperoleh di lapangan dan studi kepustakaan. Ini bertujuan untuk mengorganisasikan data-data yang diperoleh dan sekaligus mengkoreksi data-data yang belum dapat atau yang belum diketahui penulis.

Di sini penulis berusaha menyeleksi segala data yang berhubungan dengan objek yang diteliti dan menyesuaikannya dengan jawaban-jawaban dari informan, kemudian menjadikannya satu tulisan. Namun bila ada data yang tidak berhubungan, maka penulis akan menyimpannya. Sedangakan data-data yang ada dalam pita rekaman, penulis


(27)

dengarkan dan tulis kembali kemudian diteliti dan disatukan dengan jawaban yang ditulis.

Dalam kerja laboratorium ini, data yang terkumpul dianalisis setiap waktu secara induktif selama penelitian berlangsung dengan mengolah bahan empirik (synthesizing), supaya dapat disederhanakan kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca, dipahami dan diinterpretasikan dalam sebuah tulisan.

1.5.3 Studi kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu penulis membaca beberapa literatur yang bisa mendukung tulisan ini, dan bisa dipergunakan untuk membuat pertanyan yang akan dipertanyakan di lapangan, berupa buku-buku, majalah-majalah, informasi dari internet dan tulisan yang berhubungan dengan lagu-lagu karya Djaga Depari. Studi ini bertujuan untuk mencari informasi awal mengenai objek penelitian, yang nantinya bisa digunakan untuk membantu memperoleh konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas pokok masalah penelitian ini.

1.5.4 Pemilihan informan

Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu menentukan informan pangkal yang mengetahui siapa yang dapat memberikan informasi untuk keperluan penelitian tersebut. Setelah mendapat informan pangkal, penulis menentukan informan kunci yang dibantu oleh informan pangkal. Yang menjadi informan kunci adalah Bapak


(28)

R. Ginting (50 tahun). Beliau mempunyai informasi yang luas tentang kehidupan Djaga Depari dan kolektor lagu-lagu Djaga Depari.

1.6 Lokasi Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis tidak menetapkan lokasi penelitian di suatu tempat tertentu. Hal ini dikarenakan oleh penulis umumnya melakukan wawancara pada berbagai narasumber di berbagai daerah yang berlainan sehinga tidak terfokus pada satu tempat saja, seperti di Desa Seberaya, Brastagi, Kampus Etnomusikologi USU, Sanggar-sanggar kebudayaan Karo di Medan. Sebelum mencari data penulis membuat kesepakatan terlebih dahulu mengenai tempat pertemuan dengan narasumber. Hal ini juga didasari karena minimnya referensi data yang ada, baik berupa buku maupun data lainnya yang dapat membantu informasi dalam penyelesaian penelitian ini.


(29)

BAB II

GAMBARAN UMUM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO

2.1 Sejarah Keberadaan Masyarakat Karo

Menurut mitos yang masih hidup sampai sekarang, terutama di kalangan masyarakat Batak Toba, leluhur pertama dari seluruh orang Batak bernama Si Raja Batak. Leluhur ini tinggal di kaki gunung Pusuk Buhit, yang terletak di sebelah barat Danau Toba. Keturunan Si Raja Batak ini mendiami pulau Samosir yang terletak di tengah danau itu. Sebagian di antaranya menyeberang ke daratan dan tinggal terpencar di wilayah sekitar danau. Pada mulanya suku bangsa ini terbagi atas dua cabang, yakni cabang Toba dan cabang Pakpak-Dairi. Cabang Toba terbagi lagi atas beberapa ranting, yaitu ranting Toba, Angkola, Mandailing dan Simalungun. Cabang Pakpak-Dairi terbagi atas ranting Dairi dan Karo.

Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Sebagian besar masyarakat suku Karo tidak mau disebut sebagai orang Batak karena mereka merasa berbeda. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba.

Dari beberapa literatur yang penulis dapatkan tentang karo asal kata Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad


(30)

14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Pada jaman keemasannya kekuasaan Kerajaan Haru/Karo mulai dari Aceh Besar sampai sungai Siak di Riau. Keberadaan Haru/Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja atau Banda Aceh sekarang, Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane, dan lainnya. Dan terdapat suku karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee.

Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad" (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar selain kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

2.2 Lokasi dan Batas Geografis

Suku Karo merupakan subsuku bangsa Batak yang mendiami daerah antara Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak di Propinsi Sumatera Utara, terutama di dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian Dairi.

Gambaran tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti apa yang digambarkan oleh J.H. Neuman dalam buku “Lentera Kehidupan Orang Karo dalam berbudaya” (Sarjani Tarigan, 2009 : 36), yaitu:


(31)

“Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh pinggir jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan di sebelah Utara wilayah itu meluas sampai ke dataran rendah Deli dan Serdang.”

Dari gambaran di atas tampak bahwa terdapat masyarakat Karo yang bertempat tinggal di daerah pesisir dan bertetangga dengan suku-suku yang telah menempatinya terlebih dahulu. Suku-suku tersebut yaitu Melayu Sumatera Timur di sebelah utara, Alas di sebelah barat, Simalungun di sebelah timur dan Pakpak di sebelah selatan.

Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo tahun 2007, batas-batas wilayah Kabupaten Karo adalah sebagai berikut :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Propinsi NAD)

2.3 Penduduk dan Bahasa 2.3.1 Penduduk

Menurut sensus penduduk tahun 2006 jumlah penduduk Karo adalah sebanyak 342.555 jiwa. Ditinjau dari segi etnis, penduduk Kabupaten Karo 95% adalah suku karo,


(32)

sedangkan 5% lagi adalah suku lainnya yaitu suku batak toba, jawa, simalungun dan lain-lain10.

Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo pada tanggal 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi, pemakaian merga di masyarakat Karo didasarkan pada Merga Silima, yaitu : Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan

2.3.2 Bahasa

Sejak berabad-abad suku-suku bangsa penghuni kepulauan Nusantara mempergunakan bahasanya masing-masing dalam pergaulan hidup antar keluarga dalam suku itu. Bahasa-bahasa itu dinamakan ”bahasa daerah” yang sering disebut sesuai dengan nama suku bangsa tersebut, misalnya bahasa karo digunakan oleh suku Karo. Identifikasi seseorang dengan suatu suku bangsa lebih bersifat pribadi, artinya tergantung kepada dirinya sendiri merasa sebagai anggota suku bangsa apa. Biasanya orang lebih suka atau lebih mudah mengidentifikasikan dirinya dengan suku bangsa dalam masyarakat dimana dia hidup daripada dengan kemurnian keturunan atau darahnya

Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo menggunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-hari, penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan yang baku, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan bisa dimengerti oleh lawan bicara/pendengar.


(33)

Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bernyanyi dan lain sebagainya dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Salah satu jenis pemilihan kosa kata dalam masyarakat karo cakap lumat (bahasa halus). Cakap lumat adalah dialog yang dipadu dengan pepatah, perumpamaan atau pantun.. Cakap lumat ini sering digunakan dalam upacara adat seperti upacara perkawinan, memasuki rumah baru dan dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan percintaan).

Berkaitan dengan hal di atas, Djaga Depari juga menggunakan cakap lumat dalam mencipta lirik-lirik lagu. Sehingga sering muncul makna-makna kiasan dalam lirik-lirik lagu yang beliau ciptakan.

2.3.2.1 Tingkatan bahasa

Dari berbagai sumber yang didapat, ada 3 dialek utama dalam pengucapan dan tulisan masyarakat Karo menurut letak geografisnya :

a. Dialek Gunung-gunung “cakap Karo

gunung-gunung”, yaitu di daerah Kecamatan Munte, Juhar, Tigabinanga, Kutabuluh dan Mardinding.

b. Dialek Kabanjahe “Cakap orang julu“ di daerah

Kecamatan Kabanjahe, Tigapanah, Barusjahe, Simpang Empat dan Payung.

c. Dialek Jahe-jahe “Cakap kalah Karo Jahe“ dipakai

oleh penduduk di kecamatan Pancurbatu, Biru-biru, Sibolangit, Limabekeri dan Namo rante (semua termasuk kabupaten Deli Ladang) dan di daerah Kabupaten Langkat Hulu seperti Salapian, Kuwala, Bohorok dan sebagainya.


(34)

2.3.2.2 Tata cara penggunaan bahasa

Adapun tata cara penggunaan bahasa pada masyarakat karo dibedakan dalam hal-hal berikut :

a. Tabas atau mantra adalah

untuk para “guru si baso” (dukun) dan masyarakat awam jarang mengetahuinya. Umumnya tabas ini digunakan untuk mengobati orang sakit, upacara pemanggilan roh dan sebagainya.

b. Pantun dikenal dengan 2

jenis berupa pantun biasa dan pantun berkias. Biasanya digunakan untuk golongan muda-mudi yang sedang pacaran, orang tua yang ingin menyampaikan petuah dan nasehat atau bisa juga dinyanyikan oleh para biduan di dalam acara pertunjukan kesenian tradisional.

c. Perumpamaan atau tamsil,

perumpamaan Karo ada yang memakai keterangan dan ada pula yang tidak. Keterangan itu dapat disebut lebih dahulu dan di belakang. Seperti juga halnya perumpamaan Melayu yang di dalamnya terdapat kata-kata seperti, sebagai, ibarat, bak.

d. Turi-turin atau cerita adalah

berbentuk prosa mengenai berbagai hal seperti kesedihan, kesaktian, asal-usul kampung, hewan, legenda.

e. Cakep lumat merupakan


(35)

digunakan untuk sepasang kekasih untuk saling menggoda. Misalnya dahulu seorang pemuda bercintaan dengan seorang gadis di ture (teras rumah adat) maka untuk menarik perhatian gadis tersebut dia menggunakan cakep lumat.

f. Bilang-bilang adalah

kata-kata yang dilagukan atau didendangkan berupa ratapan peleh orang (biasanya kaum wanita) yang sedang mengalami kemalangan.

g. Ndung-ndungen adalah

sejenis puisi tradisional yang hampir sama dengan pantun dalam sastra Melayu, terdiri dari empat baris, di mana dua baris pertama adalah sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.

h. Ermangmang adalah bila

seorang “guru si baso” atau orang lain mengucapkan pidato tanpa teks di hadapan kaum kerabat yang menghadiri suatu upacara misalnya memanggil arwah leluhur.

2.4 Sistem Kekerabatan

Dalam hubungan kekerabatan pada masyarakat karo, baik berdasarkan pertalian darah maupun pertalian karena hubungan perkawinan, dapat dibagi menjadi tiga jenis kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak dan anak beru, yang biasanya disimpulkan dalam banyak istilah, tetapi maksudnya sama yaitu: daliken si telu11. Daliken si telu (daliken adalah tungku batu tempat memasak di dapur, sedangkan si telu adalah tiga). Hubungan antara ketiganya tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat,


(36)

menyusupi aspek-aspek kehidupan secara mendalam, menentukan hak-hak dan kewajiban di berbagai kegiatan dalam masyarakat, seperti di dalam upacara-upacara dan hokum adat.

Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken : batu tungku, Si : yang, Telu : tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup)12.

Unsur Daliken Sitelu ini adalah Kalimbubu, Sembuyak/Senina dan Anak Beru. Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.

2.4.1 Kalimbubu

Dalam banyak literatur tentang masyarakat Karo, Kalimbubu ini didefinisikan adalah kelompok pemberi dara atau gadis (Prints, 1986: 66; Bangun, 1981: 109). Adapun peranan dan fungsi para Kalimbubu ini dalam struktur daliken si telu adalah sebagai supremasi keadilan dan kehormatan. Menurut Darwan Prints kalimbubu diumpamakan sebagai badan legislatif, pembuat undang-undang (Prints, 1986: 67). Oleh Roberto Bangun, kalimbubu sebagai dewan pertimbangan agung, pemberi saran kalau

12

disadur dari makalah berjudul “Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo :

Kajian Sistem Pengendalian Sosial” oleh Drs. Pertampilan Brahmana, Fakultas Sastra Universitas


(37)

diminta (Bangun, 1989: 12). Dan sarannya, berpedoman kepada obyektif konstruktif dalam kaitan keutuhan keluarga.

Masyarakat Karo meyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anak beru (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati, perihal dilaksanakan atau tidak masalah lain.

Kalimbubu dapat dibagi atas dua yaitu Kalimbubu berdasarkan tutur dan Kalimbubu bedasar kekerabatan (perkawinan).

Kalimbubu berdasar tutur dapat dibagi lagi menjadi :

Kalimbubu Bena-Bena (kalimbubu tua) adalah kelompok keluarga pemberi istri kepada keluarga tertentu. Dikategorikan kalimbubu Bena-Bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi istri sekurang-kurangnya tiga generasi.

Kalimbubu Simajek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun. Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga. Kalimbubu ini selalu diundang bila diadakan pesta-pesta adat di desa di Tanah Karo.


(38)

Kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan) dapat dibagi lagi menjadi :

Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi istri terhadap generasi ayah, atau pihak semarga dari ibu kandung.

Kalimbubu I Perdemui (kalimbubu si erkimbang), adalah pihak kelompok dari mertua. Dalam bahasa yang populer adalah bapak mertua berserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi istri ini tidak tergolong kepada tipe Kalimbubu Bena-Bena dan Kalimbubu Si Mada Dareh.

Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu pihak submarga pemberi anak istri terhadap kalimbubu ego. Dalam bahasa sederhana pihak sub marga dari istri saudara laki-laki istri.

Kalimbubu Senina, golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur semarga dari kalimbubu. Dalam pesta adat, kedudukannya berada pada golongan kalimbubu, peranannya adalah sebagai juru bicara bagi kelompok sub marga kalimbubu.

Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon, golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon pemilik pesta.

2.4.2 Anak beru

Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri (Prints, 1986:64; Bangun, 1981:109). Oleh Darwan Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai badan yudikatif, kekuasaan peradilan (Prints, 1986: 67). Dalam


(39)

hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnya mendamaikan perselisihan tersebut.

Sama seperti kalimbubu, Anakberu dapat dibagi menjadi dua yaitu Anakberu bedasarkan tutur dan Anakberu berdasarkan kekerabatan.

Anakberu berdasarkan tutur dapat dibagi lagi menjadi :

Anakberu Tua adalah pihak penerima istri dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi.

Anakberu Taneh adalah penerima istri pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.

Anakberu berdasarkan kekerabatan dapat dibagi lagi menjadi :

Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.

Anakberu Iangkip, adalah penerima istri yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah Anakberu Jabu.


(40)

Anakberu Menteri adalah anakberu dari anakberu. Fungsinya menjaga penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu Menteri ini memberi dukungan kepada kalimbubunya yaitu anakberu dari pemilik acara adat.

Anakberu Singikuri adalah anakberu dari anakberu menteri, fungsinya memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan.

2.4.3 Senina/sembuyak

Senina adalah pertalian saudara senenek atau semerga. Hal umum yang menyebabkan terbentuknya hubungan senina/sembuyak adalah pertalian darah, sesubklen (semerga/seberu), sepemeren (ibu bersaudara), separibanen (istri bersaudara), mempunyai istri dari beru yang sama, mempunyai suami yang bersaudara (kandung, gamet, atau semarga). Menurut Darwan Prints senina ini diumpamakan sebagai eksekutif, kekuasaan pemerintahan (Prints, 1986: 67). Hal ini nampak dalam berbagai upacara adat karo di mana Senina dalam musyawarah adat bertugas sebagai penyambung lidah dan juga sebagai dan penengah.

Senina ini dapat dibagi dua yaitu senina berdasarkan tutur yaitu senina semarga dan senina berdasarkan kekerabatan.

Senina bedasarkan kekerabatan dapat dibagi menjadi :


(41)

Senina sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru atau ibu) yang sama.

Senina sepengalon (sendalanen) persaudaraan karena pemberi istri yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu submarga (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan marga istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.

Senina secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka sesubmarga (bersembuyak).

Sembuyak adalah mereka yang satu submarga atau orang-orang yang satu keturunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga kadung, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya. Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara yang satu marga. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan saudara kandung.

Sembuyak dapat dibagi dua bagian yaitu sembuyak berdasarkan tutur dan sembuyak berdasarkan kekerabatan. Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi


(42)

menjadi Sembuyak Kakek (kakek yang bersaudara kandung), Sembuyak Bapa (bapak yang bersaudara kandung), Sembuyak Nande (ibu yang bersaudara kandung).

2.5 Kesenian

2.5.1 Seni suara (vokal)

Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara (vokal), namun biasanya orang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi berarti perende-ende. Jika seorang perende-ende juga pandai menari (landek) dan sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta Gendang guro-guro aron, maka sebutan untuknya telah berubah menjadi Perkolong-kolong13.

Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara yang sedang berlangsung pada saat itu.

Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya karo mengenal beberapa jenis seni vokal diantara:

Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan),

Didong dong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat),

Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa),


(43)

Tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah),

Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sesebuah cerita),

Ende-enden (nyanyian muda-mudi).

2.5.2 Seni drama

Dari hasil wawancara dengan Beri Pana Sitepu, seni drama dalam masyarakat karo tergolong langka. Biasanya seni drama dalam masyarakat karo berhubungan dengan tarian seperti Tari Mondong-mondong yang berhubungan dengan drama Perlanja Sira (Pemikul Garam), Tari Tungkat dan Tari Guru serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).

Djaga Depari pada masa penjajahan juga pernah berperan dalam seni drama. Salah satu kelompok drama yang pernah diikuti oleh Djaga Depari adalah “Perhimpunan Teater Rakyat” yang dipimpin oleh Datuk H. Wan Umaruddin. Di kelompok ini Djaga Depari bertugas sebagai pemusik yaitu pemain biola.14

2.5.3 Seni musik

Istilah musik dalam masyarakat karo disebut dengan istilah gendang. Masyarakat karo memiliki beberapa jenis musik yang biasanya digunakan dalam kesenian


(44)

tradisionalnya15. Ada jenis musik yang diiringi oleh alat musik yang dimainkan secara bersama-sama (ensambel). Ensambel ini terbagi dua yaitu: gendang lima sendalanen dan gendang telu sendalanen. Selain berbentuk ensambel, ada pula jenis musik yang diiringi oleh alat musik yang dimainkan tunggal (solo). Selain alat musik, terdapat pula beberapa genre musik vokal (nyanyian), baik yang dinyanyikan secara solo, maupun diiringi alat musik.

2.5.3.1 Gendang lima sendalanen

Gendang Lima Sendalanen merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu ensambel musik tradisional Karo yang terdiri dari 5 (lima) alat musik karo, yaitu: (1) sarune, (2) gendang singanaki, (3) gendang singindungi, (4) penganak dan (5) gung.

Istilah gendang pada Gendang Lima Sendalanen ini berarti “alat musik”, lima berarti “lima buah”, dan sendalanen berarti “sejalan”. Dengan demikian Gendang Lima Sendalanen mengandung pengertian “lima buah alat musik yang dimainkan sejalan atau secara bersama-sama”. Kadang-kadang Gendang Lima Sendalanen disebut dengan istilah Gendang Sarune16. Adanya dua istilah atau penyebutan satu ensambel musik tradisional Karo yang sama ini (Gendang Lima Sendalanen dan Gendang Sarune) terjadi karena perbedaan latar belakang dari orang-orang yang menggunakannya.

15

Hasil wawancara dengan Benson A. Kaban

16 Istilah Gendang Sarune muncul karena dalam ensambel tersebut sarune merupakan alat musik pembawa melodi


(45)

Masing-masing alat musik dalam ensambel Gendang Lima Sendalanen dimainkan oleh seorang pemain, kecuali alat musik penganak dan gung yang dapat dimainkan oleh seorang pemain.

2.5.3.2 Gendang telu sendalanen

Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1) Kulcapi/balobat, (2) keteng-keteng dan (3) mangkok. Dalam ensambel ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu Kulcapi atau balobat. Pemakaian Kulcapi atau balobat sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda. Sedangkan Keteng-keteng dan mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif.

Jika Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan keteng-keteng serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya , maka istilah Gendang telu sendalanen sering disebut Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi, dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya tersebut menjadi gendang balobat. Masing-masing alat musik dimainkan oleh seorang pemain.

2.5.3.3 Alat musik tradisional Karo non-ensambel

Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara sendiri (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain (non-ensembel).


(46)

Alat musik solo tersebut adalah Kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murbab, genggong dan tambur.

2.6 Sistem Pengetahuan 2.6.1 Penanggalan karo

Masyarakat Karo mengenal penanggalan hari dan bulan serta pembagian waktu siang dan malam hari. Satu bulan dibagi dalam 30 hari dan satu tahun dibagi dalam 12 bulan dan masing-masing ada namanya. Adapun nama-nama hari dalam satu bulan adalah Aditia, Suma Pultak, Nggara, Budaha, Beraspati pultak, Cukera enem berugi, Belah naik, Aditia baik, Sumana siwah, Nggara sepuluh, Budaha ngadep, Beras pati tangkep, Cukera dudu, Belah Purnama, Tula, Suma cepik, Nggara enggo tula, Budaha Gok, Beras pati sepuluh Siwah, Cukera dua puluh, Belah turun, Aditia turun, Suma, Nggara simbelin, Budaha medem, Beras pati medem, Cukera mate, Mate bulan, Dalan bulan, Samis.

Adapun jumlah bulan untuk satu tahun tetap dihitung dua belas bulan dengan penamaan yang dilambangkan dengan nama hewan atau benda-benda sebagai berikut: Sipaka sada (kambing), Sipaka dua (lampu), Sipaka telu (cacing), Sipaka empat ( kodok), Sipaka lima (arimo atau harimau), Sipaka enem (kuliki atau elang), Sipaka pitu (kayu), Sipaka waluh (tambak atau kolam), Sipaka siwah (kepiting), Sipaka sepuluh (baluat), Sipaka sepuluh sada (batu), Sipaka sepuluh dua (nurung atau ikan)

Dari informasi yang didapat, masyarakat karo juga mempercayai adanya hari baik dan hari buruk. Namun informasi tentang penentuan hari baik dan hari buruk tersebut tidak dapat ditemukan penulis. Dalam hal penciptaan karya seperti penciptaan


(47)

lagu atau karya seni lainnya, masyarakat karo juga menghubungkannya dengan hari baik dan hari buruk tersebut. Masyarakat karo mempercayai aktifitas penciptaan karya tersebut sebaiknya dilakukan pada hari baik.

2.6.2 Aksara karo

Pada umumnya tulisan atau aksara Karo jaman dulu digunakan untuk menuliskan ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini diukir di kulit kayu atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat-lipat, dan biasanya huruf-huruf ini diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah itu tulisan tersebut diwarnai (dihitamkan) dengan bahan baku tertentu. Umumnya tulisan itu dibuat pada kulit kayu, bambu dan tulang hewan. Selain itu fungsi dari tulisan karo ini adalah sebagai alat komunikasi dalam bentuk surat menyurat sesame masyrakat karo.

Sejauh ini penulis tidak menemukan data tentang tulisan karo ini dalam hal penciptaan lagu. Sehingga dapa dipastikan bahwa aksara karo ini hanya berfungsi sebagai tulisan mantra dan alat komunikasi saja.

Huruf (aksara) karo terdiri atas 21 huruf induk utama ditambah sisipan “Ketelengan“ dan lain-lain.

Berikut adalah bentuk dari huruf-huruf karo tersebut :


(48)

(49)

BAB III

PENGARUH SITUASI EKONOMI, POLITIK DAN SOSIAL BUDAYA TERHADAP PEMIKIRAN DEPARI

3.1 Biografi Djaga Depari

Dalam bab ini, penulis mendapatkan informasi tentang masa hidup Djaga Depari dari wawancara dengan Bapak R. Ginting dan salah seorang penulis yang pernah menulis tentang Djaga Depari yaitu Robert Perangin-angin. Karena keterbatasan waktu, tempat dan dana maka wawancara dengan Robert Perangin-angin dilakukan melalui media internet yaitu dengan media e-mail17. Selain itu penulis juga banyak mendapat tambahan informasi dari buku yang ditulis oleh Robert Perangin-angin yang berjudul Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” dan buku-buku lainnya yang berhubungan dengan masa hidup Djaga Depari.

3.1.1 Lahir

Djaga Depari dilahirkan di Desa Seberaya, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo pada tanggal 5 Mei 1922. Ayah Djaga Depari adalah Ngembar Sembiring Depari. Ayahnya bekerja sebagai seorang mandor besar Wer bas elkawe (Perusahaan Pekerjaan Umum) Deli Hulu pada masa penjajahan Belanda. Ibu Djaga Depari adalah Siras br Karo Sekali. Djaga depari mempunyai empat saudara perempan dan satu saudara laki-laki. Djaga Depari merupakan anak kedua.


(50)

Berikut adalah nama-nama saudara-saudari Djaga Depari : Tempat Br Depari, Djalim Depari, Nengeni Br Depari, Ngasali Br Depari dan Senter Br Depari18.

Sejak usia dini, walaupun Djaga Depari seorang anak mandor, namun dalam pergaulan beliau tidak tinggi hati, melainkan menyatu dan membaur dengan anak-anak sebaya. Sebagai anak yang masih kecil, seperti kebiasaan masyarakat di desanya, pekerjaan sehari-hari di samping sekolah hanyalah bermain-main dan bersenang-senang saja, tidak pernah memikirkan segala sesuatunya yang diperlukan. Sebab, meskipun sesuatunya sangat sederhana, namun karena didikan kedua orang tuanya, semuanya diterima apa adanya. Djaga Depari di lingkungan keluarga, kerabat, teman dekat sering dipanggil Djaga atau Depari saja. Sebagian besar teman satu permainannya adalah anak-anak yang berasal dari kalangan rakyat biasa.

3.1.2 Masa sekolah

Umumnya pada jaman penjajahan, tidak sembarangan orang yang dapat bersekolah. Hal itu disebabkan mahalnya biaya sekolah pada saat itu. Karena Djaga Depari anak seorang mandor, beliau dapat langsung dimasukkan ke sekolah Belanda. Pendidikan dasar Djaga Depari dimulai pada tahun 1935. Saat itu beliau disekolahkan di salah satu sekolah Belanda yaitu di Christelijk Hollandsch Inlandche School (Christelijk HIS)19.

Djaga Depari merupakan siswa yang cerdas di sekolahnya. Selain itu Djaga Depari juga dikenal ramah, disiplin dan santun terhadap sesama siswa dan guru. Djaga

18 Lihat Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” Robert Perangin-angin (2009 : 12) 19 Salah satu sekolah dasar unggulan di Kabanjahe pada saat itu


(51)

Depari juga pandai menyanyikan beberapa lagu berbahasa Belanda dengan suara merdu, diantaranya lagu kun je nog zingen, zing dan mee20. Sehingga sering kali guru-guru dan teman-temannya menyuruhnya menyanyi di depan kelas.

Setelah menamatkan sekolah di Christelijk HIS ini, Djaga Depari melanjutkan jenjang pendidikan ke sekolah HIS lanjutan di Medan. Di masa penjajahan Belanda dulu, anak-anak Indonesia yang bisa belajar di HIS dapat dihitung dengan jari. Hal itu bukan pengaruh kecerdasan, namun karena mahalnya biaya sekolah pada saat itu. Pada masa itu umumnya masyarakat Indonesia berpenghasilan sangat rendah.

Di antara pemuda pelajar Karo yang bisa duduk di berbagai sekolah lanjutan HIS yang ada di kota Medan saat itu adalah : Amin Adab Sebayang, Asan Sini Suka, Bena Pande Besi Sitepu, Bom Ginting, Djamin Ginting, Jaga Bukit, Kerani Bukit, Keras Surbakti, Kontan Bangun, Koran Karo-karo, Lahi Raja Munte, Manis Manik, Mbaba Bangun, Nelang Sembiring, Netap Bukit, Ngerajai Meliala, Payung Bangun, Metehsa Tarigan, R.I. Manang Perangin-angin, R.N. Maha, Rakutta Sembiring, Raja Sungkunen Ginting Suka, Roga Ginting, Rumani Barus, Selamat Ginting dan Teramuli Gintings21.

Ketika duduk di bangku HIS lanjutan inilah Djaga Depari dan beberapa kawan sekolahnya membentuk sebuah kelompok musik. Di kelompok musik ini Djaga Depari memegang alat musik biola. Djaga Depari tidak mempunyai pendidikan khusus di bidang musik tapi beliau sangat piawai dalam menggesek dawai biola. Dia mengandalkan biola dalam meramu not-not lagu karyanya. Lagu-lagu yang dibawakan Djaga Depari di kelompok musik ini adalah lagu-lagu populer pada saat itu yang bukan

20 Beberapa lagu-lagu Belanda yang terkenal saat itu


(52)

berbahasa Indonesia yaitu lagu barat (Perancis, Spanyol, Italia). Pada periode inilah Djaga Depari mulai mencoba mengarang beberapa buah lagu. Walaupun Djaga Depari gemar memainkan lagu-lagu barat, lagu-lagu yang beliau ciptakan kebanyakan berbahasa Karo. Banyak sekali lagu-lagu berbahasa Karo yang kita kenal sekarang merupakan karya dari Djaga Depari. Lagu-lagu karya Djaga Depari ini diciptakan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan Indonesia.

Djaga depari menamatkan sekolah di HIS lanjutan pada tahun 1939. Pada masa ini Djaga Depari dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Pilihan tersebut adalah tetap melanjutkan sekolah atau menekuni dunia musik. Kedua pilihan tersebut sama-sama penting bagi Djaga Depari. Namun Djaga Depari harus tetap memilih salah satu di antaranya. Pada akhirnya setelah mempertimbangkan dengan cukup matang segala konsekuensinya, Djaga Depari memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Djaga Depari dapat meluluhkan hati ayahnya, Ngembar Depari yang menginginkan Djaga Depari tetap melanjutkan sekolah. Namun, supaya tidak terlalu mengcewakan hati Ngembar Depari, maka Djaga Depari mengikuti kursus bahasa Inggris, kursus mengetik dan kursus di bidang administrasi. Di sela-sela kesibukan kursus ini, Djaga Depari bersama teman-temannya membentuk suatu grup musik yang diberi nama “Orkes Melati Putih”. Di grup ini Djaga Depari memegang jabatan sebagai pemain biola. Grup ini langsung popular di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah di Medan saat itu. Grup ini sering diundang untuk mengisi acara pesta perkawinan, sunatan dan lain-lain.


(53)

Pada tahun 1942, dengan berbekal ijasah yang didapat Djaga Depari dari kursus bahasa Inggris dan bahasa Belanda, Kesultanan Deli Serdang mengajak Djaga Depari untuk bekerja di kantor Wakil Kesultanan Deli Serdang di desa Bangun Purba22. Djaga Depari bekerja sebagai pegawai atau pada saat itu disebut valunteer dengan gaji bersih sebesar 15 gulden setiap bulan. Gaji ini merupakan gaji yang di atas rata-rata bagi seorang yang minim pengalaman kerja pada saat itu.

Djaga Depari menikah pada tahun 1943 di usia 21 tahun. Beliau menikahi impalnya23 yang bernama Djendam Br Pandia, anak kedua dari lima bersaudara dari keturunan pamannya yang bernama Dokan Pandia yang bekerja sebagai petani pada saat itu. Dari pernikahan ini Djaga Depari dan istrinya dikaruniai tujuh orang anak (empat laki-laki dan tiga perempuan). Berikut adalah nama-nama dari putra-putri Djaga Depari24 :

1. Sadarman Depari, lahir pada tanggal 11 Desember 1944 di

Seberaya

2. Sutrisno Depari, lahir pada tanggal 24 November 1946 di

Seberaya

3. Maya Rita Br Depari, lahir pada tanggal 4 Mei 1953 di

Seberaya

4. Agustina Br Depari, lahir pada tanggal 17 Agustus 1959 di Seberaya

22

Impal : Salah satu desa di bawah pemerintahan Kecamatan Tiga Panah 23 Anak perempuan dari paman, saudara laki-laki dari ibu


(54)

5. Junita Br Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1960 di Kabanjahe

6. Waktu Depari, lahir pada tanggal 10 Juni 1962 di

Kabanjahe

7. Ngapuli Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1963 di

Kabanjahe

Ketujuh anak Djaga Depari tersebut telah berkeluarga. Dari hasil perkawinan anak-anaknya ini, Djaga Depari memiliki menantu dan 18 orang cucu. Berikut adalah keterangan mengenai menantu dan cucu-cucu Djaga Depari tersebut25 :

1. Anak pertama, Sadarman Depari menikah dengan Kartini br. Lubis, seorang gadis yang berasal dari Kota Pinang, Labuhan Batu. Dari pasangan ini, Djaga Depari memperoleh empat orang cucu yaitu : Prima Depari, Rospita br. Depari, Irma br. Depari dan Juli br. Depari.

2. Anak kedua, Sutirisno Depari menikah dengan Mulianna br. Kaban, seorang gadis yang berasal dari Desa Pernantin Kecamatan Juhar. Dari pasangan ini, Djaga Depari memperoleh dua orang cucu yaitu : Juliaman Depari dan Fitrianai br. Depari.

3. Anak ketiga, Maya Rita br. Depari menikah dengan Sopan Sinuhaji, seorang pemuda yang berasal dari Desa Aji Jahe. Dari pasangan ini, Djaga Depari


(55)

memperoleh empat orang cucu yaitu : Ir. Aswin Sinuhaji, Ir. Amri Sinuhaji, M.Si., AKP. Irsan Sinuhaji, S.H. dan Ir. Andri Yosi Sinuhaji, M.Si.

4. Anak keempat, Agustina br. Depari menikah dengan Ali Asri Tarigan. Dari pasangan ini Djaga Depari memperoleh tiga orang cucu yaitu : Ir. Iwan Iqbal Tarigan, Faisal Tarigan, S.E. dan Al-Aini br. Tarigan, AMD. Bakat seni Djaga Depari mengalir pada putrinya yang keempat ini. Agustina adalah generasi kedua yang meneruskan bakat seni Djaga Depari dengan mendirikan Sanggar Gerga Piso Surit. Sanggar ini sudah sering juga mengisi acara kebudayaan di Ibu Kota Jakarta.

5. Anak kelima, Juanita br. Depari menikah dengan Zul Afnan Tarigan, seorang pemuda yang berasal dari desa Sukadame. Dari pasangan ini Djaga Depari memperoleh satu orang cucu yaitu : Sri Rezeki Emia br. Tarigan.

6. Anak keenam, Waktu Depari menikah dengan Ratna br Kaban, seoarang gadis yang berasal dari Desa Pernantin. Dari pasangan ini Djaga Depari memperoleh dua orang cucu yaitu : Sry Wahyuni br Depari dan Arih Salsalina br. Depari. 7. Anak Ketujuh, Ngapuli Depari yang lahir tepat satu bulan sebelum Djaga Depari

meninggal, menikah dengan Lusianna br. Ginting yang berasal dari Desa Bunga Baru. Dari pasangan ini Djaga Depari memperoleh dua orang cucu yaitu Irfansyah Putra Depari dan Eidika Depari.

Dari informasi yang penulis dapat, Djaga Depari hidup di tiga jaman yaitu jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan jaman Indonesia merdeka. Di tiga jaman ini Djaga Depari terus menggeluti dunia musik, mencipta lagu dan bermain dalam


(56)

panggung-panggung sandiwara sampai akhirnya Djaga Depari menghadap Sang Pencipta26.

Pada tanggal 15 Juli 1963, sekitar pukul 3 dini hari, Djaga Depari meninggal dunia. Djaga Depari Dimakamkan di tempat kelahirannya yaitu Desa Seberaya Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo.

Untuk mengabdikan perjuang dan pengabdian Djaga Depari, beberapa tokoh masyarakat Karo di Medan membangun suatu tugu atau monumen Djaga Depari di pintu masuk kota Medan dari arah Tanah Karo tepatnya di persimpangan jalan Iskandar Muda Medan. Gagasan ini awalnya dicetuskan oleh Drs. Nabari Ginting, Drs. Ngasil Ginting dan Drs. Mulia Bangun pada awal Januari 1997, di perladangan milik Ngasil Ginting di daerah Pancur Batu Medan. Kemudian gagasan ini disampaikan ke beberapa tokoh masyrakat Karo kota Medan dan Sumatera Utara. Selanjutnya dibentuklah suatu badan panitia pembangunan yang diketuai oleh Drs. Nabari Ginting, dibantu oleh Drs. Mulia bangun, Drs. Benyamin Tarigan, Tuahta Perangin-angin dan Drs. Lesman Sembiring. Panitia pembangunan ini kemudian bekerjasama dengan Lembaga Permusyawaratan Kebudayaan Karo (LPKK) Sumatera Utara yang waktu itu diketuai oleh Drs. Perdamen Perangin-angin serta sekretaris umum Ir. Kata Ersada Ketaren. Walikota Medan saat itu H. Bahctiar Djafar menyambut baik rencana tersebut. Kemudian panitia pembangunan menunjuk seorang seniman, Arry Darma sebagai orang yang mendesain atau merancang Monumen Djaga Depari.


(57)

Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 1 Agustus 1997 oleh Walikota Medan saat itu H. Bahctiar Djafar, Ketua LPKK Sumatera Utara Drs. Perdamen Perangin-angin dan Ketua Umum Pembangunan Drs. Nabari Ginting. Kemudian pada tanggal 18 Februari 1998 Monumen Djaga Depari diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara saat itu yang diwakili oleh Wakil Gubernur Sumatera Utara saat itu H. Abdul Wahab Dalimunthe, S.H.

Susunan Kepanitiaan pembangunan Monumen Djaga Depari adalah sebagai berikut :

PEMRAKARSA : Lembaga Permusyawaratan Kebudayaan Karo (LPKK)

Sumatera Utara

Ketua Umum : Drs. Perdamen Perangin-angin Sekretaris Umum : Ir. Kata Ersada Ketaren

PANITIA PELAKSANA

Penasehat : Kolonel Purn. Tampak Sebayang

Drs. Janggun B.D. Sitepu

Ketua Umum : Drs. Nabari Ginting

Ketua Harian : Drs. Mulya Bangun

Sekretaris : Drs. Benyamin Tarigan

Koordinator Pelaksana : Tuahta Perangin-angin Darwin Perangin-angin, S.H.


(58)

(sumber : Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” Robert Perangin-angin (2009 : 119-120)

3.2 Proses kreatifitas Djaga Depari 3.2.1 Masa penciptaan karya

Karena banyaknya penekanan dari penjajah Belanda dan jepang terhadap masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat karo secara khusus, maka Djaga Depari menciptakan lagu-lagu untuk mengekspresikan perjuangan melawan penjajah. Proses penciptaan karya ini dimulai pada saat Djaga Depari masih berusia dini.

Dari informasi yang penulis dapat, proses kreatifitas Djaga Depari dimulai pada saat Djaga Depari duduk di bangku sekolah lanjutan pertama yaitu di tahun 1940an. Pada saat itu Djaga Depari sempat membentuk sebuah orkes27 sekolahan. Djaga Depari membentuk orkes ini bersama seorang pensiunan polisi yang berpangkat Mayor yang bernama Pak Yusuf. Orkes yang dibentuk Djaga Depari ini diberi nama “Orkes Melati Putih”. Di grup ini Djaga Depari memegang jabatan sebagai pemain biola. Grup ini langsung popular di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah di medan saat itu. Grup ini sering diundang untuk mengisi acara pesta perkawinan, sunatan dan lain-lain. Melalui orkes ini, Djaga Depari bertemu pertama kali dengan orang-orang terpandang saat itu. Salah satunya adalah seorang dari keturunan Sultan Deli Serdang yang gemar sekali menonton pertunjukkan Orkes Melati Putih.


(59)

Sekalipun Djaga Depari sudah terjun ke dunia musik saat itu, namun Djaga Depari belum menciptakan karya-karyanya. Hal itu dikarenakan dalam Orkes Melati Putih, Djaga Depari kebanyakan memainkan lagu-lagu berbahasa asing. Sehingga Djaga Depari belum terpikir untuk mencipta lagu.

Dari informasi yang penulis dapat, kreatifitas Djaga Depari di bidang penciptaan lagu mulai berkembang pada masa akhir penjajahan Belanda atau pada saat awal Jepang masuk ke Indonesia yaitu sekitar tahun 1942. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Djaga Depari mencurahkan perhatian penuh di bidang penciptaan lagu pada masa perang kemerdekaan yaitu sejak pertengahan tahun 1940an sampai dengan awal tahun 1960an.

3.2.2 Masa penjajahan Belanda

Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami.

Tanah Karo telah diketahui Belanda karena kerbau sebagai penarik kereta keperluan perkebunan diperoleh dari Tanah Karo. Disamping itu Binjai pada waktu itu telah menjadi kota yang didiami tuan-tuan kebun Belanda dimana banyak didatangi orang-orang Karo dari Karo Tinggi dan ada diantaranya yang bekerja sebagai pekerja kebun maupun mandor.


(60)

Pada tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo Alas dan Dairi menuju Medan. Dalam perjalanannya ke Medan melalui Tanah Karo, pasukan tersebut memasuki kampung Seberaya dimana saat itu terjadi perang saudara. Dalam perjalanan pasukan Belanda mampir di kampung Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa Urung dan pasukan Urung tewas 20 orang.

Pada masa masuknya Belanda ke Tanah karo, yaitu sekitar tahun 1870, Djaga Depari belum lahir. Sehingga secara otomatis belum ada karya-karya Djaga Depari yang muncul pada saat itu.

Pada masa akhir penjajahan Belanda yaitu sekitar tahun 1940an, dimulailah kreatifitas Djaga Depari di bidang kesenian dan musik. Itu pun Djaga Depari memulainya dengan membentuk suatu grup musik saja. Kesimpulannya karya-karya Djaga Depari belum muncul pada saat masa penjajahan Belanda.

3.2.3 Masa penjajahan Jepang

Dari informasi yang penulis dapatkan, Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942. Pada saat itu Jepang sangat diharapkan dapat membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Namun Jepang malah lebih kejam dari Belanda. Jepang menghapus segala sesuatu yang dibuat Belanda di Indonesia. Hampir seluruh peninggalan Belanda dirubah oleh Jepang.

Beberapa perubahan yang dibuat Jepang adalah penanggalan masehi diganti menjadi sistem penanggalan Jepang yang disebut kigenreki, negara Jepang harus disebut dengan Nippon atau dai Nippon, semua masyarakat Indonesia harus menghormati Kaisar


(61)

Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah Tokyo (ibukota Jepang), satu-satunya bendera yang dapat berkibar adalah bendera Jepang, semua toko, restoran, bioskop, perusahaan, perkumpulan dan lain-lain harus mengganti papan nama yang berbahasa Belanda dengan bahasa Jepang, semua sekolah harus memberikan mata pelajaran bahasa Jepang. Semua hal tersebut diputuskan oleh hakko ichiu28. Dengan demikian semakin terpuruklah nasib masyarakat Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Hal ini berlaku di seluruh penjuru nusantara termasuk Sumatera Utara khusunya Tanah Karo. Namun hal tersebut tidak membuat Djaga Depari diam saja. Pada masa inilah kreatifitas Djaga Depari di bidang penciptaan karya mulai berkembang.

Pada pertengahan tahun 1942 atau tahun pertama Jepang menduduki Indonesia, Djaga Depari sudah mencipta sejumlah lagu berbahasa Karo, diantaranya adalah Tanah Ersuki, Ranting Jabi-jabi, Anak U-we, Naki-naki, Kanam-kanam, Regi-regi, Jolah Jemole, Tetapkan Ukur, Perudang Mayang, Perbaju Joe, Berngi Singongo, Persantabin, Sada Kata, Pergawah dan Angin Si Lumang29.

Proses penciptaan karya oleh Djaga Depari terus berlanjut sampai pada masa perang kemerdekaan. Beberapa lagu yang diciptakan Djaga Depari pada masa perang kemerdekaan antara lain Famili Taksi, Padang Sambo, Sora Mido, Tanah karo Simalem, Rudang Mejile, Roti Manis, Tiga Sibolangit, Lasam-lasam, Make Ajar, Pecat-pecat Seberaya, Didong-didong Padang Sambo, Io-io Beringin, Andiko Alena, Sue-sue dan Rudang-rudang30.

28

Gabungan Negara-negara Asia Timur disebut juga Persemakmuran Asia Timur. 29 Lihat Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” Robert Perangin-angin (2009 : 29) 30 Lihat Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” Robert Perangin-angin (2009 : 46)


(62)

3.3 Situasi Ekonomi, Politik, Sosial Budaya tahun 1920-1963 (masa hidup Djaga Depari) dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Djaga Depari

3.3.1 Situasi ekonomi

Pada masa hidup Djaga Depari perekonomian di seluruh nusantara sangat memprihatinkan. Hal itu dikarenakan pada masa hidup Djaga Depari, para penjajah tidak perduli dengan nasib masyarakat Indonesia. Namun karena ayah Djaga Depari seorang mandor, maka secara ekonomi Djaga Depari dapat hidup dengan layak pada waktu itu. Djaga Depari dapat sekolah di sekolah yang layak pada masa penjajahan tersebut. Dengan bersekolah, Djaga Depari dapat menuntut ilmu dan memperluas pergaulannya. Sehingga Djaga Depari dapat mengembangkan jiwa seninya di masa hidupnya.

Dari bangku sekolah ini Djaga Depari mengenal dunia musik dan orkes. Sehingga dapat disimpulkan karena keadaan ekonomi keluarga Djaga Depari yang cukup, beliau dapat bersekolah dan mengembangkan pemikirannya dalam hal penciptaan karya-karyanya.

3.3.2 Situasi politik

Pada masa perang kemerdekaan, Djaga Depari juga ikut berperan dalam perang kemerdekaan tersebut. Sekitar tahun 1945, Djaga Depari sempat bergabung dalam barisan laskar Napindo Tanah Karo yang dipimpin oleh Mayor Selamat Ginting. Disini Djaga Depari diberi pangkat Sersan mayor dengan jabatan seksi penyiaran radio dan sandiwara. Tugas utamanya adalah menginformasikan berita-berita pimpinan kepada


(63)

laskar-laskar di pedalaman. Selain itu, karena Djaga Depari juga pernah terjun dalam dunia sandiwara, maka Djaga Depari juga bertugas untuk menghibur laskar dan masyarakat melalui sandiwara yang dilakoninya. Hal ini semakin mempertegas keberadaan Djaga Depari sebagai pemusik pejuang.

Dalam situasi politik yang seperti ini, pemikiran Djaga Depari mulai mengarah pada penciptaan lagu-lagu perjuangan. Banyak juga lagu-lagu karya Djaga Depari yang tercipta dikarenakan situasi politik ini. Salah satunya adalah Erkata Bedil yang bertemakan perjuangan. Lagu ini sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat dan pejuang pada waktu itu.

3.3.3 Situasi sosial budaya

Situasi sosial budaya berhubungan dengan hal-hal budaya yang ada pada masa hidup Djaga Depari. Salah satunya adalah dunia sandiwara yang sempat digeluti Djaga Depari pada masa hidupnya.

Salah satu kelompok drama yang pernah diikuti Djaga Depari adalah “Perhimpunan Teater Rakyat”31 yang dipimpin oleh Datuk H. Wan Umaruddin Barus. Di kelompok ini Djaga Depari bertugas sebagai pemusik yaitu pemain biola. Pada masa ini pemikiran Djaga Depari untuk berkarya tidak juga surut. Umumnya lagu-lagu yang diciptakan Djaga Depari pada masa ini berbentuk puisi lembut yang bersifat menghibur. Salah satu lagu yang tercipta pada masa ini adalah Tanah Karo Simalem yang bertemakan ketenangan, ketenteraman dan cinta tanah kelahiran.


(64)

BAB IV

ANALISA KUMPULAN LAGU KARYA DJAGA DEPARI

4.1 Kumpulan Lagu-lagu Karya Djaga Depari

Pada bab ini penulis mendeskripsikan tema dari lagu-lagu Djaga Depari yang masih dikenal sampai sekarang. Djaga Depari telah banyak menciptakan lagu. Djaga Depari telah mencipta kurang lebih 363 lagu32. Semua lagu yang diciptakan itu berbahasa Karo dan tentu saja mempunyai tema tertentu yang berbeda-beda.

Karena keterbatasan data yang didapat maka tidak semua lagu Djaga Depari dapat dideskripsikan. Maka penulis hanya dapat mengumpulkan sebagian lagu-lagu Djaga Depari yang diharapkan dapat mewakili seluruh lagu karya Djaga Depari yaitu:

1. Bulan Purnama

2. Bunga Pariama

3. Dalin Ku Rumah

4. Erkata Bedil

5. Io-io Beringen

6. Lampas Tayang

7. Make Ajar

8. Mari Kena

9. Pernantin

10. Piso Surit


(65)

11. Purpur Sage

12. Rudang-rudang

13. Rumba Karo

14. Seni Karo

15. Si Mulih Karaben

16. Sora Mido

17. Sue-sue

18. Tanah Karo Simalem

19. Terang Bulan

20. Tiga Sibolangit

21. USDEK

Lagu-lagu ini diharapkan dapat mewakili keseluruhan lagu-lagu karya Djaga Depari. Lagu-lagu yang berhasil dikumpulkan dan diterjemahkan tersebut dapat dilihat dalam halaman lampiran skripsi ini.

4.2 Gambaran Umum dan Khusus Makna Teks

Dari kumpulan lagu-lagu karya Djaga Depari yang ada, jelas terlihat gambaran tentang situasi sosial masyarakat yang berbeda baik ditinjau dari letak geografis daerah maupun saling hubungan antar masyarakat Indonesia.

Isi dari karya Djaga Depari tidak hanya menggambarkan latar belakang budayanya sebagai Seniman (sekarang dikenal sebagai komponis Nasional dari daerah Karo). Namun bertemakan lebih luas dari pada itu.


(66)

Adapun pandangan yang saya tuliskan disini adalah gambaran umum dan gambaran khusus dari isi yang terkandung dalam karya Djaga Depari. Pembagian ini fokus kepada karya-karyanya yang mengangkat tentang kehidupan sosial masyarakat secara khusus di daerah tanah karo dan secara umum di luar daerah karo dalam ruang lingkup nasional.

4.2.1 Gambaran umum

Seperti yang telah dipaparkan di atas, gambaran umum yang dimaksud di sini adalah makna dari lagu-lagu karya Djaga Depari yang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat secara umum di luar masyarakat Karo. Dalam hal ini adalah masyarakat dalam ruang lingkup nasional.

Gambaran umum yang terlihat dari lagu karya Djaga Depari seperti pesan persatuan terhadap seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat pada lagu Purpur Sage. Lagu ini menyatakan bahwa kita jangan terlalu mudah untuk membenci sesama kita. Saling memaafkan dan memaklumkan tindakan sesama adalah tindakan yang sangat baik. Makna tersebut terlihat dalam bait pertama lagu ini :

Kai kin nembeh ate erteman (Apa gunanya kita membenci teman-teman) Kai kin nge menek ate ku kade-kade (Apa gunanya kita mendendam sanak saudara) Ku aron, kai nge morahta kai nge (Kepada rekan satu pekerjaan mau menuntut apa)

Ulanda lebe ergila ate (Janganlah dulu membenci sesama)

Ukuri kita terjore-jore (Tenang tentramlah hati kita)


(1)

Ada pula yang lainnya yang putus hubungan

Soal cantiknya konon sama dengan indahnya kembang Bunga wangi indah meliuk-liuk di tepi jurang

Wahai muda belia cantiknya bukan kepalang Membuat hatiku konon tiada lagi bisa tenang

21. USDEK

Lit kidahken momo Momo manifesto Manifesto Soekarno Bapa rayat si rulo Bapa rayat si rulo Usdek kap isina Pijer podi man banta Em penarang penakit Perukur si la tengka Perukur si la tengka U kap undang-undangta

Undang-undang tahun empat puluh lima S kap sosial radu kita mulia

Sikeleng-kelengan kerina

D kap demokrasi, terpimpin kapen ia E kap ekonomi, terpimpin ka ngia

K kap kepribadian, kepribadian Indonesia Yah dagena alo

Aloken manifesto Mari rari kita Usdek gelementa

(sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit tahun 1990 halaman : 342)

USDEK

Ada konon pengumuman Pengumuman manifesto Manifesto Soekarno

Bapak rakyat banyak (Indonesia) Bapak rakyat banyak (Indonesia)

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(2)

Usdek lah isinya Pemersatu bagi kita

Pencegah sesuatu yang buruk Pemikiran yang negatif Pemikiran yang negatif U adalah undang-undang kita

Undang-undang tahun empat puluh lima

S adalah sosial dan kesejahteraan bagi kita semua Saling menyayangi semua

D adalah demokrasi, yang terpimpin pula E adalah ekonomi, yang terpimpin pula K adalah kepribadian, kepribadian Indonesia Ayolah ayo terima

Terimalah manifesto Mari semua kita Usdek pegangan kita

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(3)

B. Transkripsi Lagu Karya Djaga Depari 1. Erkata Bedil

Ciptaan : Djaga Depari

Sumber : album Erkata Bedil, Track : 4, artis : Tio Fanta br. Pinem dan Haris T. S, tahun 2002

Pentranskripsi : J. Welly Simbolon, S.Sn. Media penulisan transkripsi : software Sibelius 4

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(4)

2. Si Mulih Karaben

Ciptaan : Djaga Depari

Sumber : album Erkata Bedil, Track : 3, artis : Alasen Barus, tahun 2002

Pentranskripsi : J. Welly Simbolon, S.Sn. Media penulisan transkripsi : software Sibelius 4

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(5)

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(6)

3. Tanah Karo Simalem

Ciptaan : Djaga Depari

Sumber : album Erkata Bedil, Track : 6, artis : Tio Fanta br. Pinem, tahun 2002

Pentranskripsi : J. Welly Simbolon, S.Sn. Media penulisan transkripsi : software Sibelius 4

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara