BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah merupakan salah satu ajaran syariat Islam. Di dalam suatu perkawinan, perwalian adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan itu sendiri, karena seorang wali adalah orang yang harus ada pada saat dilangsungkannya suatu perkawinan. Keterlibatan seorang wali di dalam
suatu perkawianan, sangatlah menentukan sah atau tidaknya akad perkawinan dalam pandangan syari’at Islam.
1
Sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya seorang wali, sebab itu wali menempati kedudukan yang sangat penting dalam perkawinan,
seperti diketahui dalam prakteknya yang mengucapkan ikrar ijab adalah pihak perempuan dan yang mengucapkan ikrar qabul adalah pihak laki-laki,
disinilah peranan wali yang sangat menentukan sebagai wakil dari pihak calon pengantin perempuan.
2
Mengenai keberadaan wali yang sedemikian penting ini pernah di ungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui haditsnya yang
diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadits, yang bermula dari Abu Mua Al-
1
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: Majelis al-A’la al-Indonesia li al- Dakwah al-Islamiyah, 1972, Cet. IX, h. 100
2
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: H. Dakarya Agung, 1979, h.53
1
Asy’ari dan dari Aisyah r.a, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau pernah bersabda:
ﻻ ﻜ
حﺎ إ
ﻻ ﺑ
ﻮ و
أ أﺮْ ﺁ ﺎ
ت ﺑ
ﻐْ ﺮ
إ ْذ
ن و
ﻬ ﻓ ﺎ
ﻜ ﺣﺎ
ﻬ ﺑ ﺎ
ﺎ ﺑ
ﺎ ﺑ
ﺎ ﻓ
ﺈ ْن
ْ ﻜ
ْ ﻬ
و ﺎ ﻓ
ﺴ ﺎ ْ
نﺎ و
ْ ﻻ
و ﻪ.
“Tidak ada nikah melainkan dengan adanya wali, siapa saja perempuan yang nikah tanpa memperoleh izin dari walinya maka nikahnya batal, batal, batal,
kemudian jika perempuan itu tidak ada walinya maka penguasa Hakim yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak ada walinya itu”
3
Jika perempuan itu tidak ada walinya maka penguasa hakim yang menjadi pengganti bagi perempuan yang tidak ada walinya itu, pernyataan
ayat hadits dari Nabi di atas cukup jelas, bahwa seorang wali sungguh tidak bisa di abaikan begitu saja bagi terselenggaranya suatu akad perkawinan yang
tentu saja menghendaki jaminan hukum yang sah menurut pandangan syara. Namun demikian, keberadaan seorang wali yang sangat menentukan ini, tidak
lepas dari kemungkinan akan menghadapi suatu kesulitan. Diantaranya ialah manakala wali yang bersangkutan justru memperlihatkan keengganan adalnya
untuk melangsungkan akad perkawinan.
Dengan adanya permasalahan tersebut, kiranya penulis menganggap penting untuk diungkapkan dan dipecahkan. Dan di sini pula pentingnya
mengungkap kajian Madzhab Fiqh empat yang populer dikalangan umat
3
Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani, Nailul Autar, Syar Muntahal Akbar, Juz IV,
Beirut Darul Fikri, TT h. 230
Islam di Indonesia khususnya yaitu: Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i guna memperoleh kejelasan yang lebih rinci, terutama mengenai upaya
penyelesaianya terhadap problem kewalian di atas, dengan tetap berpijak pada kajian dan penelusuran pendapat ahli fikih klasik yang saat ini masih
dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam.
Sebagaimana keberagaman pendapat dari Madzhab fikih yang menjadi penelitian penulis tentang perwalian dalam perkawinan. Misalnya pandangan
pendapat dari empat madzhab populer mengenai kedudukan wali nikah dalam hukum Islam adalah sebagai salah satu rukun perkawinan, oleh karena itu
Imam Syafi’i berpendapat, bahwa perkawinan dianggap tidak sah atau batal, apabila wali dari pihak calon pengantin perempuan tidak ada. Hal itu berbeda
pendapat dengan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa wali nikah tidak merupakan salah satu rukun nikah. Karena itu, nikah dipandang sah sekalipun
tanpa wali.
4
Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam, sebenarnya subtansi dari perkawinan itu lebih pada kebahagiaan yang di dapat, seperti yang terdapat
pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam Islam adalah “Pernikahan
4
R. Subekti. R. Tjirosudibyo, Terjemah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1999, Cet. Ke-29, h. 5
adalah aqad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
5
Berdasarkan pengertian di atas, hakikat perkawinan adalah persekutuan hidup seorang pria dan seorang wanita yang tak terputuskan. Kesatuan dan
sifat tak terputuskan ini merupakan sifat-sifat esensial perkawinan, jadi perkawinan bukanlah untuk sesaat saja akan tetapi kalau mungkin untuk
sekali dan seumur hidup.
6
Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam. Aqad nikah diadakan adalah untuk
selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri bersama- sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung menikmati
naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa ikatan antara
suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh, sehingga tidak ada suatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang
demikian agung itu, lain dari pada Allah sendiri, yang menanamkan ikatan perjanjian antara suami isteri dengan mitsaqan ghalidhan perjanjian yang
kokoh.
7
5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2004, h. 13
6
Slamet Abidin, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998, h. 9
7
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, h. 2
Oleh karena keberagaman dari mazhab fikih dalam menentukan penting atau tidaknya seorang perwalian dalam perkawinan, maka ini menjadi
persoalan yang menarik menurut penulis, karena itu persoalan tersebut akan
penulis teliti dalam bentuk skripsi dengan judul “Wali ‘adhal dalam perspektif Empat imam mazhab dan relevansinya dengan hukum positif
SPerkawinan Islam di Indonesia”. B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi lingkup permasalahan yang terjadi dalam hal-hal yang berkenaan
dengan masalah Wali adhal dalam persepektif empat imam Madzhab dan relevansinya hukum perkawinan Islam di Indonesia.
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, agar pembahasan ini tidak meluas maka dalam penelitian ini
peneliti terfokus pada tinjauan Mazhab Fikih Islam terhadap problematika ke’adhalan wali dan upaya ketentuan hukum dalam pengembangan
mazhab Fikih Islam untuk mengantisipasi munculnya wali ‘adhal. 2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka pokok permasalahan yang dihadapi adalah sesuai dengan ketentuan hukum tentang
keberagaman pendapat mazhab fikih yang mestinya perkawinan itu secara teoritis adanya wali ‘adhal. Lalu apakah benar keberagaman pendapat
mazhab pikih islam mewajibkan perwalian dalam perkawinan. Selanjutnya dapat penulis rumuskan sebagai berikut:
1 Apakah beragamnya pendapat mazhab fikih Islam mewajibkan
perwalian dalam perkawinan? 2
Bagaimana perspektif Empat Imam Mazhab fikih tentang wali adhal dan relevansinya dengan hukum perkawinan di indonesia?
Rincian di atas adalah merupakan kerangka pertanyaan yang hendak di teliti dan dicarikan jawabannya, sehingga peneliti ini diarahkan dalam
kerangka pencarian jawaban tersebut dilakukan dalam proses identifikasi terhadap fakta dan realita hukum baik yang sedang berlaku maupun yang
pernah berlaku.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian