2 Apabila si wilayah kecamatan, kantor Urusan Agama Kecamatan
berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Kantor Departemen Agama KabupatenKotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama
menunjuk wakilPembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Pasal 5 Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi
kewenangan untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat 1 peraturan ini.
D. Kedudukan Wali dalam Perkawinan
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam perjanjian perkawinan. Menurut Mazhab Hanafi perizinan wali bukan merupakan
persyaratan syah nikah tetapi hanya penyempurna perjanjian perkawinan. Alasannya adalah dari riwayat Muslim dari Ibnu Abbas yang katanya Rasulullah
SAW bersabda yang artinya Perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya dari walinya. Gadis diminta perizinannya dan perizinannya adalah diamnya. Menurut
mazhab Hanafi, hadits di atas menerangkan sah pernikahan baik janda maupun perawan tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu mereka menganggap
izin wali bukan termasuk syarat sah nikah.
32
Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menganggap perizinan wali merupakan syarat sah perjanjian perkawinan dimana perkawinan tanpa izin wali adalah tidak
32
http:www.mail-archive.commedia-dakwahyahoogroups.com, artikel di akses pada tanggal 12 Mei 2010
sah. Pendapat ini beralasan pada Al-Qur’an dan hadits. Dari ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil antara lain pada QS. al Baqarah ayat 232 :
⌧
ةﺮ ا :
232
Artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya apabila terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf...”
QS. Al-Baqarah, 2232
Dalam ayat ini terdapat dalil yang sangat jelas tentang eksistensi seorang wali di mana Allah melarang para wali dari menghalangi para wanita dari kembali
kepada suami mereka dan sekiranya seorang wanita itu boleh menikahkan dirinya sendiri, maka sudah tentu tiada artinya larangan Allah SWT dalam ayat tersebut
dan tiada gunanya para wali menggunakan haknya melakukan ‘Adhal
33
Imam Bukhari meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat di atas ialah karena ulahnya Ma’qal bin Yasar yang mengawinkan saudarinya dengan seorang lelaki
33
Sebab turun ayat ini adalah berkenaan peristiwa Ma’qil bin Yasar yang telah menikahkan saudara perempuannya, kemudian diceraikan oleh suaminya dengan talak raj’i. Setelah habis masa
iddah, kemudian bekas suami dan saudara perempuan Ma’qil ini bermaksud untuk menikah kembali. Ma’qil marah dan bersumpah tidak ingin menikahkan mereka. Maka, turunlah ayat 232, Surah al-
Baqarah. Menurut riwayat Abu Daud, Ma’qil membayar kafarah sumpahnya dan kemudian menikahkan saudaranya atas perintah Rasulullah SAW. Jelas di sini, wali yang berhak untuk
menikahkan seorang perempuan, di mana saudara perempuan Ma’qil, walaupun berstatus janda juga tidak dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa wali meskipun dalam kondisi Ma’qil wali enggan
menikahkannya pada awalnya. Lihat, Jalaluddin al-Suyuthi, Asbab al-Nuzul: Latar belakang sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an,
Terj. Qomaruddin Shaleh, dkk, Cet. XVII, Bandung: CV Diponegoro 1995, h. 81. lihat juga, http:www.mail-archive.commedia-dakwahyahoogroups.com, artikel yang
diakses pada tanggal 12 Mei 2010
kemudian diceraikan oleh suaminya. Sesudah masa iddahnya habis, datang bekas suaminya ingin mengawini kembali, namun Ma’qal melarang dan bersumpah
tidak akan mengawinkan saudarinya itu dengan bekas suaminya tadi. Turunlah ayat di atas menegur tindakan Ma’qal yang kedudukannya sebagai wali dan
akhirnya Ma’qal membayar kafarah atas sumpahnya. Di dalam beberapa buah hadits dijelaskan tentang wali hakim yang dapat
menggantikan kedudukan wali nasab apabila wali nasab tidak ada atau wali nasab enggan mengawinkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya, padahal
perjodohan antara keduanya seimbang. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : Maka apabila wali nasab enggan sulthanlah yang menjadi wali bagi yang tidak
mempunyai wali
ﺎ أ ْ ﺎ ﺔ ﺋ ﺎ ْ ةوْﺮ ْ يﺮْهز ْ ﻰ ْﻮ ْﺑا نﺎ ْ ْ ﺎﻬﺣﺎﻜ ﻓ ﺎﻬ و نْذإ ﺮْﻐﺑ ْ ﻜ ةأﺮْ إ
ﺎﺑ تاﺮ ث ﺛ
ْنﺈﻓ ﺎﻬﺑ ﺧد
ْ ا ﺎ ﺑ ﺮْﻬ ْا ﺎﻬ ﻓ و ﻻ ْ و نﺎ ْﺴ ﺎﻓ اوﺮ ْﺷأ ْنﺈﻓ ﺎﻬ ْﺮﻓ ْ
ﻪ ﺔ ﺋﺎ ﺪ ﺣأ ،ﻪ ﺎ ﺑا ،ىﺬ ﺮ ،دواد ﻮﺑأ اور
34
Artinya : “Dari Sulaiman ibn Musa dari Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah r.a., ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal,
nikahnya adalah batal. Jika wanita itu telah disetubuhi, maka dia berhak mendapat mas kawin dengan sebab si lelaki itu telah
menghalalkan kehormatannya. Dan jika mereka berselisih, sultan penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.”
HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dari Aisyah.
34
Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum 8, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. III, h. 39
Jadi, keadaan yang dapat memungkinkan wali hakim sebagai wali nikah adalah wali nasab tidak ada sama sekali; wali nasab enggan padahal keduanya
sekufu; wali nasab berada di tempat yang jauh sekitar 95 Km dari tempat wanita yang ingin menikah; wali nasab dianggap hilang atau tidak diketahui
keberadaannya, hidup atau matinya; calon suami juga adalah wali nikah perempuan; wali nasab dalam keadaan berihram haji atau umrah.
35
35
http:www.mail-archive.commedia-dakwahyahoogroups.com, artikel yang diakses pada tanggal 12 Mei 2010
BAB III WALI ADHAL DALAM FIQH MADZHAB
A. Definisi Wali Adhal
Kata ‘adhal menurut bahasa etimologi berasal dari Bahasa Arab, yaitu
ﻞﻀ ﻞﻀ ﻳ ًﻞﻀ yang artinya mencegah atau menghalang-halangi.
1
Wali ‘adhal adalah wali yang tidak bisa menikahkan wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya, sedangkan masing-
masing pihak menginginkan pernikahan itu dilangsungkan.
2
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tanggal 28 Oktober 1987 tentang Wali Hakim: Wali ‘adhal ialah wali Nasab yang
mempunyai kekuasaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah perwaliannya, tetapi tidak bias atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya
seorang wali yang baik. Pada dasarnya hak untuk menjadi wali dalam perkawinan ada di tangan
wali aqrab, atau orang yang mewakili wali aqrab atau orang yang diberi wasiat untuk menjadi wali. Hanya wali aqrab saja yang berhak mengawinkan perempuan
yang dalam perwaliannya dengan orang lain. Demikian pula ia berhak
1
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet. 14, h. 441
2
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, Cet. I, h. 1339
34