Pandangan Hidup dan Mati Bagi Masyarakat Jepang

BAB II FENOMENA BUNUH DIRI DI JEPANG

2.1 Pandangan Hidup dan Mati Bagi Masyarakat Jepang

A. Pandangan Hidup Bagi Masyarakat Jepang

Menurut Ruth Benedict 1989 : 232, di dalam studi-studi antropologis mengenai berbagai kehidupan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma moralitas yang nyata dan mengembangkannya dalam nurani oleh para pengikutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Budaya rasa bersalah inilah yang menjadi pandangan hidup bagi masyarakat Jepang. Di dalam masyarakat Jepang dimana rasa malu merupakan sanksi utama. Budaya rasa malu yang merupakan pandangan hidup orang Jepang adalah budaya yang ditanamkan sedari kecil. Rasa malu bagi masyarakat Jepang adalah mengutamakan penilaian dari masyarakat. Budaya malu ini sangat berperan besar dalam mengontrol dan mengendalikan pola hidup masyarakat Jepang. Budaya malu yang khas ini telah membentuk suatu pola tingkah laku yang memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda dengan pola dalam masyarakat lainnya. Setiap kali seorang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu ia akan menghukum dirinya sendiri melalui melakukan meditasi dan kemudian melakukan perbaikan diri atau mengundurkan diri dari jabatan bahkan ada yang sampai melakukan bunuh diri karena rasa malu. Ruth Benedict 1989:223 juga menambahkan bahwa rasa malu adalah suatu reaksi terhadap kritk orang lain. Dalam kasus manapun, malu merupakan sanksi yang berat. Namun malu mengharuskan adanya kehadiran orang lain dan penilaian dari orang lain. Bagi masyarakat Jepang rasa malu tertinggi adalah ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain yang telah diterima. Bagi seorang Jepang jasa baik orang lain merupakan hutang yang harus wajib dibayar. Ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain merupakan pandangan negative yang akan diterima dari lingkungan masyarakatnya. Banyak ekspresi yang dilakukan seorang Jepang dalam mengungkapkan rasa ketidakmampuan tersebut salah satunya adalah melakukan tindakan bunuh diri. Ruth Benedict juga menambahkan bahwa konsep dosa tidak dikenal di dalam masyarakat Jepang. Berbeda dengan masyarakat Amerika, bahwa melanggar akan 10 firman Tuhan merupakan dosa akan mendapat hukuman suatu hari nanti. Dalam Nagano 2009:87 menguraikan bahwa budi yang harus dibalas tersebut adalah On. On merupakan kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan secara pasif artinya adalah kewajiban yang harus dipenuhi sipenerima yang pasif. On diuraikan sebagai berikut : Kou on 厚恩 : on yang diterima dari Tenno atau dari Negara Oya on 親恩 : on yang diterima dari orang tua. Nushi no on 主の恩 : on yang diterima dari tuan atau majikan. Shi no on 市の恩 : on yang diterima dari guru. Kemudian kewajiban membalaskan budi baik yang diterima on disebut gimu. Gimu diuraikan sebagai berikut : Chu 忠 : kewajiban balas budi terhadap kaisar dan Negara Ko 考 :kewajiban balas budi terhadap orang tua dan leluhur. Ninmu 任務 : kewajiban bertanggung jawab terhadap pekerjaan. Dari pemikiran budaya tersebut orang Jepang memiliki dua sifat yang kontradiksi atau yang berlainan. Menurut Ruth Benendict, orang Jepang adalah orang yang sangat sopan sekaligus orang yang sangat kasar, orang yang sangat pemberani tetapi sekalian orang yang sangat penakut. Bagi masyarakat Jepang juga sangat penting untuk menjaga nama baik. Semakin tinggi kedudukan seseorang maka semakin perlu seseorang menjaga nama baik dan akan berusaha untuk membersihkan nama baik yang tercela. Masyarakat Jepang juga menganut pandangan hidup yaitu ajaran konfusianisme. Ajaran konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam keseharian bersosialisasi dengan masyarakat. Ajaran ini dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan berperilaku bermasyrakat dalam memahami konsep respect dan rasa malu. Respect berarti tahu diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dan rasa malu merupakan tolak ukur dalam menentukan kualitas seseorang. Mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal atau kualitas yang tidak layak di dalam masyarakat. Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status, meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya. Seseorang yang tidak menjalankan peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat, akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan penolakan oleh masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam dirinya, karena telah gagal dalam menjalankan peranannya sebagaimana yang dituntut oleh masyarakatnya Situmorang, 2013:80. Dengan demikian, malu menjadi semacam motivasi bagi seseorang untuk sedapat mungkin bertindak memenuhi peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat disekitarnya. Sehingga, orang tersebut akan berusaha bertindak sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat terhadap dirinya dengan mewujudkannya kedalam perannya di lingkungan bermasyarakat untuk menghindari kritikan dan penolakan seperti yang menjdi motivasi dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannnya dalam menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya.

B. Pandangan Mati Bagi Masyarakat Jepang

Makna mati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sudah hilang nyawa; tidak hidup lagi. Mati berarti berpisahnya roh dengan raga. Di Jepang dimana budaya bunuh diri jisatsu 自 殺 sudah menjadi fenomena sosial di dalam masyarakat. Orang Jepang tidak takut mati sehingga berani untuk melakukan tindakan bunuh diri jisatsu 自殺 hal ini dapat dimengerti dengan melihat makna kematian bagi orang Jepang itu sendiri.makna kematian pada umumnya tentu saja dikaitkan dengan sudut pandang agama. Meskipun Jepang tidak mengenal berbagai macam agama tidak seperti di Indonesia, akan tetapi di Jepang, jumlah penduduk beragama lebih besar daripada jumlah penduduk Jepangnya sendiri. Departemen Pendidikan Jepang pada tahun 2007 menyebutkan dari sekitar 127 juta penduduk Jepang yang ada, pengikut agama Shinto adalah 50,3 atau sekitar 63,8 juta orang, agama Buddha 44 atau sekitar 5,5 juta, agama Kristen 1 atau sekitar 1,2 juta, dan agama-agama yang tersebar lainnya 4,7 atau sekitar 5,9juta http:www.eonet.ne.jp~limadakibudayajepangartikeljpnagama.html. Data tersebut menggambarkan keadaan kehidupan beragama di Jepang yang sekuler tidak bersifat religious. Dilihat dari persentase di atas agama Shinto dan agama Budha merupakan agama yang besar di Jepang. Agama di Jepang tidak dipandang sebagai landasan hidup, Negara juga memisahkan urusan agama dengan urusan kenegaraan. Maksudnya adalah Negara tidak mencantumkan agama dalam tanda pengenal penduduk atau surat resmi lainnya bahkan dalam dunia pendidikanpun agama tidak dicantumkan dalam kurikulum pembelajaran. Agama bagi orang Jepang adalah sebagai kebudayan orang Jepang. Orang Jepang tidak mempercayai adanya Tuhan, melainkan kepada dewa- dewa. Orang Jepang juga memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa yang menghuni alam ini dan leluhur akan menjadi kamisama serta mengunjungi kuil-kuil untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu fungsi agama bagi orang Jepang berbeda maka makna kematian bagi orang Jepangpun berbeda. Makna kematian bagi orang Jepang dilihat berdasarkan 2 agama terbesar di Jepang yaitu Shinto 神道 dan Buddha .

a. Makna Mati Menurut Agama Shinto