Sejarah Bunuh Diri Di Jepang

2.2 Sejarah Bunuh Diri Di Jepang

Bunuh diri merupakan salah satu cara mengakhiri hidup yang dilakukan manusia untuk lepas dari masalah yang dihadapinya. Menurut Hidayat dalam Kiblat 1996:43-45, “Individu yang melakukan tindakan bunuh diri berarti kehilangan jiwa dan pikiran.” Hal ini berarti individu yang melakukan tindakan bunuh diri tersebut tidak dapat berfikir secara wajar dan dengan akal sehat, sehingga mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya agar lepas dari permasalahan yang dihadapinya. Seorang sosiologi Perancis yang mula-mula melakukan studi sosial mengenai bunuh diri, Emile Durkheim dalam buku “Realitas Sosial” karangan K.J. Veeger 1985 : 150 – 157 , berpendapat bahwa bunuh diri merupakan salah satu gejala sosial. Perbuatan bunuh diri ada kaitannya dengan 3 faktor, yaitu : posisi psikologi tertentu, factor keturunan, dan kecenderungan manusia meniru orang lain. Dalam buku ini dijelaskan juga ada 3 tipe bunuh diri yaitu : bunuh diri egoistic, bunuh diri altruistis, dan bunuh diri anomis. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai bunuh diri tersebut : 1. Bunuh Diri Egoistik Bunuh diri ini bersifat egois. Egoism berarti sikap seseorang tidak berintegrasi dengan kelompoknya, seperti kepada keluarga, kelompok rekan-rekan, kumpulan agama dan sebagainya. Hidupnya tidak terbuka kepada orang lain. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan orang lain. 2. Bunuh Diri Alturistis Bunuh diri bersifat alturistis merupakan kebalikan dari bunuh diri egoistik. Bunuh diri alturistis ini lebih kepada seseorang sangat menyatu kepada suatu golongan. Sangat berpegang teguh kepada kelompoknya, dengan mengikuti segenap nilai-nilai kelompoknya, berintegrasi kepada kelompoknya, hingga di luar itu ia tidak memiliki identitas diri sendiri. Tanpa kelompok seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri alturistik ini tidak dapat melanjutkan kehidupan. Seseorang mengintegritaskan seluruh hidupnya demi kelompoknya, memandang bahwa hidup di luar grup atau ada pertentangan dengan grup merupakan suatu hal yang tidak berharga. Maka jikalau etika grup menuntut agar merelakan nyawa demi keyakinan dan kepentingan kelompok, seseorang tersebut cenderung melakukan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut. 3. Bunuh Diri Anomis Anomi adalah tanpa norma. Bunuh diri anomis ini menyangkut dengan keadaan moral seseorang. Dimana keadaannya adalah orang tersebut kehilangan cita- cita, tujuan, dan norma-norma dalam hidupnya. Nilai-nilai moral yang semula member motivasi dan arahan kepada sipelaku bunuh diri ini tidak berpengaruh lagi. Berbagai kejadian dapat menyebabkan keadaan itu. Seperti musibah yang menimpa seseorang hingga kehilangan kesadaran dan semua yang menyemangati dan menghibur dia, musnah dan dapat mengakibatkan suatu perubahan yang radikal yang menjurus pada tindakan mengakhiri hidup. Berbeda dengan bunuh diri yang dilakukan di Jepang. Di Jepang bunuh diri lebih dikenal dengan jisatsu 自殺 . Kata jisatsu 自殺 terdiri dari dua kata yaitu ”ji” berasal dari kata jibun 自分 yang berarti diri sendiri, dan “satsu 殺 yang merupakan on-yomi dari kata korosu 殺 す yang berarti membunuh. Maka dapat diartikan secara sederhana jisatsu 自 殺 adalah kegiatan yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh dirinya sendiri. Fenomena jisatsu 自殺 di Jepang sudah ada pada masa Perang Dunia Kedua. Pada masa sebelum Perang Dunia Kedua jisatsu 自殺 dilakukan oleh kaum samurai 侍 dan para kaum bangsawan, pada masa dimana tampuk kekuasaan dipegang oleh kaum militer atau kaum bushi 武 士 , sistem pemerintahan pemerintahan pada masa itu disebut dengan bakufu 幕府 . Pada zaman ini jisatsu 自 殺 dilakukan dengan satu cara yaitu seppuku 切 腹 . Seppuku 切 腹 ini sudah menjadi salah satu kebudayaan Jepang yang terkenal hingga sampai saat ini. Seppuku 切 腹 berarti memiliki arti memotong perut. Alasan mengapa sebutannya diberi tekanan “memotong perut”, hal ini ada kaitan kepercayaan lama bahwa di dalam perut itulah bersemayam “jiwa”, memotong perut itu dimaksudkan untuk “menenangkan jiwa yang telah melayang”. Menurut Schwan 2003, seppuku 切腹 merupakan bentuk upacara bunuh diri dalam masyarakat Jepang, dan sebagai konsep berpikir orang Jepang yang menunjukkan kebiadaban dan merupakan suatu hal yang mengerikan, bahwa lebih baik mati dengan terhormat daripada hidup dengan menanggung malu. Istilah seppuku 切腹 biasanya diperuntukkan untuk kalangan samurai. Pada dasarnya tindakan seppuku ialah karena adanya semangat kesatriaan yakni bushido dalam masyarakat Jepang. Bushido bermakna sebagai jalan hidup Samurai, artinya jalan yang harus dipatuhi oleh para samurai dalam kesehariannya maupun dalam pelaksanaan tugasnya. Bushido sangat menekankan kesetiaan mutlak kepada tuan. Demi tuannya, samurai memang dituntut untuk mati jika perlu, untuk menunjukkan kesetiaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Negara Jepang merupakan masyarakat yang menganut budaya malu, dengan kata lain nilai yang paling tinggi bagi masyarakat Jepang. Rasa malu yang paling tinggi adalah tidak dapat membalas budi baik orang lain atau tuannya, oleh karena itu seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Jepang difokuskan pada usaha untuk menjaga rasa malu tersebut. Apabila melakukan kesalahan atau tidak dapat membalas budi baik orang lain, mereka akan merasa malu. Rasa malu tersebut akan dapat tertebus apabila melakukan bunuh diri atau seppuku 切腹 . Berikut ini adalah kisah bunuh diri samurai di Jepang, yaitu Akouroshi Chushingura. Kisah cerita Akouroshi Chushingura menceritakan tentang kepatuhan daimyo terhadap perintah shogun untuk melakukan seppuku, adanya kepatuhan anak buah pengikut daimyo tersebut terhadap shogun sehingga tidak melanggar aturan- aturan keshogunan, dan adanya keinginan untuk membalaskan dendam tuannya dengan membunuh musuh tuannya demi pengabdian diri terhadap tuannya. Para anak buah tersebut harus melaksanakan giri kepada tuannya. Setelah membalaskan dendam tuannya terhadap musuh mereka melakukan junshi mati mengikuti kematian tuannya. Akouroshi Chushingura terjadi di Nabeshima Hiroshima. Akouroshi merupakan bushi yang tidak bertuan di daerah Akou Hiroshima. Kisah ini adalah kisah bunuh diri yang dilakukan oleh 47 orang bushi yang tidak bertuan di wilayah Akou tersebut. Ke-47 orang bushi tersebut melakukan bunuh diri setelah berhasil membunuh pangeran Kira dan mempersembahkan kepala Pangeran Kira ke makam tuannya, setelah tuannya melakukan bunuh diri seppuku karena perintah dari shogun sebagai hukuman karena tuan mereka dianggap telah membuat keonaran di dalam istana keshogunan Tokugawa. Masalah ini erat kaitannya dengan masalah moral pengabdian diri samurai Jepang, yaitu maslah kesetiaan yang bertingkat. Anak buah setia kepada Tuannya dan Tuannya setia kepada shogun dan shogun setia kepada Kaisar. Oleh karena itu pusat loyalitas kesetiaan seluruh Jepang adalah ditangan Kaisar. Dalam kisah ini digambarkan kesetiaan shogun memberikan upeti setiap tahunnya kepada Kaisar. Kemudian kesetian tuan dalam hal ini adalah Asano kepada Shogun Tokugawa dan kemudian kesetiaan 47 orang anak buah terhadap Asano. Dari kisah bunuh diri para kaum samurai di atas dapat disimpulkan bahwa seppuku yang dilakukan oleh para kaum samurai sebagai bentuk loyalitas, penghormatan dan pengabdian diri kepada tuannya serta bentuk dari membalas budi baik tuannya. Seiring dengan berjalannya waktu, budaya bunuh diri bergeser menjadi salah satu fenomena yang sangat menarik dari Negara Jepang. Pada masa zaman feodal, bunuh diri di Jepang yang semula sebagai bentuk pengabdian diri, loyalitas, penghormatan dan sebagai bentuk membalas budi baik tuannya kini bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi akibat beban hidup yang semakin kompleks. Dewasa ini kehidupan masyarakat Jepang cenderung bersifat “sendiri” dengan kata lain masyarakat Jepang seakan tidak peduli dengan keadaan lingkungannya tidak bersosialisasi dengan orang lain, memiliki gejala hubungan sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan maksudnya ialah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar pada saat memerlukan bantuan. Hal inilah yang mengakibatkan tekanan isolasikesendirian dan keterasingan dari lingkungan. Semakin kompleksnya kehidupan semakin besar pula masalah dan tingkat depresi yang dihadapi. Kegagalan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab terhadap pekerjaan, tidak dapat memberi kebahagiaan kepada keluarga, dan ketidakmampuan bersosialisasi dengan baik dengan lingkungan merupakan beberapa faktor dari sekian banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Jepang melakukan tindakan bunuh diri atau jisatsu 自 殺 . Dari paparan di atas terlihat adanya pergeseran makna jisatsu 自 殺 dari zaman feodal ke zaman sekarang. Zaman feodal jisatsu 自 殺 dilakukan dikalangan samurai sebagai bentuk pengabdian terhadap tuannya, loyaliatas terhadap tuannya dan penghormatan terhadap tuannya namun zaman sekarang jisatsu 自殺 menjadi sebagai bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi.

2.3 Angka Statistik Bunuh Diri Di Jepang